Mataram memang merupakan sebuah negara yang besar. Bangunan-bangunan kokoh, jalan-jalan yang rata dan mudah dilalui pejalan kaki, kereta kuda dan gerobak sapi atau kerbau, tembok-tembok benteng dari batu-batu yang keras namun rapih, dan … para prajurit kerajaan Mataram yang tangguh berbaris berjaga di jalan-jalan kota.
Kehadiran para prajurit Mataram ini membuktikan bahwa Kotagede masih merupakan kota yang penting bagi Mataram. Setiap beberapa ratus tarikan nafas, sepuluh sampai lima belas pasukan Mataram hilir mudik dengan langkah tegap mereka, membuat para perusuh, pencoleng, pencopet, atau bahkan pendekar-pendekar silat yang ingin mencari masalah untuk gentar atau berpikir puluhan kali melakukan tindakannya di Kotagede.
Pakaian mereka bersinar dan mewah, agak berbeda dibanding pasukan Mataram yang pernah dihadapi Jayaseta. Celana pangsi dan rompi hitam dengan hiasan jahitan emas menghiasi sudut-sudut pakaian mereka. Sebuah jarit berkesan agung melingkari pinggang diikat dengan sabuk berhias batu mulia. Gelang tangan, kaki dan kalung perak serta emas juga menambah kesan mewah mereka. Kepala mereka ditutupi iket kain batik dengan hiasan lempengan logam keemasan.
Untuk senjata, selain tombak panjang, yang panjangnya hampir dua kali tubuh mereka, pasukan-pasukan itu juga dilengkapi dengan dua buah keris yang diselipkan di bagian belakang dan samping pinggang mereka. Tidak lupa sebuah pedang suduk yang pamor, gagangnya, biasanya terbuat dari daun pohon semangka yang lebih ringan, terselip di pinggang sisi lainnya. Beberapa menggantungkan pedang yang lebih besar. Sang panglima atau pemimpin pasukan terlihat menggantungkan pedang yang lebih tipis namun panjang, dengan pelindung jemari di bagian gagangnya.
Mereka juga dipersiapkan dengan perisai kecil dari rotan yang dilapisi kulit kerbau dan lempengan logam. Di peperangan besar seperti perang Betawi dan penyerangan ke Surabaya setahu jayaseta, banyak pasukan tombak yang dikhususkan melakukan penyerangan pada kendaraan berkuda dan mereka biasa menggunakan tameng logam yang lebih besar. Jadi pasukan ini adalah pasukan khusus kerajaan yang biasanya memiliki tugas-tugas khusus juga, seperti menjaga kraton atau sang raja di dalam dinding kerajaan.
Jayaseta juga sempat melihat sebuah rombongan lima belas pasukan khusus dengan senapan lontak yang di bagian bawah moncong larasnya diikatkan sebuah pedang dengan panjang sehasta yang disebut juga dengan sangkur dengan didampingi beberapa orang pemanah. Mereka menyelempangkan dua sampai tiga buah senapan di punggungnya dan berpasang-pasangan agar dapat membantu rekannya mengisi peluru dengan cepat.
Gampangnya, bisa dilihat bahwa Mataram sedang menunjukkan kekuatannya yang luar biasa kepada masyarakat dan siapapun yang berkunjung ke Kotagede. Di luar dinding kraton, pasukan Mataram telah berhasil menundukkan sebagian besar kerajaan di pulau Jawa, sedangkan di jantung kerajaan itu sendiri, pembangunan besar, keuangan dan keprajuritan yang kuat semakin menunjukkan kedigdayaan sang kerajaan.
Selama perjalanan, Jayaseta membawa serta kepingan perak dan emas yang diberikan Kakek Keling. Semuanya sebenarnya cukup untuk membiayai perjalanannya sampai Betawi, namun bukan itu tujuan utamanya. Jayaseta harus benar-benar hidup dari apa yang dapat ia pelajari di perjalanan ini. Sebagai akibatnya, Jayaseta hampir sama sekali tidak menggunakan keping sang Kakek. Ia kerap berhenti di banyak tempat untuk meminta pekerjaan barang sehari dua hari untuk makan.
Membersihkan makam sebuah keluarga, menjadi kuli panggul di pasar, membantu membajak sawah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Ia bisa tidur di mana saja, namun ia perlu makan. Tidak jarang orang-orang keheranan karena ia pun tidak keberatan bila dibayar dengan makanan saja, untuk bertahan hidup dalam perjalanan jawabnya.
