Almira

Jayaseta yang masih mengenakan topeng ganongan berwarna menrah menyala itu bergegas menotok beberapa titik di tubuh sang saudagar Arab yang kemudian ia ketahui bernama saudagar Amir. Totokan ini diharapkan dapat menutup aliran darah sang saudagar yang terus-menerus mengucur. Dalam waktu singkat saja ia pasti akan tewas.

Dengan ilmu kanuragan pengobatan tenaga dalam yang ia pelajari dari Kakek Keling pula Jayaseta kemudian segera menyalurkan hawa hangat ke tubuh saudagar Amir agar selain darahnya yang terus mengalir keluar dari luka-luka tusuknya dapat terhenti, rasa sakit yang menjalar di tubuh sang saudagar akan sedikit teratasi. Di sampingnya, sang putri terus sesenggukan menangis melihat tubuh ayahnya yang lemah tak berdaya.

“Alhamdulillah, kau … kau … da … pat menyelamatkan anakku, pen … dekar,” dengan terbata-bata sang saudagar berkata kepada Jayaseta.

“Abah jangan bicara lagi, kita harus segera mengobati Abah,” ujar sang putri.

Mendengar ini saudagar Amir malah tersenyum getir, “Putriku Almira, nyawa Abahmu ini sudah … sudah … ti … dak mungkin terselamatkan. Pendekar asing ini hanya menotok bagian … bagian tubuh Abah untuk memperlambat kematian Abah. Nah, pendekar … jelaskanlah semua itu pada putriku … Almira.”

“Abah jangan mengatakan hal buruk seperti ini,” kemudian sang putri cantik yang masih sesenggukan menoleh ke arah Jayaseta yang tak tampak raut mukanya sama sekali.

“Tolong siapapun kisanak, katakan pada Abah itu semua tidak benar. Abah pasti bisa selamat, bukan? Aku sudah lihat kisanak begitu sakti mandraguna, kisanak pasti bisa menyelamatkan Abahku!”

Mendengar ini di balik topengnya, Jayaseta merasakan perasaan pilu yang aneh. Pertama, ia merasa sangat kasihan pada si gadis yang ia khawatir bakal tidak dapat menerima kenyataan bahwa sang ayah sudah tidak dapat ditolong. Sesama orang yang paham ilmu kanuragan, ia dan saudagar Amir paham seberapa parah luka yang ia derita. Kedua, anak gadis yang ternyata bernama Almira tersebut harus Jayaseta akui adalah seorang gadis yang memang begitu menawan.

Dengan kesedihan yang menggantung di wajahnya sama sekali tak dapat menghilangkan kerupawanannya. Bahkan pada dasarnya Jayaseta merasa bersalah karena ia begitu terpana dengan kecantikan Almira karena perasaan ini seperti salah tempat. Harusnya ia merasa prihatin bukannya malah menikmati kecantikan yang terpapar di depannya. Perasaan nyaman sekaligus kikuk menyerang Jayaseta. Ia bingung perasaan apa ini. Sialnya ia sekarang dalam keadaan yang sangat-sangat tidak tepat untuk merasakan jenis perasaan yang baru dikenalnya ini.

Dari permulaan ketika Jayaseta menyeruduk masuk ke pertempuran sampai saat ini, tak sepatah katapun ia ucapkan. Keadaan ini sangat tidak menguntungkan kedua belah pihak, pihaknya maupun Almira dan rombongan saudagar Arab ini. Ia tidak bisa begitu saja meninggalkan Almira, ayahnya yang sedang sekarat dan kedua sais gerobak sapi yang meringuk ketakutan dan kebingunan di dekat rumput-rumput sana.

“Almira,” Jayaseta akhirnya berbicara dengan suaranya yang sengaja ia buat terdengar rendah dan dalam.

Almira terpaku, tidak menyangka bahwa orang bertopeng ini akhirnya membuka suaranya.

“Dengan sangat menyesal aku harus menyetujui ucapan ayahmu.”

Tangis pun berderai sudah. Almira menangis dengan pilu. Rambutnya yang acak-acakan menutupi wajahnya. Sebentar saja helai-helai rambutnya basah oleh air mata.

Mendengar ini Jayaseta merasa dadanya tersanyat-sanyat karena merasa ikut bersedih. Ia bingung harus bagaimana lagi. Atau mungkin apakah ia salah ucap? Hati gadis ini mungkin begitu rapuh sehingga ia harus pandai-pandainya berucap.

Ia sendiri mengetahui dengan baik bahwa kehilangan orang yang ia cintai apalagi dengan cara yang mengenaskan seperti ini bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi. Kematian ayahnya yang begitu mengerikan juga membuat Jayaseta saat itu sangat terpukul. Bedanya ia adalah seorang anak laki-laki yang diasuh dengan jalan pedang, sebagai seorang pendekar yang harus siap menghadapi kematian dan beragam kemalangan hidup.

Bagaimana dengan Almira? Seorang gadis muda yang cantik, anak seorang saudagar Arab yang kaya yang kebetulan ayahnya mampu berilmu kanuragan.

Jayaseta berdiri, tidak dapat berpikir apa yang harus ia lakukan. Kemudian menjauh sejenak dan mendekati dua orang sais gerobak sapi yang tadi menghindari peperangan. Mereka berdua lah yang beruntung masih hidup dalam rombongan saudagar tersebut. Mengetahui si pendekar bertopeng yang sepak terjangnya luar biasa itu mendekati mereka, dengan tergopoh mereka ikut pula mendekat.

“Bagaimana kisanak keadaan tuan kami?” salah seorang diantara dua orang sais itu memberanikan diri menanyai si jagoan bertopeng yang sudah menyelamatkan mereka.

