Kerajaan Mataram dibawah kekuasaan Sultan Agung Hanyakrakusuma berniat menjadikan kerajaannya menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat agama Islam. Ia tidak menginginkan ada kekuasaan lain yang sama kuatnya. Ia khawatir harga diri dan kehormatan Mataram akan jatuh di mata masyarakat bila ada kekuasaan lain yang juga berpengaruh di Jawa.
Sultan Agung pada awalnya belum menggunakan gelar Sultan namun ia menyandang gelar Sunan atau Susuhunan pada tahun 1624 Masehi. Gelar Sultan baru ia kenakan pada tahun 1641 Masehi ketika utusannya pulang dari Mekkah. Pada saat Sultan Agung dinobatkan menjadi raja kerajaan Mataram pada tahun 1613 Masehi, hanya membutuhkan waktu satu tahun saja ia sudah mulai melakukan penyerangan dengan tujuan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan di ujung timur Jawa seperti Surabaya dan Pasuruan pada tahun 1614 Masehi.
Walau penyerangan ini belum berhasil, pasukan Surabaya pun takluk dan gagal dalam usaha penyerangan balasan yang tiba-tiba ketika rombongan pasukan Mataram sedang dalam perjalanan pulang ke Mataram. Angkasa di atas pulau Jawa memerah seakan tahu bahwa seorang pemimpin jagad telah mulai memasukkan tangannya ke danau yang jernih dan mengaduknya hingga keruh.
Penaklukan atas Surabaya tercatat sebagai salah satu hal yang paling sulit bagi Mataram. Sultan Agung pun tetap menaklukkan beragam daerah yang dianggap penting, terutama pula yang berhubungan dengan Surabaya atau pulau Jawa secara umum. Misalnya saja pada tahun 1615, Sultan Agung dengan pasukan Mataramnya menguasai Wirasaba yang menguasai pintu gerbang menuju ke muara sungai Brantas. Penaklukkan ini bahkan dipimpin secara langsung oleh Sultan Agung sendiri dengan pasukannya yang bagai semut rangrang merengsek masuk menggigit dan mencabik-cabik kulit pasukan Wirasaba.
Penyerangan ini begitu penting sehingga dipimpin langsung oleh sang raja dikarenakan Wirasaba terletak di bekas tempat kerajaan Majapahit, kerajaan terbesar di nusantara masa lalu, berada. Ini merupakan lambang kekuasaan Jawa yang baru yang telah digenggam oleh Sultan Agung. Ia seakan menyampaikan pada segenap raja di tanah Jawa, nusantara dan mancanegara bahwa langit telah menunjuk seorang pemimpin baru yang mendapatkan mandat langsung dari Majapahit untuk kembali menjadi penguasa dan maharaja.
Surabaya dan kerajaan-kerajaan yang bermusuhan dengannya kemudian malah bersatu karena melihat ancaman yang besar dari Mataram. Surabaya dan Tuban bersatu menyerang kekuasaan Mataram di Pajang. Namun Mataram memiliki telik sandi atau mata-mata yang handal di Tuban. Sedangkan penguasa Pajang juga tidak mau membantu kekuatan gabungan Surabaya dan Tuban, sehingga pasukan Surabaya sengaja dikecoh oleh mata-mata Mataram untuk menyerang melalui Siwalan. Di sanalah pasukan Surabaya dilumat oleh kehebatan para ksatria Mataram. Mereka dikepung dan terdesak ke pantai. Samudra menelan ceceran darah dan memakan gelimpangan mayat pasukan Surabaya dan Tuban.
Mataram terus melaju ke ujung Timur seperti sebuah anak panah melesat dari busurnya, tak dapat ditahankan lagi. Kemenangan atas Lasem dan Pasuruan setahun kemudian pada tahun 1616 dan 1617 Masehi serta Pajang sendiri yang ingin mencoba memberontak. Untuk tindakan ini, kota Pajang benar-benar dihukum dengan cara dihancurkan.
Api membumbung ke angkasa bagai api korban kepada para dewa pada masa kerajaan Wisnu dan Shiwa. Mayat-mayat bergelimpangan dengan hukuman berat bagi para perwira dan pejabat Pajang. Pajang pun hampir musnah karena penduduknya dipaksa berduyun-duyun pindah ke Mataram. Barisan penduduk melingkar-lingkar seperti ular menyusuri pantai dan pegunungan dengan dikawal pasukan Mataram untuk dijadikan penduduk-pekerja kerajaan Mataram, mungkin juga sebagai budak dari daerah yang kalah.
Tuban pun tamat riwayatnya dalam usaha perlawanan terhadap kekuatan kerajaan Mataram. Salah satu sekutu terpenting Surabaya ini takluk oleh gempuran pasukan Mataram pada tahun 1619 Masehi. Sultan Agung pun akhirnya menguasai daerah pantai yang memiliki sumber daya kayu yang kaya yang dapat digunakan untuk membangun kapal-kapal perang. Tentu saja Tuban dan kayunya serta letaknya yang di pesisir inilah yang digunakan oleh Sultan Agung untuk nantinya menyerang Surabaya kembali.
