Rombongan kereta kuda dan dua buah gerobak yang ditarik sapi tersebut telah berhenti sepenuhnya. Tepat sembilan begundal berdiri pada keadaan yang sangat pas mengelilingi rombongan yang kemudian diketahui dimiliki oleh saudagar Arab tersebut.
Semua senjata berdenting sudah keluar dari sarungnya. Tiga orang dari begundal tersebut memegang erat golok pendek, dua orang memegang kelewang , dua orang lainnya memegang tombak pendek dan panjang dengan mata tombak berdapur atau berbentuk megantara yaitu dapur mata tombak yang berluk atau melengkung tiga di bagian pangkal namun lurus meruncing di ujungnya, sedangkan satu orang terakhir yang nampaknya pimpinan dari para begundal ini sudah menghunus sebuah keris yang panjang dan lebar dengan ukiran indah dan rumit di hulunya. Nampaknya keris pusaka ini adalah keris dengan gaya pulau Bali atau Pulau Melayu Samudra.
Kesemuanya berwajah bengis. Tidak hanya dari raut wajah mereka, namun guratan luka dan codet membuktikan bahwa mereka telah melalui kerasnya hidup sebagai perampok kawakan. Selain rambut gondrong ikal yang sengaja tidak digelung, semua juga menumbuhkan kumis dan jenggot walau tidak semuanya berhasil. Beberapa orang begal tersebut terlihat memaksakan menumbuhkan jenggot dan kumisnya yang tipis dan jarang. Semua dilakukan untuk menunjukkan kesan gahar dan bengis.
Mereka juga berbusana hitam-hitam untuk mendukung penampilan rampok mereka ini. Tapi walau berwarna hitam-hitam, bahkan sampai jarit dan iket mereka, bahan busana mereka merupakan bahan-bahan sutra terbaik yang lembut dan indah. Iket di kepala mereka dihiasi perak atau emas. Mereka juga mengenakan kalung emas dan perak berhias batu mulia dibalik baju tanpa lengan dan kancing mereka. Sabuk mereka dari kulit sapi dan kerbau dengan bahan terbaik sehingga mengkilat-kilat mewah terkena paparan sinar matahari yang menyelip melalui sela-sela pepohonan. Lengan bagian atas mereka juga tak luput dari hiasan perak yang melingkarinya.
Sang ketua sendiri berparas cukup terawat dengan kumis tebal dan jenggot yang tertata rapi. Tidak seperti para bawahannya yang mengenakan baju tanpa lengan dan kancing, ia mengenakan baju sutra hitam berlengan sepanjang pergelangan tangan dengan kancing perak berkilau dan rantai emas. Bila tidak dari perilaku dan kata-kata mereka yang kasar, orang pasti akan menduga mereka adalah saudagar kaya bukannya begundal. Rombongan begal ini nampaknya sudah mahir dalam pekerjaan mereka dan benar-benar menikmati hasil rampokan mereka dengan menjadi kaya-raya.
Dengan petantang-petenteng para begundal ini menunjukkan kuasa dan ancaman mereka pada para calon korban mereka tersebut, “Woi .. keluar semua!” salah satu anggota begundal itu menggertak.
Tak lama, pintu kereta kuda yang berada di paling depan terbuka. Namun sebelum penumpangnya terlihat, pada waktu bersamaan dari dalam dua gerobak sapi di barisan belakang, menyeruak sepuluh orang laki-laki dengan bersenjatakan pedang, tombak dan perisai. Busana mereka menunjukkan pakaian keperwiraan. Kesepuluh orang bersenjata tersebut langsung berderap maju ke depan melindungi kereta kuda dan menghadapi para penghadang mereka.
“Wah, wah, wah … ada kejutan rupanya,” sang pemimpin begundal yang menghunus keris kini sekarang yang berbicara dengan suara paraunya. “Tidak rugi aku menghadang rombongan ini. Sudah kukatakan bahwa pekerjaan kita kali ini tepat. Sepertinya kita bakal panen besar hari ini anak-anak, ha ha ha …” ucapannya kali ini ditujukan bagi para rombongan perampok bawahannya yang kemudian ditimpali dengan tawa anak buah yang ia sebut ‘anak-anak’ tersebut.
Walau didapati bahwa rombongan ini bukan tanpa perlindungan dan perlawanan, sang pemimpin rampok malah girang. Ini bagi sang pemimpin berarti bahwa benda-benda yang diangkut di dalam kereta kuda dan gerobak sapi tersebut pastilah sangat berharga. Apalagi gerobak sapi dan kereta kuda tersebut memang dari awal lain daripada yang lain karena kemewahan bentuknya.
