Waktu Selalu Punya Jawaban Untuk Setiap Persoalan

Ester bergerak mundur beberapa langkah sebelum akhirnya bergerak maju dan melayangkan kakinya dengan gerakan memutar.

BUK!

Salah satu ninja tersungkur.

Tanpa pikir panjang Ester berlari sekuat tenaga menuju pintu dan bertabrakan dengan seorang Ninja lainnya.

BUGH!

Ninja itu mendorong tubuh Ester hingga terjerembab ke lantai dengan posisi terlentang. Serta merta gadis itu melentingkan badannya dengan bertumpu pada kedua telapak tangan dan kakinya hingga menyerupai busur dan menarik tubuhnya berdiri.

Dua ninja di belakangnya menyeruak ke arahnya.

Ester memekik dan merunduk menghindari kedua mata pedang itu. Lalu dengan kedua tangan terentang dan mengepal gadis itu menghantam bagian lutut keduanya.

BRAK!

Kedua ninja itu tersungkur.

Ester melompat ke belakang dan kembali memasang kuda-kuda, bersiap menyerang Ninja yang baru masuk, tapi di luar dugaannya, Ninja itu justru menyerang kedua Ninja yang menelungkup di lantai. Dia pasti Guardian, Ester menyadari. Tapi kemudian mulai kebingungan membedakan mana musuhnya mana Guardiannya ketika beberapa orang berseragam Ninja menyeruak masuk ke dalam kamarnya.

"Perhatikan kodenya!" Salah satu dari Ninja itu berteriak.

Ester memekik. Seorang Ninja tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya dan mengalungkan tangannya di leher Ester.

Seorang Ninja lain kemudian menerjang ke arah Ester dari arah depan mengarahkan mata pedangnya tepat ke lehernya.

Ester memejamkan matanya lekat-lekat dan seketika tangan itu melemas di bahunya.

"Lari!" Hardik Ninja di depannya.

Ester tersentak dan membuka matanya kemudian menoleh ke belakang lalu ke bawah. Ninja di belakangnya sudah teronggok di dekat kakinya. Ester melompat menjauhi tubuh itu dan berlari keluar diikuti Ninja tadi di belakangnya.

Dua Ninja lainnya menghadang mereka di depan koridor. Ester menarik tubuhnya ke belakang menjauh dari kedua Ninja itu. Ninja di belakangnya, mendorong bahunya ke samping.

BUGH!

Tubuh Ester ambruk membentur birai tangga.

Disusul jeritan melengking Ika Apriani.

Ester menghela napas lega mendengar gadis itu masih memberinya tanda-tanda kehidupan. Ester segera berdiri seraya meringis dan mengusap-ngusap bahunya. Di amatinya ketiga Ninja yang tengah bergumul di depan matanya.

Satu dari Ninja itu mengenakan masker hitam dengan cetakan barcode berwarna merah menyala di bagian pipinya. Dua di antaranya mengenakan masker hitam polos.

Itu dia bedanya, ia menyadari.

Senja Terakhir merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan selembar lipatan kertas lusuh yang telah dicurinya dari Monica Debora.

Keempat rekannya memeriksa kertas itu secara bergantian.

Agung Tirtayasa terpekur mengamati kertas itu dengan dahi berkerut-kerut. Kemudian beranjak dari bangkunya, "aku harus segera kembali ke asrama," katanya, dan terburu-buru meninggalkan tempat itu.

Keempat rekannya memperhatikannya tanpa mengatakan apa-apa.

Kilat berkeredap membelah kegelapan malam ketika Agung Tirtayasa keluar dari tempat pertemuan itu. Hujan deras bercampur badai sedang menantinya di pekarangan. Tapi hal itu tak mengurungkan tekadnya. Minority Center dalam bahaya, katanya dalam hati. Kemudian ia memacu sepeda motornya dalam kecepatan tinggi. Membelah rinai hujan dan menyeruak di antara pusaran badai.

Senja Terakhir membeku di atas sofa usang seraya menatap kosong ke dalam perapian.

Evan Jeremiah sedang sibuk memeriksa tumpukan file di atas meja kayu, tak jauh dari perapian. Sekilas ia melirik Ardian Kusuma yang mondar-mandir sepanjang malam di depan jendela dengan wajah berkerut-kerut.

Gilang Wibisana terlelap di lantai beralaskan selimut tebal di dekat sofa yang ditempati Senja.

Senja melirik jam dinding kuno yang bertengger di atas perapian.

Waktu sudah menunjukkan pukul 05:11 pagi. Dan mereka belum juga beranjak dari ruang rapat darurat, tempat di mana mereka biasa mengadakan pertemuan rahasia bersama Athena. Mereka menamai tempat itu: Ruang Komite.

Ruang Komite itu merupakan ruang bawah tanah sebuah toko buku tua yang dibangun di bagian luar sebelah timur gedung Minority Center. Tak banyak yang tahu tempat itu kecuali Paravisi. Akses untuk mencapai Ruang Komite tersembunyi di balik rak buku di belakang meja kasir.

Tunggu! Senja berkata dalam hati. Apa benar sudah sepagi itu? Diamatinya jam dinding di atas perapian itu dengan seksama. "Ard...?!" Ia memanggil rekannya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jam dinding itu.

