NovelToon NovelToon

Serial ArtLand: MINORITY TALENT

Penyandang Cacat Karakter

Luciana baru saja keluar dari gang sempit, hendak menyeberang jalan raya yang membentang tepat di depan gang itu, ketika sebuah mobil mewah nyaris menabraknya. Luciana mengetatkan rahangnya, bersiap untuk memaki siapa pun saat itu yang sedang berada di belakang kemudi. Hari itu mood-nya betul-betul sedang buruk.

Tapi ketika Si Pengemudi mobil mewah itu memelankan mobilnya, menurunkan kaca dan berkata, "I'm sorry!"

Luciana mendadak kehilangan emosinya. Ia terbelalak menatap wajah Si Pengemudi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Bukan karena permohonan maafnya, tapi karena raut wajah di belakang kemudi itu berhasil mempesona dirinya.

Sepintas wajah pria itu mengingatkan dirinya pada seorang Aktor Asia yang pernah menjadi idolanya semasa sekolah. Hanya saja pria di dalam mobil mewah itu kelihatan lebih tua. Wajahnya lembut, namun tatapannya tajam. Hidung mancung, rambut sebahu, semua ciri itu merupakan kriteria pria idaman Luciana sampai sekarang. Sulit baginya untuk tidak bersikap manis saat menghadapi sosok pria seperti itu. Jadi ia hanya tersenyum menanggapi permohonan maafnya.

Tapi ketika pria itu membalas senyumnya seraya mengamati gitar di tangan Luciana, seketika senyum gadis itu pun menghilang.

Aku hanya penyanyi jalanan, katanya dalam hati. Tak ada pria kaya yang bersedia memasang senyum kecuali cuma kasihan. Dengan langkah lebar, gadis itu akhirnya menyeberang di belakang mobil mewah tadi dan melupakan semuanya.

Si Pengemudi mobil mewah itu tidak segera mempercepat laju mobilnya, ia mengamati Luciana ketika gadis itu sudah menyeberang dan berjalan memasuki pusat kuliner, tak jauh dari tempatnya. Ia tersenyum tipis dan memarkir mobilnya di sekitar tempat itu juga.

Luciana menghela napas berat kemudian menyampirkan strap gitar di bahunya, merogoh saku celananya, mengeluarkan pick, kemudian memasuki salah satu tenda pedagang makanan dan bercuap-cuap sejenak sebelum akhirnya mulai bernyanyi.

Belum selesai satu lagu, beberapa pengunjung di dalamnya sudah mengacung-acungkan tangan dengan uang receh di tangannya, mengisyaratkan supaya ia menghampiri mereka untuk menerima uang itu. Luciana mendekati meja mereka dengan sikap enggan. Sebetulnya ia lebih suka diberi kesempatan untuk menyanyikan beberapa lagu dan didengarkan sampai selesai sebelum mereka memberinya uang.

Kebiasaan rata-rata pengamen memang lebih suka menerima uang secepatnya supaya mereka juga bisa pergi secepatnya tanpa harus repot-repot menyelesaikan satu lagu. Apalagi sampai lebih dari satu lagu. Dengan begitu, mereka tidak perlu membuang waktu untuk uang yang tidak seberapa.

Berbeda dengan Luciana. Luciana lebih berharap didengar dan diperhatikan sebelum semua orang memutuskan berapa banyak uang yang pantas dikeluarkan untuk diberikan kepadanya sebagai apresiasi. Meskipun pada akhirnya jumlah uang yang diterimanya sama saja.

Sikap memberi uang sebelum ia selesai bernyanyi baginya terasa seperti cara halus untuk mengusirnya. Tak jarang ia merasa tersinggung menghadapi sikap semacam itu. Karena sikap semacam itu lebih umum ditujukan untuk pengemis atau pemalak. Tapi sebagai penyanyi jalanan, ia tidak bisa memaksa siapa pun untuk memahami bahwa penyanyi jalanan berbeda dengan pengemis atau pemalak. Suka, tidak suka, pandangan masyarakat terhadap penyanyi jalanan tidak ada bedanya dengan pengemis mau pun preman.