Setelah tertawa puas sang ketua perampok malah memasukkan keris panjang berhulu indahnya ke sarungnya yang diselipkan di ikat pinggang bagian depan pakaiannya. Kemudian ia mundur, menepi dan mendeprok duduk bersila di tepi jalan, tepat di bawah pohon nangka, “Ayo anak-anak, beri tontonan yang menyenangkan! Main-mainlah dulu dengan mereka, tapi jangan terlalu lama, nanti aku akan menjadi bosan,” suaranya yang parau memberikan perintah pada anak buahnya dengan kesan meremehkan yang luar biasa.
Mendengar perintah ini tawa dan kekehan mereka hilang dan tak menunggu lama para begundal tersebut langsung menempatkan kuda-kuda silat mereka bersiap menyerang. Wajah mereka menjadi semakin bengis dan bersungguh-sungguh berkebalikan dengan ucapan sang pemimpin yang terkesan meremehkan musuh. Nampak jelas bahwa entah sudah keberapa kalinya mereka merampok dan menghadapi keadaan semacam ini.
Kesepuluh laki-laki penjaga rombongan saudagar tersebut mengeluarkan pekik perang dan langsung memburu para perampok dengan senjata mereka. Tak berapa lama, jalan tersebut berubah menjadi ladang pertarungan. Kesepuluh pengawal menusukkan tombak mereka dengan jurus-jurus terlatih. Mungkin sekali mereka adalah para pendekar sewaan untuk mengamankan barang-barang sang saudagar Arab yang kaya ini. Bisa saja mereka bekas ponggawa keraton atau pendekar dari perguruan silat tertentu yang memutuskan mencari nafkah dengan pedang dan tombak.
Dalam beberapa tarikan nafas, mulailah terlihat peta pertempuran ini. Walau memiliki kemampuan yang baik dalam keperwiraan, nyatanya kesepuluh pengawal kurang memiliki kerjasama yang baik. Mereka mungkin disewa secara acak atau pribadi bukannya dalam bentuk kelompok sehingga mereka kerap bertubrukan dan kebingungan kala memburu dan menyerang kawanan perampok yang berjumlah tujuh orang tersebut – delapan bila dihitung dengan sang pemimpin yang mengaso di bawah pohon nangka.
Rombongan perampok memang hampir selalu melakukan pekerjaannya dengan cara mengeroyok. Seringkali jumlah mereka jauh lebih banyak daripada pengawal korban mereka. Meski tidak jarang kemampuan silat para perampok itu di atas rata-rata, namun dengan cara mengeroyok mereka memastikan bahwa pekerjaan mereka akan berhasil dengan baik.
Kali ini jumlah pengawal memang sedikit lebih banyak dari para perampok, dan ini juga mungkin diluar perkiraan mereka sendiri. Namun itu tidak berarti banyak. Selaian kitadakkompakkan para pengawal, kemampuan para perampok dalam ilmu silat juga sangat mumpuni, belum lagi karena bagaimanapun juga para perampok adalah orang-orang nekad yang memiliki pengalaman banyak dalam dunia hitam. Membunuh mungkin sudah menjadi budaya mereka.
Benar saja, satu orang pengawal jatuh terbujur dengan dua tusukan menganga di dadanya oleh tombak dua perampok. Sebentar kemudian dua orang lagi tumbang. Satu pengawal tertebas di bagian bahunya oleh kelewang, sedangkan satunya ‘tidak seberuntung’ temannya, karena ia mati dengan mengenaskan dimana dua orang perampok mendesaknya ke gerobak.
Ketika ia sudah tersandar dan tak ada ruang untuk lari, semua serangan langsung masuk ke tubuhnya tanpa halangan. Tusukan demi tusukan, bacokan demi bacokan membuat si pengawal mati mengenaskan dalam keadaan tatu arang kranjang, alias tercabik-cabik. Sisa kematian pengawal lainnya hanya menunggu waktu saja. Mereka tercerai-berai dan kini bukannya mengawal gerobak, mereka malah mengawal hidup mereka sendiri.
Para perampok adalah orang-orang yang sangat bersungguh-sungguh. Mereka kerang mengejek korban mereka untuk menakuti mereka, namun ketika sudah berhadapan dengan lawan dalam pertarungan, kesungguhan mereka terlihat dari setiap jurus yang mengerikan dan mematikan. Kesemuanya memiliki jurus-jurus berpasangan.
Tiga perampok bergolok yang menyerang secara bergantian, tebasan golok pendek mereka menjadi tiga kali lipat lebih berbahaya. Walau golok mereka pendek-pendek karena digunakan dengan berpasang tiga, jurus-jurus bagai seorang dengan dua bayangan. Dua orang perampok dengan kelewang juga membabat musuh dengan jurus-jurus kasar namun saling mendukung. Akibatnya dalam tiga kali gebrak dua pengawal bertombak melepaskan senjata dan tameng mereka serta bergulingan di tanah karena kedua lengan mereka terputus habis.