“Saudagar Amir tidak akan bertahan lama. Berapa lama perjalanan ke pemukiman terdekat, dan kemana rombongan ini hendak menuju?”

“Eh, sebenarnya Kotagede Mataram adalah yang terdekat kisanak. Namun perjalanan membutuhkan waktu beberapa hari lagi. Kami akan membawa barang-barang dagangan ini ke Kotagede, ke rumah adik kandung laki-laki tuan Amir untuk kemudian di jual,” sais satunya kali ini yang berbicara.

“Saudagar Amir tidak akan mampu bertahan sampai Kotagede. Namun kita harus tetap berangkat sesuai rencana kalian semua. Bantu aku membawa korban-korban tewas dari rombongan kalian. Tidak pantas untuk meninggalkan mereka di jalan. Aku akan ikut serta rombongan kalian sampai Kotagede.”

Kedua sais saling pandang dan mendadak bernafas lega tanpa perlu ditutup-tutupi lagi. Mereka sadar bahwa rombongan ini sudah begitu lemah karena hanya tersisa tiga diantara mereka dan tidak mungkin untuk dapat bertahan lagi dari serangan sekecil apapun. Dengan adanya seorang pendekar yang sakti mandraguna ini, mereka dapat yakin bahwa nyawa mereka sudah terjamin.

Jayaseta kemudian bersama kedua sais gerobak sapi tersebut mengangkut jenazah teman-teman mereka yang telah tewas dan membungkusnya dengan kain yang mereka bawa agar lebih pantas. Sedangkan untuk gerombolan para perampok baik yang sudah tewas ataupun yang sekarat dan terluka parah, Jayaseta meminta mereka untuk meletakkan mereka di tepi jalan, tepat disamping Si Lebah Siluman agar nantinya tidak mengganggu para pejalan lain.

Jayaseta kemudian juga mengambil kembali dua buah cakram miliknya yang tadi ia gunakan untuk menyerang para perampok setelah kemudian membersihkannya dari noda-noda darah. Ia kemudian kembali meletakkan kedua cakram tersebut di kepalanya bersama dengan satu buah cakram lagi yang tidak ia gunakan tadi.

Dengan berusaha sesopan mungkin, ia kemudian mengangkat tubuh saudagar Amir yang sedang sekarat ke dalam kereta kuda. Di sana ia akan dijaga oleh anaknya dalam sisa-sisa waktunya. Seharian mereka semua bekerja untuk membereskan semua ini, termasuk menguburkan rekan-rekan seperjalanan mereka.

Sedangkan Jayaseta sendiri kemudian menggantikan sais kereta kuda yang juga sudah tewas setelah sebelumnya ia meloncat ke balik semak-semak untuk mengambil tas buntal kulitnya yang semula ia letakkan di bawah pohon beringin. Di perjalanan akhirnya saudagar Amir berpulang kurang dari satu hari kemudian.

Mereka terpaksa menguburkannya di sebuah desa di perjalanan dan berpesan agar orang menjaga dan merawat makam sang saudagar, dengan memberikan upah yang cukup tentunya, Sesenggukan Almira di sepanjang perjalanan membuat Jayaseta semakin gelisah. Sebagai pendekar, serangan berbahaya dari senjata atau jurus-jurus mematikan tak membuatnya gentar.

Namun setiap tarikan nafas kesedihan Almira membuat pertahanannya runtuh. Ingin rasanya ia menghapus semua kesedihan Almira dan menyakinkan bahwa semua pasti akan berakhir dan baik-baik saja.

Tapi bagaimana caranya? Memeluk Almira? Hah! Kurang ajar sekali pikirnya. Memangnya siapa dia berani-beraninya menyentuh si gadis? Apa bedanya ia dengan para perampok tadi? Meskipun bayangan memeluk Almira membuat dadanya tercekat. Sudah pasti bila ini dimungkinkan, ia ingin sekali bisa merengkuhnya. Ah, pikiran macam apa ini, pikir Jayaseta.

Perjalanan mereka yang seharusnya hanya beberapa hari saja itu terpaksa terundur menjadi beberapa minggu. Sudah dapat diduga, sepanjang perjalanan beberapa kali terjadi halangan. Begundal-begundal sepertinya entah bagaimana mendengar kabar mengenai rombongan saudagar tersebut. Mereka seakan mencoba memastikan dan sedikit menjajal keberuntungan mereka yang sayangnya tidak berpihak kepada mereka. Apa lagi kalau bukan karena seorang pendekar sakti berpenampilan aneh yang menyertai rombongan mereka. Kebanyakan ngacir bila tidak mau mati atau paling tidak terluka parah karena mencoba merampok kereta dan gerobak sapi itu.

Rombongan saudagar Amir yang dijagai Jayaseta inipun akhirnya sampai di Kotagede, salah satu pusat kerajaan Mataram yang begitu besar, ramai dan gaduh. Jayaseta sudah membayangkan bahwa Mataram berkali-kali lebih besar dibanding Giri di Gresik sana. Walau pusat keraton Mataram sudah beberapa tahun lalu dipindahkan ke Karta, Kotagede adalah kota yang penting dan terlihat dari kegiatan perniagaan dan penduduknya yang sangat rapih.

Dinding-dinding tinggi dibangun dengan kokoh sedangkan jalan setapaknya lebar dan mulus dimana di beberapa bagian disusun dengan menggunakan susunan bebatuan yang rapih dan padat.

Pada awalnya sewaktu Kotagede masih merupakan pusat kraton Mataram, dinding-dinding benteng di bagian dalam kota yang diberi nama cepuri tersebut, mengelilingi kraton Mataram, sedangkan benteng di bagian luar yang disebut baluwarti mengelilingi dan melindungi kota Mataram.

