Pendekar Topeng Seribu
Lima orang prajurit Mataram dengan tombak panjang di tangan kanan mereka, tameng kecil yang terbuat dari anyaman rotan yang dilapisi kulit kerbau yang kuat namun ringan di tangan kiri serta pedang dan keris yang mencuat di pinggang kiri dan kanan mereka, sekarang dalam keadaan siap untuk menyerang. Pakaian kebesaran yang mereka kenakan menunjukkan bahwa mereka adalah prajurit khusus dari tingkatan yang tinggi.
Mereka mengenakan celana panjang sampai semata kaki yang memiliki kancing, dimana di bagian luarnya masih ditutupi dengan kathok, yaitu celana yang lebih pendek. Kedua jenis celana ini terbuat dari kain yang halus yaitu sutra. Bagian perut dan dada para prajurit itu juga dililitkan amben, kain sutra yang mengelilingi tubuh sampai delapan kali. Gunanya sebagai semacam pertahanan yag melindungi tubuh dari tusukan senjata musuh.
Dua orang diantaranya menambahkan rompi dari rantai besi sedangkan sisanya mengenakan sangsang atau rompi ketat tanpa kancing. Di luar rompi tersebut, semua prajurit mengenakan rompi lagi yang berkancing dari leher sampai perut dan kemudian ditutup dengan sikepan, baju lengan panjang yang menutupi seluruh tubuh bagian atas.
Berbeda dengan pasukan Tartar dari Cina pada masa serangan ke kerajaan Singasari ratusan tahun yang lalu, atau para pasukan kompeni Walanda yang mengenakan pakaian pelindung dari besi, pasukan kerajaan-kerajaan di Jawa akan merasa lebih bergerak bebas tanpa pakaian besi yang berat dan panas tersebut. Bahkan kebanyakan dari mereka memilih untuk bertelanjang dada.
Busana keprajuritan yang terbuat dari bahan sutra yang lembut membuat gerakan silat para prajurit Jawa menjadi lebih cepat dan sigap. Tanah Jawa yang berbukit-bukit dan bergunung, membuat peperangan kerap menjadi ajang adu ketangkasan dan kecerdikan para ponggawa tempur kerajaan. Belum lagi konon peperangan di Sukadana terjadi di tanah berumput datar yang becek dan berair atau di tengah hutan dengan pepohonan rapat, sulur-sulur serta akar-akar tanaman yang dapat menyusahkan langkah kaki para prajurit.
Dalam peperangan, beragam senjata memang digunakan untuk menghabisi musuh. Senjata utama seperti tombak digunakan untuk serangan awal, namun bila keadaan tidak memungkinkan dan mendesak, para prajurit harus mampu menggapai beragam senjata lain yang mereka persiapkan seperti pedang atau keris.
Seorang prajurit Mataram biasanya memiliki tiga buah keris yang diselipkan di kanan kiri dan bagian belakang pinggang para prajurit. Ketiga bilah keris tersebut terdiri atas satu keris pribadi, satu keris leluhur, dan satu keris yang diberikan oleh ayah mertua ketika sang prajurit menikah. Menjadi seorang prajurit Mataram adalah salah satu kebanggaan dari orang-orang Jawa Mataram.
Walau nyawa menjadi taruhannya, berbakti kepada negara dan raja sebagai panatagama adalah sebuah kebanggaan yang tidak bisa ditakar. Belum lagi hasil yang diperoleh, seperti pembayaran untuk sang prajurit dan keluarganya, atau jabatan di kerajaan bila sang prajurit memiliki pencapaian derajat keprajuritan yang luar biasa.
Oleh sebab itu pula, tidak sedikit dari para prajurit khusus mengenakan perhiasan berupa cincin atau kalung emas yang membuat sang prajurit menjadi bangga dan percaya diri dalam peperangan serta menunjukkan kewibawaan pada orang-orang biasa atau musuh-musuh mereka yang bisa saja keder melihat kemegahan para prajurit tersebut.