Setahun kemudian, 1620, sampai tahun 1625 Masehi Sultan Agung terus-menerus menyerang Surabaya dengan menghancurkan dan membinasakan hasil-hasil panennya. Sungai Brantas bahkan dibendung untuk memberhentikan jatah air bagi penghuni kerajaan Surabaya.
Selama penyerangan terhadap Surabaya ini, Sultan Agung juga tidak berhenti berperang menaklukkan daerah-daerah lain. Sekutu Surabaya yang lain, kerajaan Sukadana di pulau Tanjung Pura, ditaklukkan. Kerajaan Sukadana yang memiliki bahan dasar pembuat senjata tajam terbaik di nusantara ini terpaksa harus memberhentikan hubungannya dengan Surabaya dan berganti mengirimkan sumber dayanya kepada Mataram. Ini juga terjadi pada Madura, sebuah pulau yang ditinggali orang-orang kuat dan ksatria handal inipun ditaklukkan walau dengan kerugian yang luar biasa besar dari kerajaan Mataram dan peperangan yang sangat melelahkan.
Surabaya kini sendirian sehingga mereka harus menyerah kalah pada tahun 1625 Masehi. Penyerahan ini pun sebenarnya bukan kerena kekalahan akibat peperangan. Pasukan Surabaya masih sangat kuat, namun kelaparan dan kehancuran sumber daya makanan membuat mereka memilih untuk menyerah.
Penguasa Surabaya, sang Jayalengkara, diijinkan tetap tinggal di Surabaya dan menjadi bawahan Mataram, namun putranya yaitu Pangeran Pekik diperintahkan tinggal di makam suci Sunan Ampel-Denta di dekat Surabaya untuk bertapa dan mempelajari ilmu agama lebih dalam. Pangeran Pekik inilah yang kemudian memimpin pasukan Surabaya dan Mataram bersama sang istri, Ratu Pandhansari, menyerang Giri dan Pangeran Pekik sendiri yang menusukkan tombak Kyai Plered ke tubuh Jayaseta. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pasukan Surabaya memang pasukan yang pilih tanding.
Serangan ke Kesunanan Giri itu awalnya dimulai pada tahun 1635 Masehi. Ini juga merupakan tindakan kerajaan Mataram yang masih terus giat melebarkan kekuasannya secara besar-besaran. Tahun-tahun 1625-an setelah Mataram menaklukkan Surabaya, hampir semua kerajaan di pulau Jawa berhasil ditaklukkan kecuali Blambangan yang masih beragama Wisnu dan Shiwa, sedangkan Cerbon menyatakan kesetiaannya terhadap Mataram.
Kerajaan Giri Kedaton yang terletak di daerah Gresik, Jawa bagian timur ini sampai pada puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Sunan Prapen yang berkuasa dari tahun 1548 sampai 1605 Masehi. Kepemimpinan kerajaan Giri berikutnya oleh Sunan Kawis Guwa lah yang jelas-jelas menolak ketertundukan Giri pada kerajaan Mataram sewaktu Mataram sedang getol-getolnya melebarkan sayap kekuasaan.
Perang tak terelakkan, Pangeran Pekik dan sang istri Ratu Pandhansari lah yang diminta untuk memaksa Giri menyerah. Kekuatan Endrasena beserta dua ratus pasukannya beserta para prajurit santri ksatria Giri begitu kuat sehingga sulit untuk ditaklukkan. Baru setahun kemudian, pada tahun 1636 Masehi, Giri takluk pada gempuran pasukan Surabaya yang didampingi pasukan Mataram.
Kerajaan Giri Kedaton sendiri juga merupakan sebuah kerajaan yang besar. Keratonnya adalah sebuah bangunan bertingkat tujuh yang terletak di sebuah bukit yang tinggi. Pintu keraton menghadap timur dan utara. Keraton ini cukup kokoh karena selain dibangun dengan menggunakan batu cadas, untuk mencapainya pun harus melalui undak-undakan bebatuan pula. Undak-undakan batu ini melingkari keraton yang bertingkat-tingkat sehingga menyerupai sebuah benteng.
Undakan-undakan teras tersebut semakin ke atas semakin mengecil. Dari atas keraton dapat terlihat dengan jelas keadaan masyarakat Giri di bawah. Begitu pula bila ada serangan dari musuh. Untuk mencapai keraton saja harus melewati anak tangga batu yang sangat panjang.
Pada dasarnya untuk menyerang kerajaan Giri Kedaton sangat diperlukan kekuatan yang besar. Pasukan santri Giri tersebar di bawah, sedangkan Endrasena dan pasukan santri Cina nya tersebar di sepanjang undak-undakan ke atas ke arah Keraton. Tidak heran Mataram memerlukan waktu setahun penuh untuk menundukkan Giri Kedaton.