Di luar benteng-benteng itu juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai. Ini menunjukkan keampuhan dan kekuatan pertahanan negeri Mataram. Rumah-rumah besar dan kecil dari kayu jati atau batu-bata berjejer dengan rapih.

Saat itu, rombongan ini sampai pada malam hari. Hal yang cukup menguntungkan karena tidak ada seorangpun yang begitu memperhatikan rombongan ini. Lampu-lampu sentir dan teplok menempel di rumah-rumah, sedangkan jalan yang tersusun diantara tembok-tembok benteng tinggi berwarna putih diterangi oleh jejeran panjang obor.

Namun, mereka terus saja melanjutkan perjalanan menjauhi keramaian Kotagede ke pinggiran kota. Rombongan itu kemudian sampai di sebuah rumah besar yang dikatakan milik adik kandung laki-laki ibunda Almira, dalam hal ini adalah adik ipar saudagar Amir. Sebuah rumah kayu yang besar, dengan pekarangan yang lebar pula. Beberapa bangunan rumah tetangga juga terlihat, namun tidak begitu dekat dengan jeda persawahan, sungai kecil dan lahan kosong.

Nampaknya lingkungan ini memang sebuah lingkungan mewah dimana para tuan rumah kemungkinan adalah orang-orang kaya, pedagang dan saudagar, atau mungkin priyayi. Terlihat beberapa rumah panggung ciri khas priyayi Jawa. Rumah sang paman Almira sendiri bergaya Jawa. Diketahui pula oleh Jayaseta bahwa rupa-rupanya keluarga ibunda Almira sendiri juga adalah Jawa tulen.

Kesedihan masih tak terhindarkan menanungi rumah besar itu. Semua diceritakan dengan sejelas-jelasnya kepada sang paman oleh Almira dan para sais yang menjadi saksi peristiwa tersebut. Walau Jayaseta masih berada di sana, ia diam seribu bahasa bahkan tanpa melepas topengnya. Syukurnya Almira sendiri sepertinya sudah mulai kuat. Entah memang karena ia memang semakin bisa menerima kenyataan ini atau malah sudah kehabisan air mata.

Untuk menunjukkan rasa tanggung jawabnya, Jayaseta dua hari lamanya masih ikut tinggal bersama keluarga ini. Ia tidur di salah satu gerobak yang membawa barang-barang dagangan. Topengnya ia ganti setiap beberapa saat antara topeng ganongan, topeng barong macan, dan topeng panji.

Semua anggota keluarga sang saudagar walau masih dalam keadaan sedih juga tak bisa untuk tidak terheran-heran, terkagum-kagum dan sedikit bangga rumah mereka didatangi dan dijagai seorang pendekar pilih tanding yang berhasil menyelamatkan anggota keluarga mereka yang lain, yaitu Almira, bahkan beserta harta dan barang dagangan mereka.

Pada hari ketiga, sudah saatnya Jayaseta merasa harus pergi untuk kembali mengembara dan menyelesaikan tujuannya. Pagi itu, ia dalam keadaan gundah apakah ingin pamit atau langsung saja pergi. Bukankah terlalu aneh bagi seorang pendekar yang tak diketahui asal-usulnya yang biasa datang pergi sesuka hati harus pamitan kepada seseorang? Namun selagi ia masih kebingungan Almira ternyata sudah datang dengan segelas teh panas mengununginya di salah satu gerobak tersebut.

Kening Almira mengkerut melihat Jayaseta, “Apakah kisanak hendak pergi?”

Sejenak Jayaseta hilang kata-kata. Ada rasa sayang untuk meninggalkan Almira. Pagi ini ia semakin cantik saja. Apalagi kesedihan nampaknya sudah memudar dari wajahnya yang perlahan mulai digantikan dengan sinar yang berpendar di parasnya. Rambut hitam Almira mengintip dari balik kerudung hijaunya. Menciptakan pemandangan yang membuat nafas Jayaseta tercekat.

Kerutan di kening Almira memudar. Ia sekarang tersenyum ke arah sang pendekar bertopeng. Manis sekali, membuat Jayaseta merasa kedua lututnya melemas. Seperti terkena serangan tenaga dalam sihir dan jampi-jampi dari seorang pendekar ilmu hitam. Bukan, ini bahkan lebih parah. Ia merasa pertahanannya bobol. Bila ada seorang jawara membokongnya, ia pasti sudah akan tewas dari tadi.

Perlahan Jayaseta menjawab, “Ya, Almira. Aku rasa sudah saatnya untuk melanjutkan perjalanan. Kau nampaknya sudah cukup kuat dan bisa menerima semuanya. Terimakasih atas tempat tinggal dan makanan yang sudah kalian berikan selama beberapa hari ini.”

“Eh, kisanak. Kami yang harus berterimakasih kepada kisanak karena sudah menyelamatkan nyawaku. Lagipula, kisanak yang bersikeras untuk tidur di gerobak, bukannya di dalam kamar yang jauh lebih pantas di rumah kami,” suara Almira sudah menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Almira yang nampaknya adalah seorang gadis muda yang ceria, cerdas dan tegar.

“Kisanak, aku tidak mungkin bisa mencegah kepergianmu. Kau adalah Pendekar Topeng Seribu yang dikenal sebagai pembela kebenaran dan keadilan. Aku adalah salah satu saksi hidupnya,” Almira membuka kerudungnya dan melanjutkan perkataannya, “Aku juga tidak mungkin dapat membalas budimu. Namun, sebelum kau pergi, bolehkan barang sejenak aku melihat wajahmu kisanak? Bolehkah mungkin aku dapat melihat wajah penolongku agar dapat aku ingat seumur hidupku?” kedua mata jerih Almira memancarkan daya pikat yang tak mungkin Jayaseta tolak. Kejujuran dan ketulusan ada di sana, seakan mengambang di permukaan telaga jernih.