Tak lama pekikan keras memecah angkasa ketika kelima ponggawa menyerbu ke arah tiga orang prajurit lain, yang walau jelas merupakan lawan yang juga siap bertarung, ternyata telah terlihat terluka parah. Ketiga orang prajurit lawan mereka ini mengenakan pakaian koko putih berkancing tanpa kerah yang berlumuran darah, pedang panjang mereka yang disebut dao terhunus.
Salah seorang diantaranya menggenggam sebuah jian, sebuah pedang Cina, di tangan kanannya dan sebuah keris panjang di tangan kirinya. Kulit mereka yang pada dasarnya putih bersih kini pun telah lusuh selusuh baju yang mereka kenakan oleh percikan darah, keringat, dan debu. Serangan kelima pasukan Mataram itu memaksa ketiga pria terluka itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi lagi, menguatkan kuda-kuda mereka dan menangkis setiap tusukan tombak yang mengarah ke tubuh mereka.
Pasukan pembela Sunan Giri Prapen telah tercerai berai oleh serangan pasukan Surabaya yang didampingi pasukan Mataram atas perintah raja Mataram yang berkuasa saat itu, Prabu Pandhita Hanyakrakusuma. Bahkan ketiga orang ini tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan rekan-rekan mereka yaitu dua ratus prajurit Cina muslim pimpinan Endrasena alias Ki Cina yang tadi bertarung dengan hebatnya bersama ratusan pasukan prajurit santri Giri.
Dalam sejarah yang tercatat memang ada hubungan yang sangat erat antara keraton Giri yang terletak di sebuah bukit di Gresik tersebut dan negeri Cina. Dari dahulu kala, Gresik adalah sebuah kota pelabuhan yang terkenal karena letaknya yang terlindungi selat Madura dan membelakangi tanah yang sangat subur di bagian sungai Bengawan Solo.
Kota ini didirikan sebagai kota pelabuhan pada pertengahan abad ke-14. Penduduk awal bahkan sebenarnya adalah para pelaut dan pedagang dari Cina yang kemudian tinggal selama kurang lebih seratus tahun, menciptakan sebuah daerah baru yang kemudian menjadi perkampungan itu menjadi maju dan makmur.
Salah satu penguasa di daerah Gresik awal pada tahun 1411 Masehi yang merupakan orang Cina bahkan mengirimkan utusan untuk menyampaikan surat dan upeti ke kerajaan di Cina untuk menunjukkan bahwa ada banyak orang Cina yang tinggal di Gresik dan diharapkan untuk patut diperhatikan oleh sang maharaja. Pelayaran dan hubungan perdagangan dengan mancanegara memang sangat ramai. Selain Cina, Gresik juga dilabuhi kapal-kapal dari Gujarat, Kalikut, Bengalen, Siam dan Liu Kiu.
Kelompok Cina yang sudah sedari lama tinggal di Gresik inipun ternyata adalah kelompok Cina yang beragama Islam. Selain itu dalam banyak catatan banyak dari mereka memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni dan memiliki budaya kependekaran.
Pada tahun 1535 Masehi, ketika Gresik diserang oleh penguasa dari Sengguruh yang belum memeluk Islam, sekelompok pasukan Cina Islam di bawah pimpinan Panji Laras dan Panji Liris melawan para penyerang ini walaupun mereka dikalahkan di daerah dekat Lamongan.
Dalam kejadian seratus tahun kemudian ini pula, awalnya mereka, prajurit Cina muslim dengan kekuatan yang luar biasa, meliuk-liukkan pedang panjang dan jian mereka membabat habis pasukan Surabaya. Endrasena sang pemimpin berputar-putar dengan gesit membabat pasukan lawan bagai angin lesus. Tameng pasukan lawan tak dapat menahan liukan jian Endrasena yang lentur namun kokoh dan tajam itu.
Kebanyakan orang salah paham dengan mengatakan bahwa senjata adalah perpanjangan dari tangan dan kaki dalam sebuah tatanan ilmu silat. Banyak yang berpikiran bahwa yang paling penting sebenarnya adalah kelihaian tangan kosong dan tingkat keunggulan ilmu kanuragan seorang pendekar. Pada kenyataannya, senjata adalah syarat mutlak sebuah pertarungan silat. Seorang petarung dalam sebuah perkelahian harus segera dapat menyelesaikannya karena ini menyangkut hidup dan mati.