Pada saat Jayaseta berusia sembilan tahun, tepatnya tahun 1630 Masehi, Giri menolak untuk tunduk pada Mataram. Keadaan memanas sejak saat itu. Tidak semua orang Giri setuju dengan keputusan melawan kerajaan terbesar di Jawa saat itu. Umur sembilan tahun adalah masa kanak-kanak Jayaseta yang sudah terbilang harus siap untuk matang pada jaman itu.
Di nusantara kerap kali pernikahan terjadi di usia yang dianggap masih muda di mancanegara. Usia dua belas atau tiga belas sudah merupakan usia matang untuk perkawinan seperti terjadi di Bali dan Banten. Ada alasan lain, yaitu bahwasanya anak-anak perempuan berusia berkisar sepuluh tahunan dikawinkan agar menghindari mereka digiring ke istana untuk dijadikan budak ketika ayah mereka meninggal. Meski ini juga tidak terjadi di semua tempat.
Walau begitu, Jayaseta tidak begitu memedulikan gejolak kekuasaan dan perselisihan atas dasar agama maupun wangsa yang terjadi di pulau Jawa, terutama ketegangan yang meruap antara Giri dan Mataram. Padahal mata-mata Mataram konon disebar di berbagai penjuru sebelum meledaknya peperangan lima tahun kemudian. Pada semuda ini, ilmu silatnya telah berkembang dengan pesat. Jayaseta seperti terbenam dalam kegiatan pelatihannya. Ia melatih terus dengan rajin kemampuan kanuragannya.
Jurus-jurus ilmu silat Tiongkok dari ayahnya habis ia lahap. Jurus-jurus tangan kosong yang dipraktekkan ayahnya dapat dengan cepat ia kuasai. Jurus-jurus Tiongkok ini sangat cepat namun bertenaga dan sangat luwes. Tinju Besi, Cakar Naga, Jurus Tinju Delapan Penjuru Angin, bahkan jurus-jurus gubahan dari jurus Telapak Buddha oleh suku Hui muslim pun diturunkan dengan sangat baik. Tidak sampai disitu, dari para prajurit santri, Jayaseta berhasil mempelajari gerakan silat khas prajurit Giri yang liat, pendek-pendek namun sangat tepat sasaran untuk menundukkan lawan. Dari beragam jenis jurus yang ia pelajari, Jayaseta sangat menyukai jurus terkenal Garuda Nglayang dan Cakar Macan.
Walau tidak memedulikan permasalahan rumit kenegaraan dan keagamaan yang sedang kental diwarnai perbedaan dan hawa permusuhan di pulau Jawa, ciri kuat sifat Jayaseta adalah kecenderungannya yang peka terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Ia tidak peduli masalah apa yang diributkan, namun bila orang lemah ditindas, ia tidak segan turun tangan.
Inilah yang terjadi pada saat seorang teman sebayanya sedang diganggui oleh tiga orang anak laki-laki yang jauh lebih tua. Ketiga remaja laki-laki itu sudah berusia sekitar tiga belas atau empat belas tahun. Mereka memukuli, menginjak bahkan meludahi sang korban yang memang lebih lemah dikarenakan ia bersikeras bahwa Giri tidak boleh menyerah melawan Mataram. Nampaknya ketiga anak yang lebih tua termasuk anak-anak yang membela Mataram. Mungkin orangtua mereka adalah kelompok yang setuju dengan Mataram dan mempengaruhi sang anak.
Tanpa pikir panjang ketika Jayaseta menemui hal ini langsung menghajar ketiga anak yang umurnya jauh diatasnya. Ketiga anak remaja itu memang lebih besar dan terlihat lebih kuat, namun Jayaseta dengan jurus-jurusnya berhasil memukul jatuh ketiganya. Padahal, tiga anak itu bukan remaja sembarangan.
Mereka juga mendapatkan pelatihan ilmu kanuragan dari guru mereka yang merupakan salah satu guru silat terpandang di Giri. Yang membuat ketiganya kebingungan adalah karena si bocah dua belas tahun ini menggunakan jurus-jurus yang sulit ditebak. Jayaseta bergerak seperti orang mabuk namun gerakannya tepat. Beberapa kali ia mengubah-ubah semaunya jurus-jurus yang pernah ia pelajari.
Ia bahkan melebur jurus Cakar Macan dengan Garuda Nglayang. Dimana satu tangannya membentuk cakar, sedangkan tangan lainnya mengembang membentuk sayap seekor garuda.
Ketika menyerang musuh cakar macan dan sayap menggebrak tanpa ampun. Serangan-serangan Jayaseta malah seperti seekor macan yang memiliki sayap. Bukankah sangat berbahaya bila ada jenis binatang demikian? Sebagai pamungkas, Tinju Besi berhasil membuat orang terakhir tak sadarkan diri.