Jayaseta tergetar. Ia merasa malu di depan Almira. Entah mengapa ia merasa lebih baik bertopeng dibanding harus memperlihatkan wajahnya yang mungkin akan terlihat bodoh dan buruk rupa di depan Almira. Tapi ini toh mungkin kesempatan terakhir pertemuan mereka. Apa salahnya sedikit mengenal Almira dengan memperlihatkan wajahnya.

Topeng panji pun ia lepaskan.

Andai Jayaseta tahu apa yang ada di benak Almira saat ini mungkin Jayaseta akan berteriak dan melompat kegirangan.

Almira sekarang yang ternyata terpesona dengan rupa Jayaseta. Dengan susah payah ia tutupi perasaannya yang sebenarnya dengan menahan air mukanya. Dasar ndablek, Jayaseta harusnya saat itu juga paham perasaan kagum yang tersembunyi di raut wajah namun tergambar jelas di kedua matanya yang sejernih air danau itu.

Bagi Almira si pendekar pilih tanding yang berhasil menyelamatkan nyawanya dan menghabisi para jagoan rampok yang dikenal dengan baik di tanah persilatan di Jawadwipa ini ternyata adalah seorang pemuda yang usianya mungkin tidak terpaut jauh darinya. Namun wajahnya sangat rupawan. Ia tidak menyangka bahwa wajah pendekar dapat meruntuhkan hatinya sebegini dahsyat.

Tubuh si pendekar yang tinggi untuk seusianya dan terlihat lebih matang membuat si pemuda malah semakin menawan. Kedua matanya yang sipit berkebalikan dengan hidungnya yang mancung, mirip hidungnya dan hidung seperti ciri khas orang-orang Arab. Kulitnya pun sedikit lebih terang, tidak seperti kebanyakan pria Jawa yang agak gelap.

Bila dihitung-hitung, umur Jayaseta dan Almira di masa itu sudah dianggap matang dan termasuk layak untuk menikah. Sudah banyak orang-orang seusia mereka yang sudah menikah, bahkan lebih muda dari mereka, walau banyak pula pemuda-pemuda yang memutuskan menjadi pengelana menuntut ilmu. Mereka banyak yang tertarik menuntut ilmu agama dan menginginkan untuk menjadi ulama.

Beberapa juga berniat menyambangi banyak termpat di Jawadwipa bahkan sampai ke tanah Melayu untuk menuntut ilmu kanuragan atau mencari nama besar, menantang dan mengalahkan para jagoan beladiri dan para pendekar. Beberapa lagi mencari jati diri, berlajar ilmu agama dan kanuragan, atau keduanya. Keputusan mereka menjadi pengelana atau musafir membuat mereka sedikit mengacuhkan atau menepiskan sejenak keinginan mereka untuk menikah.

Pada usia belasan tahun dimana banyak laki-laki yang sudah menikah, Jayaseta sudah jelas harus menunda barang sejenak kesempatan ini untuk mengisi seluruh kehausannya atas pengalaman hidup dan jatidiri.

Almira menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. Ia menunduk, sadar bahwa ia terlalu lama menatap ketampanan Jayaseta. Ia semakin menunduk dan menggigit bibir dan menutup kedua matanya erat-erat menutupi rasa kikuknya. Tapi sebentar saja, ia tidak mau berlama-lama memalingkan pandangannya pada wajah rupawan sang pahlawan. Ia kembali menatap sang pangeran, “Rupanya kakang masih muda. Maaf bila sebelumnya aku berpikir kakang mungkin seumuran dengan pamanku, apalagi dengan kemampuan silat kakang yang mumpuni dan matang,” Almira kembali tersenyum. Tapi kali ini dengan agak malu-malu.

Jayaseta mau tak mau membalas senyuman Almira sebiasanya. Ia tidak mau terlihat semakin kikuk. Segera ia mereguk teh panas di dalam cangkir tanah liat yang dibawakan Almira tadi untuk menutupi perasaannya. Hanya saja senyuman sederhana Jayaseta ini malah membuat Almira semakin terpana dan tersipu-sipu malu.

“Kakang, apakah aku boleh tahu siapa nama kakang? Selama beberapa lama bersama kakang aku hanya mendengar gelar pendekar kakang. Bila tak berlebihan, aku masih ingin mengetahui nama asli kakang,” Almira mencoba mengatur laju kata-katanya. Ia tidak ingin terdengar begitu bersemangat walau jelas-jelas ia sudah tak dapat mengalihkan pandangannya pada Jayaseta.

“Namaku Jayaseta, Almira. Tapi tolong kau simpan wajah dan namaku baik-baik. Jangan kau ceritakan kepada siapapun mengenai apapun yang kau tahu tentang diriku dibalik topeng ini.”

Almira menggeleng-gelengkan kepalanya sekaligus mengangguk keras dan tersenyum dengan sangat lebar untuk meyakinkan Jayaseta. Ini membuat wajahnya yang bersemangat menjadi semakin manis di mata Jayaseta, membuat Jayaseta semakin lemas lututnya.

“Aku berjanji tidak akan mengatakan apapun, kakang Jayaseta. Aku paham sekali dengan alasan kakang merahasiakan jati diri kakang sebagai seorang pendekar.”

Jayaseta memasukkan topeng panjinya ke dalam buntalan kulitnya.

“Aku sangat berharap kita dapat bertemu kembali, kakang. Mampirlah bila kakang kembali ke Mataram. Aku pasti kan menyambut kakang dengan baik.”

Jayaseta hanya mengangguk, “Assalammualaikum, Almira,” ucapnya.

“Walaikumsalam,” ucap Almira kembali.

