Kesultanan Cerbon dipimpin oleh Pengeran Mas yang bergelar Panembahan Ratu I. Sebuah negara yang sangat unik bagi Jayaseta. Tempat yang ramai dan berisi beragam budaya ini juga memiliki bahasa yang istimewa dan unik, gabungan antara bahasa Jawa dan bahasa orang-orang Pasundan. Tak heran karena Cerbon awalnya berasal dari kata ‘Caruban’ yang bermakna ‘campuran’, karena Jayaseta melihat banyak orang dari asal agama, bahasa, suku bangsa, dan mata pencaharian yang berbeda-beda dalam masyarakat Cerbon.
Sejenak Jayaseta merasa sedikit nyaman karena menjauh ke daerah yang terbebas dari pengaruh Mataram. Perjalanannya dari Mataram melalui jalur pantai utara Jawa, membuatnya serasa mereguk sampai habis beragam pengalaman dan tantangan. Sebagai seorang pendekar, sulit sekali untuk tidak ikut campur dalam urusan orang lain, bila urusan orang itu mengusik rasa keadilannya.
Berbulan-bulan Jayaseta berlatih habis-habisan dengan Kakek Keling. Berlatih badan dengan berlatih jurus, bertarung, memperkuat setiap bagian tubuh dengan memukul benda-benda keras serta meningkatkan tenaga dalam dan pernafasan. Selepasnya dari Giri di Gresik, Jayaseta sudah menghabiskan banyak waktu dan pengalaman di Mataram yang berada di pusat pulau Jawa.
Setelah melewati hutan-hutan, persawahan serta pegunungan di Mataram, ia kemudian menyusuri daerah pantai, merasakan air laut dan bau khas pelabuhan-pelabuhan. Begitu juga di Kesultanan Cerbon ini yang kegiatan keuangan dan kesejahteraan masyarakatnya berpusat di laut. Masyarakat sebagian besar bekerja sebagai nelayan, dan pelabuhannya menjadi salah satu pelabuhan yang ramai dan menjadi pusat perdagangan dengan daerah-daerah lain di Nusantara.
Jayaseta senang sekali berada di pelabuhan Cerbon. Daerah pelabuhan mengingatkan ia dengan kampung halaman, Giri di Gresik, dimana Gresik sendiri juga dikenal sebagai sebuah kota pelabuhan yang ramai. Di pelabuhan Cerbon ini kapal-kapal dengan lambung-lambung yang luas, tiang-tiang yang tinggi dan kokoh serta layar yang kuat dan besar berdampingan berjejer di pelabuhan.
Kapal-kapal Jawa dengan ciri dua atau tiga buah tiang untuk layar, lambung yang dibuat dengan menyambungkan papan-papan pada lunas dengan pasak, haluan dan buritan yang sama-sama menonjol, kemudi kembar seperti dayung dan bentuk layar segi empat tertentu bersender di pelabuhan Cerbon.
Kapal-kapal besar atau biasa disebut jung biasanya digunakan untuk mengangkut beras ke berbagai tempat di nusantara dan mancanegara. Dahulu pada masa kerajaan Demak berkuasa di Jawa, jung-jung raksasa memenuhi lautan. Jung tersebut digunakan untuk berperang dan mengangkut pasukan. Konon kabarnya jung-jung Demak mengalahkan besarnya kapal-kapal orang-orang Pranggi.
Ini terbukti sewaktu kerajaan Demak melawan kapal-kapal Pranggi di Malaka pada tahun 1511. Tercatat ada tiga puluh lima jung raksasa Jawa yang hancur di lautan ketika Patih Yunus atau Pati Unus dari Jepara menyerang orang Pranggi di Malaka tahun 1513 Masehi.
Lama-kelamaan orang-orang Jawa sadar bahwa jung-jung raksasa yang dipakai untuk berperang tidak begitu lihai untuk dikemudikan dalam berputar menghindari serangan meriam bangsa asing atau melaju untuk menyerbu musuh. Itulah sebabnya kapal-kapal saat ini sudah sedikit lebih kecil dibanding masa lalu, kecuali mungkin untuk jung-jung barang dagangan yang ada di pelabuhan Cerbon ini.
Selain orang Jawa sendiri yang membuat kapal dengan kayu jati dari kawasan Rembang atau Lasem di pantai Utara Jawa dan kayu-kayuan dari Sukadana atau Banjar, terkenal pula jung-jung yang dibuat oleh tangan terampil orang Pegu yang menggunakan kayu jati dari Burma dan Siam.