Kedua remaja lain yang merasa jatuh harga dirinya dikalahkan oleh seorang anak kecil yang usianya jauh dibawah mereka, apalagi salah satu teman mereka rubuh, tidak sungkan-sungkan untuk menyerang Jayaseta dengan menggunakan senjata. Dua bilah golok yang mereka bawa untuk mencari kayu bakar di hutan digunakan jelas-jelas untuk melukai Jayaseta separah mungkin. Mereka mungkin saja malah berniat untuk membunuh Jayaseta.
Ini bukan hal yang sulit bagi seorang Jayaseta yang beberapa saat yang lalu sudah diperkenalkan oleh ayah dan kakeknya dengan senjata dan bagaimana menggunakannya. Dua bilah kayu bakar seukuran lengannya ia gunakan di tangan kanan dan kirinya. Ia membayangkan sedang memegang jian ayahnya dan pedang shamsir Damaskus kakeknya.
Ia berputar-putar, melompat-lompat dan berkelit dengan lincah membabat lengan kedua musuhnya hingga golok terlempar jatuh kemudian melumpuhkan mereka dengan menghajar pinggang dan tengkuk lawan dalam dua gerakan saja. Begitu hebatnya Jayaseta dan begitu peka jiwanya dengan ketidakadilan sehingga perkelahian demi perkelahian sulit terhindarkan.
Ia jadi mulai dikenal di kampungnya sebagai jagoan walau masih belia. Kedua orangtuanya walau mahfum akan tindakan anaknya ini, mereka juga kerepotan dan tidak bisa terhindarkan dari masalah pula. Mereka kerap dianggap tidak dapat mengatur sang anak dengan baik. Tapi mau bagaimana lagi? Tindakan Jayaseta memang pada dasarnya hanya membela orang yang lemah.
Maka dari itu, agar tidak merepotkan keluarga dan orang-orang yang ia kenal dan kasihi, pada usia yang ketiga belas Jayaseta mulai mengenal topeng. Ia menutup wajahnya dengan sarung ketika menghajar dua orang begundal di kampung sebelah. Kedua orang tersebut memang dikenal sakti namun kerap mengganggu warung-warung makan dengan meminta makan gratis, uang, bahkan kerap tidur sembarangan di warung sehingga mengganggu para tamu.
Dengan mengikat sarung di kepalanya dan membuat celah hanya untuk matanya, Jayaseta merubuhkan kedua orang tersebut dengan sangat parah dengan menggeser tulang bahu salah satu begundal dengan Tinju Besi dan menghajar babak belur rekan satunya menggunakan Tendangan Gledek dan Bogem Watu Langit, jurus-jurus silat yang ia pelajari secara sembunyi-sembunyi ketika menyaksikan jurus-jurus itu diperagakan dalam sebuah latihan oleh Kyai Sumpana di dalam tembok kerajaan.
Dari situ ia paham bahwa topeng membuatnya terhindar dari masalah. Tidak hanya itu, topeng seperti memberikan kekuatan ajaib dan kepercayaan diri yang tinggi baginya. Dengan topeng ia juga dapat berpikir jernih. Seperti pada saat usianya yang ke empat belas, dimana ia berhadapan dengan seorang ganongan, orang yang tampil di kesenian reog sebagai seorang yang lincah dan memiliki kemampuan beladiri yang mumpuni.
Entah mengapa, ganongan ini yang seharusnya dalam kesenian dari Ponorogo itu melambangkan patih muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik namun jenaka ini malah didapati sedang merampok di sebuah rumah penduduk. Jayaseta yang tidak sengaja lewat tidak mau membiarkan ini terjadi.
Keadaan Jawa yang sedang panas oleh keinginan yang besar dari kerajaan Mataram untuk menaklukkan seluruh pulau Jawa ternyata membawa dampak yang cukup besar di dalam masyarakat. Kemiskinan dan kekacauan terjadi dimana-mana. Apa mungkin ganongan ini terlantar dari kelompok reognya sehingga ia harus mencari nafkah dengan cara merampok?
Sang ganongan yang sudah matang secara umur maupun ilmu kanuragan tidak dapat dikalahkan oleh seorang remaja tanggung. Pukulan demi pukulan yang menghujam tubuhnya membuatnya bergeming. Mungkin bahkan ganongan ini kebal seperti seorang warok.
Hampir putus asa Jayaseta berkali-kali harus memukul tubuh yang atos seperti batu gunung, segala jurus ia kerahkan namun hanya seperti asap yang hilang ditelan angin. Hingga tanpa sengaja ia melihat topeng yang biasa dikenakan seorang ganongan dalam penampilan reog yang berwarna merah menyala, berhidung panjang dan bermata lebar itu menyunggingkan tawa lebar padanya.