Jayaseta kemudian berbalik arah serta meninggalkan Almira dan segala keindahannya di belakangnya. Almira terus memendangi punggung Jayaseta sampai tubuhnya menghilang melewati pagar rumah dan megecil jauh di jalanan setapak. Kedua hati remaja tersebut sama-sama berbunga-bunga karena cinta meski tanpa saling menyadari perasaaan satu sama lainnya.

Paman Almira bergegas berlari ke arah Almira bersama dua orang sais yang dipekerjakan almarhum sang ayah. Ia bermaksud menanyakan kepergian sang pahlawan secara mendadak dan tiba-tiba. Ia dan para sais merasa belum sempat menyatakan terima kasih kepada sang pahlawan dan tidak sempat lebih jauh mengenalnya, apalagi melihat wajah si pendekar bertopeng. Almira hanya tersenyum simpul, menutup rapat-rapat mulutnya sehingga tak satupun tahu bahwa ia telah mengenal wajah Jayaseta dan gambaran wajah itu akan bersemanyam selamanya dalam kepalanya.

Terpopuler

Comments

𝕸y💞🅰️nny🌺N⃟ʲᵃᵃ🍁❣️

𝕸y💞🅰️nny🌺N⃟ʲᵃᵃ🍁❣️

Jayaseta mungkin mempesona tapi tenang mas @ucup3 hatiku tetap untuk Mas 😍😅😅

2023-04-02

1

𝕸y💞🅰️nny🌺N⃟ʲᵃᵃ🍁❣️

𝕸y💞🅰️nny🌺N⃟ʲᵃᵃ🍁❣️

jd dia pake topeng terus ya?

