Kakek Keling dan Rajah Nagataksaka

Kerajaan Mataram dibawah kekuasaan Sultan Agung Hanyakrakusuma berniat menjadikan kerajaannya menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat agama Islam. Ia tidak menginginkan ada kekuasaan lain yang sama kuatnya. Ia khawatir harga diri dan kehormatan Mataram akan jatuh di mata masyarakat bila ada kekuasaan lain yang juga berpengaruh di Jawa.

Sultan Agung pada awalnya belum menggunakan gelar Sultan namun ia menyandang gelar Sunan atau Susuhunan pada tahun 1624 Masehi. Gelar Sultan baru ia kenakan pada tahun 1641 Masehi ketika utusannya pulang dari Mekkah. Pada saat Sultan Agung dinobatkan menjadi raja kerajaan Mataram pada tahun 1613 Masehi, hanya membutuhkan waktu satu tahun saja ia sudah mulai melakukan penyerangan dengan tujuan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan di ujung timur Jawa seperti Surabaya dan Pasuruan pada tahun 1614 Masehi.

Walau penyerangan ini belum berhasil, pasukan Surabaya pun takluk dan gagal dalam usaha penyerangan balasan yang tiba-tiba ketika rombongan pasukan Mataram sedang dalam perjalanan pulang ke Mataram. Angkasa di atas pulau Jawa memerah seakan tahu bahwa seorang pemimpin jagad telah mulai memasukkan tangannya ke danau yang jernih dan mengaduknya hingga keruh.

Penaklukan atas Surabaya tercatat sebagai salah satu hal yang paling sulit bagi Mataram. Sultan Agung pun tetap menaklukkan beragam daerah yang dianggap penting, terutama pula yang berhubungan dengan Surabaya atau pulau Jawa secara umum. Misalnya saja pada tahun 1615, Sultan Agung dengan pasukan Mataramnya menguasai Wirasaba yang menguasai pintu gerbang menuju ke muara sungai Brantas. Penaklukkan ini bahkan dipimpin secara langsung oleh Sultan Agung sendiri dengan pasukannya yang bagai semut rangrang merengsek masuk menggigit dan mencabik-cabik kulit pasukan Wirasaba.

Penyerangan ini begitu penting sehingga dipimpin langsung oleh sang raja dikarenakan Wirasaba terletak di bekas tempat kerajaan Majapahit, kerajaan terbesar di nusantara masa lalu, berada. Ini merupakan lambang kekuasaan Jawa yang baru yang telah digenggam oleh Sultan Agung. Ia seakan menyampaikan pada segenap raja di tanah Jawa, nusantara dan mancanegara bahwa langit telah menunjuk seorang pemimpin baru yang mendapatkan mandat langsung dari Majapahit untuk kembali menjadi penguasa dan maharaja.

Surabaya dan kerajaan-kerajaan yang bermusuhan dengannya kemudian malah bersatu karena melihat ancaman yang besar dari Mataram. Surabaya dan Tuban bersatu menyerang kekuasaan Mataram di Pajang. Namun Mataram memiliki telik sandi atau mata-mata yang handal di Tuban. Sedangkan penguasa Pajang juga tidak mau membantu kekuatan gabungan Surabaya dan Tuban, sehingga pasukan Surabaya sengaja dikecoh oleh mata-mata Mataram untuk menyerang melalui Siwalan. Di sanalah pasukan Surabaya dilumat oleh kehebatan para ksatria Mataram. Mereka dikepung dan terdesak ke pantai. Samudra menelan ceceran darah dan memakan gelimpangan mayat pasukan Surabaya dan Tuban.

Mataram terus melaju ke ujung Timur seperti sebuah anak panah melesat dari busurnya, tak dapat ditahankan lagi. Kemenangan atas Lasem dan Pasuruan setahun kemudian pada tahun 1616 dan 1617 Masehi serta Pajang sendiri yang ingin mencoba memberontak. Untuk tindakan ini, kota Pajang benar-benar dihukum dengan cara dihancurkan.

Api membumbung ke angkasa bagai api korban kepada para dewa pada masa kerajaan Wisnu dan Shiwa. Mayat-mayat bergelimpangan dengan hukuman berat bagi para perwira dan pejabat Pajang. Pajang pun hampir musnah karena penduduknya dipaksa berduyun-duyun pindah ke Mataram. Barisan penduduk melingkar-lingkar seperti ular menyusuri pantai dan pegunungan dengan dikawal pasukan Mataram untuk dijadikan penduduk-pekerja kerajaan Mataram, mungkin juga sebagai budak dari daerah yang kalah.

Tuban pun tamat riwayatnya dalam usaha perlawanan terhadap kekuatan kerajaan Mataram. Salah satu sekutu terpenting Surabaya ini takluk oleh gempuran pasukan Mataram pada tahun 1619 Masehi. Sultan Agung pun akhirnya menguasai daerah pantai yang memiliki sumber daya kayu yang kaya yang dapat digunakan untuk membangun kapal-kapal perang. Tentu saja Tuban dan kayunya serta letaknya yang di pesisir inilah yang digunakan oleh Sultan Agung untuk nantinya menyerang Surabaya kembali.

Setahun kemudian, 1620, sampai tahun 1625 Masehi Sultan Agung terus-menerus menyerang Surabaya dengan menghancurkan dan membinasakan hasil-hasil panennya. Sungai Brantas bahkan dibendung untuk memberhentikan jatah air bagi penghuni kerajaan Surabaya.

Selama penyerangan terhadap Surabaya ini, Sultan Agung juga tidak berhenti berperang menaklukkan daerah-daerah lain. Sekutu Surabaya yang lain, kerajaan Sukadana di pulau Tanjung Pura, ditaklukkan. Kerajaan Sukadana yang memiliki bahan dasar pembuat senjata tajam terbaik di nusantara ini terpaksa harus memberhentikan hubungannya dengan Surabaya dan berganti mengirimkan sumber dayanya kepada Mataram. Ini juga terjadi pada Madura, sebuah pulau yang ditinggali orang-orang kuat dan ksatria handal inipun ditaklukkan walau dengan kerugian yang luar biasa besar dari kerajaan Mataram dan peperangan yang sangat melelahkan.

Surabaya kini sendirian sehingga mereka harus menyerah kalah pada tahun 1625 Masehi. Penyerahan ini pun sebenarnya bukan kerena kekalahan akibat peperangan. Pasukan Surabaya masih sangat kuat, namun kelaparan dan kehancuran sumber daya makanan membuat mereka memilih untuk menyerah.

Penguasa Surabaya, sang Jayalengkara, diijinkan tetap tinggal di Surabaya dan menjadi bawahan Mataram, namun putranya yaitu Pangeran Pekik diperintahkan tinggal di makam suci Sunan Ampel-Denta di dekat Surabaya untuk bertapa dan mempelajari ilmu agama lebih dalam. Pangeran Pekik inilah yang kemudian memimpin pasukan Surabaya dan Mataram bersama sang istri, Ratu Pandhansari, menyerang Giri dan Pangeran Pekik sendiri yang menusukkan tombak Kyai Plered ke tubuh Jayaseta. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pasukan Surabaya memang pasukan yang pilih tanding.

Serangan ke Kesunanan Giri itu awalnya dimulai pada tahun 1635 Masehi. Ini juga merupakan tindakan kerajaan Mataram yang masih terus giat melebarkan kekuasannya secara besar-besaran. Tahun-tahun 1625-an setelah Mataram menaklukkan Surabaya, hampir semua kerajaan di pulau Jawa berhasil ditaklukkan kecuali Blambangan yang masih beragama Wisnu dan Shiwa, sedangkan Cerbon menyatakan kesetiaannya terhadap Mataram.