Entah dorongan ajaib macam apa yang membuatnya berguling dari tendangan sang ganongan dan meraih topeng itu. Ketika ia mengenakannya, hawa kesaktian masuk melalui ubun-ubunnya. Dibalik topeng, dengan wajah tersembunyi, ia melihat titik kelemahan sang ganongan.
Jayaseta melompat, berputar diudara dan mendaratkan tinjunya ke dagu ganongan hanya untuk mengecoh perhatiannya karena Jayaseta sadar bahwa pukulan itu tak berarti bagi ganongan yang kebal ini. Kemudian sesampainya ditanah, ia melompat lagi ke tubuh sang ganongan, menggunakan kedua tangannya untuk berputar ke arah punggung sang ganongan, dan menjejak tulang punggungnya. Bunyi berderak, sang ganongan ambruk ke tanah. Seumur hidupnya ia harus berjalan dengan menggunakan tongkat dan ilmu kebalnya hilang musnah.
Jayaseta memang istimewa. Kecerdasannya dalam berolah kanuragan ternyata juga seimbang dengan kecerdasannya dalam berbagai bidang. Kyai Sumpana, selain mengajarkan ilmu kanuragan kepada para prajurit santri Giri, juga merupakan guru mengaji yang dihormati di kesunanan. Dari Kyai Sumpana inilah kemampuan mengaji Jayaseta diperdalam.
Bahkan Kyai Sumpana mengakui kemampuan Jayaseta menghapal ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan cepat, bahkan mengalahkan para santri lainnya yang tidak hanya berasal dari Giri Kedaton dan Gresik, namun juga santri-santri dari Madura, Banjarmasin, Tidore, Ternate, Bima atau Hitu. Meski Kyai Sumpana juga ikut mengajarkan ilmu kanuragan para prajurit Santri pada Jayaseta karena bagaimanapun Jayaseta sebagai putra salah seorang ponggawa prajurit Cina Islam Giri, tentu tidak semua bagian ia ajarkan. Itu sebabnya tanpa sepengatahuan sang guru, Jayaseta sembunyi-sembunyi mempelajari jurus-jurus rahasia tersebut dari balik tembok keraton.
Dari sang ayah, Jayaseta mempelajari kaligrafi aksara Tiongkok dan bahasa Cina. Dari kakeknya, ia juga diam-diam mempelajari bahasa Parsi. Bahasa Jawa beserta aksaranya dan Melayu juga dengan aksara jawi nya juga dikuasainya dengan baik. Singkatnya, Jayaseta adalah calon pendekar yang mandraguna nan cerdas. Namun salah satu hal yang menjadi ‘incarannya’ kemudian adalah sebuah ilmu kanuragan yang disebut dengan ‘tenaga dalam’. Dalam banyak keadaan, ia kerap mendengar berbagai aji-aji dan kesaktian yang luar biasa. Bukan rangkaian jurus-jurus dengan kekuatan tubuh yang nyata, namun kekuatan yang berasal dari dalam.
Kekebalan yang dimiliki ganongan sempat menarik perhatiannya, namun ia tidak berniat mempelajarinya karena hanya akan mengganggu pikiran dan menghabiskan banyak waktu. Toh ternyata ganongan tersebut berhasil ia kalahkan. Ia juga beberapa kali melihat para santri mempraktekkan ilmu tenaga dalam yang dapat menghempaskan musuh dari jarak jauh. Ini pun ia merasa akan banyak menghabiskan waktu karena harus dipelajari dengan pikiran yang luar biasa.
Kyai Sumpana pernah berujar bahwasanya di dunia persilatan di tanah Jawa, ilmu tenaga dalam terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok putih yang digunakan oleh para Kyai dan santri. Ini didapatkan dengan kecakapan-kecakapan khusus dalam latihan dan pernafasan sembari bertakwa kepada Allah semata. Sedangkan kelompok kedua, yaitu kelompok ilmu tenaga dalam hitam, digunakan oleh para penjahat, dukun ilmu sesat, dan musuh-musuh Islam. Mereka menggunakannya dengan tujuan buruk atau paling tidak untuk tujuan pribadi saja.
Dalam mempelajari ilmu ini mereka memiliki perjanjian dengan mahluk halus, jin, setan, iblis, atau gendruwo agar dapat memiliki kesaktian yang luar biasa tersebut. Banyak diantara mereka sepanjang sejarah persilatan tanah Jawa yang diceritakan selain kebal juga dapat hidup lagi dari kematian, menghilang atau bahkan terbang. Namun biasa, para pelaku tenaga dalam ini memiliki pantangan dan kelemahan tertentu yang membuat mereka tidak leluasa dalam bertindak, meski ilmu yang mereka kuasai sangat hebat dan menakutkan.
Namun, yang membuat Jayaseta muda bingung adalah ketika ia bertemu dengan Kakek Keling, seorang tua berkulit sangat gelap namun dengan wajah yang begitu ramah. Kakek ini ia panggil dengan sebutan Kakek Keling karena ia memang berasal dari negeri Keling yang beragama Hindu.