Akui saja, katanya pada diri sendiri. Mengamen memang tidak ada bedanya dengan mengemis.

Meski demikian, Luciana selalu berusaha untuk tetap melanjutkan lagunya sampai selesai, baik mereka menyukainya atau pun tidak. Dengan begitu, ia berharap lama kelamaan orang lain bisa mengerti bahwa ia tidak datang untuk sekedar mengemis. Tapi juga menjual suara.

Dengan wajah masam, Luciana akhirnya keluar dari tenda itu setelah ia menyelesaikan hanya satu lagu.

Memasuki tenda berikutnya, Luciana kemudian dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih buruk.

Terutama, pria tampan dalam mobil mewah yang nyaris menabraknya, salah satu sosok yang paling tidak ia harapkan menyaksikan dirinya dalam keadaan yang paling menyedihkan, sedang duduk menikmati makan malamnya di salah satu meja dalam tenda itu.

Luciana bisa merasakan wajahnya mulai terbakar ketika pria itu mengangkat wajahnya dan mendapati dirinya dalam keadaan yang paling menyedihkan. Luciana berusaha menguatkan hati untuk tidak mengurungkan niatnya kemudian kabur dari tempat itu. "Selamat malam, semuanya." Luciana memaksakan senyum. "Ijinkan saya menemani acara makan malamnya," ia melanjutkan tanpa berani menatap wajah pria di meja makan yang sedang memperhatikan dirinya seraya tersenyum tipis.

Belum selesai ia menyanyikan satu lagu, seorang wanita dari salah satu meja makan berteriak padanya, "maaf!".

Luciana merunduk ke arah wanita itu tanpa memotong lagu yang sedang ia nyanyikan.

Lalu pria di meja terdekat menyodorkan uang receh kepadanya. Sekali lagi Luciana hanya merunduk karena lagunya belum selesai. Pria itu meletakkan uang itu di meja dan mengetuk-ngetuk meja itu mengisyaratkan bahwa Luciana boleh mengambilnya sendiri nanti. Luciana kembali merunduk.

Wanita tadi kembali berteriak, " maaf!"

Luciana agak tersedak mendengar wanita itu berteriak lebih keras. Tapi lagunya masih belum selesai. Dalam hati ia menyesal, sudah memilih lagu "Leaving On A Jet Plane".

Memasuki song terakhir, wanita itu sekali lagi berteriak. Kali ini dengan nada yang menghardik, "saya bilang maaf!"

Semua mata dalam tenda itu sontak menatapnya kemudian menatap Luciana secara bergantian.

Luciana mulai kehilangan konsentrasinya, tapi tetap berusaha menyelesaikan lagunya seraya menutup mata. Ia betul-betul merasa kehilangan muka diperlakukan seperti itu di depan seseorang yang ia harapkan tidak melihat dirinya tengah mengemis. Dan sekarang ia juga harus melihat dirinya tengah dilecehkan.

Sikap wanita ini betul-betul telah menyinggung harga dirinya. Selesai dengan lagunya, Luciana berjalan mendekati meja wanita itu. Rasa dipermalukan itu seketika meruntuhkan seluruh perasaan malu itu sendiri. Dengan tidak tahu malu, Luciana tersenyum sinis ke arah wanita itu, "saya juga minta maaf, Ma'am. Saya tadi lagi tanggung. Lagunya memang lumayan panjang. Saya menyanyi lama-lama bukan sedang mengemis-ngemis uang receh Anda. Tapi karena lagunya memang belum habis. Saya menyanyi memang untuk mencari uang. Dan itu artinya, menyanyi adalah pekerjaan saya. Jadi tugas saya adalah menyanyi." Luciana berhenti bicara beberapa saat, sebelum akhirnya melanjutkan, "tolong hormati profesi saya. Anda bukan satu-satunya pengunjung di sini. Kenapa cuma Anda yang tidak mau memberi saya kesempatan?" Luciana mengamati wanita itu dengan tatapan menuntut.