Kerajaan Giri Kedaton yang terletak di daerah Gresik, Jawa bagian timur ini sampai pada puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Sunan Prapen yang berkuasa dari tahun 1548 sampai 1605 Masehi. Kepemimpinan kerajaan Giri berikutnya oleh Sunan Kawis Guwa lah yang jelas-jelas menolak ketertundukan Giri pada kerajaan Mataram sewaktu Mataram sedang getol-getolnya melebarkan sayap kekuasaan.

Perang tak terelakkan, Pangeran Pekik dan sang istri Ratu Pandhansari lah yang diminta untuk memaksa Giri menyerah. Kekuatan Endrasena beserta dua ratus pasukannya beserta para prajurit santri ksatria Giri begitu kuat sehingga sulit untuk ditaklukkan. Baru setahun kemudian, pada tahun 1636 Masehi, Giri takluk pada gempuran pasukan Surabaya yang didampingi pasukan Mataram.

Kerajaan Giri Kedaton sendiri juga merupakan sebuah kerajaan yang besar. Keratonnya adalah sebuah bangunan bertingkat tujuh yang terletak di sebuah bukit yang tinggi. Pintu keraton menghadap timur dan utara. Keraton ini cukup kokoh karena selain dibangun dengan menggunakan batu cadas, untuk mencapainya pun harus melalui undak-undakan bebatuan pula. Undak-undakan batu ini melingkari keraton yang bertingkat-tingkat sehingga menyerupai sebuah benteng.

Undakan-undakan teras tersebut semakin ke atas semakin mengecil. Dari atas keraton dapat terlihat dengan jelas keadaan masyarakat Giri di bawah. Begitu pula bila ada serangan dari musuh. Untuk mencapai keraton saja harus melewati anak tangga batu yang sangat panjang.

Pada dasarnya untuk menyerang kerajaan Giri Kedaton sangat diperlukan kekuatan yang besar. Pasukan santri Giri tersebar di bawah, sedangkan Endrasena dan pasukan santri Cina nya tersebar di sepanjang undak-undakan ke atas ke arah Keraton. Tidak heran Mataram memerlukan waktu setahun penuh untuk menundukkan Giri Kedaton.

Pada saat Jayaseta berusia sembilan tahun, tepatnya tahun 1630 Masehi, Giri menolak untuk tunduk pada Mataram. Keadaan memanas sejak saat itu. Tidak semua orang Giri setuju dengan keputusan melawan kerajaan terbesar di Jawa saat itu. Umur sembilan tahun adalah masa kanak-kanak Jayaseta yang sudah terbilang harus siap untuk matang pada jaman itu.

Di nusantara kerap kali pernikahan terjadi di usia yang dianggap masih muda di mancanegara. Usia dua belas atau tiga belas sudah merupakan usia matang untuk perkawinan seperti terjadi di Bali dan Banten. Ada alasan lain, yaitu bahwasanya anak-anak perempuan berusia berkisar sepuluh tahunan dikawinkan agar menghindari mereka digiring ke istana untuk dijadikan budak ketika ayah mereka meninggal. Meski ini juga tidak terjadi di semua tempat.

Walau begitu, Jayaseta tidak begitu memedulikan gejolak kekuasaan dan perselisihan atas dasar agama maupun wangsa yang terjadi di pulau Jawa, terutama ketegangan yang meruap antara Giri dan Mataram. Padahal mata-mata Mataram konon disebar di berbagai penjuru sebelum meledaknya peperangan lima tahun kemudian. Pada semuda ini, ilmu silatnya telah berkembang dengan pesat. Jayaseta seperti terbenam dalam kegiatan pelatihannya. Ia melatih terus dengan rajin kemampuan kanuragannya.

Jurus-jurus ilmu silat Tiongkok dari ayahnya habis ia lahap. Jurus-jurus tangan kosong yang dipraktekkan ayahnya dapat dengan cepat ia kuasai. Jurus-jurus Tiongkok ini sangat cepat namun bertenaga dan sangat luwes. Tinju Besi, Cakar Naga, Jurus Tinju Delapan Penjuru Angin, bahkan jurus-jurus gubahan dari jurus Telapak Buddha oleh suku Hui muslim pun diturunkan dengan sangat baik. Tidak sampai disitu, dari para prajurit santri, Jayaseta berhasil mempelajari gerakan silat khas prajurit Giri yang liat, pendek-pendek namun sangat tepat sasaran untuk menundukkan lawan. Dari beragam jenis jurus yang ia pelajari, Jayaseta sangat menyukai jurus terkenal Garuda Nglayang dan Cakar Macan.

Walau tidak memedulikan permasalahan rumit kenegaraan dan keagamaan yang sedang kental diwarnai perbedaan dan hawa permusuhan di pulau Jawa, ciri kuat sifat Jayaseta adalah kecenderungannya yang peka terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Ia tidak peduli masalah apa yang diributkan, namun bila orang lemah ditindas, ia tidak segan turun tangan.

Inilah yang terjadi pada saat seorang teman sebayanya sedang diganggui oleh tiga orang anak laki-laki yang jauh lebih tua. Ketiga remaja laki-laki itu sudah berusia sekitar tiga belas atau empat belas tahun. Mereka memukuli, menginjak bahkan meludahi sang korban yang memang lebih lemah dikarenakan ia bersikeras bahwa Giri tidak boleh menyerah melawan Mataram. Nampaknya ketiga anak yang lebih tua termasuk anak-anak yang membela Mataram. Mungkin orangtua mereka adalah kelompok yang setuju dengan Mataram dan mempengaruhi sang anak.

Tanpa pikir panjang ketika Jayaseta menemui hal ini langsung menghajar ketiga anak yang umurnya jauh diatasnya. Ketiga anak remaja itu memang lebih besar dan terlihat lebih kuat, namun Jayaseta dengan jurus-jurusnya berhasil memukul jatuh ketiganya. Padahal, tiga anak itu bukan remaja sembarangan.

Mereka juga mendapatkan pelatihan ilmu kanuragan dari guru mereka yang merupakan salah satu guru silat terpandang di Giri. Yang membuat ketiganya kebingungan adalah karena si bocah dua belas tahun ini menggunakan jurus-jurus yang sulit ditebak. Jayaseta bergerak seperti orang mabuk namun gerakannya tepat. Beberapa kali ia mengubah-ubah semaunya jurus-jurus yang pernah ia pelajari.

Ia bahkan melebur jurus Cakar Macan dengan Garuda Nglayang. Dimana satu tangannya membentuk cakar, sedangkan tangan lainnya mengembang membentuk sayap seekor garuda.

Ketika menyerang musuh cakar macan dan sayap menggebrak tanpa ampun. Serangan-serangan Jayaseta malah seperti seekor macan yang memiliki sayap. Bukankah sangat berbahaya bila ada jenis binatang demikian? Sebagai pamungkas, Tinju Besi berhasil membuat orang terakhir tak sadarkan diri.

Kedua remaja lain yang merasa jatuh harga dirinya dikalahkan oleh seorang anak kecil yang usianya jauh dibawah mereka, apalagi salah satu teman mereka rubuh, tidak sungkan-sungkan untuk menyerang Jayaseta dengan menggunakan senjata. Dua bilah golok yang mereka bawa untuk mencari kayu bakar di hutan digunakan jelas-jelas untuk melukai Jayaseta separah mungkin. Mereka mungkin saja malah berniat untuk membunuh Jayaseta.