Dua pasangan tombak panjang dan pendek berdapur megantara saling melengkapi dan berhasil menewaskan dua orang lagi dengan perut terburai. Sisanya bukan tanpa celaka. Luka mereka tertoreh dimana-mana. Pertarungan yang terjadi hanya kurang dari dua tegukan teh ini membuat para pengawal kocar-kacir. Selain mati sisa pengawal terluka parah dan kelelahan.
Kejadian yang cepat ini membuat dua orang sais gerobak sapi di dua gerobak berbeda sontak melompat dari tempat duduk mereka. Mereka langsung mencari tempat aman di tepi jalan, tidak tahu apa yang harus dilakukan juga terutama karena jiwa mereka pun terancam. Tindakan dua orang ini wajar adanya dimana sisa pengawal seperti menunggu tewas seperti rekan-rekan mereka yang mati mengenaskan terbujur kaku bermandi darah di tanah dengan nyawa yang tidak lagi menempel di badan mereka.
Pekik kemenangan para kawanan perampok menggema diangkasa seiring diacung-acungkannya senjata-senjata dengan lumuran darah ke udara membuat nyali lawan ciut sekecil-kecilnya. Sisa pengawal yang telah terluka dan terdesak sudah hampir kehilangan semangat pula ketika tiba-tiba terdengar bunyi lecutan cambuk memecah angkasa bersamaan dengan robohnya seorang perampok karena tidak awas dengan apa yang terjadi barusan.
Sang sais kereta kuda melompat dari tempatnya dan kini berdiri di tanah. Para perampok tidak memperhatikan sosok sang sais karena hanya memikirkan para pengawal dan orang di dalam kereta kuda tersebut. Rupanya lecutan cambuk yang tiba-tiba itu berhasil membuat salah satu rampok yang memegang golok pendek tergeletak pingsan di tanah. Ini sangat mengejutkan bagi kawanan tersebut yang berpikir kemenangan sudah di tangan. Para pengawal saja tidak berhasil menyentuh apalagi melukai mereka, ini seorang sais kereta dengan pecutnya malah berhasil menaklukkan salah satu dari mereka.
Pintu kereta kuda mewah itu kini juga terbuka dan sesosok orang keluar dari dalamnya. Seorang setengah baya dengan wajah Arab yang khas menggenggam sebilah pedang simitar panjang di kanan dan sebuah keris pendek di kirinya langsung berdiri berdampingan dengan si sais kereta. Keduanya langsung membentuk kuda-kuda.
“Bajingan, tak akan kubiarkan kalian merampas apapun yang aku bawa!” ujar sang Arab setengah baya. Suaranya walau sudah menunjukkan usianya, namun masih sangat tegas terutama karena dibarengi amarah yang meluap-luap.
“Maju kalian sekaligus, siapa yang beruntung bisa sampai neraka sekarang juga,” dengan geram si tua baya ini mengacung-acungkan senjatanya.
Salah satu perampok yang tadi tumbang karena tidak siap kini sudah sadar dan berdiri lagi. Goresan cambuk memerah oleh darah menempel di sekitar lehernya.
“Bedebah! Tua renta dan ******** sais ini sudah bosan hidup rupanya. Sudah kami cincang habis pengawal-pengawal bayaran kalian. Sekarang dengan takabur kalian ingin segera menyusul mereka,.” dengan kesalnya perampok yang roboh tadi mencaci maki.
“Ha ha ha, semakin menarik ini. Aku semakin penasaran apa yang ada di gerobak dan kereta kuda itu,” sang pimpinan perampok yang sedari tadi masih duduk diam di bawah pohon nangka memukul-mukul pahanya dengan keras sembari tertawa-tawa.
Ketertarikannya tidak bisa ditutup-tutupi lagi. “Jangan-jangan ada anak perawan di dalam kereta kudamu itu orang tua. Apa dia cantik heh? Kebetulan aku belum pernah merasakan perawan Arab, ha ha ha ha …” sang pemimpin gerombolan perampok ini masih terus tergelak dan sepertinya semakin menikmati kejadian yang ada di depannya.
Si sais kuda yang sama sekali tak terdengar suaranya dari tadi secara tiba-tiba mengeluarkan suara pekik dengan melecutkan pecutnya yang terbuat dari kulit binatang tersebut. Ia juga memutar-mutarkan cambuk tersebut. Akibatnya, walau pecut bukanlah senjata yang dapat langsung membunuh lawan seperti layaknya senjata tajam, namun tak pelak gerakan ini membuyarkan keadaan lawan yang menghindar dari senjata yang panjang dan lentur itu. Ruang terbentuk di antara para penyerang dan si sais serta tuannya.
Keadaan ini kemudian digunakan sang saudagar Arab tersebut untuk langsung menyerang para perampok tanpa banyak bicara lagi. Pertarungan kembali pecah. Sang sais dengan cambuknya terus memecah keadaan para penyerang dengan memutar-mutarkan ke udara dan melecutkannya dengan tiba-tiba ke arah para perampok. Para perampok bergulingan dan berjumpalitan menghindari serangan ini. Dua tiga kali lecutan meninggalkan luka di lengan atau kaki mereka. Ini membuat para perampok semakin murka namun untuk beberapa saat mereka harus terus menghindar dan belum dapat mendekati penyerang.