Tanah Jawa yang keras pada masa itu membuat sebuah perjalanan seorang musafir menjadi sebuah perjalanan yang berbahaya. Mempersenjatai diri adalah sebuah keniscayaan. Senjata tajam dari jenis belati sampai pedang dan tombak sangat wajar untuk dibawa-bawa kemana-mana oleh siapapun. Tidak hanya laki-laki, perempuan juga tidak sedikit yang mempersiapkan diri dengan senjata.
Pada awalnya senjata tajam memang diperuntukkan untuk keperluan hidup sehari-hari dan pekerjaan. Sabit, celurit atau arit yang awalnya digunakan untuk memotong semak dan rerumputan ketika ingin membangun sebuah sawah atau ladang, kemudian berkembang menjadi senjata yang biasa dibawa-bawa laki-laki Madura untuk mempertahankan hidup dan harga diri mereka. Laki-laki Minang membawa karambit yang bentuknya meniru cakar seekor macan pada awalnya juga digunakan untuk menyiangi rumput sampai ke akar-akarnya.
Oleh sebab itu, di jalanan di Nusantara, termasuk Jawa tentunya, bisa dikatakan setiap orang menyelipkan senjata di pinggangnya. Orang-orang Mangkasar dan Bugis menyelipkan badik dan keris di pinggangnya. Keris menandakan tingkat jati diri sang empunya. Orang Jawa sudah pasti selalu membawa keris di belakang pinggang mereka.
Beberapa orang bangsawan Jawa juga menyelipkan sebuah wedung, senjata berjenis belati tanpa luk yang berbeda dengan keris. Kaum perempuan juga kerap membawa wedung atau senjata bernama patrem kemana-mana untuk menjaga diri.
Bukan sebuah pemandangan aneh orang-orang berkeliaran memegang senjata. Pernah suatu kala sehabis makan di sebuah kedai makan, Jayaseta yang awalnya tidak memperhatikan secara khusus tiga orang yang membawa senjata sedang mengincarnya. Tiga orang yang dari wajahnya saja sebenarnya sudah dapat diketahui keberandalannya. Sang penjaga kedai pun pada dasarnya sudah mencoba berkali-kali memberikan semacam peringatan kepada Jayaseta dengan menggunakan bahasa isyaratnya.
Namun dasar seorang pendekar, Jayaseta malah sengaja memberikan harapan pada para calon penyerangnya nanti untuk menguatkan niat merampok mereka. Ia bahkan sengaja mengeluarkan beberapa keping emas yang menyilaukan mata ketiga orang tersebut. Ia ingin menjajal kemampuan mereka sekaligus memberikan pelajaran yang kelak akan diingat dengan baik oleh para perampok. Yah, itupun kalau mereka nantinya masih dapat selamat dan hidup dengan baik.
Untuk para perampok dan penjahat, Jayaseta selalu sengaja mencari masalah dengan mereka, untuk menghajar dan bila perlu memusnahkan mereka agar tidak ada orang baik-baik dan tidak bersalah yang kemudian menjadi korban mereka.
Saat itu hari sedang hujan. Jayaseta nekad keluar dalam keadaan hujan-hujan seperti itu. Pakaiannya yang bersih terjaga di tas buntalnya yang terbuat dari kulit. Entah bagaimana, tas buntalan tersebut selain ringan dan kuat, ternyata juga tahan dari air sehingga tidak membasahi benda-benda yang ada di dalam tas tersebut, melindunginya. Kakek Keling memang luar biasa, pikir Jayaseta.
Ketiga orang yang memang sedari tadi mengincar Jayaseta kemudian ikut bangkit dan mengikuti Jayaseta keluar dari kedai makan tersebut. Ketiganya mengenakan pakaian berwarna gelap, hitam maupun coklat tua. Di balik baju mereka yang tanpa kancing, terselip belati dan golok pendek yang cukup menonjol.
Hujan menemani kepergian Jayaseta dan ketiga orang tersebut. Setelah melihat sekeliling dengan cepat, Jayaseta memutuskan sengaja masuk ke sebuah jalan setapak yang kini sedikit tergenang air, cukup jauh dari kedai makan. Ia tidak mau ada orang yang melihat kejadian ini dan menjadi korban. Jalan setapak ini menuju ke sebuah bukit, dimana kiri kanannya ditumbuhi beragam tanaman liar dan diteduhi pepohonan dari hutan. Karena jalan menunjak, air terus mengalir melalui jalan di depan Jayaseta dan melewati kakinya.
