Saat itu angin laut Cina Selatan sedang bertiup ke arah utara sehingga memang memudahkan pelayaran ke negeri-negeri bawah angin seperti Ayuthia, Campa dan Cina. Namun begitu pelayaran dari pulau Jawa ke Cina jelas membutuhkan waktu yang lebih dari empat puluh hari. Perjalanan dari Kanton ke Malaka saja membutuhkan waktu empat puluh lima sampai lima puluh hari. Ini tetap akan membuat siapapun yang tak siap melakukan perjalanan jauh, terkatung-katung di samudra luas, akan keberatan untuk ambil serta dalam perjalanan panjang ini.
Jumlah mereka yang mengepung Jayaseta adalah delapan orang termasuk dua orang prajurit yang terpental oleh serangan Jayaseta tadi. Enam orang prajurit bawahan si pipi gembil berjambang tadi rupa-rupanya bukanlah bagian yang sama dengan dua orang prajurit dengan seragam lengkap keprajuritan tersebut walau mereka berada di atas satu kapal. Terbukti dengan gegabah dua orang prajurit yang masih kesal karena jatuh diserang sang pemuda bertopeng, tanpa ragu lagi dan tanpa perhitungan langsung menyerang Jayaseta bersamaan.
“Hiyaaaaa …. Hiyaaaatttt!” keduanya membabat menyasar ke kepala dan dada Jayaseta. Jayaseta sendiri berputar-putar sambil merunduk menghindari dua bacokan pedang para penyerangnya. Ketika kedua serangan itu lolos, Jayaseta menyepak kaki salah satu penyerangnya yang kemudian jatuh terjengkang. Sedangkan prajurit satunya lagi hampir saja melepaskan serangan kedua kalinya sebelum sabuknya direnggut oleh Jayaseta. Ia terlempar jauh menabrak tepian kapal dengan keras dan tak sadarkan diri.
Prajurit yang terjengkang berusaha bangun secepat yang ia bisa namun kemudian tersadar, tangan kanannya tidak menggenggam pedang lagi. Ujung pedang yang tajam itu sekarang sudah menempel ke tenggorokannya. Entah kapan Jayaserta berhasil merebut pedang dari tangannya. Sang prajurit pun langsung melepaskan tamengnya untuk menunjukkan tanda ia tidak berniat melawan lagi. Satu depakan menghajar dadanya dan membuatnya terpental untuk kedua kalinya. Kali ini pun ia tak sadarkan diri seperti rekannya.
Jayaseta kini menggenggam sebuah pedang pendek. Keenam prajurit yang mengepungnya sudah menduga akan hal ini. Jurus-jurus serangan dan hindaran Jayaseta tidak bisa disepelekan dan dianggap remeh. Mereka harus mengatur siasat dalam menghadapi lawan. Keenam prajurit ini saling pandang dan mengirimkan semacam isyarat.
Satu prajurit berikat kepala tiga lapis lilitan bersenjatakan tombak dua hasta bermata trisula dan tameng rotan yang ringan maju menyerbu. Ia menyasar satu tusukan ke dada Jayaseta. Jayaseta yang awas akan hal ini mundur setengah langkah dan akan membalas menyerang ketika satu prajurit dengan sepasang giwang lebar di kedua telinganya menyabet kakinya dengan sebuah pedang pendek melengkung. Namun pedang melengkung ini cukup berbeda karena bukannya melengkung ke belakang, bilah tajamnya melengkung ke depan, walau tak sebengkok celurit.
Pedang pendek ini pastilah memiliki daya hancur yang seram. Bayangkan saja bila lengkungan bilah tajam itu memapras tubuh seseorang. Kelak Jayaseta mengetahui bahwa nama pedang itu adalah ginunting. Jayaseta terpaksa urung menyerang dan memilih melompat menghindar.
DAG!
Saat ia melompat itulah ia disongsong hantaman perisai rotan oleh prajurit dengan tombak trisula tepat di dadanya. Jayaseta berguling ke belakang sekaligus membuat jarak yang cukup jauh agar terhindar dari kepungan. Hanya saja belum sempat ia mengatur kuda-kudanya, desingan anak panah menggores lengannya. Sangat tipis namun sempat membuat Jayaseta terkejut.