Semua mata dalam tenda itu terpaku ke arah meja wanita itu tanpa berkedip. Wajah wanita itu memerah. Ia menatap suaminya meminta pembelaan. Tapi suaminya bahkan tak berani menatap wajah Luciana.

Luciana mengedar pandang ke seluruh pengunjung dalam tenda. Kecuali pria tampan yang sejak awal sudah membuatnya gugup. "Saya mohon maaf," katanya pada semua orang. "Saya tadinya berniat untuk menghibur Anda semua, tapi berhubung di sini ada yang merasa terganggu, saya bernyanyi sampai di sini saja. Mohon maaf apabila kehadiran saya juga mengganggu Anda semua."

Pria tampan yang paling dihindari mata Luciana itu mengamati Luciana dengan kagum. Ia menautkan kedua tangannya, tepat di depan wajahnya, menutupi senyumnya yang merekah bangga.

Luciana menyampirkan strap gitarnya, kemudian berbalik dari meja wanita itu dan berpamitan. "Sorry," katanya kepada pemilik tenda seraya menepuk bahunya.

Si Pemilik tenda hanya tersenyum maklum, seraya mengacungkan jempolnya.

"Miss..." Tiba-tiba seorang gadis dari salah satu meja pengunjung berlari ke arah Luciana. Kemudian menjejalkan sejumlah uang ke dalam tangan Luciana.

Luciana memandangi wajah gadis itu, "I'm sorry, Dear, saya tidak bisa menerimanya." Tolak Luciana halus.

"Suaranya bagus," gadis itu bersikeras menolak uangnya dikembalikan. "Boleh saya minta nomor teleponnya?" Sepertinya kali ini gadis itu sengaja mengatakannya setengah berteriak.

Sikap gadis itu sontak membuat wanita tadi bangkit dari tempat duduknya, kemudian keluar dari tenda itu. Dengan gugup suaminya membayar semua tagihan di meja dan terburu-buru menyusul istrinya.

Luciana tertegun sesaat, ia mengedar pandang kemudian kembali menatap wajah gadis itu dengan sikap ragu.

"Saya punya coffee shop kecil-kecilan tak jauh dari tempat ini," ungkap gadis itu masih setengah berteriak, "kalau Anda tertarik untuk bergabung, saya ingin menawarkan kerjasama," gadis itu tampak berpikir keras, berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan maksudnya. Diliriknya wanita tadi sebelum akhirnya wanita dan suaminya itu menjauh dari tenda.

Luciana tersenyum, "baiklah," katanya. Kemudian ia menyebutkan nomor telepon selulernya, sementara gadis itu mencatatnya pada telepon selulernya. "Saya Luciana, by the way" ia menambahkan, kemudian mengulurkan tangan pada gadis itu.

"Saya Ester," balas gadis itu, menyambut hangat tangan Luciana.

"Ok, Ester. Terimakasih tawaran kerjasamanya." Luciana melambaikan tangannya sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan tenda itu.

"Terimakasih untuk nyanyian merdunya!" Ester berteriak riang ke arah Luciana.

Satu jam kemudian, Luciana mendengar telepon selulernya berdering. Itu mungkin Ester, ia menyimpulkan. Saat itu ia tengah menyeberang tepat di depan gang sempit, tempat di mana ia hampir saja tertabrak mobil mewah beberapa jam yang lalu. Untuk mencegah terulangnya insiden itu, Luciana akhirnya mengabaikan panggilan itu sampai ia benar-benar menepi.

Sesampainya di mulut gang, Luciana mengeluarkan telepon seluler dari tas pinggangnya kemudian memeriksanya. Panggilan telah berakhir. Tapi jelas panggilan itu berasal dari nomor baru. Kemudian Luciana menyimpan kontak itu atas nama Ester tanpa ragu. Sebelum kontak itu berhasil disimpan, panggilan masuk dari nomor yang sama mendominasi layar ponselnya.