Ini bukan hal yang sulit bagi seorang Jayaseta yang beberapa saat yang lalu sudah diperkenalkan oleh ayah dan kakeknya dengan senjata dan bagaimana menggunakannya. Dua bilah kayu bakar seukuran lengannya ia gunakan di tangan kanan dan kirinya. Ia membayangkan sedang memegang jian ayahnya dan pedang shamsir Damaskus kakeknya.

Ia berputar-putar, melompat-lompat dan berkelit dengan lincah membabat lengan kedua musuhnya hingga golok terlempar jatuh kemudian melumpuhkan mereka dengan menghajar pinggang dan tengkuk lawan dalam dua gerakan saja. Begitu hebatnya Jayaseta dan begitu peka jiwanya dengan ketidakadilan sehingga perkelahian demi perkelahian sulit terhindarkan.

Ia jadi mulai dikenal di kampungnya sebagai jagoan walau masih belia. Kedua orangtuanya walau mahfum akan tindakan anaknya ini, mereka juga kerepotan dan tidak bisa terhindarkan dari masalah pula. Mereka kerap dianggap tidak dapat mengatur sang anak dengan baik. Tapi mau bagaimana lagi? Tindakan Jayaseta memang pada dasarnya hanya membela orang yang lemah.

Maka dari itu, agar tidak merepotkan keluarga dan orang-orang yang ia kenal dan kasihi, pada usia yang ketiga belas Jayaseta mulai mengenal topeng. Ia menutup wajahnya dengan sarung ketika menghajar dua orang begundal di kampung sebelah. Kedua orang tersebut memang dikenal sakti namun kerap mengganggu warung-warung makan dengan meminta makan gratis, uang, bahkan kerap tidur sembarangan di warung sehingga mengganggu para tamu.

Dengan mengikat sarung di kepalanya dan membuat celah hanya untuk matanya, Jayaseta merubuhkan kedua orang tersebut dengan sangat parah dengan menggeser tulang bahu salah satu begundal dengan Tinju Besi dan menghajar babak belur rekan satunya menggunakan Tendangan Gledek dan Bogem Watu Langit, jurus-jurus silat yang ia pelajari secara sembunyi-sembunyi ketika menyaksikan jurus-jurus itu diperagakan dalam sebuah latihan oleh Kyai Sumpana di dalam tembok kerajaan.

Dari situ ia paham bahwa topeng membuatnya terhindar dari masalah. Tidak hanya itu, topeng seperti memberikan kekuatan ajaib dan kepercayaan diri yang tinggi baginya. Dengan topeng ia juga dapat berpikir jernih. Seperti pada saat usianya yang ke empat belas, dimana ia berhadapan dengan seorang ganongan, orang yang tampil di kesenian reog sebagai seorang yang lincah dan memiliki kemampuan beladiri yang mumpuni.

Entah mengapa, ganongan ini yang seharusnya dalam kesenian dari Ponorogo itu melambangkan patih muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik namun jenaka ini malah didapati sedang merampok di sebuah rumah penduduk. Jayaseta yang tidak sengaja lewat tidak mau membiarkan ini terjadi.

Keadaan Jawa yang sedang panas oleh keinginan yang besar dari kerajaan Mataram untuk menaklukkan seluruh pulau Jawa ternyata membawa dampak yang cukup besar di dalam masyarakat. Kemiskinan dan kekacauan terjadi dimana-mana. Apa mungkin ganongan ini terlantar dari kelompok reognya sehingga ia harus mencari nafkah dengan cara merampok?

Sang ganongan yang sudah matang secara umur maupun ilmu kanuragan tidak dapat dikalahkan oleh seorang remaja tanggung. Pukulan demi pukulan yang menghujam tubuhnya membuatnya bergeming. Mungkin bahkan ganongan ini kebal seperti seorang warok.

Hampir putus asa Jayaseta berkali-kali harus memukul tubuh yang atos seperti batu gunung, segala jurus ia kerahkan namun hanya seperti asap yang hilang ditelan angin. Hingga tanpa sengaja ia melihat topeng yang biasa dikenakan seorang ganongan dalam penampilan reog yang berwarna merah menyala, berhidung panjang dan bermata lebar itu menyunggingkan tawa lebar padanya.

Entah dorongan ajaib macam apa yang membuatnya berguling dari tendangan sang ganongan dan meraih topeng itu. Ketika ia mengenakannya, hawa kesaktian masuk melalui ubun-ubunnya. Dibalik topeng, dengan wajah tersembunyi, ia melihat titik kelemahan sang ganongan.

Jayaseta melompat, berputar diudara dan mendaratkan tinjunya ke dagu ganongan hanya untuk mengecoh perhatiannya karena Jayaseta sadar bahwa pukulan itu tak berarti bagi ganongan yang kebal ini. Kemudian sesampainya ditanah, ia melompat lagi ke tubuh sang ganongan, menggunakan kedua tangannya untuk berputar ke arah punggung sang ganongan, dan menjejak tulang punggungnya. Bunyi berderak, sang ganongan ambruk ke tanah. Seumur hidupnya ia harus berjalan dengan menggunakan tongkat dan ilmu kebalnya hilang musnah.

Jayaseta memang istimewa. Kecerdasannya dalam berolah kanuragan ternyata juga seimbang dengan kecerdasannya dalam berbagai bidang. Kyai Sumpana, selain mengajarkan ilmu kanuragan kepada para prajurit santri Giri, juga merupakan guru mengaji yang dihormati di kesunanan. Dari Kyai Sumpana inilah kemampuan mengaji Jayaseta diperdalam.

Bahkan Kyai Sumpana mengakui kemampuan Jayaseta menghapal ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan cepat, bahkan mengalahkan para santri lainnya yang tidak hanya berasal dari Giri Kedaton dan Gresik, namun juga santri-santri dari Madura, Banjarmasin, Tidore, Ternate, Bima atau Hitu. Meski Kyai Sumpana juga ikut mengajarkan ilmu kanuragan para prajurit Santri pada Jayaseta karena bagaimanapun Jayaseta sebagai putra salah seorang ponggawa prajurit Cina Islam Giri, tentu tidak semua bagian ia ajarkan. Itu sebabnya tanpa sepengatahuan sang guru, Jayaseta sembunyi-sembunyi mempelajari jurus-jurus rahasia tersebut dari balik tembok keraton.

Dari sang ayah, Jayaseta mempelajari kaligrafi aksara Tiongkok dan bahasa Cina. Dari kakeknya, ia juga diam-diam mempelajari bahasa Parsi. Bahasa Jawa beserta aksaranya dan Melayu juga dengan aksara jawi nya juga dikuasainya dengan baik. Singkatnya, Jayaseta adalah calon pendekar yang mandraguna nan cerdas. Namun salah satu hal yang menjadi ‘incarannya’ kemudian adalah sebuah ilmu kanuragan yang disebut dengan ‘tenaga dalam’. Dalam banyak keadaan, ia kerap mendengar berbagai aji-aji dan kesaktian yang luar biasa. Bukan rangkaian jurus-jurus dengan kekuatan tubuh yang nyata, namun kekuatan yang berasal dari dalam.