“Hmmm … baguslah, biar darah mereka nanti langsung dapat hilang terbawa air,” kata Jayaseta dalam hati.
Sampai pada satu titik dimana telah dirasa pas jaraknya, Jayaseta berhenti dan langsung berbalik menghadap para penguntitnya. Ia menatap lurus ke mata masing-masing para calon penyerangnya. Tentu saja ketiganya terkejut, tak menyangka si korban sudah menangkap basah mereka. Tapi itu tak lama, toh memang tujuan mereka sudah jelas, merampok orang asing dengan kepingan uang emas dalam kantong tas anehnya.
Salah satu dari ketiganya maju kedepan, bukan hendak berkata-kata atau menyerang, ia menyatukan jari telunjuk dan jempolnya yang membentuk lingkaran dan memasukkannya ke dalam mulutnya untuk membunyikan sebuah siulan keras yang panjang.
Tak berapa lama, sekonyong-konyong entah dari mana, sebuah rombongan orang yang juga berpakaian serupa dengan ketiga orang ini bermunculan. Terus bermunculan satu persatu. Mereka sudah menggenggam golok, pedang, wedung, sampai tombak pendek dan keris di tangan mereka. Mata Jayaseta langsung dengan cepat menghitungnya.
Jumlahnya sekarang tidak kurang dari dua puluh orang. Bila dijumlah dengan ketiga orang yang menguntitnya dari warung tadi, dua puluh tiga orang jadinya. Tumben, kali ini Jayaseta salah taksir. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa niat ia memancing lawan malah mendapatkan ikan yang terlalu besar. Entahlah Jayaseta gentar atau tidak, tapi jelas ia kaget.
Kedua puluh orang tersebut berdiri di belakang ketiga orang yang menguntit Jayaseta dari kedai tadi. Karena jalan setapak ini hanya pas bila dilalui dilalui paling banyak tiga atau empat orang, mereka berdiri di tempat-tempat yang memungkinkan. Di semak belukar, di balik pohon, bahkan di atas ranting pepohonan. Sisanya berdiri mengantri di belakang teman-teman mereka.
Orang yang bersiul dengan keras tadi jelas adalah pemimpin gerombolan. Selain terlihat dari tindakannya bersiul seakan sebagai tanda perintah kepada anak buah, segala hal yang ada dalam dirinya menunjukkan kepemimpinannya. Hal-hal seperti ini sudah gampang sekali dipahami oleh Jayaseta.
Bahkan Jayaseta sudah bisa menaksir siapa pemimpin, siapa wakil, siapa orang kedua, ketika, cecunguk, si pengecut, si kepala batu, si licik atau si jagoan berilmu lebih tinggi dibanding gerombolannya dalam kelompok-kelompok perampok semacam ini. Kejadian perampokan Saudagar Amir dan Almira adalah salah satu contoh lain di kemudian hari bahwa kemampuannya ini memang mumpuni dan sudah terasah.
Si pemimpin pun akhirnya berbicara dengan keras mengalahkan suara hujan dan guntur yang sesekali menyahuti, “Sudah, jangan banyak cingcong orang asing. Berikan semua keping emas atau barang apapun yang kau bawa dalam tas itu. Kami semua berjumlah dua puluh tiga orang dengan senjata tajam, kau langsung dapat kami cincang disini juga biar kata kau memiliki ilmu silat sekalipun.”
Tak pelak Jayaseta harus mengakui bahwa ia juga terkejut. Ini sama sekali tidak sempat lewat dalam pikirannya. Ia pikir tiga orang begundal saja yang sudah mengincarnya dan ia juga tidak menyangka si pemimpin paham bahwa ia adalah seseorang yang mampu beladiri. Sang pemimpin mungkin tidak mau ambil kemungkinan melawan orang asing yang sudah paham bahwa ia dibuntuti. Sebagai akibatnya, si pemimpin rampok ini sekalian saja memanggil semua anggotanya. Pikirnya mungkin, perlawanan tidak perlu terjadi.