Dalam beragam gaya silat dan jurus-jurusnya, hampir selalu menyertai ilmu penggunaan senjata. Tangan kosong hanya digunakan bila terpaksa, misalnya senjata direbut musuh atau terlepas dari tangan. Sedangkan ilmu tenaga dalam cenderung dimiliki segelintir pendekar yang memang sudah kawakan dan benar-benar sakti mandraguna.
Dalam sebuah adu tanding, terutama dalam perang besar semacam ini dimana nyawa benar-benar merupakan taruhannya, senjata menjadi alat yang niscaya. Para prajurit akan menyerang dengan tawur, bukannya pertarungan satu lawan satu. Serangan mereka pun dengan amuk. Membabatkan senjata mereka untuk benar-benar membunuh.
Binatang memiliki senjata secara alami di tubuh mereka untuk berburu atau bertahan hidup. Macan dengan kuku dan taringnya, elang dengan paruh dan cakarnya, bahkan landak pun memiliki bulu-bulu durinya. Sedangkan manusia tidak memiliki senjata-senjata alami tersebut.
Oleh sebab itu, manusia menggunakan beragam senjata untuk melukai dan membunuh musuh-musuhnya. Bahkan silat tangan kosong juga meniru penggunaan senjata ini. Tepi telapak tangan dilatih sedemikian rupa agar menjadi setajam pedang, membelah balok-balok kayu dengan satu gebrakan.
Kepalan tinju dilatih agar sekuat gada membobol dinding batu. Atau tungkai kaki yang dilatih secepat dan sekuat toya. Tidak hanya itu, jurus-jurus silat juga meniru senjata-senjata alami milik hewan. Jari-jari yang membentuk cakar elang dan macan, ujung jari yang meniru patukan ular dan sikut yang meniru kekuatan cula badak.
Seorang prajurit Surabaya menyerang langsung ke arah Endrasena dengan menusukkan tombaknya ke arah perut. Endrasena berkelit sembari menusukkan keris di tangan kirinya yang membentur tameng rotan sang prajurit, namun jian di tangan kanannya menembus leher sang prajurit malang tersebut. Belum sempat ia sadar dengan apa yang terjadi satu sayatan lebar menyilang merobek punggungnya dari sebuah dao atau golok besar salah satu pasukan Cina Endrasena. Ia tersungkur ke tanah, mati.
Dua prajurit lain yang terdiri dari pasukan Mataram dan Surabaya mencoba peruntungan mereka dengan kembali menyerang sang pendekar. Keduanya sama-sama mengarahkan tusukan mereka ke arah dada Endrasena. Endrasena mundur menjauh dari serangan tersebut, namun kedua prajurit masih terus menyerang dengan memburu maju.
Beberapa tusukan lagi mematuk bagai ular menyerang mangsanya. Endrasena kemudian bergeser sedikit membuat satu serangan tombak lolos kemudian maju dengan sangat cepat menyepak kaki penyerangnya, membuat sang penyerang oleng dan berakhir dengan keris yang menancap dalam di dadanya.
Satu penyerang lagi berusaha menahan sakit karena hanya kurang dari satu tarikan nafas ia tak melihat tangannya yang memegang tombak utuh lagi, terpotong oleh jian yang kemudian juga membabat dada dan lehernya. Ia pun jatuh terbaring di tanah dengan darah yang menggelegak keluar dari tubuhnya.
Terlihat jelas penggunaan senjata di dalam perang ini. Sabetan demi sabetan berakhir dengan teriakan keras diikuti dengan darah yang mengucur dan nyawa yang melayang. Keunggulan yang sementara ini terlihat jelas pada sang Endrasena dengan senjata tajamnya yang mematikan.