2023-04-02

0

𝕸y💞🅰️nny🌺N⃟ʲᵃᵃ🍁❣️

𝕸y💞🅰️nny🌺N⃟ʲᵃᵃ🍁❣️

mulai berimajinasi liar nampaknya dia 🤣🤣

2023-04-02

0

lihat semua
Episodes
1 Nio Hongko
2 Nio Kongsing
3 Pendekar Bertopeng Panji
4 Tombak Pusaka Kanjeng Kyai Ageng Plered
5 Kakek Keling dan Rajah Nagataksaka
6 Tendangan Guntur dari Selatan dan Jurus Tanpa Jurus
7 Wejangan
8 Perjalanan ke Mataram
9 Perampokan Seorang Saudagar Arab
10 Si Lebah Siluman
11 Almira
12 Mataram di Mata Jayaseta
13 Kedai Makan
14 Di Atas Kapal
15 Pertarungan
16 Kali Bisaya
17 Sang Pemimpin
18 Jarum Bumi Neraka
19 Pratiwi
20 Kesultanan Banten
21 Jalan Setapak
22 Sarti
23 Lima Iblis Pencium Darah
24 Betawi
25 Budak
26 Pisau Terbang Penari
27 Rajah Garuda Sentanu
28 Serdadu
29 Bandar Niaga
30 Pertarungan di Tanah Merah
31 Rapier & Saber
32 Selipan
33 Badranaya
34 Katana
35 Dua Benteng Pertahanan
36 Jigen
37 Ceruk
38 Bubuk Api
39 Lembing
40 Trisula
41 Sundang Majapahit
42 Jemparing
43 Gandhewa Pamenthaning Cipta
44 Di Grassi
45 Candrasa
46 Lamina
47 Tameng
48 Meester
49 Usadha
50 Zhen Jiu
51 Jalir
52 Caping
53 Sang Kudi Langit
54 Semarang
55 Bangkui Sakti
56 Jung
57 Topeng Ireng Lokajaya
58 Bajak Laut
59 Kuda-Kuda Kaki Bersilang
60 Kulao Bassi
61 Silat Sepapan
62 Rujakpala
63 Si Gelembung Lotong
64 Jurus Badai di Tengah Samudra
65 Perlawanan
66 Tupas
67 Caluk
68 Topeng Buta Merah
69 Sang Penyair Baka
70 Wedhung
71 Lau Siufan
72 Pemabuk
73 Sàam Kûn-thâu
74 Bumi Sukadana
75 Kedai
76 Nukilan
77 Topeng Kayu Berhias Bulu Burung
78 Cindai
79 Silat Gayong
80 Dara Cempaka
81 Hulubalang
82 Kasmaran
83 Silat Pattani
84 Pendekar Paripurna
85 Sirih
86 Arak
87 Wadon
88 Mensa dan Jogo do Pau
89 Obor
90 Rajah Kembang Kenanga
91 Sahabat
92 Kesabaran
93 Pengayau
94 Orang Darat
95 Bunga Terung
96 Damek
97 Kinyah
98 Sanaman Mantikei
99 Antang Menukik
100 Pendekar
101 Asap
102 Tenaga Dalam
103 Lumpur
104 Air Mata
105 Perwira
106 Dim Mak
107 Dipan
108 Pendekar Harimau Muda Kudangan
109 Naibor
110 Jajal Ilmu Kanuragan
111 Silek Harimau
112 Sarung
113 Marabahaya
114 Kepala
115 Bangkui Sakti Memecah Buah
116 Agukng
117 Do Terbang
118 Krontjong
119 Adat
120 Yulgok
121 Sembuh
122 Janji
123 Nan Sarunai
124 Man Da U
125 Ma Ying
126 Pola
127 Jipen Kumang
128 Bumi Kenyalang
129 Jukung
130 Muyejebo
131 Pertempuran Bagian Pertama - Tameng Kayu
132 Pertempuran Bagian Kedua - Saudara
133 Pertempuran Bagian Ketiga - Kepentingan
134 Pertarungan Bagian Keempat - Roh Leluhur
135 Pertarungan Bagian Kelima - Parang Pandat
136 Pertarungan Bagian Keenam - Bedil
137 Pertarungan Bagian Ketujuh - Puting Beliung
138 Tawur
139 Pedang Pekir
140 Latok
141 Jarum
142 Ilmu Sihir
143 Merlin
144 Cuca Bangkai
145 Tali Jerami dan Akar Tanaman
146 Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu
147 Khun Wanchay Na Ayutthaya
148 Tuan Muda Syaifuddin dan Putri Mayang Delima
149 Sabba
150 Pengait
151 Buntung
152 Kesultanan Johor-Riau
153 Tersohor
154 Fong Pak Laoya
155 Hio
156 Hulubalang Harimau Laut
157 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Pertama - Meriam
158 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kedua - Labussa dan Makkawaru
159 Sempalan
160 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Ketiga - Langkah Empat
161 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Keempat - Lopes Fransisco de Paula
162 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kelima - Mah Meri
163 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Keenam - Lengah
164 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Ketujuh - Terhimpit
165 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kedelapan - Gaduh dan Kisruh
166 Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kesembilan - Berjubelan
167 Kocar-Kacir
168 Jala Jangkung
169 Mata Uang Emas
170 Peudeung
171 Jurus Berpasangan
172 Mossak Toba
173 Lasara
174 Lempengan
175 Pisau Tiuk
176 Tombak Dapur Brongsong Pengait
177 Tusukan Kilat Pelebur
178 Para Penembak
179 Kapal Dagang Melayu
180 Fortaleza de Malaca
181 Gerbang
182 Tempat Arak dari Bambu
183 Colhona
184 Warangan
185 Tujuh
186 Melarikan Diri
187 Mulut Pelabuhan
188 Labbiri