Dalam salah satu kejadian, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri dan merasakan dengan nyata bahwasanya sang kakek berhasil menyembuhkan kedua jarinya yang patah akibat salah satu perkelahian dengan mata-mata Mataram yang berkeliling di Giri. Saat itu mata-mata Mataram tersebut kedapati sedang memukuli seorang penduduk di sebuah warung makan karena terdengar sedang menghina Mataram.
Keempat orang tersebut tidak bisa menahan perasaan lagi karena mendengar kerajaan dimana mereka mengabdi dihina seperti itu. Jayaseta yang memang dari kecil memiliki sifat petualangan yang tinggi serta jiwa pembela yang besar sebentar saja terlibat pertarungan.
Sialnya walau keempat prajurit Mataram yang menyamar itu berhasil diusir sebelum mereka juga menderita luka-luka, kedua jari telunjuk dan jari tengah Jayaseta patah karena ia dalam pertarungan sekaligus mencoba melakukan jurus-jurus yang baru saja ia pelajari.
Kakek Keling, seorang kakek yang bekerja sebagai penjual gerabah dan barang pecah belah di samping kedai makan dimana kerusuhan itu terjadi, tanpa banyak cakap langsung memegang kedua jari Jayaseta. Jayaseta yang terkejut kedua jarinya digenggam orang asing langsung berniat menghajar sang kakek. Tangan kirinya yang bebas ia gunakan untuk menyerang sang kakek. Tanpa diduga, kakek tersebut berkelit dengan luwesnya. Kemudian melepaskan kedua jari Jayaseta dan meloyor pergi keluar dari kedai.
Tindakan aneh ini membingungkan Jayaseta yang kala itu mengenakan topeng Hanuman. Lebih heran lagi, kedua jarinya sekarang telah sembuh hanya dalam sekejap. Sejak saat itu, Jayaseta sudah menganggap Kakek Keling sebagai salah satu gurunya. Ia kerap bertandang ke warung pecah belah milik sang kakek. Ia selalu saja duduk dengan tenang dan sabar di belakang piring-piring dari tanah liat dan kayu. Tungku masak dari tanah liat, ulekan dari batu dan beragam barang-barang keperluan dapur lain terpajang di depannya.
Mengingat cerita Kyai Sumpana, Jayaseta menjadi bingung, jenis tenaga dalam apa yang dimiliki sang kakek. Ia beragama Hindu, agama lama tanah Jawa dan agama orang-orang dari kerajaan Blambangan atau pulau Bali di seberang sana. Namun, perilakunya, senyumnya, cara bicaranya sama sekali tidak menunjukkan ia dari kelompok aliran hitam. Ia begitu baik dan bijaksana. Meski ia memang memiliki pandangan yang mungkin bila Kyai Sumpena mendengar ini akan segera meminta ia untuk menjauhi sang kakek.
Kakek Keling yang menolak untuk memberikan namanya mengatakan pada Jayaseta kecil, “Semua mahluk bergerak berdasarkan takdir Sang Hyang Widi Wasa, Allah, Tuhan. Semua mahluk adalah bagian dari ciptaanNya yang nanti akan kembali kepadaNya.”
Jayaseta semakin bingung dibuatnya. Tapi memang begitulah ia, tidak pernah memiliki sifat mengagung-agungkan agama secara berlebihan dari kecil. Tidak gampang dipengaruhi siapapun. Hanya jiwa kemanusiaannya yang luar biasa besar serta rasa keadilan yang tinggi itulah yang kelak membuat besar namanya.
Berkali-kali ia meminta Kakek Keling untuk mengajarinya ilmu tenaga dalam rahasia sang kakek yang membuat jarinya sembuh hanya dalam sekejap. Sang kakek hanya mengatakan, “Bila kita berjodoh, suatu saat kita akan berjumpa dalam keadaan yang memaksaku untuk memberikan rahasia itu kepadamu, cu.”
Bingung dan bingung lagi. Namun ia tak pernah berhenti bertandang ke toko kecil sang kakek yang bertubuh gelap mendekati arang ini. Ia tak merasa telah berteman dengan golongan hitam – walau kulit sang kakek memang sangat hitam – karena Jayaseta tidak pernah meninggalkan shalat lima waktunya, dan tak pernah menghilang ketika masa pengajian bersama Kyai Sumpena tiba.
Bahkan walau sang kakek enggan memberikan ilmu tenaga dalamnya, Jayaseta sempat diajari jurus melempar senjata cakram. Lempengan gelang besi tajam yang ia temukan di dapur sang kakek bersama dengan barang-barang dapur buatannya. Cakram inilah yang kemudian ia gunakan dalam serangannya pada pasukan Mataram.