Kekebalan yang dimiliki ganongan sempat menarik perhatiannya, namun ia tidak berniat mempelajarinya karena hanya akan mengganggu pikiran dan menghabiskan banyak waktu. Toh ternyata ganongan tersebut berhasil ia kalahkan. Ia juga beberapa kali melihat para santri mempraktekkan ilmu tenaga dalam yang dapat menghempaskan musuh dari jarak jauh. Ini pun ia merasa akan banyak menghabiskan waktu karena harus dipelajari dengan pikiran yang luar biasa.

Kyai Sumpana pernah berujar bahwasanya di dunia persilatan di tanah Jawa, ilmu tenaga dalam terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok putih yang digunakan oleh para Kyai dan santri. Ini didapatkan dengan kecakapan-kecakapan khusus dalam latihan dan pernafasan sembari bertakwa kepada Allah semata. Sedangkan kelompok kedua, yaitu kelompok ilmu tenaga dalam hitam, digunakan oleh para penjahat, dukun ilmu sesat, dan musuh-musuh Islam. Mereka menggunakannya dengan tujuan buruk atau paling tidak untuk tujuan pribadi saja.

Dalam mempelajari ilmu ini mereka memiliki perjanjian dengan mahluk halus, jin, setan, iblis, atau gendruwo agar dapat memiliki kesaktian yang luar biasa tersebut. Banyak diantara mereka sepanjang sejarah persilatan tanah Jawa yang diceritakan selain kebal juga dapat hidup lagi dari kematian, menghilang atau bahkan terbang. Namun biasa, para pelaku tenaga dalam ini memiliki pantangan dan kelemahan tertentu yang membuat mereka tidak leluasa dalam bertindak, meski ilmu yang mereka kuasai sangat hebat dan menakutkan.

Namun, yang membuat Jayaseta muda bingung adalah ketika ia bertemu dengan Kakek Keling, seorang tua berkulit sangat gelap namun dengan wajah yang begitu ramah. Kakek ini ia panggil dengan sebutan Kakek Keling karena ia memang berasal dari negeri Keling yang beragama Hindu.

Dalam salah satu kejadian, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri dan merasakan dengan nyata bahwasanya sang kakek berhasil menyembuhkan kedua jarinya yang patah akibat salah satu perkelahian dengan mata-mata Mataram yang berkeliling di Giri. Saat itu mata-mata Mataram tersebut kedapati sedang memukuli seorang penduduk di sebuah warung makan karena terdengar sedang menghina Mataram.

Keempat orang tersebut tidak bisa menahan perasaan lagi karena mendengar kerajaan dimana mereka mengabdi dihina seperti itu. Jayaseta yang memang dari kecil memiliki sifat petualangan yang tinggi serta jiwa pembela yang besar sebentar saja terlibat pertarungan.

Sialnya walau keempat prajurit Mataram yang menyamar itu berhasil diusir sebelum mereka juga menderita luka-luka, kedua jari telunjuk dan jari tengah Jayaseta patah karena ia dalam pertarungan sekaligus mencoba melakukan jurus-jurus yang baru saja ia pelajari.

Kakek Keling, seorang kakek yang bekerja sebagai penjual gerabah dan barang pecah belah di samping kedai makan dimana kerusuhan itu terjadi, tanpa banyak cakap langsung memegang kedua jari Jayaseta. Jayaseta yang terkejut kedua jarinya digenggam orang asing langsung berniat menghajar sang kakek. Tangan kirinya yang bebas ia gunakan untuk menyerang sang kakek. Tanpa diduga, kakek tersebut berkelit dengan luwesnya. Kemudian melepaskan kedua jari Jayaseta dan meloyor pergi keluar dari kedai.

Tindakan aneh ini membingungkan Jayaseta yang kala itu mengenakan topeng Hanuman. Lebih heran lagi, kedua jarinya sekarang telah sembuh hanya dalam sekejap. Sejak saat itu, Jayaseta sudah menganggap Kakek Keling sebagai salah satu gurunya. Ia kerap bertandang ke warung pecah belah milik sang kakek. Ia selalu saja duduk dengan tenang dan sabar di belakang piring-piring dari tanah liat dan kayu. Tungku masak dari tanah liat, ulekan dari batu dan beragam barang-barang keperluan dapur lain terpajang di depannya.

Mengingat cerita Kyai Sumpana, Jayaseta menjadi bingung, jenis tenaga dalam apa yang dimiliki sang kakek. Ia beragama Hindu, agama lama tanah Jawa dan agama orang-orang dari kerajaan Blambangan atau pulau Bali di seberang sana. Namun, perilakunya, senyumnya, cara bicaranya sama sekali tidak menunjukkan ia dari kelompok aliran hitam. Ia begitu baik dan bijaksana. Meski ia memang memiliki pandangan yang mungkin bila Kyai Sumpena mendengar ini akan segera meminta ia untuk menjauhi sang kakek.

Kakek Keling yang menolak untuk memberikan namanya mengatakan pada Jayaseta kecil, “Semua mahluk bergerak berdasarkan takdir Sang Hyang Widi Wasa, Allah, Tuhan. Semua mahluk adalah bagian dari ciptaanNya yang nanti akan kembali kepadaNya.”

Jayaseta semakin bingung dibuatnya. Tapi memang begitulah ia, tidak pernah memiliki sifat mengagung-agungkan agama secara berlebihan dari kecil. Tidak gampang dipengaruhi siapapun. Hanya jiwa kemanusiaannya yang luar biasa besar serta rasa keadilan yang tinggi itulah yang kelak membuat besar namanya.

Berkali-kali ia meminta Kakek Keling untuk mengajarinya ilmu tenaga dalam rahasia sang kakek yang membuat jarinya sembuh hanya dalam sekejap. Sang kakek hanya mengatakan, “Bila kita berjodoh, suatu saat kita akan berjumpa dalam keadaan yang memaksaku untuk memberikan rahasia itu kepadamu, cu.”

Bingung dan bingung lagi. Namun ia tak pernah berhenti bertandang ke toko kecil sang kakek yang bertubuh gelap mendekati arang ini. Ia tak merasa telah berteman dengan golongan hitam – walau kulit sang kakek memang sangat hitam – karena Jayaseta tidak pernah meninggalkan shalat lima waktunya, dan tak pernah menghilang ketika masa pengajian bersama Kyai Sumpena tiba.

Bahkan walau sang kakek enggan memberikan ilmu tenaga dalamnya, Jayaseta sempat diajari jurus melempar senjata cakram. Lempengan gelang besi tajam yang ia temukan di dapur sang kakek bersama dengan barang-barang dapur buatannya. Cakram inilah yang kemudian ia gunakan dalam serangannya pada pasukan Mataram.

***

Kuburan Nio Hongko masih basah dan segar akibat hujan semalam. Kakek Keling yang menggalikan tanahnya waktu itu. Telah setahun berlalu, Jayaseta sang putra yang kini telah berusia enam belas tahun masih sempat menguburkan sang ayah dengan cara Islam, sehari setelah ayahnya tewas dan ia terluka.

Ia berdiri bertelanjang dada dengan Kakek Keling di sampingnya. Tubuhnya yang berkulit terang sangat berlawanan dengan tubuh keriput dan kurus Kakek Keling yang sehitam jelaga. Di dada kirinya terdapat goretan bekas luka tombak Kyai Plered yang tidak dapat menghilang.