"Hallo," sapa suara di seberang telepon.

Luciana tertegun. Bukan Ester, katanya dalam hati. "Ini siapa?"

Orang di line telepon tidak menjawab.

"Hallo," desak Luciana.

Hening!

Tak lama kemudian Luciana mendengar suara klakson mobil di belakangnya.

Luciana memutar tubuhnya dan tercengang. Telepon selulernya masih menempel pada telinganya ketika ia mendapati sosok di dalam mobil mewah itu juga tengah menempelkan telepon seluler di telinganya.

"Hallo," sapa pria di belakang kemudi seraya tersenyum tipis.

Suaranya sampai ke telinga Luciana melalui speaker pada telepon selulernya. Luciana makin terperangah tak percaya.

Pembohong Yang Payah

Sudah lebih dari satu jam perempuan itu duduk di sudut ruangan tanpa beranjak sedikitpun. Secangkir kopi yang dipesannya sejak ia tiba juga masih belum disentuhnya. Yang ia lakukan selama satu jam itu hanya diam bertopang dagu, mengamati setiap aktifitas di dalam Coffee Shop itu tanpa melakukan hal yang lain. Sorot matanya terlihat begitu cermat, seolah tak pernah lelah maupun bosan.

Sudah lebih dari sepuluh kali Ester melirik ke arah perempuan itu dalam setengah jam terakhir, tapi posisinya masih belum berubah. Membuatnya melengak. Perempuan itu seperti tak pernah bergerak. Tapi bukan itu yang paling mengganggunya. Sorot mata perempuan itu mengingatkannya pada seseorang. Tapi ia tak ingat siapa.

"Ester?!" Seorang gadis memasuki Coffee Shop itu dan menatapnya.

Tak lama kemudian seorang pria tinggi berambut sebahu menyusul di belakangnya.

Ester tergagap setelah menyadari siapa yang datang. Luciana, pekiknya dalam hati. Ia ingat beberapa malam yang lalu ia pernah bercerita bahwa ia memiliki sebuah Coffee Shop kepada perempuan itu. Ia juga ingat pada malam itu ia meminta nomor telepon Luciana dan mengatakan padanya bahwa ia akan menghubunginya. Tapi malam itu Ester tidak benar-benar menyimpan kontaknya. Apa yang ia lakukan pada malam itu sebetulnya hanya upaya untuk menyelamatkan Luciana dari perlakuan tidak menyenangkan yang tengah dihadapinya. Ia tidak mengira perempuan itu akan berkunjung ke tempat ini dan memergokinya sedang bekerja sebagai pelayan.

Luciana mengamati Ester dari atas hingga ke bawah.

Pria di sampingnya juga mengamati Ester dengan cara yang sama.

Seketika Ester menyadari sorot mata perempuan di sudut ruangan itu mengingatkannya pada pria ini pada malam ia bertemu Luciana. Ester memandangi kedua wajah di depannya secara bergantian. Ia tak mengira keduanya saling mengenal satu sama lain. Bibirnya bergerak membuka dan menutup berusaha mengatakan sesuatu tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

"Apa kau mengingatku?" Luciana bertanya.

"Well, yeah..." Ester menjawab terbata-bata.

Pertanyaan berikutnya membuat Ester menelan ludah. "Apa kau juga ingat apa yang kaukatakan padaku saat kita berkenalan?"

Ester mengangguk dan menelan ludah dengan susah payah, kemudian menawarkan tempat duduk dan mempersilahkan keduanya dengan sikap gusar. "Kita akan membicarakannya nanti setelah aku selesai bekerja," katanya setengah berbisik. Ia mengedar pandang ke seluruh ruangan, khawatir atasannya memergokinya sedang mengobrol. "Setengah jam lagi, aku sudah selesai." Ia menambahkan. "Aku janji!"

Perempuan di sudut ruangan itu tersenyum tipis mengamati Ester.