Jarum-jarum air hujan terus menghujam ke bumi. Menabrak dedaunan, ranting, dan tanah. Jayaseta melepaskan sedikit tali-tali yang mengikat rapat tas kulitnya untuk membuka dan mengambil topeng barong macan dari dalamnya. Sambil melakukan ini, ia berpikir dengan keras untuk menghadapi para begundal begal ini. Dua puluh bagaimanapun adalah jumlah yang besar. Andaikata mereka semua memiliki ilmu silat yang mumpuni, Jayaseta tidak yakin ia dapat melanjutkan bernafas hari ini.
Satu-satunya harapannya adalah kawanan rampok ini adalah orang-orang dengan ilmu silat rendah yang berniatkan kenekadan dan perut lapar bukannya ilmu kanuragan. Kebanyakan rampok memang mengandalkan amuk dan keroyokan untuk mencapai maksud mereka. Segelintir perampok saja yang memiliki kedigdayaan hampir merata pada setiap anggota mereka. Contohnya rampok-rampok pimpinan si Lebah Siluman yang ia hadapai tempo hari.
Topeng barong macan yang Jayaseta keluarkan dari tas buntalan kulitnya itu sangat bergaya Bali. Raut wajah wajah yang galak dan garang dengan kedua mata yang melotot dan taring panjang yang menghiasi mulutnya yang terbuka lebar, pasti sesuai dengan gerakan Jayaseta nantinya. Ini adalah rencana Jayaseta yang pertama. Dengan menggenakan topeng itu, barangkali para musuh akan menenal nama atau julukan kependekarannya, atau paling tidak topeng tersebut akan sedikit menyurutkan nyali para penyerangnya.
Topeng itu ia kenakan di wajah, mengikat simpul topeng di belakang kepalanya. Tas kulit ia ikat kembali, dan lemparkan di sisi jalan, di balik rerumputan basah. Sekarang di depan para perampok itu berdiri sesosok orang dengan baju putih tanpa lengan, sepatu pangsi hitam yang ditutupi kain jarit batik yang disabukkan di pinggang, tanpa alas kaki dan bertopeng barong macan. Pemancangan yang ajaib, aneh, mengherankan, lucu, konyol, dan mungkin bodoh bagi para gerombolan perampok ini. Tanpa kuda-kuda, Jayaseta terlihat makin konyol dan tidak berbahaya.
Rencana awal Jayaseta gagal, bukannya merasa terancam, penampilan Jayaseta malah membuat mereka saling berpandangan heran dan merasa lucu. Kurang lebih seperti sikap meremehkan pasukan Mataram dan Surabaya yang dahulu pernah membunuh ayah dan mengepungnya. Gerombolan perampok ini pasti belum pernah kenal dengan nama Pendekar Topeng Seribu. Lalu, perampok macam apa yang belum mendengar sepak terjang dunia persilatan di tanah Jawa saat ini? Kekhawatiran Jayaseta malah sekarang berbuah senyum yang tersungging di balik topeng macan Bali itu.
Jelas, para rampok adalah kumpulan orang-orang galak yang kurang mumpuni. Bisa saja mereka baru membentuk gerombolan ini dan memutuskan untuk bekerja dalam perampokan bersama mengandalkan keroyokan dan tampang bengis mereka.
Di sinilah kelemahan para perampok. Dalam beberapa saat mereka jadi terbengong-bengong dan tanpa persiapan. Mereka bingung bagaimana bersikap dan saling pandang saja. Tersenyum bingung, ketawa apalagi. Cara berdiri mereka yang mengancam tadinya sekarang menjadi kendor, begitu pula genggaman mereka pada senjata tajam mereka.
Inilah juga satu lagi keampuhan topeng Jayaseta yang kelak membuatnya makin dikenal jagad persilatan. Topeng itu membius semua lawan-lawannya. Perasaan bingung, penasaran, geli, mungkin sedikit amarah dan rasa takut bercampur, sehingga mereka akan lengah, ditambah Jurus Tanpa Jurus yang tidak pernah tertebak tidak akan sampai bisa terpikir begitu berbahayanya.
Dalam tiga tarikan nafas yang singkat namun penuh kebingungan itu, Jayaseta sang Pendekar Topeng Seribu menggunakan kesempatan ini dengan baik. Ia berlari dengan cepat sepanjang jalan setapak yang menurun langsung menyerang ke arah inti perampok, sang pemimpin. Jayaseta melenting dan memberikan tendangan Guntur dari Selatannya tepat mengenai sisi wajah sang pemimpin yang dalam satu tendangan ini pula langsung jatuh menghantam tanah becek dan tak sadarkan diri.