Karena watak perampok yang penuh amarah dan tidak sabaran, si perampok dengan tombak panjang yang terkena sabetan di kaki menyerbu masuk ke dalam lingkaran pecut yang diputar-putar di udara untuk menyerang sang sais. Malang baginya karena ia tak memperhatikan pedang simitar melengkung milik sang saudagar membabat bahunya.
Ini sama sekali tidak ia perkirakan sehingga darah mengucur deras dari luka tersebut beserta dengan jatuhnya tombak yang ia genggam. Tak lama satu pecutan menghajar lehernya. Pecut melingkar di lehernya, mengunci dua kali putaran mencekik jalan nafasnya. Dengan sekali hentak ia terlempar dan berputar ke udara serta jatuh berdemum ke tanah tak sadarkan diri.
Rekan lainnya menggeram kesal serta melupakan kekompakan jurus-jurus berpasangan mereka dengan serentak maju sembari memekik marah. Cambuk berputar dan melecut lagi laksana membubarkan semut yang mengerubungi gula. Serangan mereka terhambat lecutan demi lecutan. Bila ada yang memaksa masuk ke dalam lingkaran badai pecut tersebut, sang saudagar sudah siap dengan sabetan simitar atau tusukan kerisnya. Ini yang terjadi pada si tombak pendek yang termakan amarah karena rekan pasangan jurus tombaknya tadi terkapar tak sadarkan diri.
Karena ketidaksabarannya, satu tusukan keris melukai pahanya. Walau itu tak seberapa parah namun kehilangan keseimbangan membuat juragan Arab setengah baya itu akhirnya juga berhasil menghajar perutnya dengan sebuah tendangan telak di perutnya. Rasa mulas menyerang sebentar saja karena ia sudah tak megingat apa-apa lagi karena terbujur tak sadarkan diri mengikuti rekannya.
Harusnya dengan keadaan seperti ini menjadikan angin kemenangan memihak kepada rombongan saudagar kaya tersebut. Sisa pengawal yang ciut nyalinya dapat terjun kembali ke dalam peperangan. Namun mereka hanya melongo menyaksikan kehebatan pasangan sais dan saudagar Arab tersebut. Mungkin malu juga juga membayang di pelupuk mata mereka. Akibatnya runyam, ketidakikutsertaan mereka dalam pertarungan ini membuat sang pemimpin yang awalnya tidak ingin ikut serta dalam kancah pertempuran menjadi tidak sabar. Senyum dan tawanya musnah sudah apalagi kedua pasang sais dan tuannya belum menunjukkan tanda-tanda kelelahan dan kedua anak buahnya terbaring pingsan.
Sembari sekali lagi menepuk pahanya dengan keras sebagai unjuk kejengkelan, ia berdiri dengan sigap serta semerta-merta berlari dan melenting ke udara dengan tingginya. Berputar sekali melewati kepala anak-anak buahnya yang masih kesulitan mendekati kedua lawan mereka. Sesampainya di tanah, ia pun langsung disambut pecutan. Namun tidak seperti anak-anak buahnya, dengan gesit sang pemimpin dapat menghindari lecutan cambuk sang sais. Ini menunjukkan kemampuan kanuragan sang pemimpin yang mumpuni yang membuatnya memang pantas menjadi pemimpin gerombolan ini.
Dengan gesitnya sang pemimpin perampok berkelit, berguling di tanah dan mendekati sang sais. Sang pemimpin perampok mampu melihat jurus cambukan dan kemana arah pecut tersebut. Dengan tanpa memegang senjata, sang pemimpin perampok dapat menggerakkan seluruh tubuhnya dengan lentur. Disitulah letak celah di pusaran jurus cambukan sang sais. Sedari awal, rombongan perampok tidak dapat menembus benteng yang dibuat pecutan cambuk sang sais karena mereka memusatkan serangan pada senjata mereka dan keuletan yang kurang. Sedangkan si pemimpin yang memiliki pengalaman dan tingkat ilmu silat yang jauh melampaui para bawahannya tentu bertindak secara berbeda.
Urusan pertama selesai, menembus pertahanan pecut sang sais. Urusan selanjutnya ialah menghindari serangan sang saudagar yang sudah menunggu di pusat badai cambuk. Dengan berguling ia berhasil lolos dari sabetan simitar, begitu juga dengan tusukan cepat keris yang dapat ia elakkan dengan sedikit memundurkan tubuhnya. Setelah memundurkan tubuhnya, dengan secepat kilat sang pemimpin rampok melontarkan tubuhnya ke arah sang saudagar Arab dan berhasil menubruknya dengan tenaga dorongan yang luar biasa sehingga sang saudagar terhempas ke belakang dan berguling-guling tiga tombak jauhnya.