Jung-jung raksasa yang digunakan untuk mengangkut barang dagangan saat ini kebanyakan milik orang Cina atau orang-orang bule Pranggi, Britania Raya atau Walanda. Jung Cina yang Jayaseta lihat saat ini memiliki haluan yang lancip sedangkan buritannya datar dengan lambung dengan bangunnya yang lebih rapat dan tertutup.
Jayaseta berhenti di sebuah pasar yang ramai dengan para penjual. Udang adalah salah satu barang dagangan yang begitu ramai diperjualbelikan. Perutnya tiba-tiba berbunyi menandakan ia sudah cukup lapar. Melihat segarnya udang yang dijual, ia ingin sekali mencoba merasakan masakan laut dengan udang sebagai makanan utamanya. Matanya melihat sekeliling ternyata masih di sekitar pelabuhan ia melihat sebuah kedai makan.
Tak tunggu lama ia segera masuk ke dalamnya dan memesan makanan dengan udang sebagai pemuas laparnya. Saat itu sebenarnya sudah mendekati sore hari, ia sampai lupa makan seharian ini karena sibuk menikmati perjalanan dan pemandangan pelabuhan Cerbon yang ramai. Laparnya sudah tak tertahankan lagi, apalagi ketika masuk ke kedai yang bangunannya terbuat dari bambu itu, bau harum makanan semerbak mengundang seleranya.
Nampaknya kedai makan ini sudah hampir tutup karena Jayaseta melihat hanya dua orang pengunjung, tiga dengan dirinya di dalam warung, dan beberapa jendela sudah mulai ditutup. Benar saja, sang pekayan mengatakan bahwa Jayaseta adalah pengunjung terakhir, dan warung ini nantinya akan segera ditutup, “Namun kisanak tak perlu tergesa-gesa. Silahkan menikmati hidangan kami sesuka hati kisanak. Sudah tugas kami untuk melayani tamu yang khusus datang untuk menikmati makanan andalan kami,” Dengan begitu ramah, sang pelayan menenangkan Jayaseta.
Wah, ini pasti hari keberuntunganku, pikir Jayaseta. Bila warung ini tutup, aku bisa batal untuk makan udang yang sudah aku bayangkan sedari tadi. Benar saja, makanan udang bakar nya begitu manis dan lezat. Nampak sekali masih segar dari laut. Nasi yang panas di piring dari tanah liat dengan lalapan sayur yang segar pula yang juga ditatakkan di piring yang juga terbuat dari tanah liat sudah barang tentu menyempurnakan laparnya. Sedangkan air minum yang langsung dari kendi begitu sejuk dan melegakan. Ia jadi ingat dengan Kakek Keling ketika melihat piring dan perabotan dari tanah liat itu. Andai sang kakek ikut dalam perjalanannya dan sama-sama sedang makan di kedai ini, mereka pasti akan sama-sama menikmati kebersamaan mereka.
Sembari makan dengan lahap, Jayaseta melihat sekeliling. Kedai makan yang sederhana ini terbuat hampir seluruhnya dari bambu. Tiang-tiang, dinding, kerangka atap, semuanya berbahan bambu namun begitu terasa sangat nyaman dan teduh. Hampir bisa dikatakan warung ini secara ajaib menutupi kebisingan pelabuhan di luar sana. Rancangan bangunan yang begitu istimewa dan sangat diperhitungkan dengan baik, pikir Jayaseta lagi.
Ada tiga orang saja yang melayani para pembeli. Satu orang sebagai pelayan, satu orang yang bolak-balik dari dapur yang sepertinya menjadi juru masak, dan satunya berdiri di belakang sebuah meja lebar untuk melayani pembayaran. Bila ramai kedai ini pun sepertinya tetap dapat melayani para pembeli, karena tempatnya yang sederhana dan tidak begitu besar, sehingga pengunjung kedai makan inipun akan terbatas saja.
Di bagian lantai lesehan lain, duduk pula dua orang pengunjung lain. Dari baju atau busana yang mereka kenakan, terlihat bahwa mereka kemungkinan adalah dua orang saudagar yang kaya. Dari bahasa yang mereka gunakan untuk saling bercakap-cakap, mereka pastilah berasal dari tanah Pasundan, mungkin juga Pakuan.
Jayaseta terus melahap makanan yang ada di hadapannya sampai benar-benar habis. Wajah puas dan lega muncul di wajahnya. Ia berencana memberikan uang lebih bagi warung ini karena pelayanan yang mereka berikan dan makanan yang luar biasa enaknya.
BRAK! BRAK!