Dengan cepat pula Jayaseta mengambil golok di balik pakaian sang pemimpin rampok, menghunusnya dan membacokkannya secepat kilat ke arah musuh-musuhnya yang masih dilanda kebingungan luar biasa. Jayaseta menyerang dengan amukan liar. Goloknya memapras menyilang, berputar dan menghujam. Darah menciprat. Belum terlihat adalah yang tewas dari gerombolan ini karena semuanya mendadak terjaga dari kebengongan mereka dan berusaha mati-matian berjumpalitan menghindari serangan tiba-tiba itu.
Ssebentar saja sudah dua orang tewas mengenaskan oleh bacokan golok Jayaseta dengan luka menganga di kepala mereka. Tidak berhenti disitu saja, pukulan dan tendangan Jayaseta membelah hujan menghantam wajah, leher, dada, perut dan pinggang musuh-musuhnya dan membuat mereka terkocar-kacir. Ini adalah seorang pendekar yang sedang menyerang para pengeroyoknya, bukan sebaliknya. Sebuah pemandangan yang aneh. Seperti seekor banteng yang menanduki gerombolan harimau yang tercerai-berai.
Para perampok begitu kaget dan kebingungan meski kebanyakan dari mereka sadar untuk langsung mengencangkan pegangan mereka pada gagang senjata. Melihat ini, para anggota pengeroyok lainnya juga seperti disadarkan dan juga sudah mulai menyerang. Gerakan Jayaseta yang berputar-putar, melenting, dan bahkan menggelosor di tanah becek berair seperti gasing yang membelah lautan manusia.
Deru jurus-jurus Jayaseta yang bertenaga melemparkan musuh-musuhnya ke berbagai arah. Beberapa menghindar karena ngeri, beberapa lainnya bergulingan dan bergelimpangan karena bacokan atau serangan Jayaseta. Ketika Jayaseta melompat atau melenting ke udara, daya serangnya seperti bintang jatuh dari langit yang meretakkan bahu dan kepala musuh. Ketika ia dibawah, ia seperti ledakan gunung berapi yang berpijar dan menghantam ulu hati, menggeserkan tempurung lutut, atau mendorong dada musuh dengan kekuatan ledakan yang ganas.
Semua kocar-kacir.
Pedang dan golok yang diarahkan ke Jayaseta dapat dihindari, ditangkis atau tangan mereka dipelintir dan kemudian dibanting dengan keras. Jayaseta selalu dapat menentukan jarak sehingga walau sepertinya senjata-senjata tajam tersebut diarahkan dengan baik atau malah membabi buta, Jayaseta selalu mampu menahan lengan musuh tanpa terkena sabetan sama sekali.
Bila beberapa tarikan nafas sebelumnya Jayaseta berputar-putar memecah lawan, kini ia bagai batuan besar yang menggelinding dari atas bukit menggencet musuh-musuhnya. Percikan air hujan kadang juga membantu Jayaseta menjadikannya jarum-jarum kecil yang terlempar karena kekuatan tinju Jayasera. Kemudian air-air hujan itu membentur wajah musuh-musuhnya, membubarkan pikiran dan pandangan, sebelum tinju Jayaseta menempel dan menghancurkan wajah mereka sampai tanpa berbentuk lagi atau golok di tangan kanannya yang merobek kulit dan daging sang musuh.
Air di tanah menciprat ke segala arah karena dentuman tapak-tapak kaki. Darah pun mulai muncrat dan segera terbawa air turun ke bawah bukit, termasuk darah yang menempel di dedaunan dan ranting-ranting pepohonan.
Jayaseta terus menggempur. Sekarang malahan para pengeroyoknya yang bingung melakukan pertahanan. Sudah separuh kawanan perampok tewas. Rata-rata mengalami luka berdarah di kepala dan bahu. Sisanya yang tak terkena bacokan Jayaseta juga tidka bisa dikatakan beruntung karena patah tulang dan lebam karena jurus-jurus tendangan dan pukulan Jayaseta.
Banyak pula yang sebenarnya hanya diserempet golok di bagian tangan, bahu atau perut dan luka-luka tersebut tidak begitu berbahaya, namun nyali mereka sudah kepalang ciut. Mereka menjatuhkan senjata mereka meringkuk di tepi jalan memegang luka, bergulung menutupi dan melindungi kepala mereka di tanah sembari berteriak-teriak kesakitan dan ketakutan.