Ia pun berhasil menjadi sangat dekat dengan sang sais. Tanpa buang waktu ia langsung menepis lengan sang sais. Tepisan itu bukan sembarang tepisan, karena dengan tenaga dan kemampuan kanuragan sang pemimpin perampok, cambuk terlepas dan terlempar jauh dari tangan sang sais. Jelas bahwasanya cambuk adalah senjata yang sangat berbahaya dalam sebuah pertarungan jarak jauh, namun tidak begitu bila sang musuh sudah sedekat ini.
Tak hanya sampai disitu. Satu tinju menghantam dada sang sais membuat terpental ke belakang menghantam kereta kuda membuat kuda-kuda meringkik keras. Sang pemimpin perampok meloncat ke depan, menghunus kerisnya yang berhulu indah tersebut dan menancapkannya ke dada sang sais kemudian menariknya dengan sangat cepat dan menancapkan lagi untuk kedua kalinya. Sang sais tewas tanpa suara.
Dari jauh sembari jatuh terlentang, sang saudagar Arab melihat sang sais telah tewas. Mata bulatnya semakin melebar. Ia berteriak pilu dan mengganas sembari bangun dan menyerang sang pemimpin rombongan perampok dengan keris dan simitarnya. Ia membacok dengan simitar, sang pemimpin rampok hanya menggerakkan tubuhnya sedikit tanpa menggerakkan kedua kakinya. Bacokan lolos. Namun ini tidak menghentikan serangan sang saudagar. Ia membacok berputar-putar, kemudian juga sekali-kali memberikan tusukan keris di tangan kirinya. Sang pemimpin rampok masih terus menghindar, meloncat sedikit, berkelit dan juga turut berputar hingga satu ruang tercipta.
Dalam ilmu jurus menggunakan keris, sang pemimpin perampok adalah jagonya. Keris digenggam dengan tangan kanan dan jari telunjuk pada ganja, yaitu dasar bilah keris yang tebal. Serangan berupa tusukan harus dalam ruang yang dekat dengan sasaran. Dalam melakukan tusukan ini siku harus tetap melengkung. Bila lengan lurus, maka tusukan tidak akan cepat dan baik. Kecepatan dan jarak yang dekat adalah keunggulan keris. Senjata ini merupakan senjata yang memberikan kejutan dibandingkan alat tarung terbuka satu lawan satu seperti pedang atau tombak.
Oleh sebab itu serangan keris sang saudagar Arab masih gampang sekali terbaca oleh sang pemimpin perampok. Serangan keris harusnya penuh dengan gerakan jurus yang sulit diduga dan biasanya menyasar ke lambung menembus ginjal. Si pemimpin perampok juga ingat ketika ia menjadi seorang algojo yang memberikan hukuman mati. Awam bagi para algojo menggunakan keris, selain memancung kepala dengan pedang, untuk membunuh sang korban dengan cara menusukkan keris dari belakang melalui tulang selangka di bagian atas dada sampai menembus jantung. Cara yang tepat untuk membunuh musuh dengan cepat.
Sang pemimpin rampok kembali memundurkan tubuhnya sedikit menghindari serangan sang saudagar, namun kemudian dengan secepat kilat memajukan tubuhnya dan menusuk pangkal lengan kanan sang saudagar. Inilah yang dinamakan gerakan kejutan. Teriakan tertahan sang saudagar menyeruak ke angkasa dan pedang simitarnya jatuh ke tanah. Keris panjang sang pemimpin rampok menguntungkan karena jaraknya yang panjang dan bilah luknya yang lebar.
Tusukan ini tidak berhenti di sini. Seperti sengatan lebah raksasa, keris lebar dan panjang itu menusuk berkali-kali ke lengan kanan sang saudagar, paha kanan dan kiri, serta lambung kiri. Sang saudagar jatuh terjerembab karena bagian-bagian tubuhnya yang penting mendadak lumpuh dengan rasa sakit yang memilukan. Darah menyemprot deras memaksa keluar dari tubuh sang saudagar yang jatuh berlutut. Kerisnya masih digenggam namun tak ada tenaga sama sekali untuk menggunakannya.
“Dengar baik-baik hai tua baya, orang yang kau hadapi ini adalah ketua rampok yang terkenal di seantero tanah Jawa, Pasundan dan Bali sebagai si Lebah Siluman! Sampaikan ini nanti kepada orang-orang yang sudah mendahuluimu ketika kau sampai ke neraka, ha ha ha ha …” wajah sang pemimpin rampok yang ternyata berjuluk si Lebah Siluman itu kurang dari sejengkal dari wajah sang saudagar Arab. Matanya nyalang menunjukkan kebengisan yang luar biasa menunggu kematian datang pada korbannya.