Untung saja panah bukanlah senjata yang tepat digunakan di atas kapal. Ini karena angin yang sangat deras membuat anak panah sering melenceng dari sasaran. Tapi bila anak panah itu berhasil menggoresnya, bukankah ilmu memanah yang penyerang begitu mumpuni dan lihai?
Sang pemanah menggenggam gandewa atau sebuah busur. Gandewa ini terbuat dari bahan bambu yang pendek, anak-anak panahnya menggantung di pinggang bagian kiri, tidak seperti pemanah lainnya yang biasa memasang tempat anak panah di punggung mereka. Ia mengenakan selembar baju tanpa kancing berwarna hitam dan ikat kepala tinggi bergaya Melayu.
Satu bidikan lagi sudah mengarah ke Jayaseta. Ketika anak panah itu dilepas dan mendesing di udara, Jayaseta berhasil menangkis dengan pedang pendeknya dan mematahkan anak panah tersebut.
Tiga prajurit lainnya datang dengan tiba-tiba menyerang serentak dengan belati mereka. Tusukan dan sabetan ke arah Jayaseta seperti terencana dengan baik. Ketiganya memiliki tiga pasang belati yang sama persis. Jurus-jurus mereka juga sepertinya jurus belati berpasangan yang walau jarak serangnya lebih pendek dibanding pedang, tombak terutama lagi busur panah, karena dilakukan bertiga dan serangan mereka seperti memanjang bagai rantai besi. Jayaseta terpaksa harus mundur, berguling dan mencelat secepat dan sebaik mungkin. Sudah lima serangan yang mengarah ke Jayaseta membuat ia kesal ingin memberikan perlawanan.
Jayaseta pun memutuskan sudah saatnya menghancurkan gaya bertempur keenam prajurit ini dengan serangan-serangannya sebelum entah kapan mereka berhasil melukai bahkan membunuh dirinya. Jayaseta melihat semacam rongga dalam serangan-serangan mereka yang tertata tersebut, yaitu bahwa mereka menyerang dengan menunduk. Bahkan si pemanah pun memiliki kuda-kuda memanah sembari merunduk. Ini karena peperangan yang sering mereka alami adalah di atas kapal. Untuk menjaga keseimbangan dan gerak jurus yang paling baik adalah menunduk dan membuka kuda-kuda lebar sehingga landasan mereka kokoh.
Jayaseta mencelat ke udara dan membabatkan pedangnya.
TRANG! TRING!
Serangannya membabat tameng para prajurit. Ia terus meloncat-loncat lagi sembari menyerang para prajurit yang juga ternyata baik dalam pertahanan pula. Memang cara ini ternyata merepotkan para prajurit yang terbiasa berkelahi dengan cara merunduk. Bila diperhatikan secara seksama, tiga empat kali serangan lagi dengan kemampuan Jayaseta yang tinggi ini, pertahanan para prajurit pun akan dapat bobol tanpa mereka sempat membalas serangan. Tapi bukan tidak ada alasan mengapa jurus serangan menunduk adalah salah satu yang paling tepat digunakan di atas kapal.
Jayaseta merasakan tubuhnya oleng ketika ombak besar menghantam tubuh kapal. Semua orang di tas geladak kapal pun turut bergoyang, tapi segera kembali lagi pada keadaan semula. Sedangkan pengeroyoknya menunduk dan tak tergoyahkan. Pandangan mereka tajam mengarah ke Jayaseta. Ombak menghantam kapal lagi. Semua orang memegang sesuatu yang menempel pada kapal untuk menyeimbangkan diri. Kemudian keadaan menjadi biasa lagi. Namun tidak pada Jayaseta. Ia merasakan sebuah perasaan yang aneh. Kepalanya tiba-tiba puyeng dan perutnya bergejolak. Ketika kapal bergoyang lagi untuk keberapa kalinya,
Jayaseta tiba-tiba merasa kepalanya berputar. Apakah racun yang menyerangnya sedari di Cerbon kembali menyerangnya lagi kali ini? Racun kutukan tombak Kyai Plered yang mulai membuat olah lagi? Atau ada salah seorang dari prajurit tersebut yang menggunakan ilmu sihir membuat Jayaseta lemah dan hilang kesadaran sehingga gampang untuk diserang?