Dalam jurus-jurus serangan Endrasena pasti ada saja celah yang membuat jian dapat masuk, melukai bahkan membunuh prajurit Surabaya dan Mataram. Tombak panjang para laskar Mataram malah menjadi menyulitkan mereka sendiri ketika Endrasena berhasil mendekat, berputar dan menusukkan keris panjangnya yang ia genggam di tangan satunya. Bagai rerumputan yang berjatuhan ditebas, begitu pula lah yang terjadi pada prajurit-prajurit tersebut.
Namun keadaan berubah secara menyeluruh ketika sang Srikandi, Ratu Pandhansari dari Mataram menembakkan bedilnya melumpuhkan sang pemimpin pasukan duaratus Cina muslim tersebut. Seperti tercatat dalam Serat Centhini di kemudian hari, “Maksih pangah ngamuk, mbijig, njejeg, ndhupak, angemah-ngemah kuping, Ratu Pandhan sigra pistulira winawas, suku Endrasena keni, sakala rebah, prajurit Surawesthi.”
Dan terdengar letusan yang kedua kalinya, mengenai lengan kiri Senapati Giri Kedaton sang Endrasena. Keris terlempar, namun Endrasena masih bisa mengamuk dengan tendangan kakinya, sundulan kepalanya, dengan segala cara, termasuk membabatkan jian nya dengan semakin menjadi. Para prajurit penyerangnya menahan mati-matian serangan sang Endrasena dengan tameng atau mundur menjauh.
Darah mengucur semakin deras dari lengan kanan dan kiri Endrasena yang rasanya semakin lumpuh. Ratu Pandhansari merasa tak bisa tinggal diam dan segera melepaskan tembakan diarahkan pada kakinya, tembakan yang ketiga kalinya mengenai pahanya, dan Endrasena pun jatuh terjerembab. Jian terlempar jauh bersamaan dengan nafas terakhir yang masih tersangkut di tenggorokannya.
Pasukan Cina mendadak tercengang dan putus semangatnya meihat pemimpin mereka telah tewas. Begitu pula dengan prajurit santri Giri yang turut megandalkan kegananasan Endrasena dan pasukan Cina nya. Sebaliknya, pasukan Surabaya meneriakkan pekik kemenangan sambil terus menggempur pasukan santri Sunan Giri dan sisa pasukan Cina tersesebut. Keadaan berbalik.
Pembantaian tak dapat terhindarkan.
Pasukan Mataram yang dikirim untuk mendampingi pasukan Surabaya dalam penyerangan ini adalah pasukan khusus yang merupakan prajurit laki-laki terbaik. Mereka sangat ahli dalam menggunakan tombak, pedang, dan pertarungan jarak pendek menggunakan keris.
Pasukan Mataram inilah yang sebelumnya telah berhasil menundukkan hampir semua kerajaan di pulau Jawa, termasuk Surabaya itu sendiri. Sedangkan pasukan Surabaya juga tidak mungkin diragukan keberanian dan ketangguan mereka dalam berperang mengingat Mataram saja membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat menaklukkan Surabaya.
Ketiga prajurit Cina dari duaratus yang tercerai berai ini terdesak terus mundur sampai ke hutan, menjauh dari ladang pembantaian. Maksud mereka memang bukan melarikan diri namun mencari tempat yang lebih baik untuk bertarung, menghabiskan nafas terakhir mereka, mencari tempat yang lebih lapang untuk menarik para pasukan Surabaya dan Mataram dan membunuh mereka sebanyak mungkin setelah Endrasena sang pemimpin telah tewas. Namun, apa daya, ternyata pasukan Surabaya dan Mataram memang lebih tangguh.
Tak lama sebuah teriakan tertahan pecah ketika tombak salah satu prajurit Mataram berhasil menembus dada salah satu prajurit Cina yang bertiga tersebut dan merampas nyawanya dengan seketika. Tak lama berselang, satu tubuh prajurit Cina lagi tumbang. Dua tusukan di leher dan perut menyemburkan darah segar yang kemudian menutupi seluruh baju putihnya.
Tenaga dan nyawa memang telah putus dari raga mereka. Demi melihat kedua temannya telah gugur, Nio Hongko bukannya ketakutan, ia malah menyerang dengan membabi-buta. Ialah prajurit yang memegang keris di salah satu tangannya. Ia masih mampu bertahan sampai sekarang ketika kedua temannya meregang nyawa.