Kala itu, saat pasukan Mataram dan Surabaya hendak menguburkan Jayaseta yang saat itu sudah dianggap tewas, ayahnya serta korban-korban perang di hutan Giri ketika Kakek Keling yang walau sudah renta dengan kecepatan dan kelincahan yang luar biasa berhasil menumbangkan dua pasukan Mataram dengan cakramnya dan membopong tubuh Hongko dan Jayaseta. Sang kakek tahu benar bahwa nafas Jayaseta masih mengalir di sela-sela rongga dadanya.

Dalam satu malam yang berat di pondoknya, Kakek Keling mengerahkan semua tenaga dalamnya untuk menyembuhkan Jayaseta sedangkan sang ayah sudah tak terselamatkan lagi karena lukanya yang begitu parah. Rupanya tombak Kanjeng Kyai Ageng Plered memiliki nama yang besar bukan tanpa alasan.

Tombak itu memiliki kemampuan memasukkan daya tenaga ke dalam bilah logam atau tosannya. Bukan hanya racun yang dapat ditanamkan, namum tenaga dalam juga dapat disalurkan melalui senjata-senjata tertentu. Kelak Jayaseta akan mengetahui bahwa sang kakek memiliki kemampuan ajian Inti Lebur Sakheti yang termahsyur namanya. Ajian ini digunakan untuk pengobatan dan penyembuhan dari ilmu sihir, tenung, teluh, santet serta racun-racun berbahaya lainnya.

Rupanya tombak Kanjeng Kyai Ageng Plered ini memang begitu istimewa dan termahsyur namanya. Beberapa jenis tenaga dalam bersamaan dengan kekuatan niat dalam rupa rapalan-rapalan akan dikenal sebagai ‘kutukan’. Pusaka semacam keris Empu Gandring juga telah lama bercokol di pulau Jawa dalam bentuk cerita. Namun Kakek Keling paham kebenaran yang ada dalam cerita-cerita tersebut. Itu sebabnya Inti Lebur Sakheti digunakan untuk melawan racun kutukan tombak sakti tersebut bersamaan dengan ilmu tenaga dalam lainnya yang ia kuasai dengan baik.

Semalaman Jayaseta berjuang melawan kesakitan dan kematian. Sang Kakek kemudian berpikir dalam benaknya, mungkin inilah jodoh yang ia maksud. Ia terpaksa harus ‘mengisi’ tubuh Jayaseta dengan kemampuan tenaga dalam yang ia miliki. Racun, tenaga dalam, dan ‘kutukan’ pada tombak Kyai Plered telah merasuk dalam darah dan bahkan jiwa Jayaseta.

Kakek Keling berlari secepat kilat ke dapurnya, memecahkan salah satu piring tanah liatnya, kemudian mengambil pecahan yang paling tajam. Jayaseta dengan peluh dan darah yang masih mengalir dari luka di dada kirinya sedang dalam keadaan bersila dan wajah yang menunjukkan kesakitan yang luar biasa.

Sang Kakek menutup mata sejenak, berdoa kepada Yang Kuasa, kemudian duduk di hadapan Jayaseta yang sedang bersila. Kakek Keling kemudian menorehkan pecahan piring tanah liat itu di tepi luka Jayaseta. Sepanjang goresan luka menganga sang pemuda, sang kakek membuat semacam gambar, ya sebuah gambar. Ini biasa disebut rajah. Rajah yang sang kakek buat bukanlah sembarang rajah. Sang kakek menggambarkan sebuah bentuk serupa ular, dengan tubuh panjang dan berkelok-kelok menyesuaikan luka, kemudian menutupnya dengan gambar kepala ular yang bertaring dan bermahkota.

Sekarang luka di dada kiri Jayaseta telah ‘dikurung’ oleh gambar seekor ular Nagataksaka, seekor naga dalam kepercayaan Wisnu-Shiwa dan budaya Jawa, seakan-akan racun tombak Kyai Plered merasuk ke dalam tubuh Nagataksaka dan tak bisa keluar. Bentuk Nagataksaka inipun masih kerap digunakan sebagai bentuk pusaka seperti keris dan tombak karena bentuknya yang meliuk-liuk mengikuti tubuh sang naga.

Kakek Keling kemudian bergegas ke punggung Jayaseta, menatahkan rajah Nagataksaka kedua di tusukan luka menganga akibat tertembus tombak pusaka Kyai Plered tersebut. Dengan segenap kemampuan yang ia miliki, sang kakek mengeluarkan semua tenaga dalamnya untuk menggambar naga yang kedua.

Setelah selesai, Kakek Keling melemparkan pecahan piring tanah liat yang berlumuran darah itu ke lantai tanahnya, kemudian merapal mantra berbahasa Sansekerta dan Jawa kuno serta menotok beberapa titik di sekitar luka di punggung Jayaseta dan torehan berdarah rajah Nagataksaka.

Kemudian sebagai pamungkas, Kakek Keling menggunakan kedua telapak tangannya untuk menyalurkan hawa hangat ketubuh Jayaseta sembari bergumam pelan, “Oh Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan jagad raya ini, Tuhan Esa yang menguasai seluruh hidup dan mati manusia. Untuk apa kutukan ini hinggap di tubuh hambamu yang masih sangat belia ini? Namun bila ia memang dikehendaki memiliki jalan hidup yang luar biasa, terjadilah apa yang telah diatur.

“Cucuku, bila kau bisa mendengarku, camkan ini baik-baik. Pusatkan tenagamu di tiga titik utama. Kepala, dada dan perut. Atur nafasmu dengan baik, kalahkan racun Kyai Plered. Aku sedang memasukkan Nagataksaka dalam tubuhmu,” suara sang kakek samar terdengar namun dapat dimengerti dengan baik oleh Jayaseta. Walau belum pernah mempelajari ilmu tenaga dalam sama sekali, dengan kecerdasan yang diatas rata-rata, Jayaseta melakukan apa yang diperintahkan sang kakek dengan sekuat tenaga.

Malam itu, perjuangan luar biasa kedua orang dengan umur yang berbeda ini membuahkan hasil yang luar biasa pula. Jayaseta terbangun di pagi harinya dengan tubuh jauh lebih bugar mengingat luka yang ia dapatkan sehari sebelumnya. Luka ***** di pahanya serta tusukan tombak di dada kirinya walau belum mengering telah menunjukkan kesembuhan yang luar biasa cepatnya. Sedangkan gambar rajah Nagataksaka di sekitar luka tusukan tombak Kyai Plered berupa goretan luka itupun mulai menghilang. Tinggal kesedihan yang kemudian menyerang Jayaseta, apalagi ia sendiri yang menguburkan jenazah sang ayahanda tercinta kemudian.

“Sekarang apa yang harus aku lakukan, kek?” tanya Jayaseta setelah beberapa hari berkabung atas kematian ayahnya.

“Apa kau merasa dendam yang berkecamuk dalam dadamu?” tanya sang kakek.

Mata Jayaseta menerawang, “Tidak kakek. Anehnya aku tidak merasakan dendam. Aku bahkan tidak berniat untuk membunuh orang-orang Mataram atau siapapun yang mencelakanku dan membunuh ayah. Apakah itu aneh kakek? Apalah aku bisa disebut sebagai orang yang tidak berbakti kepada orangtua dan negaraku?”

Kakek Keling memegang dagunya yang ditumbuhi sedikit jenggot yang sudah memutih. Ia tersenyum, kemudian tertawa pelan. Wajahnya menunjukkan kehangatan yang luar biasa bagi Jayaseta.