***
Kuburan Nio Hongko masih basah dan segar akibat hujan semalam. Kakek Keling yang menggalikan tanahnya waktu itu. Telah setahun berlalu, Jayaseta sang putra yang kini telah berusia enam belas tahun masih sempat menguburkan sang ayah dengan cara Islam, sehari setelah ayahnya tewas dan ia terluka.
Ia berdiri bertelanjang dada dengan Kakek Keling di sampingnya. Tubuhnya yang berkulit terang sangat berlawanan dengan tubuh keriput dan kurus Kakek Keling yang sehitam jelaga. Di dada kirinya terdapat goretan bekas luka tombak Kyai Plered yang tidak dapat menghilang.
Kala itu, saat pasukan Mataram dan Surabaya hendak menguburkan Jayaseta yang saat itu sudah dianggap tewas, ayahnya serta korban-korban perang di hutan Giri ketika Kakek Keling yang walau sudah renta dengan kecepatan dan kelincahan yang luar biasa berhasil menumbangkan dua pasukan Mataram dengan cakramnya dan membopong tubuh Hongko dan Jayaseta. Sang kakek tahu benar bahwa nafas Jayaseta masih mengalir di sela-sela rongga dadanya.
Dalam satu malam yang berat di pondoknya, Kakek Keling mengerahkan semua tenaga dalamnya untuk menyembuhkan Jayaseta sedangkan sang ayah sudah tak terselamatkan lagi karena lukanya yang begitu parah. Rupanya tombak Kanjeng Kyai Ageng Plered memiliki nama yang besar bukan tanpa alasan.
Tombak itu memiliki kemampuan memasukkan daya tenaga ke dalam bilah logam atau tosannya. Bukan hanya racun yang dapat ditanamkan, namum tenaga dalam juga dapat disalurkan melalui senjata-senjata tertentu. Kelak Jayaseta akan mengetahui bahwa sang kakek memiliki kemampuan ajian Inti Lebur Sakheti yang termahsyur namanya. Ajian ini digunakan untuk pengobatan dan penyembuhan dari ilmu sihir, tenung, teluh, santet serta racun-racun berbahaya lainnya.
Rupanya tombak Kanjeng Kyai Ageng Plered ini memang begitu istimewa dan termahsyur namanya. Beberapa jenis tenaga dalam bersamaan dengan kekuatan niat dalam rupa rapalan-rapalan akan dikenal sebagai ‘kutukan’. Pusaka semacam keris Empu Gandring juga telah lama bercokol di pulau Jawa dalam bentuk cerita. Namun Kakek Keling paham kebenaran yang ada dalam cerita-cerita tersebut. Itu sebabnya Inti Lebur Sakheti digunakan untuk melawan racun kutukan tombak sakti tersebut bersamaan dengan ilmu tenaga dalam lainnya yang ia kuasai dengan baik.
Semalaman Jayaseta berjuang melawan kesakitan dan kematian. Sang Kakek kemudian berpikir dalam benaknya, mungkin inilah jodoh yang ia maksud. Ia terpaksa harus ‘mengisi’ tubuh Jayaseta dengan kemampuan tenaga dalam yang ia miliki. Racun, tenaga dalam, dan ‘kutukan’ pada tombak Kyai Plered telah merasuk dalam darah dan bahkan jiwa Jayaseta.
Kakek Keling berlari secepat kilat ke dapurnya, memecahkan salah satu piring tanah liatnya, kemudian mengambil pecahan yang paling tajam. Jayaseta dengan peluh dan darah yang masih mengalir dari luka di dada kirinya sedang dalam keadaan bersila dan wajah yang menunjukkan kesakitan yang luar biasa.
Sang Kakek menutup mata sejenak, berdoa kepada Yang Kuasa, kemudian duduk di hadapan Jayaseta yang sedang bersila. Kakek Keling kemudian menorehkan pecahan piring tanah liat itu di tepi luka Jayaseta. Sepanjang goresan luka menganga sang pemuda, sang kakek membuat semacam gambar, ya sebuah gambar. Ini biasa disebut rajah. Rajah yang sang kakek buat bukanlah sembarang rajah. Sang kakek menggambarkan sebuah bentuk serupa ular, dengan tubuh panjang dan berkelok-kelok menyesuaikan luka, kemudian menutupnya dengan gambar kepala ular yang bertaring dan bermahkota.
Sekarang luka di dada kiri Jayaseta telah ‘dikurung’ oleh gambar seekor ular Nagataksaka, seekor naga dalam kepercayaan Wisnu-Shiwa dan budaya Jawa, seakan-akan racun tombak Kyai Plered merasuk ke dalam tubuh Nagataksaka dan tak bisa keluar. Bentuk Nagataksaka inipun masih kerap digunakan sebagai bentuk pusaka seperti keris dan tombak karena bentuknya yang meliuk-liuk mengikuti tubuh sang naga.