Sang saudagar terhentak. Di sela-sela nafasnya yang pendek-pendek dan rasa sakit yang luar biasa di seluruh bagian tubuhnya tiba-tiba merasa sesal lah yang lebih menyakitkan. Andai ia tahu bahwa perampok-perampok ini diketuai si Lebah Siluman, tak perlu lah ia mengorbankan nyawa orang-orang lain, termasuk sais kepercayaannya.
Nama Lebah Siluman sudah menjadi semacam catatan utama pada saudagar dan pedagang yang mengadakan perjalanan sepanjang Bali, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Blambangan sampai ke Mataram dan Cerbon. Mereka dikenal perampok daratan yang bengis dan memiliki pemimpin yang sakti mandraguna. Tak tunggu waktu berlama-lama lagi, sisa pengawal yang masih melongo berdiri di luar pertarungan demi mendengar nama si Lebah Siluman buru-baru ngacir dengan tunggang langgang. Mungkin mereka menyesal telah menerima pekerjaan penjagaan dengan bahaya sebesar ini.
Lebah Siluman mendapatkan namanya karena jurus-jurus keris panjangnya menyengat, cepat dan mematikan seperti lebah. Keris berluk atau berbilah bergelombang yang dimilikinya memang seperti pada umumnya keris digunakan agar dapat menembus daging dan menyelip diantara tulang. Bila ditusuk dan dicabut dengan cepat, luka yang ditimbulkan akan sangat parah. Kehebatan si Lebah Siluman tentunya bukan sekedar terletak pada keris panjangnya namun dari jurus-jurus dengan kecepatan bak sengatan lebah yang ia kuasai. Namun tidak seperti kebanyakan perampok, anehnya mereka juga dikenal malas menumpahkan darah bila orang-orang yang dirampok mau menyerahkan harta mereka dengan sukarela, namun sekali korban melawan, habis sudah semuanya. Dan kali ini, sialnya sang saudagar melawan.
Semula sang saudagar mengira perampok-perampok ini adalah perampok-perampok biasa yang sudah kerap ia hadapi dan bahkan lumpuhkan sepanjang pengalamannya berdagang. Kali ini yang ia khawatirkan sekarang bukan lagi harta-hartanya dan barang dagangannya, bukan pula nyawanya sendiri yang sekarang sudah diujung tanduk, tapi putri semata wayangnya yang sedang bersembunyi di dalam kereta kencana.
Memang tepat ucapan sang si Lebah Siluman tadi bahwa jangan-jangan ada perawan di dalam kereta itu yang setengah mati saudagar itu lindungi. Andai ia menolak rengekan sang anak perempuannya yang minta diajak ke Mataram untuk melihat kemegahan negara itu, mungkin saat ini sang anak perempuan masih ada di rumahnya yang besar dan nyaman di Blambangan.
Walau Blambangan adalah sebuah kerajaan yang sangat anti Mataram dan hampir seluruh rakyatnya masih beragama Çiwa dan Buddha, Blambangan cukup dapat menerima orang asing selama mereka dianggap tidak mengganggu masyarakat dan apapun yang dianut mereka serta tidak memaksakan ajaran agama lain.
Di masa lalu, pernah salah satu wali Islam yang sangat termahsyur, yaitu Syekh Maulana Ishaq yang berasal dari Samarkan pernah tinggal di Blambangan sebagai seorang tokoh Islam yang terhormat. Beliau menikah dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, raja kerajaan Blambangan saat itu. Syakh Maulana Ishaq yang dikenal digdaya dan memiliki kesaktian dalam hal pengobatan tersebut berhasil mengusir pagebluk atau wabah penyakit yang mendera kerajaan. Kemampuan beliau yang luar biasa berhasil pula menyembuhkan sang putri raja, Dewi Sekardadu sehingga Dewi Sekardadu juga akhirnya menjadi istri Syekh Maulana Ishaq.
Syekh Maulana Ishaq selain memperoleh kedudukan terhormat sebagai adipati sebagian wilayah Blambangan, beliau juga diberikan hak untuk menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah Blambangan. Sayang banyak pembesar dan jajaran priyayi kerajaan Blambangan yang merasa terganggu dan tidak suka dengan beliau sehingga sang Syekh pun terpaksa meminta ijin sang istri yang sedang hamil tujuh bulan untuk meninggalkan Blambangan agar tidak terjadi pertumpahan darah. Namun begitu, rakyat Islam walau masih tidak begitu besar sudah terbentuk di wilayah itu dan keberadaannya sudah diterima. Mungkin inilah awal dari terbentuknya kelompok warga beragama Islam di Blambangan.
“Mari kita lihat apa benar ada perawan di keretamu ini orang tua,” ucapan Lebah Siluman membuat jantung sang saudagar mencelot. Tubuhnya yang berlutut lemah membuatnya sulit sekali bahkan hanya untuk sekedar mengangkat kepalanya. Belum lagi darah yang terus mengalir dari titik-titik di tubuhnya. Dengan pandangan yang samar, dengan perih di dada, ia melihat sang anak perempuan ditarik paksa keluar dari kereta dan didorong begitu saja ke tanah.