Apa dia sedang menguping, Ester menyadari, membuatnya merasa risih. Tapi jarak antara meja Luciana dengan meja perempuan itu terpaut sepuluh meter. Seketika bulu kuduknya meremang. Ia ingat pada malam ia bertemu Luciana, pria berambut sebahu itu juga mengamati Luciana dengan cara yang sama. Kenapa perempuan itu melakukannya padaku, ia bertanya-tanya dalam hati. Apa hanya perasaanku saja?

Selepas jam kerja, Ester memesan secangkir kopi untuk dirinya, kemudian menemui Luciana.

"Kopi ini gratis," kata seorang pelayan pria yang menggantikan Ester.

Ester mengangkat wajahnya menatap pria itu dengan dahi berkerut-kerut.

Seolah bisa membaca kebingungan Ester, pria itu merunduk mendekatkan wajahnya ke arah Ester, kemudian berbisik agak keras. "Hadiah dari Boss untuk kejujuranmu!"

Luciana mendengus dan membeliak mendengar penjelasan pelayan itu, "oh, yang benar saja," katanya.

Pria di sampingnya tersenyum lebar menanggapinya.

Seketika wajah Ester bersemu merah. Aku pembohong yang payah, katanya dalam hati. Ia memaksakan senyum seraya mengalihkan perhatiannya dari Luciana. Setelah pelayan itu meninggalkan mejanya, Ester mengalihkan perhatiannya ke sudut ruangan.

Untuk pertama kalinya, ia akhirnya melihat perempuan di sudut ruangan itu beranjak dari tempat duduknya. Mengangkat cangkir kopinya, kemudian berjalan mendekati meja Ester.

Ester menahan napas.

Kopi di tangannya belum disentuhnya samasekali sejak ia memesannya.

Sekarang dia sedang menuju ke sini, batin Ester khawatir. Apakah ia bermaksud mengajukan komplain atas kopi yang dibuatnya?

Tapi perempuan itu tersenyum tipis kearah Ester lalu melirik penuh arti ke arah pria di sisi Luciana. "Boleh bergabung?" Ia bertanya. "Ardian Kusuma?" Ia menambahkan.

Pria di samping Luciana mengangkat wajah kemudian membalas senyum perempuan itu.

Ekspresi keduanya terlihat tidak ada bedanya. Membuat Ester dan Luciana mengamati keduanya secara bergantian dengan alis bertautan.

"Maafkan saya," kata pria itu. "Saya tidak tahu Anda sedang berada di sini!" Pria itu mempersilahkan perempuan itu duduk di samping Ester.

Ester tersenyum kikuk ketika perempuan itu menarik kursi di sampingnya dan tersenyum ke arah Ester.

"Jadi..." Perempuan itu meletakkan cangkir kopinya di meja. "Bagaimana kabarmu?" Ia bertanya setelah ia duduk di kursinya. Ia mengalihkan perhatiannya ke arah pria itu dan mengulurkan tangan.

Pria di depannya memandangi tangan perempuan itu agak lama sebelum akhirnya menyalaminya.

Ester dan Luciana bertukar pandang.

Perempuan itu menggenggam tangan pria itu agak lama, kemudian menatap Luciana. Lalu kembali menatap pria itu seraya tersenyum tipis sebelum akhirnya melepaskan tangannya.

Sikap perempuan itu otomatis membuat wajah Luciana merona. Lalu memucat ketika perempuan itu juga mengulurkan tangan ke arahnya. Luciana tertegun sesaat memandangi tangan itu dengan wajah cemas.

"Namaku Athena," katanya pada Luciana.

Luciana berdeham, "oh, hi... Aku Luciana," balas Luciana gugup dan terpaksa menyalami perempuan itu. Jantungnya berdegup kencang ketika perempuan itu memegang tangannya cukup lama. Ia menelan ludah, kemudian menatap perempuan itu dengan kelopak mata bergetar.

Perempuan bernama Athena itu tersenyum tipis ke arah pria di seberang meja, yang kemudian dibalas dengan senyum yang sama. Senyum khas penuh arti yang sulit diterjemahkan.