Sambil berteriak ia meloncat, melemparkan jian nya sehingga melukai salah satu prajurit di bahunya. Walau sang prajurit sempat berkelit ketika pedang Cina Nio Hongko itu dilemparkan ke arahnya, malang nyawanya tak dapat tertolong karena Nio Hongko langsung berhasil merebut tombak panjang sang lawan ketika ia lengah dengan cara menancapkan keris panjang miliknya di pinggang sang prajurit dan membiarkannya tertanam di sana. Teriakan tercekik pendek terdengar sebelum tubuh tak bernyawa itu jatuh berdebum ke bumi.
Hongko paham bahwa tombak yang ia rebut memiliki sifat khusus. Kayunya berat dan mata tombak berluk tiga serupa keris menunjukkan tingkat kemampuan sang pengguna. Dengan tombak ini ia memutarkannya seperti sebuah toya, tidak sekedar menusukkannya seperti layaknya sebuah tombak.
Bersama para prajurit Cina selama ini ia memang lebih terpapar pada penggunaan tombak Tiongkok yang lebih ringan dan lentur, yang tidak hanya digunakan untuk menusuk, namun juga membabat. Dengan tombak pasukan Mataram yang lebih berat ini, ia memerlukan tenaga yang lebih besar pula. Syukurnya, daya rusaknya pun sama besarnya.
Dua pasukan Mataram lagi terluka. Hongko Mengamuk. Tombak menusuk datar atau ke atas, ke arah kepala lawan. Akibatnya mungkin salah satu dari dua prajurit Mataram yang berhasil ia lukai juga berhasil ia tewaskan. Dua prajurit Mataram yang lain sepertinya tidak terpengaruh dengan keadaan ini. Mereka tetap merengsek maju, mungkin yakin bahwa bagaimanapun perlawanan ini tidak akan lama.
Memang Hongko terlihat lebih kuat dari para rekan-rekannya. Sedari peperangan tadi, Hongko memang menonjol kesaktiannya. Selain Endrasena dan beberapa prajurit Cina lain, Hongko termasuk prajurit yang berhasil menewaskan banyak pasukan Surabaya dan baru saja menjatuhkan tiga orang pasukan khusus Mataram yang mengejar mereka ke hutan dan juga membunuh kedua teman pasukan Cina nya.
Tusukan demi tusukan menyeruak mencoba menyentuh tubuh Hongko. Dengan tenaga yang mulai habis dan nafas yang sepertinya ingin meninggalkan raganya, bagaimanapun Hongko akhirnya terseok. Kuda-kudanya berantakan karena kakinya sepertinya tidak dapat menopang tubuhnya lagi. Sebagai akibatnya, salah satu mata tombak lawan merobek lengan kanannya. Ini membuat pegangannya pada tombak melemas.
Tak berapa lama sodokan pangkal tombak di bagian berlawanan yang tumpul memukul dadanya, kakinya tersandung akar-akar perpohonan dan membuatnya terpental karena lemahnya otot-otot kakinya karena kelelahan. Darah mengucur dari lengannya. Dadanya nyeri. Namun itu semua tidak seberapa dibandingkan dengan semangatnya yang telah habis bersamaan dengan nafas dan tenaganya.
Ia masih terbaring. Rasanya tidak ingin bangun lagi.
Kedua prajurit Mataram tersebut mendekat. Mereka menarik nafas. Antara lega dan bernafsu menghabisi musuh yang memang sangat kuat ini. Mereka mendekati Nio Hongko yang terkapar di tanah dengan cepat. Mereka saling berpandangan dan mempersiapkan kedua tombak mereka untuk menghujam sang musuh yang kini terkapar di tanah, menyelesaikan tugas mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
𝕃α²¹ℓ 𝐒єησяιтα 🇵🇸🇮🇩
mampirrrr akuu
2023-04-29
1
IG: ezcyodoz
🤭semoga ada ab Nye bng
2022-12-04
0
y@y@
👍🏿👍🏾👍👍🏾👍🏿
2022-10-29
2