Kakek Keling kemudian bergegas ke punggung Jayaseta, menatahkan rajah Nagataksaka kedua di tusukan luka menganga akibat tertembus tombak pusaka Kyai Plered tersebut. Dengan segenap kemampuan yang ia miliki, sang kakek mengeluarkan semua tenaga dalamnya untuk menggambar naga yang kedua.
Setelah selesai, Kakek Keling melemparkan pecahan piring tanah liat yang berlumuran darah itu ke lantai tanahnya, kemudian merapal mantra berbahasa Sansekerta dan Jawa kuno serta menotok beberapa titik di sekitar luka di punggung Jayaseta dan torehan berdarah rajah Nagataksaka.
Kemudian sebagai pamungkas, Kakek Keling menggunakan kedua telapak tangannya untuk menyalurkan hawa hangat ketubuh Jayaseta sembari bergumam pelan, “Oh Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan jagad raya ini, Tuhan Esa yang menguasai seluruh hidup dan mati manusia. Untuk apa kutukan ini hinggap di tubuh hambamu yang masih sangat belia ini? Namun bila ia memang dikehendaki memiliki jalan hidup yang luar biasa, terjadilah apa yang telah diatur.
“Cucuku, bila kau bisa mendengarku, camkan ini baik-baik. Pusatkan tenagamu di tiga titik utama. Kepala, dada dan perut. Atur nafasmu dengan baik, kalahkan racun Kyai Plered. Aku sedang memasukkan Nagataksaka dalam tubuhmu,” suara sang kakek samar terdengar namun dapat dimengerti dengan baik oleh Jayaseta. Walau belum pernah mempelajari ilmu tenaga dalam sama sekali, dengan kecerdasan yang diatas rata-rata, Jayaseta melakukan apa yang diperintahkan sang kakek dengan sekuat tenaga.
Malam itu, perjuangan luar biasa kedua orang dengan umur yang berbeda ini membuahkan hasil yang luar biasa pula. Jayaseta terbangun di pagi harinya dengan tubuh jauh lebih bugar mengingat luka yang ia dapatkan sehari sebelumnya. Luka ***** di pahanya serta tusukan tombak di dada kirinya walau belum mengering telah menunjukkan kesembuhan yang luar biasa cepatnya. Sedangkan gambar rajah Nagataksaka di sekitar luka tusukan tombak Kyai Plered berupa goretan luka itupun mulai menghilang. Tinggal kesedihan yang kemudian menyerang Jayaseta, apalagi ia sendiri yang menguburkan jenazah sang ayahanda tercinta kemudian.
“Sekarang apa yang harus aku lakukan, kek?” tanya Jayaseta setelah beberapa hari berkabung atas kematian ayahnya.
“Apa kau merasa dendam yang berkecamuk dalam dadamu?” tanya sang kakek.
Mata Jayaseta menerawang, “Tidak kakek. Anehnya aku tidak merasakan dendam. Aku bahkan tidak berniat untuk membunuh orang-orang Mataram atau siapapun yang mencelakanku dan membunuh ayah. Apakah itu aneh kakek? Apalah aku bisa disebut sebagai orang yang tidak berbakti kepada orangtua dan negaraku?”
Kakek Keling memegang dagunya yang ditumbuhi sedikit jenggot yang sudah memutih. Ia tersenyum, kemudian tertawa pelan. Wajahnya menunjukkan kehangatan yang luar biasa bagi Jayaseta.
Tanpa menunggu jawaban sang kakek, Jayaseta kembali melanjutkan mengutarakan isi hatinya, “Aku tahu ayah membela rakyatnya karena ia sendiri adalah seorang prajurit. Ia besar di Giri. Bahkan nenek moyangku yang mengikuti tugas perjalanan Cheng Ho juga sudah lama berada di Giri. Wajar bila ayah berlaku selayaknya Karna pada Astina atau Kumbakarna pada Alengka.
“Ayah tewas membela negaranya. Akupun membunuh para pasukan Mataram karena membela ayahku. Namun bila aku membalas dendam atas kematian ayah, bukankah itu menodai rasa keadilanku?
“Perang sudah usai, sudah jelas siapa yang memenangkan peperangan. Lain halnya bila pasukan Mataram, atau siapapun melakukan tindakan sewenang-wenang dan aku berada di lintasan nasib itu. Tentu aku tak akan diam diri. Apakah aku salah kakek?”
Jayaseta bertanya kepada sang kakek namun matanya menerawang jauh. Entah apa yang sedang ia pikirkan dan berkecamuk dalam dadanya. Semua pengalaman ini harusnya menimbulkan pengaruh yang besar dalam kehidupannya kelak sebagai seorang pendekar muda nan sakti dan mahsyur namanya di tanah Jawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
Abdul Rouf
kok ceriata nya munyer
2024-11-22
0
y@y@
🔥👍👍🏿👍🔥
2022-12-02
0
y@y@
👍🏻👍🏿🔥👍🏿👍🏻
2022-11-28
1