Lalu sekarang giliran Ester. Perempuan itu mengulurkan tangannya ke arah Ester disertai sorot mata yang cukup menusuk. Ester merasa tatapan itu seperti sedang meneliti ke dalam jiwanya dan mendapati jiwanya tengah tercela.

Perempuan itu juga menyalaminya cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan melepaskannya. Ekspresi wajahnya tetap datar. Tapi sorot matanya seolah meredup. Menyiratkan kekecewaan yang terselubung.

Ester merasa tenggorokannya tercekik menyaksikan ekspresi itu. Ia berusaha menebak-nebak, apakah itu hal yang buruk?

Tiba-tiba Athena menoleh ke arah Ester dan berkata, "ya!"

Ester memekik tertahan mendengarnya.

Luciana melengak di depannya.

Sementara pria yang disebut Ardian Kusuma itu kembali tersenyum tipis.

Membuat Ester semakin salah tingkah. Siapa sebenarnya perempuan ini? ia bertanya dalam hati. Dan sekali lagi, perempuan di sampingnya itu menunjukkan reaksi bahwa ia mengetahui isi hatinya. Aku tak bisa menyembunyikan diri dari perempuan ini, batinnya getir.

Athena tersenyum tipis sekali lagi. Kemudian berkata, "dasar pembohong yang payah!" Lalu mendelik ke arah Ester.

Luciana tersedak mendengarnya. Saat itu ia sedang berusaha menyeruput kopinya. Ia membekap mulutnya dengan telapak tangannya, menahan tawa.

Sementara Ester memelototinya dari seberang meja.

Perusuh Jalanan

Terik matahari siang itu terasa seribu kali lebih panas di kepala Elijah, terutama ketika lampu merah di sudut perempatan jalan itu menyala sedetik sebelum sepeda motor yang ditumpanginya melewati perempatan. Ia menggerutu kecewa ketika Keith menghentikan sepeda motornya dan menunggu sampai lampu menyala hijau. Bagi Elijah, satu detik saja bisa dipakai untuk meloloskan diri dari lampu merah.

Tapi hari itu, Keith, kakaknya yang mengendarai sepeda motor dan ia hanya dibonceng di belakangnya sebagai penumpang. Elijah paling benci dibonceng, apa lagi menumpang. Tapi hari itu sepeda motornya masuk bengkel dan ia terpaksa harus meminjam sepeda motor pada kakaknya untuk berangkat ke sekolah. Tapi kakaknya keberatan dan menawarkan diri untuk mengantarkannya saja ke sekolah.

Isi kepalanya sudah mendidih sejak awal berangkat.

Kemudian nyaris meledak ketika seorang pengendara sepeda motor modifikasi muncul dari belakang dan berhasil menyelinap di sisi sepeda motor yang ditumpanginya. Seorang pria kurus berambut acak-acakan, mengenakan celana jeans belel robek-robek, duduk di atasnya memainkan pedal gas, memamerkan bunyi meraung dari knalpot-raching-nya. Ciri khas pembalap liar, sama seperti Elijah. Hatinya merasa ditantang dengan cara keji. Dia pasti gak tahu siapa gue, batinnya geram. Dan ia mulai gelap mata.

Elijah mendelik kesal ke arah Si Pengendara. Refleks, kakinya melayang mengikuti naluri liarnya, kemudian mendarat di bahu Si Pengendara sepeda motor di sampingnya. "Berisik, Anjing!"

Keith tersentak. "Lea!" Ia tergagap berusaha mencegah Elijah setengah menghardik.

Secara naluriah pula Si Pengendara sepeda motor modifikasi itu membanting motornya ke sisi jalan lalu melangkah mendekati Elijah kemudian mencengkeram sweater Elijah.

Dengan gaya menyebalkan, Elijah turun dari sepeda motor Keith, dan membuka helm.

Si Pengendara motor terbelalak menatap wajah Elijah, serentak ia melepaskan cengkeramannya kemudian melangkah mundur menjauhi Elijah.