Tanpa menunggu jawaban sang kakek, Jayaseta kembali melanjutkan mengutarakan isi hatinya, “Aku tahu ayah membela rakyatnya karena ia sendiri adalah seorang prajurit. Ia besar di Giri. Bahkan nenek moyangku yang mengikuti tugas perjalanan Cheng Ho juga sudah lama berada di Giri. Wajar bila ayah berlaku selayaknya Karna pada Astina atau Kumbakarna pada Alengka.

“Ayah tewas membela negaranya. Akupun membunuh para pasukan Mataram karena membela ayahku. Namun bila aku membalas dendam atas kematian ayah, bukankah itu menodai rasa keadilanku?

“Perang sudah usai, sudah jelas siapa yang memenangkan peperangan. Lain halnya bila pasukan Mataram, atau siapapun melakukan tindakan sewenang-wenang dan aku berada di lintasan nasib itu. Tentu aku tak akan diam diri. Apakah aku salah kakek?”

Jayaseta bertanya kepada sang kakek namun matanya menerawang jauh. Entah apa yang sedang ia pikirkan dan berkecamuk dalam dadanya. Semua pengalaman ini harusnya menimbulkan pengaruh yang besar dalam kehidupannya kelak sebagai seorang pendekar muda nan sakti dan mahsyur namanya di tanah Jawa.

Terpopuler

Comments

Abdul Rouf

Abdul Rouf

kok ceriata nya munyer

2024-11-22

0

y@y@

y@y@

🔥👍👍🏿👍🔥

2022-12-02

0

y@y@

y@y@

👍🏻👍🏿🔥👍🏿👍🏻

2022-11-28

1

lihat semua
Episodes
1 Nio Hongko
2 Nio Kongsing
3 Pendekar Bertopeng Panji
4 Tombak Pusaka Kanjeng Kyai Ageng Plered
5 Kakek Keling dan Rajah Nagataksaka
6 Tendangan Guntur dari Selatan dan Jurus Tanpa Jurus
7 Wejangan
8 Perjalanan ke Mataram
9 Perampokan Seorang Saudagar Arab
10 Si Lebah Siluman
11 Almira
12 Mataram di Mata Jayaseta
13 Kedai Makan
14 Di Atas Kapal
15 Pertarungan
16 Kali Bisaya
17 Sang Pemimpin
18 Jarum Bumi Neraka
19 Pratiwi
20 Kesultanan Banten
21 Jalan Setapak
22 Sarti
23 Lima Iblis Pencium Darah
24 Betawi
25 Budak
26 Pisau Terbang Penari
27 Rajah Garuda Sentanu
28 Serdadu
29 Bandar Niaga
30 Pertarungan di Tanah Merah
31 Rapier & Saber
32 Selipan
33 Badranaya
34 Katana
35 Dua Benteng Pertahanan
36 Jigen
37 Ceruk
38 Bubuk Api
39 Lembing
40 Trisula
41 Sundang Majapahit
42 Jemparing
43 Gandhewa Pamenthaning Cipta
44 Di Grassi
45 Candrasa
46 Lamina
47 Tameng
48 Meester
49 Usadha
50 Zhen Jiu
51 Jalir
52 Caping
53 Sang Kudi Langit
54 Semarang
55 Bangkui Sakti
56 Jung
57 Topeng Ireng Lokajaya
58 Bajak Laut
59 Kuda-Kuda Kaki Bersilang
60 Kulao Bassi
61 Silat Sepapan
62 Rujakpala
63 Si Gelembung Lotong
64 Jurus Badai di Tengah Samudra
65 Perlawanan
66 Tupas
67 Caluk
68 Topeng Buta Merah
69 Sang Penyair Baka
70 Wedhung
71 Lau Siufan
72 Pemabuk
73 Sàam Kûn-thâu
74 Bumi Sukadana
75 Kedai
76 Nukilan
77 Topeng Kayu Berhias Bulu Burung
78 Cindai
79 Silat Gayong
80 Dara Cempaka
81 Hulubalang
82 Kasmaran
83 Silat Pattani
84 Pendekar Paripurna
85 Sirih
86 Arak
87 Wadon
88 Mensa dan Jogo do Pau
89 Obor
90 Rajah Kembang Kenanga
91 Sahabat
92 Kesabaran
93 Pengayau
94 Orang Darat
95 Bunga Terung
96 Damek
97 Kinyah
98 Sanaman Mantikei
99 Antang Menukik
100 Pendekar
101 Asap
102 Tenaga Dalam
103 Lumpur
104 Air Mata
105 Perwira
106 Dim Mak
107 Dipan
108 Pendekar Harimau Muda Kudangan
109 Naibor
110 Jajal Ilmu Kanuragan
111 Silek Harimau
112 Sarung
113 Marabahaya
114 Kepala
115 Bangkui Sakti Memecah Buah
116 Agukng
117 Do Terbang
118 Krontjong
119 Adat
120 Yulgok
121 Sembuh
122 Janji
123 Nan Sarunai
124 Man Da U
125 Ma Ying
126 Pola
127 Jipen Kumang
128 Bumi Kenyalang
129 Jukung
130 Muyejebo
131 Pertempuran Bagian Pertama - Tameng Kayu
132 Pertempuran Bagian Kedua - Saudara
133 Pertempuran Bagian Ketiga - Kepentingan
134 Pertarungan Bagian Keempat - Roh Leluhur
135 Pertarungan Bagian Kelima - Parang Pandat
136 Pertarungan Bagian Keenam - Bedil
137 Pertarungan Bagian Ketujuh - Puting Beliung
138 Tawur
139 Pedang Pekir
140 Latok
141 Jarum
142 Ilmu Sihir
143 Merlin
144 Cuca Bangkai
145 Tali Jerami dan Akar Tanaman
146 Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu
147 Khun Wanchay Na Ayutthaya
148 Tuan Muda Syaifuddin dan Putri Mayang Delima
149 Sabba
150 Pengait
151 Buntung
152 Kesultanan Johor-Riau
153 Tersohor
154 Fong Pak Laoya
155 Hio
156 Hulubalang Harimau Laut
157 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Pertama - Meriam
158 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kedua - Labussa dan Makkawaru
159 Sempalan
160 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Ketiga - Langkah Empat
161 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Keempat - Lopes Fransisco de Paula
162 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kelima - Mah Meri
163 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Keenam - Lengah
164 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Ketujuh - Terhimpit