“Ha ha ha ha … apa kataku. Rupanya kau punya perawan di dalam kereta ini. Lihat anak-anak, kita akan berpesta malam ini, ha ha ha ha …” tak pelak semua anggota perampok bersorak-sorai, berteriak-teriak kegirangan.
Bukan mengapa, namun pemandangan di depan para perampok ini memang merupakan sebuah pemandangan yang luar biasa. Seorang gadis mungkin berusia empat atau lima belas tahun yang terduduk di tanah dengan berurai air mata ini begitu cantik.
Gadis itu menyerap semua ciri ayahnya yang memang adalah orang dari jazirah Arab. Hidungnya begitu mancung, matanya lebar dan indah, kulitnya kuning bersih. Ia mengenakan kebaya khas daerah Jawa bagian timur, namun sebagian rambutnya ditutupi selendang yang membentuk kerudung. Sang gadis sesenggukan namun tak mengucap satu patah katapun, pandangannya yang nanar ditujukan kepada ayahnya yang masih berlutut dengan darah membasah hampir di seluruh tubuhnya.
Di tepi jalan, di balik semak-semak dan pepohonan tak jauh dari situ, Jayaseta terhenyak melihat kejadian memilukan ini. Dari jauh ia mendengar suara seperti terjadi pertarungan. Dengan kemampuan silat dan ilmu kanuragannya, ia berlari mendekat dengan secepat mungkin tanpa suara.
Namun semua sudah terlambat. Sudah ada korban berjatuhan. Awalnya ia tidak mau gegabah untuk ikut campur lagi. Alasannya seperti biasa adalah ia tidak benar-benar tahu dan paham siapa lawan siapa, siapa yang berkeadaan sebagai apa.
Sudah hampir dua bulan perjalanannya hampir selalu diwarnai dengan perkelahian. Namanya sudah beredar jauh lebih cepat dari kakinya berjalan. Sedikitnya seperempat pulau Jawa mungkin sudah mendengar gaung nama Pendekar Topeng Seribu yang selalu terlibat dalam pertarungan melawan kaum golongan hitam, begundal, perampok dan jawara-jawara golongan tengah yang sekedar ingin menjajal ilmunya melawan Jayaseta.
Mataram adalah kerajaan besar yang semakin menunjukkan taringnya. Dengan keadaan ini, banyak sekali kejadian kenegaraan dan kerajaan yang mungkin luput dari pengamatannya. Bisa saja pertarungan ini tadinya adalah permasalahan dalam negari Mataram. Antara mantan pasukan Mataram yang dipecat karena gagal dalam penyerangan ke Betawi dengan pasukan Mataram yang masih resmi menjadi pasukan kerajaan Mataram seperti yang ia ketahui.
Mungkin saja pertarungan ini adalah pertarungan yang terjadi antara rombongan pejabat kerajaan taklukan Mataram melawan para pengkhianat Apalagi kereta kuda megah nan mewah milik rombongan ini menunjukkan kesan seperti seorang pejabat kerajaan. Lihat pula rombongan pasukan yang melindungi rombongan kereta tersebut, bagai para prajurit saja. Tapi ratusan kemungkinan terus berhamburan di kepala Jayaseta.
Sialnya semakin diperhatikan, ia paham bahwa ini adalah perampokan, bukannya pertengkaran dikarenakan permasalahan kenegaraan. Hati penuh keadilannya memberontak ketika mendengar bahwa ketua begundal ini adalah Lebah Siluman yang namanya sudah ia kenal semenjak ia kecil sewaktu masih di Giri sana. Ia pun tak mungkin bisa berdiam diri lagi ketika melihat anak perempuan saudagar tersebut ditarik paksa si Lebah dan dilemparkan begitu saja ke tanah. Selagi ia memperhatikan, sudah terlalu banyak korban berjatuhan. Apakah anak perempuan itu harus menjadi korban asusila dan kebengisan rombongan begal ini?
Jayaseta kembali melepaskan bajunya, melipat pakaian tersebut dan memasukkannya ke dalam tas buntal kulit miliknya. Sekarang ia bertelanjang dada. Dari tas buntal kulitnya itu pula ia mengeluarkan topeng ganongan dan langsung ia kenakan. Tak menunggu lama, ia langsung melenting ke udara keluar dari semak-semak perdu di tepi jalan setelah sebelumnya menyembunyikan tas buntal kulitnya di balik sebuah pohon beringin.
Rombongan perampok mengitari sang gadis sembari terus tertawa-tawa. Beberapa dari mereka bahkan tak sungkan-sungkan mencolek-colek bahu, lengan, dan wajah sang gadis anak saudagar itu yang berusaha menepisnya berkali-kali dengan wajah yang menunjukkan campuran antara kesal, pilu, jijik dan takut.