Tiba-tiba terdengar dua kali bunyi benturan seperti benda yang jatuh ke lantai kayu mengejutkan Jayaseta. Di depan Jayaseta dua orang saudagar yang sedang makan tadi sekarang terbaring di lantai dengan makanan yang berserakan di sekitarnya. Jayaseta bangkit untuk mendekati mereka dan mencari tahu apa yang terjadi dan bagaimana keadaan mereka. Sepertinya mereka tidak sadarkan diri, seperti tiba-tiba terserang penyakit … atau ….
Seketika Jayseta berdiri, mendadak pandangan matanya menjadi kabur dan berkunang-kunang. Dunia serasa berputar dan kedua kakinya melemah dengan begitu cepat dan tanpa aba-aba, seakan kedua pasang kakinya tidak sudi menyangga tubuhnya lagi. Walau merasa heran dengan perasaan ini Jayaseta masih terus memaksa mendekati kedua orang saudagar yang terbaring tersebut.
Jayaseta berhasil mendekati kedua saudagar yang terbaring tersebut dengan langkah yang terseok-seok. Ia melihat walau dengan sedikit kabur, tapi ia sadar apa yang ia lihat. Kedua orang saudagar itu terbaring dengan mata membelalak, melotot, dengan darah yang keluar dari mulut dan hidung mereka.
Racun! Pikir Jayaseta kemudian.
Namun terlambat, Jayaseta jatuh berlutut. Pandangan berkunang-kunangnya berhasil pula membuatnya tunduk. Tubuhnya melemah dan kedua kakinya sudah menyerah untuk membantunya bertahan. Dari sudut matanya ia melihat tiga orang mendekati dan mengelilinginya. Mereka kemudian Jayaseta kenal sebagai sang pelayan, juru masak, dan si pengurus pembayaran kedai tersebut.
Kesadaran sepertinya dihentakkan keluar dari kepalanya. Kedua mata Jayaseta tertutup, ia tak sadarkan diri. Ia jatuh tertelungkup dengan kepalanya membentur lantai.
Dua orang saudagar yang tadi sama-sama sedang makan di warung yang sama dengan Jayaseta ternyata telah tewas. Makanan mereka dibubuhi racun yang sangat kuat dan berbahaya. Saking berbahaya nya racun tersebut, ia sama sekali tidak terasa ketika sudah dicampurkan dengan makanan atau minuman, sehingga korban tidak sempat menyadari ketika racun tersebut masuk ke dalam tubuh mereka dan membunuh dengan cara yang begitu cepat.
“Heh Nata,” ujar orang yang bernama Sena, sang pelayan tiba-tiba setelah melihat keadaan Jayaseta. Sena adalah seorang laki-laki dengan perawakan sedang namun berisi. Wajahnya mulus tanpa kumis dan jambang namun terlihat dari garis-garis wajahnya bahwa ia kemungkinan memiliki umur yang paling tua dibanding ketiga rekannya.
“Kau yakin sudah memasukkan racun dengan takaran seperti biasanya di makanan orang satu ini?” tanyanya kemudian.
Si orang yang yang ditanyai, Nata si juru masak yang berperawakan sedikit tambun dengan wajah kekanak-kanakan, langsung menjawab dengan heran, “Sudah Sena. Ada apa gerangan?”
“Tidakkah kau lihat bahwa dia masih hidup? Orang ini cuma pingsan, seperti sekadar diberikan racun tidur atau ilmu sirap saja,” jawab Sena.
Nata dan satu temannya lagi, Pallawa sang pengurus keuangan juga kemudian buru-buru memperhatikan keadaan Jayaseta, “Iya, benar. Mengapa ia sekadar tidak sadarkan diri? Kau yakin tidak salah memberikan racun?” ujar Pallawa kali ini. Pallawa sendiri sebenarnya sudah dipastikan adalah yang termuda dari mereka berdua, namun ia memelihara kumis dan jenggot yang tidak begitu lebat. Ini mungkin untuk menunjukkan kesan garang dan dewasa di mata orang.
“Ah, tidak. Aku yakin, aku memasukkan racun yang biasanya kita gunakan. Sama dengan dua orang saudagar itu,” jawab Nata dengan yakin namun juga tidak kalah heran dengan kedua temannya.
Tentu saja ketiga orang ini sangat heran dengan korban terakhir. Ia tidak tewas! Padahal menurut Nata, ia yakin bahwa ia telah memasukkan kadar racun yang sama dengan yang ia berikan kepada kedua orang saudagar Sunda tersebut.
“Ah, sudahlah. Yang jelas orang ini masih hidup. Mungkin kau memang benar salah memasukkan racun. Tapi lebih baik kita bereskan semuanya seperti biasa,” ujar Sena berusaha bijak dan tidak mau membahas lebih lanjut.