165 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kedelapan - Gaduh dan Kisruh
166 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kesembilan - Berjubelan
167 Kocar-Kacir
168 Jala Jangkung
169 Mata Uang Emas
170 Peudeung
171 Jurus Berpasangan
172 Mossak Toba
173 Lasara
174 Lempengan
175 Pisau Tiuk
176 Tombak Dapur Brongsong Pengait
177 Tusukan Kilat Pelebur
178 Para Penembak
179 Kapal Dagang Melayu
180 Fortaleza de Malaca
181 Gerbang
182 Tempat Arak dari Bambu
183 Colhona
184 Warangan
185 Tujuh
186 Melarikan Diri
187 Mulut Pelabuhan
188 Labbiri
189 Empat Harimau Gayong Melayu
190 Sang Harimau Kedah
191 Sang Harimau Terengganu
192 Sang Harimau Kelantan
193 Desas-Desus
194 Sang Harimau Pattani
195 Dua Utas Tali Jerami
196 Silat Tomoi
197 Pelajaran Pertama - Burung Api
198 Pelajaran Kedua - Curi Jurus
199 Pelajaran Ketiga - Jurus Segala Bentuk
200 Pelajaran Keempat - Terpancing
201 Topeng Penthul Tembem
202 Terikat
203 Paruh Baya
204 Dewa Langkah Tiga
205 Jati Diri
206 Keyakinan
207 Terlontar
208 Tiga
209 Pucok Gunong Sang Harimau Belang
210 Lethwei Thaing
211 Keris Berhulu Anak Ayam
212 Padang Rumput
213 Putus Terpenggal
214 Topeng Iblis Khon
215 Daab
216 Gumunan, Kagetan
217 Krabi Krabong
218 Ayodya
219 Cahaya Bulan
220 Memanen Nyawa Musuh
221 Kotak Kayu
222 Phi Ying Praphet Song
223 Semilir
224 Arthit si Muay Paak Klang
225 Muun Met Mat
226 Amin
227 Pangkal Ibu Jari
228 Tawaran
229 Biksu
230 Kitiran
231 Ringkikan Kuda
232 Ngao
233 Ruang Sempit
234 Dunia Baru
235 Harga Diri
236 Sosok yang Sangat Mengerikan
237 Membaca Gerakan Lawan
238 Lancaran Melayu
239 Kekang Kuda
240 Perompak Đại Việt
241 Perahu-Perahu
242 Logam-Logam Pengait
243 Bahasa Melayu Berlogat Aneh
244 Buritan
245 Bagian Tengah Kapal
246 Beringas
247 Tiga Kapal Pedagang
248 Sabetan Panjang
249 Annam
250 Menerkam Dalam Diam
251 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Pertama: Naluri Pratiwi
252 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kedua: Yu Melaju
253 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketiga: Bertukar Senyum Samar
254 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keempat: Unsur-Unsur Pedang Lentur
255 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kelima: Busana yang Sedikit Berbeda
256 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keenam: Mendadak Meledak
257 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketujuh: Periksa Nakhoda
258 Pertempuran di Sungai Bagian Kedelapan: Hitam Jahanam
259 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kesembilan: Mengerang dengan Wajah Menggarang
260 Pertempuran di Sungai Bagian Kesepuluh: Berseru dan Menderu
261 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kesebelas: Berkobar Semakin Liar
262 Kejayaan dan Kepuasan
263 Cuilan
264 Jaka Lelana
265 Mulut Terbuka Menganga
266 Menahan Laju Tunjaman
267 Lembing Bambu Runcing
268 Mengirimkan Rasa Takut
269 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keduabelas: Tergeletak di Atas Geladak
270 Jurus-Jurus Bersudut Tajam
271 Apa Mau Dikata
272 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketigabelas: Bergelimpangan Akibat Pertempuran
273 Menyerang Musuh Tanpa Menyentuh
274 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keempatbelas: Terlalu Lama Mencoba
275 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kelimabelas: Serang Semua! Bersama-Sama!
276 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keenambelas: Mundur Dengan Teratur
277 Thai
278 Lâm
279 Tertambat
280 Karat Darah
281 Berdarah Murni
282 Mendengar Langkah Musuh
283 Ancaman Nyata
284 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketujuhbelas: Nama Itu Untuk Dirimu
285 Sosok Gelap
286 Lempengan
287 Pelempar
288 Sinar Jingga
289 Mandala
290 Perintah
291 Racun
292 Ledakan
293 Pengecut
294 Cakar
295 Ban Yipun
296 Darah
297 Tanpa Basa-Basi
298 Nakhon Si Thammarat
299 Di Tepi Sungai
300 Orang Champa
301 Harimau Siam
302 Tumbang Menjadi Mayat
303 Lebam Membiru dan Menghitam
304 Patah
305 Sekarat
306 Bokator
307 Pelataran
308 Orang Asing
309 Sudiamara
310 Timur
311 Berita
312 Kesanga
313 Rencana
314 Tengger
315 Korban Pertama
316 Cemeti
317 Kuda
318 Payung Pertahanan
319 Harimau Putih Menggasak Bumi
320 Murka
321 Seutas Tali
322 Saka Guru
323 Cabai
324 Sake
325 Rua Mat
326 Garis Nasib yang Serupa
327 Penjelasan
328 Kemungkinan Selalu Ada
329 Lengan Menyilang
330 Jauh dari Kata Selesai
331 Perhatian Besar
332 Merembes
333 Arquebus
334 Membungkuk Siap Terlontar
335 Rencana dan Keinginan yang Gila
336 Memotong Dari Atas ke Bawah
337 Naginatajutsu
338 Tiga Dewa Kematian
339 Mementingkan Kepentingan Sendiri
Episodes