Ardian Kusuma menoleh dan mengikuti arah pandangannya, kemudian melangkah mendekati Senja. Tatapannya juga terpaku pada jam dinding tua di atas perapian itu. Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. 01:30 dini hari.

Agung Tirtayasa tersentak ketika sudut matanya menangkap sosok perempuan tiba-tiba melompat dari trotoar dan menghadangnya dengan tangan terentang. Serta merta ia membanting sepeda motornya ke sisi jalan dan membiarkannya terjungkal dan berputar-putar sementara tubuhnya terpelanting ke arah yang berlawanan. Dengan marah ia melompat bangkit dan mengedar pandang mencari sosok perempuan itu. Tapi tak seorang pun berada di sana.

"Waktu selalu punya jawaban untuk setiap persoalan!" Senja beranjak dari sofa kemudian berjalan agak memutar melewati Gilang Wibisana yang terbaring di lantai.

Ardian Kusuma mengamati jam dinding itu sekali lagi. 05:11. Ia mengulang-ngulang angka itu dalam kepalanya. Kemudian menyimpulkan, "lantai lima ruang kesebelas!"

Senja serentak menoleh ke arah pria itu, "Personality Class!" Ia menimpali

Evan Jeremiah mengalihkan perhatiannya dari atas meja dan menatap kedua rekannya. Itu dia, katanya dalam hati.

"Orang yang kaucintai tidak pernah benar-benar pergi," kata Athena. "Ia akan tinggal tetap di sini..." Di sini, di Minority Center. Lalu Athena menunjuk ke arah jantungnya.

Personality Class merupakan jantung dari gedung Minority Talent.

Senja meraba-raba tepi perapian dan meneliti seluruh bagian di sekitarnya.

Tak lama Ardian Kusuma dan Evan Jeremiah sudah berhimpun di belakangnya.

Agung Tirtayasa terduduk lemas, bertekuk lutut di lantai marmer seraya menatap nanar pemandangan yang mengerikan di depan matanya. Ia baru saja tiba di depan gerbang ketika ia mendengar pekik jerit ketakutan dari asrama putri. Insiden di jalan tadi, membuatnya terpaksa menuntun sepeda motornya sampai ke asrama. Dan itu memakan waktu hampir satu jam. Ia meninggalkan sepeda motornya begitu saja di pekarangan dan menghambur ke dalam asrama. Puluhan tubuh tak bernyawa bergelimpangan dari lantai dasar hingga asrama di lantai 8. Beberapa gadis masih menjerit-jerit ketakutan menangisi anak lain yang dikenalnya sudah tak bernyawa.

Naomi, Ary Caroline dan Ika Apriani berkerumun saling berpelukan seraya menangis sesegukan.

Ester terpuruk lemas bersandar pada birai tangga.

Deasy berjalan mendekat dengan langkah gemetar.

Agung Tirtayasa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Kemudian menghela tubuhnya bangkit berdiri, menyongsong gadis itu dan merangkulnya. "I'm sorry," desisnya penuh rasa bersalah.

Beberapa Guardian mengangkut jenazah dan mengumpulkannya di ruang tengah. "Hubungi divisi pusat untuk mengamankan mayat-mayat ini!" Salah satu Guardian itu berkata pada Agung Tirtayasa.

Ester menelan ludah. Mendengar kata mayat jelas membuatnya membatin getir. Aku tak percaya tubuh-tubuh ini sudah jadi mayat!

Sekitar 15 anak laki-laki dan 30 anak perempuan juga sejumlah besar Guardian kehilangan nyawanya pagi itu.

Agung Tirtayasa merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan telepon genggamnya. "Kumpulkan Aset di ruang Personality Class!" Perintahnya pada Guardian itu.

"Bangunkan Keparat Cantik itu!" Evan Jeremiah menunjuk ke arah Gilang Wibisana dengan ekor matanya. Kemudian bergegas merapikan tumpukan file dan menjejalkan semuanya ke dalam laci. Setelah itu ia beranjak dari tempat duduknya, menyambar jaket kulitnya dan mengenakan masker.

Senja mengguncang bahu Gilang Wibisana, dan tak sampai tiga kali pria itu sudah terbangun. Pria itu lalu mendudukan tubuhnya seraya menguap, kemudian melirik arloji di tangannya. "Apa ini tidak terlalu pagi?" Ia bertanya seraya menguap lagi. Ardian Kusuma mengamatinya seraya tersenyum tipis. Gilang Wibisana mengerutkan dahinya ketika pria itu menyelipkan kunai pada sepatu larsnya. Kemudian beralih menatap Senja Terakhir yang tengah berkutat memasang sabuk LBE pada pinggangnya dan menyelipkan M-9 Bayonet.

"Apa Anda butuh waktu untuk berias?" Evan Jeremiah menggodanya.

Terpopuler

Comments

KhaLisa_BM

KhaLisa_BM

ceritanya bagus hanya saja tidak ada penanda atau semacamnya yg menjadi pemisah setiap pergantian latar,
misalnya Agung Tirtayasa yg ada di minority Center yg tau2nya cerita udh langsung berganti ke Evan dkk yg ada di ruang komite

2021-08-21

0

DanieL

DanieL

mulai seru nih

2020-10-01

0

Sty9

Sty9

ahahahaha...
mulai keren nih

2020-09-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!