Tangan dan kaki Jayaseta sama berbahayanya dengan senjata tajam yang dibawa para perampok tersebut. Kadang jurus-jurus Jayaseta yang menggunakan tangannya seperti pedang yang membabat. Kadang kakinya seperti toya yang menderu-deru. Ada saat dimana golok Jayaseta patah karena menangkis serangan bertubi-tubi pedang tiga perampok yang memababi-buta ketakutan sekaligus marah. Tanpa golok kedua tangan Jayaseta bila disatukan menjadi gada yang kokoh dan menghancurkan. Bahkan jari-jarinya menjadi trisula yang tajam menusuk. Tak lama ia pun berhasil merebut senjata tajam mereka lagi, sebuah pedang.
Para perampok itu menumpuk-numpuk. Keadaan mereka yang seharusnya mengeroyok, mengitari atau mengepung Jayaseta nyatanya malah berantakan karena sabetan pedang Jayaseta yang menderu-deru. Mereka menubruk teman-teman mereka sehingga terinjak-injak. Belum lagi karena kemampuan beladiri mereka yang sama sekali tidak mumpuni, membuat sulit sekali menyerang atau hanya sekedar meletakkan kuda-kuda. Tepat seperti apa yang Jayaseta pikirkan sedari awal.
Jalan setapak penuh lumpur dan air serta kerikil, rerumputan dan pepohonan liar di kiri kanan mereka serta pepohonan dengan ranting-rantingnya seakan menjerat para penyerang tersebut dan menutupi kemampuan mereka untuk melaksanakan serangan terbaik. Tidak begitu tentunya dengan Jayaseta yang mampu menggunakan semua hal yang ada di sekelilingnya untuk membuatnya unggul dibanding lawan-lawannya.
Batang pepohonan digunakannya sebagai tolakan tubuhnya melenting ke udara untuk kemudian menghujam ke arah musuh. Pepohonan itu juga menjadi tempat penghancur yang baik untuk melemparkan tubuh-tubuh lawannya yang kemudian membuat tulang-tulang mereka berderak patah. Begitu juga air yang terus mengalir menuruni bukit serta lumpur yang menghalangi gerak para perampok membuat Jayaseta bebas menghajar sekalian kaki-kaki mereka dengan sapuan-sapuan Tendangan Guntur dari Selatan.
Sedari awal Jayaseta memang sudah menyerang para perampok habis-habisan. Meskipun ia sudah tumbuh dan tertempa sebagai seorang pendekar pilih tanding, sikap jumawa bukanlah sifatnya. Ia tidak bisa menganggap enteng kedua puluh orang yang berniat mengeroyoknya. Sekali saya ia sombong dan bersikap meremehkan, bisa saja nyawanya hilang karena kecerobohannya sendiri. maka dari itu, ia tidak mau sekedar coba-coba dan bermain-main dengan para penyerangnya walau sedikit banyak ia dapat menakar kemampuan mereka yang rata-rata tidak bisa dikatakan mumpuni.
Keadaan Mataram dan pulau Jawa secara umum yang sedang panas-panasnya oleh gejolak percaturan kekuasaan membuat kemiskinan dan tindak kejahatan merajalela. Banyak orang yang berani membunuh, menghabisi nyawa orang lain hanya untuk satu bungkus nasi liwet dan dendeng sebagai lauknya.
Pikiran Jayaseta yang awalnya ingin menghabisi ketiga orang penguntitnya menjadi sebuah perasaan ingin bertahan hidup demi melihat ternyata pengeroyoknya berjumlah lebih dari dua puluh orang. Dengan segala daya, ia mengerahkan kemampuan silatnya sekaligus menggunakan beragam cara untuk lolos dari keadaan ini walau sekilas saja bila ditilik, Jayaseta jauh lebih unggul bahkan dibanding dua puluh orang pengeroyoknya. Tanpa mengeluarkan seluruh kesaktiannya pun Jayaseta dapat dengan mudah mengungguli mereka.