Updated 339 Episodes

1
Nio Hongko
2
Nio Kongsing
3
Pendekar Bertopeng Panji
4
Tombak Pusaka Kanjeng Kyai Ageng Plered
5
Kakek Keling dan Rajah Nagataksaka
6
Tendangan Guntur dari Selatan dan Jurus Tanpa Jurus
7
Wejangan
8
Perjalanan ke Mataram
9
Perampokan Seorang Saudagar Arab
10
Si Lebah Siluman
11
Almira
12
Mataram di Mata Jayaseta
13
Kedai Makan
14
Di Atas Kapal
15
Pertarungan
16
Kali Bisaya
17
Sang Pemimpin
18
Jarum Bumi Neraka
19
Pratiwi
20
Kesultanan Banten
21
Jalan Setapak
22
Sarti
23
Lima Iblis Pencium Darah
24
Betawi
25
Budak
26
Pisau Terbang Penari
27
Rajah Garuda Sentanu
28
Serdadu
29
Bandar Niaga
30
Pertarungan di Tanah Merah
31
Rapier & Saber
32
Selipan
33
Badranaya
34
Katana
35
Dua Benteng Pertahanan
36
Jigen
37
Ceruk
38
Bubuk Api
39
Lembing
40
Trisula
41
Sundang Majapahit
42
Jemparing
43
Gandhewa Pamenthaning Cipta
44
Di Grassi
45
Candrasa
46
Lamina
47
Tameng
48
Meester
49
Usadha
50
Zhen Jiu
51
Jalir
52
Caping
53
Sang Kudi Langit
54
Semarang
55
Bangkui Sakti
56
Jung
57
Topeng Ireng Lokajaya
58
Bajak Laut
59
Kuda-Kuda Kaki Bersilang
60
Kulao Bassi
61
Silat Sepapan
62
Rujakpala
63
Si Gelembung Lotong
64
Jurus Badai di Tengah Samudra
65
Perlawanan
66
Tupas
67
Caluk
68
Topeng Buta Merah
69
Sang Penyair Baka
70
Wedhung
71
Lau Siufan
72
Pemabuk
73
Sàam Kûn-thâu
74
Bumi Sukadana
75
Kedai
76
Nukilan
77
Topeng Kayu Berhias Bulu Burung
78
Cindai
79
Silat Gayong
80
Dara Cempaka
81
Hulubalang
82
Kasmaran
83
Silat Pattani
84
Pendekar Paripurna
85
Sirih
86
Arak
87
Wadon
88
Mensa dan Jogo do Pau
89
Obor
90
Rajah Kembang Kenanga
91
Sahabat
92
Kesabaran
93
Pengayau
94
Orang Darat
95
Bunga Terung
96
Damek
97
Kinyah
98
Sanaman Mantikei
99
Antang Menukik
100
Pendekar
101
Asap
102
Tenaga Dalam
103
Lumpur
104
Air Mata
105
Perwira
106
Dim Mak
107
Dipan
108
Pendekar Harimau Muda Kudangan
109
Naibor
110
Jajal Ilmu Kanuragan
111
Silek Harimau
112
Sarung
113
Marabahaya
114
Kepala
115
Bangkui Sakti Memecah Buah
116
Agukng
117
Do Terbang
118
Krontjong
119
Adat
120
Yulgok
121
Sembuh
122
Janji
123
Nan Sarunai
124
Man Da U
125
Ma Ying
126
Pola
127
Jipen Kumang
128
Bumi Kenyalang
129
Jukung
130
Muyejebo
131
Pertempuran Bagian Pertama - Tameng Kayu
132
Pertempuran Bagian Kedua - Saudara
133
Pertempuran Bagian Ketiga - Kepentingan
134
Pertarungan Bagian Keempat - Roh Leluhur
135
Pertarungan Bagian Kelima - Parang Pandat
136
Pertarungan Bagian Keenam - Bedil
137
Pertarungan Bagian Ketujuh - Puting Beliung
138
Tawur
139
Pedang Pekir
140
Latok
141
Jarum
142
Ilmu Sihir
143
Merlin
144
Cuca Bangkai
145
Tali Jerami dan Akar Tanaman
146
Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu
147
Khun Wanchay Na Ayutthaya
148
Tuan Muda Syaifuddin dan Putri Mayang Delima
149
Sabba
150
Pengait
151
Buntung
152
Kesultanan Johor-Riau
153
Tersohor
154
Fong Pak Laoya
155
Hio
156
Hulubalang Harimau Laut
157
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Pertama - Meriam
158
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kedua - Labussa dan Makkawaru
159
Sempalan
160
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Ketiga - Langkah Empat
161
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Keempat - Lopes Fransisco de Paula
162
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kelima - Mah Meri
163
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Keenam - Lengah
164
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Ketujuh - Terhimpit
165
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kedelapan - Gaduh dan Kisruh
166
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kesembilan - Berjubelan
167
Kocar-Kacir
168
Jala Jangkung
169
Mata Uang Emas
170
Peudeung
171
Jurus Berpasangan
172
Mossak Toba
173
Lasara
174
Lempengan
175
Pisau Tiuk
176
Tombak Dapur Brongsong Pengait
177
Tusukan Kilat Pelebur
178
Para Penembak
179
Kapal Dagang Melayu
180
Fortaleza de Malaca
181
Gerbang
182
Tempat Arak dari Bambu
183
Colhona
184
Warangan
185
Tujuh
186
Melarikan Diri
187
Mulut Pelabuhan
188
Labbiri
189
Empat Harimau Gayong Melayu
190
Sang Harimau Kedah
191
Sang Harimau Terengganu
192
Sang Harimau Kelantan
193
Desas-Desus
194
Sang Harimau Pattani
195
Dua Utas Tali Jerami
196
Silat Tomoi
197
Pelajaran Pertama - Burung Api
198
Pelajaran Kedua - Curi Jurus
199
Pelajaran Ketiga - Jurus Segala Bentuk
200
Pelajaran Keempat - Terpancing
201
Topeng Penthul Tembem
202
Terikat
203
Paruh Baya
204
Dewa Langkah Tiga
205
Jati Diri
206
Keyakinan
207
Terlontar
208
Tiga
209
Pucok Gunong Sang Harimau Belang
210
Lethwei Thaing
211
Keris Berhulu Anak Ayam
212
Padang Rumput
213
Putus Terpenggal
214
Topeng Iblis Khon
215
Daab
216
Gumunan, Kagetan
217
Krabi Krabong
218
Ayodya
219
Cahaya Bulan
220
Memanen Nyawa Musuh
221
Kotak Kayu
222
Phi Ying Praphet Song
223
Semilir
224
Arthit si Muay Paak Klang
225
Muun Met Mat
226
Amin
227
Pangkal Ibu Jari
228
Tawaran
229
Biksu
230
Kitiran
231
Ringkikan Kuda
232
Ngao
233
Ruang Sempit
234
Dunia Baru
235
Harga Diri
236
Sosok yang Sangat Mengerikan
237
Membaca Gerakan Lawan
238
Lancaran Melayu
239
Kekang Kuda
240
Perompak Đại Việt
241
Perahu-Perahu
242
Logam-Logam Pengait
243
Bahasa Melayu Berlogat Aneh
244
Buritan
245
Bagian Tengah Kapal
246
Beringas
247
Tiga Kapal Pedagang
248
Sabetan Panjang
249
Annam
250
Menerkam Dalam Diam
251
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Pertama: Naluri Pratiwi
252
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kedua: Yu Melaju
253
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketiga: Bertukar Senyum Samar
254
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keempat: Unsur-Unsur Pedang Lentur
255
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kelima: Busana yang Sedikit Berbeda
256
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keenam: Mendadak Meledak
257
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketujuh: Periksa Nakhoda
258
Pertempuran di Sungai Bagian Kedelapan: Hitam Jahanam
259
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kesembilan: Mengerang dengan Wajah Menggarang
260
Pertempuran di Sungai Bagian Kesepuluh: Berseru dan Menderu
261
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kesebelas: Berkobar Semakin Liar
262
Kejayaan dan Kepuasan
263
Cuilan
264
Jaka Lelana
265
Mulut Terbuka Menganga
266
Menahan Laju Tunjaman
267
Lembing Bambu Runcing
268
Mengirimkan Rasa Takut
269
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keduabelas: Tergeletak di Atas Geladak
270
Jurus-Jurus Bersudut Tajam
271
Apa Mau Dikata
272
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketigabelas: Bergelimpangan Akibat Pertempuran
273
Menyerang Musuh Tanpa Menyentuh
274
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keempatbelas: Terlalu Lama Mencoba
275
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kelimabelas: Serang Semua! Bersama-Sama!
276
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keenambelas: Mundur Dengan Teratur
277
Thai
278
Lâm
279
Tertambat
280
Karat Darah
281
Berdarah Murni
282
Mendengar Langkah Musuh
283
Ancaman Nyata
284
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketujuhbelas: Nama Itu Untuk Dirimu
285
Sosok Gelap
286
Lempengan
287
Pelempar
288
Sinar Jingga
289
Mandala
290
Perintah
291
Racun
292
Ledakan
293
Pengecut
294
Cakar
295
Ban Yipun
296
Darah
297
Tanpa Basa-Basi
298
Nakhon Si Thammarat
299
Di Tepi Sungai
300
Orang Champa
301
Harimau Siam
302
Tumbang Menjadi Mayat
303
Lebam Membiru dan Menghitam
304
Patah
305
Sekarat
306
Bokator
307
Pelataran
308
Orang Asing
309
Sudiamara
310
Timur
311
Berita
312
Kesanga
313
Rencana
314
Tengger
315
Korban Pertama
316
Cemeti
317
Kuda
318
Payung Pertahanan
319
Harimau Putih Menggasak Bumi
320
Murka
321
Seutas Tali
322
Saka Guru
323
Cabai
324
Sake
325
Rua Mat
326
Garis Nasib yang Serupa
327
Penjelasan
328
Kemungkinan Selalu Ada
329
Lengan Menyilang
330
Jauh dari Kata Selesai
331
Perhatian Besar
332
Merembes
333
Arquebus
334
Membungkuk Siap Terlontar
335
Rencana dan Keinginan yang Gila
336
Memotong Dari Atas ke Bawah
337
Naginatajutsu
338
Tiga Dewa Kematian
339
Mementingkan Kepentingan Sendiri

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!