Baik Pallawa dan Nata pun akhirnya mengangguk dan tidak membahas lebih jauh, walau Nata sangat sebal dan heran serta sebaliknya sangat yakin sewaktu ia memasak tadi, ia memasukkan racun yang tepat.
Ketiga orang tersebut kemudian ‘bekerja’. Mereka menutup pintu dan jendela warung rapat-rapat, karena memang rencana mereka adalah untuk menjebak orang terakhir yang masuk ke warung mereka. Beruntung, dua orang saudagar yang terlihat kaya masuk jebakan mereka. Hanya satu orang, yang penampilannya biasa saja terpaksa juga harus menjadi satu bagian dengan dua saudagar tersebut. Nasib sialnya lah pikir mereka.
Dari dua orang jasad saudagar tersebut, mereka mendapatkan kain-kain sutra yang mahal, perhiasan batu mulia, uang perak dan emas, serta uang picis Cina. Di Cerbon memang merupakan salah satu tempat pembuatan uang-uang picis Cina yang terbuat dari timah ini selain Banten dan Jepara. Orang-orang bule Britania Raya dan Kompeni Walanda di Betawi yang menggunakan uang picis Cina tersebut sebagai alat tukar dalam jual beli dan perdagangan. Uang picis ini sempat langka terutama di negeri Banten dan membuat nilainya sempat meningkat bahkan diatas uang perak tepatnya di tahun 1613 dan 1618 Masehi.
Selain barang berharga dan uang perak, emas dan picis yang ditemukan di tubuh jasad saudagar kaya tersebut, ketiga orang rekanan itu juga mengambil kayu gaharu bahkan pakaian mereka pun dilucuti dan diambil karena memang dari bahan dengan kualitas terbaik.
Pallawa mendekati Jayaseta. Menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aih, anak muda. Apa yang bisa kuambil darimu? Paling-paling uang kepengan Cina buat kau membayar makanan. Bajumu pun tak menarik untuk kuambil,” kata Pallawa kepada Jayaseta yang tidak sadarkan diri.
Tiba-tiba ia melihat tas buntal kulit Jayaseta yang teronggok dengan meja makannya. Ia mendekatinya, dan merasa cukup penasaran dengan bentuknya yang aneh dan tidak lazim digunakan oleh para pelancong. Ketika membukanya, Pallawa berdecak sebal, “Ahhh … topeng, topeng, topeng. Siapa kau ini sebenarnya? Penari keliling? Pengamen?”
Pallawa membuang tas itu begitu saja, namun kemudian mengambilnya lagi karena ketika tas itu menghantam lantai kayu ia mendengar seperti bunyi gemerincing logam. Ia akhirnya membongkar tas itu dengan seksama dan menemukan kepingan perak dan emas yang tidak diduga ternyata cukup banyak.
“Apa ini bocah? Ha ha ha … hei, teman-teman, kita beruntung hari ini. Rupanya anak kere nan aneh ini bukan orang biasa. Entah dia mendapatkan dari mana semua uang ini?”
Kedua temannya langsung mendekati Pallawa dan sama-sama melihat kepingan-kepingan uang itu yang memang jumlahnya mengagetkan.
“Ha ha ha … jelek-jelek begini, kau bisa menyamai dua saudagar mati itu,” ujar Pallawa kepada Jayaseta yang masih tak sadarkan diri.
“Hmmm … aku masih memiliki rencana untuk mendapatkan uang lebih darinya,” ujar Sena tiba-tiba.
Nata dan Pallawa melihat wajah Sena dan mencoba menebak arah pikirannya.
“Apa yang mau kau ambil lagi dari orang ini, Sena?” ujar Nata.
“Dua orang saudagar itu, seperti biasa kita buang saja di tempat biasa, karena mayatnya sudah tidak berguna. Untungnya, karena anak muda ini masih hidup, kita jual saja ke kapal yang hendak berangkat ke Cina sebagai budak. Aku pikir harganya akan sangat menguntungkan,” jawab Sena dengan raut wajah licik namun bersinar cerah, kagum atas rencananya sendiri.
“Wah, kau benar Sena,” ujar Pallawa.
“Aku tak bisa membayangkan, besok ketika ia bangun, ia sudah ada di tengah laut menuju perjalanan ke Cina. Ia akan berteriak-teriak minta dikembalikan ke Cerbon, sedangkan para awak kapal yang berbadan besar dan beringas akan menghajarnya, ha ha ha ha ….” Lanjut Nata dengan girang. Ketiganya kemudian setuju dan tertawa tergelak-gelak bersama-sama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
Wealah malah human trafficking 😅😅
2023-04-03
0
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
perampokan rupanya
2023-04-03
0
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
kenapa mereka meracuni orang2?
2023-04-03
0