Elijah adalah seorang perempuan. Nama aslinya adalah Eleazah Van Allent. Tapi ia benci nama aslinya. Ia lebih suka memperkenalkan dirinya sebagai Elijah dan ia lebih suka dipanggil El. Ia tidak suka dirinya dipandang sebagai perempuan. Itu sebabnya ia memilih sekolah STM, karena alasan seragam sekolah yang tidak mewajibkan siswi mengenakan rok.

Sikap Si Pengendara motor yang menarik diri setelah mengetahui dirinya perempuan, jelas menyinggung perasaannya yang sedang mencari perkara. Elijah merenggut kerah kemeja planel Si Pengendara sepeda motor itu dan menariknya mendekat.

Si Pengendara sepeda motor itu menelan ludah. "Gue gak sudi berantem sama perempuan," ungkapnya.

Elijah menggeram. "Memangnya kenapa kalo gue perempuan?"

Si Pengendara sepeda motor bersikeras untuk menghindar.

Tapi Elijah bersikeras untuk berkelahi.

Keith menepikan sepeda motornya dan berusaha menarik Elijah. Tapi dalam keadaan seperti itu tenaga Elijah mendadak naik seribu kali lipat. Membuat Keith betul-betul shock.

Perkelahian tak seimbang pun terjadi. Si Pengendara sepeda motor tetap tak mau melawan meski Elijah menerjang dirinya bertubi-tubi. "Menganggap remeh perempuan? Hah?!"

Keith mulai kewalahan menghadapi adik perempuannya. Ini pertama kalinya Keith menyaksikan sendiri kerusuhan yang dibuat Elijah setelah sekian lama hanya mendengar ceritanya dari orang lain. Dan selama itu pula ia tidak bisa percaya adik perempuannya seburuk cerita orang. Sekarang ia melihat sendiri kenyataannya jauh lebih buruk dari sekedar cerita. "Aku betul-betul kecewa padamu, Lea!" Keith menggerutu tak sabar.

Sementara itu, orang banyak mulai berkerumun menyaksikan kejadian itu dengan tatapan risih.

Ini juga pertama kalinya Keith merasa dipermalukan seumur hidupnya. Dengan perasaan terpukul, Keith memilih pergi secepatnya dari tempat itu, meninggalkan adik perempuannya dan membiarkannya dalam kerumunan sebagai tontonan. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah dan mengadukan perkara ini pada orangtuanya.

Elijah tampak tak peduli. Ia masih berkutat di atas tubuh pengendara sepeda motor yang sudah ambruk dan babak belur namun tetap tak mau melawan. Ia menjejakkan kakinya di dada pria itu dengan tampang memuakkan. "Gue perempuan aja lo udah babak belur, gimana kalo gue laki?!" Cemoohnya dengan pongah.

Tanpa ia sadari semua mata yang berkerumun itu memandang dirinya dengan tatapan permusuhan. "Perempuan kok begitu amat?" Seseorang dalam kerumunan mulai mengoceh.

Elijah berbalik ke arah sumber suara. Begitu mengetahui siapa yang berbicara, ia menerjang ke arah orang itu seraya berteriak, "kenapa lo? Hah? Gak seneng lo?" Ia menantang. Membuat semua orang dalam kerumunan menyisih.

"Kalo dia mau ngelawan, dari tadi juga udah abis lu sama dia," balas pria setengah tua di depannya seraya menunjuk pria yang terkapar di punggung aspal.

Beberapa orang terlihat sedang menarik berdiri pria yang terkapar itu kemudian memapahnya ke tepi jalan.

Elijah menelan ludah membalas tatapan sinis orang-orang yang memapah pria itu.

"Punya cadangan nyawa berapa lo sampe berani nantangin ribut semua orang?!" Teriak pria di depan Elijah melanjutkan.

Elijah mengalihkan pandangannya kembali ke arah pria itu. "Kenapa gak dicoba aja?!" Elijah mengepalkan kedua tangannya dan mendekat.