“Sayang sekali Sepasang Tombak Beradik sedang semaput. Kalau tidak kan mereka bisa sama-sama menikmati perempuan ini, ha ha ha ha … ,” celetuk salah satu rampok sambil tertawa terbahak-bahak kegirangan.
“Dasar kau ini. Mana rasa setia kawanmu. Cepat kau sadarkan mereka berdua. Mereka perlu menikamti hasil jerih payah kita.”
“Ah, kau sajalah yang menyadarkan mereka. Atau kita biarkan mereka semaput sampai kita selesai. Biarkan mereka mendapatkan sisanya, ha ha ha …”
“Ha ha ha … mereka pasti mengamuk ketika sadar nanti kita sudah bersenang-senang lebih dahulu dan ia hanya mendapatkan sisanya, ha ha ha … , “ mereka terus saja saling bersahut-sahutan sembari terus menggoda sang gadis.
Si Lebah Siluman sendiri menyarungkan keris panjangnya dan melipat tangannya di depan dada. Ia mengangguk-angguk puas. Pemandangan indah di depannya ini bukan pemandangan biasa. Ia belum pernah merampok dan memperkosa seorang perempuan secantik anak sang saudagar Arab. Walau ia bukan jenis begundal cabul, pesona sang gadis terlalu kuat. Ia tak tahan untuk tak memilikinya.
DUAG!
Secara tiba-tiba Si Lebah Siluman menendang bahu salah satu anak buahnya dengan cukup keras sehingga orang itu terdorong dua tombak dan jatuh bergulingan di tanah. Ia meringis dan mendongak ke arah si Lebah Siluman dengan wajah keheranan. Belum selesai herannya, dua tiga kawanan perampok lainnya juga terlempar jauh dengan teriakan antara terkejut dan kesakitan.
“Cukup!” suara parau si Lebah Siluman menggema. “Kali ini saudara-saudaraku, aku tidak bisa berbagi dengan kalian. Gadis ini milikku. Ambil saja apapun yang kalian mau di gerobak sapi atau kereta kuda tersebut. Tak perlu kalian sisakan apa-apa buatku.”
“Oo … ooo … jadi itu alasanmu menendangku, Lebah?”
“Weleh … itu juga alasanmu menyerang kami?”
“Bagaimana bisa kau sebut kami saudara kalau kau cuma mau menikmati hadiahnya sendiri, hah?!” gelombang ketidaksenangan dari mulut para anak buahnya.
“Kau memang kami jadikan pemimpin karena kesaktianmu. Tidak ada yang meragukan itu. Tapi ini sudah keterlaluan. Sepasang Tombak Beradik menjadi korban dan masih semaput, sekarang kau mau mengambil harta terbaiknya. Apa kata mereka nanti?”
“Hah! Coba dengar ucapan dari seseorang yang dari awal memiliki pendapat untuk menikmati perempuan itu tanpa menyadarkan Sepasang Tombak Beradik. Sekarang kau malah berkilah bahwa aku yang mau mengambil hasilnya?” balas si Lebah Siluman membungkam anak buahnya.
“Bedebah, Lebah. Apa kau jatuh cinta dengan perempuan itu?” tanya salah satu perampok lagi.
Si Lebah Siluman memegang hulu keris panjangnya, “Kalau iya mengapa?!”
Jawaban ini hampir benar-benar membungkam semua rampok. Mereka bersungut-sungut tapi belum mengambil tindakan apapun padahal kemarahan dan kejengkelan mereka sudah di ubun-ubun. Namun tanpa disadari, bahkan tanpa diberikan aba-aba oleh siapapun, dua pasangan perampok bersenjatakan kelewang menghunus senjatanya. Si Lebah menjadi sangat awas dan bersiap melakukan apa saja untuk memperjuangkan sang gadis yang sudah ia anggap sebagai hak milik.
Pertengkaran semacam ini lumrah terjadi di kalangan para perampok. Hampir tidak ada kelompok perampok yang saling setia dan bersifat ksatria. Pimpinan mereka biasanya adalah orang yang paling kuat dari mereka dan akan digantikan dengan siapa saja yang lebih kuat. Keinginan mereka cuma satu, menjadi kaya-raya dan menikmati setiap keping hasil rampokan mereka dengan hura-hura. Ini juga terjadi di rombongan perampok si Lebah Siluman. Walau kata ‘saudara’ diucapkan oleh si Lebah Siluman untuk merujuk pada anak-anak buahnya tentu saja ini tak berarti apa-apa bila mereka tidak mendapatkan hasil yang setimpal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
wah.. malah berantem sesama anggota kelompok bagus.. bagus..
2023-04-02
0
akp
karakter yang sangat manusiawi dalam sebuah kelompoknya perampok.
2022-05-25
3
Sis Fauzi
novel terbaik
2022-02-02
2