Para prajurit sepertinya sadar dengan keanehan dari cara berdiri Jayaseta meski mereka pun tak tahu benar apa yang terjadi pada pemuda itu. Yang jelas, ia nampak oleng dan tidak dalam keadaan yang baik untuk bertahan maupun menyerang seperti beberapa saat tadi. Jayaseta merasa perutnya begitu mual, terutama ketika kapal bergoyang lagi untuk kesekian kalinya. Ia mencoba cepat-cepat mengatur tenaga dalam murninya.
Sialnya ia sudah tak kuat lagi.
Penutup mulutnya ia lepaskan dan secara mendadak ia mengeluarkan isi perutnya ke lantai geladak kapal, ia muntah. Muntahan itu tidak berhenti. Muntahan kedua ketiga dan terus begitu beberapa kali sampai ia merasa lemas. Kepalanya pun masih berputar. Sial, racun ini begitu kuat pikirnya. Sedangkan keenam orang yang sudah siap menyerang sedari tadi malah dibuatnya melongo.
Tanpa sadar, seorang prajurit maju dengan cepat ke arah Jayaseta dan dengan memanfaatkan kesempatan berhasil menghantamkan tamengnya ke dagu Jayaseta dan membuatnya mendongak. Satu hantaman lagi dengan perisai tersebut di dada Jayaseta membuat ia terdorong mundur beberapa langkah dan pedang pendeknya pun terlepas dari tangannya. Ketika prajurit lainnya ingin menyelesaikan pertarungan ini dengan membacokkan pedangnya ke kepala Jayaseta, teriakan sang pemimpin prajurit membuat pedangnya berhenti di udara, “Berhenti! Jangan bunuh, aku bilang sisakan kepalanya untukku!”
Sang pemimpin kemudian menyeruak diantara prajurit yang mengepung Jayaseta. Dengan wajah yang dibuat beringas ia menendang Jayaseta sekeras mungkin hingga tubuh Jayaseta menghantam tiang kapal. Jayaseta merosot terduduk lemas dengan bersender ke tiang kapal.
“Bodoh, kau mabuk laut rupanya!” ujar sang pemimpin prajurit dengan diiringi ledakan tawa para prajurit lainnya.
Jayaseta tersadar.
Selama hidup, ia belum pernah bepergian menggunakan kapal. Ia bahkan tidak bisa berenang apalagi menaiki sebuah kapal besar dalam perjalanan jauh seperti ini. Adalah hal yang sangat berbeda dan sama sekali baru baginya. Ia benar-benar tersadar bahwa hal ini bukan hal yang sepele. Walau terlihat konyol, namun mabuk laut bukan perkara kecil. Ia sekarang berada di tengah samudra entah dimana tepatnya bersama orang-orang yang hendak membunuhnya.
Berbagai kesimpulan muncul di benak Jayaseta. Bila mabuk laut tidak berkesudahan, ia pasti lemas dan tidak mungkin melanjutkan pertarungan. Ia bisa dilempar ke laut, ini yang paling menakutkan. Untuk pertama kalinya dalam masa perjalanan ke Betawi, saat ini lah ia merasa paling takut.
Bertahun-tahun Jayaseta tinggal di Giri yang terkenal dengan pelabuhan Gresik nya. Orang-orang datang dari beragam daerah dan negeri berkunjung ke Gresik namun ia sama sekali tidak kenal dengan kehidupan perkapalan dan pelayaran. Ia tidak bernah diajari atau ingin belajar berenang. Dataran adalah satu-satunya pengalaman perjalanannya.