189 Empat Harimau Gayong Melayu
190 Sang Harimau Kedah
191 Sang Harimau Terengganu
192 Sang Harimau Kelantan
193 Desas-Desus
194 Sang Harimau Pattani
195 Dua Utas Tali Jerami
196 Silat Tomoi
197 Pelajaran Pertama - Burung Api
198 Pelajaran Kedua - Curi Jurus
199 Pelajaran Ketiga - Jurus Segala Bentuk
200 Pelajaran Keempat - Terpancing
201 Topeng Penthul Tembem
202 Terikat
203 Paruh Baya
204 Dewa Langkah Tiga
205 Jati Diri
206 Keyakinan
207 Terlontar
208 Tiga
209 Pucok Gunong Sang Harimau Belang
210 Lethwei Thaing
211 Keris Berhulu Anak Ayam
212 Padang Rumput
213 Putus Terpenggal
214 Topeng Iblis Khon
215 Daab
216 Gumunan, Kagetan
217 Krabi Krabong
218 Ayodya
219 Cahaya Bulan
220 Memanen Nyawa Musuh
221 Kotak Kayu
222 Phi Ying Praphet Song
223 Semilir
224 Arthit si Muay Paak Klang
225 Muun Met Mat
226 Amin
227 Pangkal Ibu Jari
228 Tawaran
229 Biksu
230 Kitiran
231 Ringkikan Kuda
232 Ngao
233 Ruang Sempit
234 Dunia Baru
235 Harga Diri
236 Sosok yang Sangat Mengerikan
237 Membaca Gerakan Lawan
238 Lancaran Melayu
239 Kekang Kuda
240 Perompak Đại Việt
241 Perahu-Perahu
242 Logam-Logam Pengait
243 Bahasa Melayu Berlogat Aneh
244 Buritan
245 Bagian Tengah Kapal
246 Beringas
247 Tiga Kapal Pedagang
248 Sabetan Panjang
249 Annam
250 Menerkam Dalam Diam
251 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Pertama: Naluri Pratiwi
252 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kedua: Yu Melaju
253 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketiga: Bertukar Senyum Samar
254 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keempat: Unsur-Unsur Pedang Lentur
255 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kelima: Busana yang Sedikit Berbeda
256 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keenam: Mendadak Meledak
257 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketujuh: Periksa Nakhoda
258 Pertempuran di Sungai Bagian Kedelapan: Hitam Jahanam
259 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kesembilan: Mengerang dengan Wajah Menggarang
260 Pertempuran di Sungai Bagian Kesepuluh: Berseru dan Menderu
261 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kesebelas: Berkobar Semakin Liar
262 Kejayaan dan Kepuasan
263 Cuilan
264 Jaka Lelana
265 Mulut Terbuka Menganga
266 Menahan Laju Tunjaman
267 Lembing Bambu Runcing
268 Mengirimkan Rasa Takut
269 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keduabelas: Tergeletak di Atas Geladak
270 Jurus-Jurus Bersudut Tajam
271 Apa Mau Dikata
272 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketigabelas: Bergelimpangan Akibat Pertempuran
273 Menyerang Musuh Tanpa Menyentuh
274 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keempatbelas: Terlalu Lama Mencoba
275 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kelimabelas: Serang Semua! Bersama-Sama!
276 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keenambelas: Mundur Dengan Teratur
277 Thai
278 Lâm
279 Tertambat
280 Karat Darah
281 Berdarah Murni
282 Mendengar Langkah Musuh
283 Ancaman Nyata
284 Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketujuhbelas: Nama Itu Untuk Dirimu
285 Sosok Gelap
286 Lempengan
287 Pelempar
288 Sinar Jingga
289 Mandala
290 Perintah
291 Racun
292 Ledakan
293 Pengecut
294 Cakar
295 Ban Yipun
296 Darah
297 Tanpa Basa-Basi
298 Nakhon Si Thammarat
299 Di Tepi Sungai
300 Orang Champa
301 Harimau Siam
302 Tumbang Menjadi Mayat
303 Lebam Membiru dan Menghitam
304 Patah
305 Sekarat
306 Bokator
307 Pelataran
308 Orang Asing
309 Sudiamara
310 Timur
311 Berita
312 Kesanga
313 Rencana
314 Tengger
315 Korban Pertama
316 Cemeti
317 Kuda
318 Payung Pertahanan
319 Harimau Putih Menggasak Bumi
320 Murka
321 Seutas Tali
322 Saka Guru
323 Cabai
324 Sake
325 Rua Mat
326 Garis Nasib yang Serupa
327 Penjelasan
328 Kemungkinan Selalu Ada
329 Lengan Menyilang
330 Jauh dari Kata Selesai
331 Perhatian Besar
332 Merembes
333 Arquebus
334 Membungkuk Siap Terlontar
335 Rencana dan Keinginan yang Gila
336 Memotong Dari Atas ke Bawah
337 Naginatajutsu
338 Tiga Dewa Kematian
339 Mementingkan Kepentingan Sendiri
Episodes