Keadaan yang tidak menguntungkan ini sudah terbaca oleh para perampok yang masih tersisa yang tanpa buang waktu lagi segera kabur membelah derai-derai hujan. Mereka yang melarikan diri itu berjumlah kurang dari tiga orang saja. Sisanya sudah terbaring di tanah, mengaduh-aduh atau sama sekali tak bergerak. Termasuk sang pemimpin yang paling dahulu mencium tanah berlumpur tanpa sempat menunjukkan sepak terjangnya. Perkelahian yang terjadi kurang dari tiga tegukan teh ini yang berhasil melenyapkan nyawa separuh dari para perampok. Sisanya selain yang melarikan diri sudah dipastikan menderita luka parah.
Diketahui kemudian dengan tanpa usaha yang berarti dari mulut salah satu anggota perampok yang terluka, mereka sebenarnya awalnya gerombolan orang-orang yang dipekerjakan oleh kompeni Walanda untuk memata-matai pasukan Mataram yang ingin menyerang Betawi beberapa tahun yang lalu. Mereka juga bekerja bersama orang-orang Jarum Bumi Neraka membakar gudang-gudang makanan pasukan Mataram.
Sialnya setelah beberapa tahun, orang Walanda di Betawi yang mempekerjakan mereka, yaitu Devisser de Jaager alias di Petir Berkulit Pucat, membuang mereka ketika mereka meminta hak-hak mereka seperti pembayaran maupun lahan dan kekuasaan, de Jaager bahkan menghajar mereka habis-habisan. Seharusnya mereka memiliki anggota yang lebih banyak, namun beberapa sudah tewas di tangan de Jaager. Hingga di sini lah mereka yang luntang-lantung karena sudah tidak memiliki harga diri.
Sebagai pengkhianat Mataram, mereka jelas tidak mungkin lagi mendapatkan apa-apa lagi dari kerajaan yang mereka khianati. Jangankan bagi para pengkhianat, bahkan bagi para prajurit sekalipun, ketika mereka gagal dalam melaksanakan tugas menyerang Betawi banyak yang tewas dan dipancung di depan benteng Betawi karena gagal melaksanakan tugas mereka.
Pikir Jayaseta, ini menjadi semakin menarik saja. Ia tidak menyangka akan mendengar nama de Jaager lagi selain dari si Kakek Keling. Kejadian ini membuat Jayaseta melihat Mataram dengan sangat berbeda. Dahulu di Giri hanya ada dua pandangan.
Pertama, Mataram adalah negara yang angkuh dan semena-mena karena negara ini ingin menguasai seluruh Jawa di bawah kekuasaannya, sedangkan kedua, Mataram adalah negara yang lebih besar di banding Giri sehingga semua orang Giri juga lebih baik untuk mematuhi dan ikut sebagai bagian dari Mataram. Dengan begini Mataram malah akan melindungi Giri sehingga hidup masyarakat pun akan aman dan sentosa. Kedua pandangan ini kerap bertubrukan sehingga menjadi masalah di Giri.
Sedangkan dengan semua kejadian yang telah ia lewati, masalah Mataram sudah tidak dapat dihubungkan dengan kebijakan penguasa. Raja, bupati, prajurit dan priyayi memiliki kepentingan mereka sendiri-sendiri yang kerap berbeda dengan rakyat. Rakyat hanya ingin hidup nyaman, tenang dan dapat mencari makan tanpa gangguan. Keagungan kerajaan adalah mimpi para raja, bukan rakyat.
Ia hadir bukan untuk terlibat dalam kancah percaturan kekuasaan tersebut, namun membela kepentingan rakyat dan orang-orang yang tidak berdosa, yaitu keamanan dan kedamaian. Mereka tidak boleh diganggu oleh kejahatan yang menyebar karena nafsu orang-orang yang serakah, entah karena kekuasaan atau nafsu pribadi mereka sendiri.
Kejadian di jalan setapak di kala hujan ini menorehkan lagi catatan gebrakan sang Pendekar Topeng Seribu di hati para begundal, pendekar dan jawara di pulau Jawa. Kehebatannya bukan lagi sebuah desas-desus. Saksinya makin banyak dan dapat menceritakan beragam kisah mengenai Jayaseta dan tindak-tanduknya. Jayaseta sendiri berhasil mendapatkan ilmu yang memang menjadi tujuan perjalanannya ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
Kota Gede... pusat kerajinan perak
2023-04-02
1
akp
mantap thor
2022-05-27
2
محمد جوحاری عبد الرحيم
yg menjadikan cerita ini menjadi favorit sudah Ribuan org...koq yg nge Like hanya Ratusan.....yok kita bantu Thor nya dg memberikan Like dan hadiah
2022-03-10
2