Laut selalu menjadi hal yang mengerikan baginya. Itulah sebabnya Jayaseta baru memahami seutuhnya mengapa ia begitu kesal ketika tersadar sudah berada di atas geladak kapal. Bukan sekedar dari merasa dikibuli dan ditipu, namun lebih karena perasaan takut dan tidak tenang karena berada di atas kapal yang mengapung di lautan.
Seluruh prajurit kembali mengitarinya dengan sang pemimpin yang masih terkekeh berdiri angkuh di depannya. Jayaseta masih terduduk dengan perutnya yang terasa teraduk-aduk dan kepalanya yang serasa berputar. Perasaan kacau masih mengunggulinya, terutama perasaan tertekan dan merasa konyol serta lemah. Akan lucu bila ia mati konyol di lautan karena tidak dapat bertarung dengan baik. Ia mati karena mabuk laut.
Untuk itu Jayaseta memejamkan matanya, mencoba mencari tahu cara kerja tubuhnya saat ini, bagaimana caranya agar ia dapat meredam rasa mabuk lautnya ini. Ia coba tidak mengacuhkan tawa yang terus menggema di telinganya.
“Aku tidak menyangka, aku akhirnya bisa menghabisi seorang pendekar tersohor ini, yang lucunya, ternyata ia mabuk laut, ha ha ha …” sang pemimpin masih terus merasa puas dan mengejek Jayaseta disertai dengan semua prajurit yang melanjutkan tawa mereka.
Jayaseta memusatkan pikirannya untuk membuat tubuhnya tenang. Bila sampai kutukan Kyai Plered muncul, semuanya akan menjadi tambah runyam. Ia menimbang segala sesuatu. Bagaimana caranya mengungguli para pelaut yang sudah bertahun-tahun tinggal di atas kapal dan memiliki kemampuan yang sangat matang dalam kelautan dan peperangan di atas samudra?
Tenaga dalam murni tak mungkin dapat ia gunakan. Tenaganya akan terkuras habis apalagi dengan kemungkinan buruk racun kutukan tombak Kyai Plered muncul. Senjatanya kini juga sudah terlempar kemana. Untuk bertahan hidup, ia harus dapat memanfaatkan apapun yang dapat dilakukan untuk selamat dari tempat terkutuk tersebut. Pertama-tama tentu ia harus mengeyahkan ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan atas laut dan ketidakmampuannya untuk berenang.
Kedua, ia harus melawan para pengeroyoknya dengan jurus-jurus tangan kosong dan sekali lagi, tanpa tenaga dalam. Dengan tenaga dalam yang dikeluarkan, kelelahan dan rasa khawatir akan muncul lagi ketika tenaganya nanti terkuras. Ini bukan saatnya bertindak gegabah, teledor, penuh amarah dan jumawa dalam menghadapi para pengeroyoknya.
“Hoek, hoek, hoek …” Jayaseta kembali memuntahkan isi perutnya. Tapi kali ini dengan sengaja karena dengan melakukan ini adalah cara yang baik untuk semakin meningkatkan kesadarannya. Perutnya sudah sedikit nyaman, pikirannya pun mulai terpusat karena tidak mengkhawatirkan keadaannya secara berlebihan lagi.
Tawa main menggema tak terkendali ketika Jayaseta kembali muntah. Sayang, mereka tidak paham sama sekali bahwa Jayaseta adalah orang yang cepat belajar. Ia benar-benar pendekar pilih tanding dan sakti mandraguna. Seharusnya mereka langsung saja menghabisi Jayaseta ketika sempat. Namun kesombongan dan menganggap enteng banyak hal adalah kelemahan manusia yang paling tinggi. Jayaseta mampu menggunakan jeda pamer kesombongan musuh-musuhnya dengan menahan dan tidak mengacuhkan harga dirinya untuk meningkatkan kemampuan terbaiknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
ayom. apa yang nak dia buat
2023-04-03
0
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
mabok laut 😅
2023-04-03
0
akp
pendekar juga manusia, jadi sangat manusiawi jika jayaseta mabuk
2022-05-31
2