Updated 339 Episodes

1
Nio Hongko
2
Nio Kongsing
3
Pendekar Bertopeng Panji
4
Tombak Pusaka Kanjeng Kyai Ageng Plered
5
Kakek Keling dan Rajah Nagataksaka
6
Tendangan Guntur dari Selatan dan Jurus Tanpa Jurus
7
Wejangan
8
Perjalanan ke Mataram
9
Perampokan Seorang Saudagar Arab
10
Si Lebah Siluman
11
Almira
12
Mataram di Mata Jayaseta
13
Kedai Makan
14
Di Atas Kapal
15
Pertarungan
16
Kali Bisaya
17
Sang Pemimpin
18
Jarum Bumi Neraka
19
Pratiwi
20
Kesultanan Banten
21
Jalan Setapak
22
Sarti
23
Lima Iblis Pencium Darah
24
Betawi
25
Budak
26
Pisau Terbang Penari
27
Rajah Garuda Sentanu
28
Serdadu
29
Bandar Niaga
30
Pertarungan di Tanah Merah
31
Rapier & Saber
32
Selipan
33
Badranaya
34
Katana
35
Dua Benteng Pertahanan
36
Jigen
37
Ceruk
38
Bubuk Api
39
Lembing
40
Trisula
41
Sundang Majapahit
42
Jemparing
43
Gandhewa Pamenthaning Cipta
44
Di Grassi
45
Candrasa
46
Lamina
47
Tameng
48
Meester
49
Usadha
50
Zhen Jiu
51
Jalir
52
Caping
53
Sang Kudi Langit
54
Semarang
55
Bangkui Sakti
56
Jung
57
Topeng Ireng Lokajaya
58
Bajak Laut
59
Kuda-Kuda Kaki Bersilang
60
Kulao Bassi
61
Silat Sepapan
62
Rujakpala
63
Si Gelembung Lotong
64
Jurus Badai di Tengah Samudra
65
Perlawanan
66
Tupas
67
Caluk
68
Topeng Buta Merah
69
Sang Penyair Baka
70
Wedhung
71
Lau Siufan
72
Pemabuk
73
Sàam Kûn-thâu
74
Bumi Sukadana
75
Kedai
76
Nukilan
77
Topeng Kayu Berhias Bulu Burung
78
Cindai
79
Silat Gayong
80
Dara Cempaka
81
Hulubalang
82
Kasmaran
83
Silat Pattani
84
Pendekar Paripurna
85
Sirih
86
Arak
87
Wadon
88
Mensa dan Jogo do Pau
89
Obor
90
Rajah Kembang Kenanga
91
Sahabat
92
Kesabaran
93
Pengayau
94
Orang Darat
95
Bunga Terung
96
Damek
97
Kinyah
98
Sanaman Mantikei
99
Antang Menukik
100
Pendekar
101
Asap
102
Tenaga Dalam
103
Lumpur
104
Air Mata
105
Perwira
106
Dim Mak
107
Dipan
108
Pendekar Harimau Muda Kudangan
109
Naibor
110
Jajal Ilmu Kanuragan
111
Silek Harimau
112
Sarung
113
Marabahaya
114
Kepala
115
Bangkui Sakti Memecah Buah
116
Agukng
117
Do Terbang
118
Krontjong
119
Adat
120
Yulgok
121
Sembuh
122
Janji
123
Nan Sarunai
124
Man Da U
125
Ma Ying
126
Pola
127
Jipen Kumang
128
Bumi Kenyalang
129
Jukung
130
Muyejebo
131
Pertempuran Bagian Pertama - Tameng Kayu
132
Pertempuran Bagian Kedua - Saudara
133
Pertempuran Bagian Ketiga - Kepentingan
134
Pertarungan Bagian Keempat - Roh Leluhur
135
Pertarungan Bagian Kelima - Parang Pandat
136
Pertarungan Bagian Keenam - Bedil
137
Pertarungan Bagian Ketujuh - Puting Beliung
138
Tawur
139
Pedang Pekir
140
Latok
141
Jarum
142
Ilmu Sihir
143
Merlin
144
Cuca Bangkai
145
Tali Jerami dan Akar Tanaman
146
Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu
147
Khun Wanchay Na Ayutthaya
148
Tuan Muda Syaifuddin dan Putri Mayang Delima
149
Sabba
150
Pengait
151
Buntung
152
Kesultanan Johor-Riau
153
Tersohor
154
Fong Pak Laoya
155
Hio
156
Hulubalang Harimau Laut
157
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Pertama - Meriam
158
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kedua - Labussa dan Makkawaru
159
Sempalan
160
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Ketiga - Langkah Empat
161
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Keempat - Lopes Fransisco de Paula
162
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kelima - Mah Meri
163
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Keenam - Lengah
164
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Ketujuh - Terhimpit
165
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kedelapan - Gaduh dan Kisruh
166
Pertempuran Laut Dangkal Bagian Kesembilan - Berjubelan
167
Kocar-Kacir
168
Jala Jangkung
169
Mata Uang Emas
170
Peudeung
171
Jurus Berpasangan
172
Mossak Toba
173
Lasara
174
Lempengan
175
Pisau Tiuk
176
Tombak Dapur Brongsong Pengait
177
Tusukan Kilat Pelebur
178
Para Penembak
179
Kapal Dagang Melayu
180
Fortaleza de Malaca
181
Gerbang
182
Tempat Arak dari Bambu
183
Colhona
184
Warangan
185
Tujuh
186
Melarikan Diri
187
Mulut Pelabuhan
188
Labbiri
189
Empat Harimau Gayong Melayu
190
Sang Harimau Kedah
191
Sang Harimau Terengganu
192
Sang Harimau Kelantan
193
Desas-Desus
194
Sang Harimau Pattani
195
Dua Utas Tali Jerami
196
Silat Tomoi
197
Pelajaran Pertama - Burung Api
198
Pelajaran Kedua - Curi Jurus
199
Pelajaran Ketiga - Jurus Segala Bentuk
200
Pelajaran Keempat - Terpancing
201
Topeng Penthul Tembem
202
Terikat
203
Paruh Baya
204
Dewa Langkah Tiga
205
Jati Diri
206
Keyakinan
207
Terlontar
208
Tiga
209
Pucok Gunong Sang Harimau Belang
210
Lethwei Thaing
211
Keris Berhulu Anak Ayam
212
Padang Rumput
213
Putus Terpenggal
214
Topeng Iblis Khon
215
Daab
216
Gumunan, Kagetan
217
Krabi Krabong
218
Ayodya
219
Cahaya Bulan
220
Memanen Nyawa Musuh
221
Kotak Kayu
222
Phi Ying Praphet Song
223
Semilir
224
Arthit si Muay Paak Klang
225
Muun Met Mat
226
Amin
227
Pangkal Ibu Jari
228
Tawaran
229
Biksu
230
Kitiran
231
Ringkikan Kuda
232
Ngao
233
Ruang Sempit
234
Dunia Baru
235
Harga Diri
236
Sosok yang Sangat Mengerikan
237
Membaca Gerakan Lawan
238
Lancaran Melayu
239
Kekang Kuda
240
Perompak Đại Việt
241
Perahu-Perahu
242
Logam-Logam Pengait
243
Bahasa Melayu Berlogat Aneh
244
Buritan
245
Bagian Tengah Kapal
246
Beringas
247
Tiga Kapal Pedagang
248
Sabetan Panjang
249
Annam
250
Menerkam Dalam Diam
251
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Pertama: Naluri Pratiwi
252
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kedua: Yu Melaju
253
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketiga: Bertukar Senyum Samar
254
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keempat: Unsur-Unsur Pedang Lentur
255
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kelima: Busana yang Sedikit Berbeda
256
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keenam: Mendadak Meledak
257
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketujuh: Periksa Nakhoda
258
Pertempuran di Sungai Bagian Kedelapan: Hitam Jahanam
259
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kesembilan: Mengerang dengan Wajah Menggarang
260
Pertempuran di Sungai Bagian Kesepuluh: Berseru dan Menderu
261
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kesebelas: Berkobar Semakin Liar
262
Kejayaan dan Kepuasan
263
Cuilan
264
Jaka Lelana
265
Mulut Terbuka Menganga
266
Menahan Laju Tunjaman
267
Lembing Bambu Runcing
268
Mengirimkan Rasa Takut
269
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keduabelas: Tergeletak di Atas Geladak
270
Jurus-Jurus Bersudut Tajam
271
Apa Mau Dikata
272
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketigabelas: Bergelimpangan Akibat Pertempuran
273
Menyerang Musuh Tanpa Menyentuh
274
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keempatbelas: Terlalu Lama Mencoba
275
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Kelimabelas: Serang Semua! Bersama-Sama!
276
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Keenambelas: Mundur Dengan Teratur
277
Thai
278
Lâm
279
Tertambat
280
Karat Darah
281
Berdarah Murni
282
Mendengar Langkah Musuh
283
Ancaman Nyata
284
Pertempuran di Atas Sungai Bagian Ketujuhbelas: Nama Itu Untuk Dirimu
285
Sosok Gelap
286
Lempengan
287
Pelempar
288
Sinar Jingga
289
Mandala
290
Perintah
291
Racun
292
Ledakan
293
Pengecut
294
Cakar
295
Ban Yipun
296
Darah
297
Tanpa Basa-Basi
298
Nakhon Si Thammarat
299
Di Tepi Sungai
300
Orang Champa
301
Harimau Siam
302
Tumbang Menjadi Mayat
303
Lebam Membiru dan Menghitam
304
Patah
305
Sekarat
306
Bokator
307
Pelataran
308
Orang Asing
309
Sudiamara
310
Timur
311
Berita
312
Kesanga
313
Rencana
314
Tengger
315
Korban Pertama
316
Cemeti
317
Kuda
318
Payung Pertahanan
319
Harimau Putih Menggasak Bumi
320
Murka
321
Seutas Tali
322
Saka Guru
323
Cabai
324
Sake
325
Rua Mat
326
Garis Nasib yang Serupa
327
Penjelasan
328
Kemungkinan Selalu Ada
329
Lengan Menyilang
330
Jauh dari Kata Selesai
331
Perhatian Besar
332
Merembes
333
Arquebus
334
Membungkuk Siap Terlontar
335
Rencana dan Keinginan yang Gila
336
Memotong Dari Atas ke Bawah
337
Naginatajutsu
338
Tiga Dewa Kematian
339
Mementingkan Kepentingan Sendiri

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!