Pria setengah baya itu memutar bola matanya dan menghela napas dengan sikap enggan.

Seseorang meremas bahu Elijah dari belakang. Elijah berbalik dan spontan memasang kuda-kuda.

Wajah di depannya tersenyum lebar seraya mengangkat kedua tangan di sisi kepalanya.

Membuat Elijah tergagap.

Seorang pria tinggi berbahu lebar, menatapnya dengan mata berkilat-kilat. Pria itu kemudian menurunkan tangannya dan melangkah semakin dekat ke arah Elijah. Tidak ada kata-kata hujatan keluar dari mulutnya yang kemerah-merahan. Tidak ada ekspresi menantang dari wajahnya yang seputih salju. Tidak ada sedikitpun dari sikapnya yang dapat memancing emosi Elijah.

Membuat Elijah kebingungan menghadapinya. Diamatinya pria itu dari atas sampai ke bawah. Lalu kembali ke atas.

Pria itu mengenakan pakaian serba hitam mengkilat yang membungkus ketat tubuh rampingnya. Sejumput rambut ikal ombak berwarna cokelat terlepas dari ikatan rambutnya yang disanggul asal-asalan kemudian melecut menutupi pipinya yang bercambang halus. Menjadikan pria itu tampak berantakan sekaligus menakjubkan pada waktu bersamaan.

Itu adalah pertama kalinya Elijah memandang paras tampan seorang pria seumur hidupnya. Ketampanan pria itu membuatnya gugup. Seolah hanya dengan menatapnya saja ia sudah kalah telak tanpa harus berkelahi. Siapa dia? Elijah bertanya-tanya dalam hati.

"Masih mau berkelahi?" Pria itu bertanya.

Membuat Elijah menelan ludah.

"Saya menawarkan 5000 dolar untuk tenaga ahli berkelahi," katanya tanpa basa-basi. Membuat semua orang dalam kerumunan memekik tertahan.

Elijah mengedar pandang kemudian kembali menatap pria itu tak mengerti.

Pria itu kembali tersenyum lebar. Menjadikan parasnya terlihat semakin memukau. "Saya punya beberapa musuh di luar sana," ia menjelaskan. "Saya butuh partner untuk membuat sedikit kerusuhan." Ia menambahkan seraya menggerakkan dua jari tengah dan telunjuknya membentuk tanda kutip.

"Bagus!" Seseorang menanggapinya. "Pekerjaan itu memang cocok untuk perempuan keparat seperti dia," celotehnya seraya mendelik sinis ke arah Elijah.

Wajah Elijah serasa terbakar mendengarnya. Meski demikian anehnya ia mendadak kehilangan semangatnya untuk berkelahi.

"Betul-betul memalukan!" Tiba-tiba suara ribut itu datang dari luar kerumunan.

Elijah seketika membeku begitu menyadari siapa yang datang.

Alanson Van Allent, ayah Elijah, menyeruak ke dalam kerumunan diikuti Keith di belakangnya. Orangtua itu memelototinya dengan tatapan kecewa. Elijah belum pernah melihat ayahnya menunjukkan sikap yang begitu kecewa seperti hari ini. Orangtua itu mendekat ke arah Elijah dan menjejalkan sebuah ransel kedalam dekapan Elijah kemudian berlalu dari tempat itu tanpa mengatakan apa pun.

Aku baru saja diusir dari rumah. Elijah menyadari. Seketika ia tertunduk, tak berani menghentikan ayahnya.

Keith melirik Elijah sekilas. Percikan rasa tak tega terbersit dari dalam dirinya melalui tatapannya.

Elijah membalas tatapan itu dengan isyarat, "ikuti saja!"

Pria tampan di depan Elijah bersedekap menyimak drama itu beberapa saat sebelum akhirnya mengamati wajah Elijah, mengisyaratkan pesan undangan yang pada akhirnya membuat Elijah mengikutinya. Diikuti pandangan semua orang yang mencemooh dirinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!