Jayaseta yang masih mengenakan topeng ganongan berwarna menrah menyala itu bergegas menotok beberapa titik di tubuh sang saudagar Arab yang kemudian ia ketahui bernama saudagar Amir. Totokan ini diharapkan dapat menutup aliran darah sang saudagar yang terus-menerus mengucur. Dalam waktu singkat saja ia pasti akan tewas.
Dengan ilmu kanuragan pengobatan tenaga dalam yang ia pelajari dari Kakek Keling pula Jayaseta kemudian segera menyalurkan hawa hangat ke tubuh saudagar Amir agar selain darahnya yang terus mengalir keluar dari luka-luka tusuknya dapat terhenti, rasa sakit yang menjalar di tubuh sang saudagar akan sedikit teratasi. Di sampingnya, sang putri terus sesenggukan menangis melihat tubuh ayahnya yang lemah tak berdaya.
“Alhamdulillah, kau … kau … da … pat menyelamatkan anakku, pen … dekar,” dengan terbata-bata sang saudagar berkata kepada Jayaseta.
“Abah jangan bicara lagi, kita harus segera mengobati Abah,” ujar sang putri.
Mendengar ini saudagar Amir malah tersenyum getir, “Putriku Almira, nyawa Abahmu ini sudah … sudah … ti … dak mungkin terselamatkan. Pendekar asing ini hanya menotok bagian … bagian tubuh Abah untuk memperlambat kematian Abah. Nah, pendekar … jelaskanlah semua itu pada putriku … Almira.”
“Abah jangan mengatakan hal buruk seperti ini,” kemudian sang putri cantik yang masih sesenggukan menoleh ke arah Jayaseta yang tak tampak raut mukanya sama sekali.
“Tolong siapapun kisanak, katakan pada Abah itu semua tidak benar. Abah pasti bisa selamat, bukan? Aku sudah lihat kisanak begitu sakti mandraguna, kisanak pasti bisa menyelamatkan Abahku!”
Mendengar ini di balik topengnya, Jayaseta merasakan perasaan pilu yang aneh. Pertama, ia merasa sangat kasihan pada si gadis yang ia khawatir bakal tidak dapat menerima kenyataan bahwa sang ayah sudah tidak dapat ditolong. Sesama orang yang paham ilmu kanuragan, ia dan saudagar Amir paham seberapa parah luka yang ia derita. Kedua, anak gadis yang ternyata bernama Almira tersebut harus Jayaseta akui adalah seorang gadis yang memang begitu menawan.
Dengan kesedihan yang menggantung di wajahnya sama sekali tak dapat menghilangkan kerupawanannya. Bahkan pada dasarnya Jayaseta merasa bersalah karena ia begitu terpana dengan kecantikan Almira karena perasaan ini seperti salah tempat. Harusnya ia merasa prihatin bukannya malah menikmati kecantikan yang terpapar di depannya. Perasaan nyaman sekaligus kikuk menyerang Jayaseta. Ia bingung perasaan apa ini. Sialnya ia sekarang dalam keadaan yang sangat-sangat tidak tepat untuk merasakan jenis perasaan yang baru dikenalnya ini.
Dari permulaan ketika Jayaseta menyeruduk masuk ke pertempuran sampai saat ini, tak sepatah katapun ia ucapkan. Keadaan ini sangat tidak menguntungkan kedua belah pihak, pihaknya maupun Almira dan rombongan saudagar Arab ini. Ia tidak bisa begitu saja meninggalkan Almira, ayahnya yang sedang sekarat dan kedua sais gerobak sapi yang meringuk ketakutan dan kebingunan di dekat rumput-rumput sana.
“Almira,” Jayaseta akhirnya berbicara dengan suaranya yang sengaja ia buat terdengar rendah dan dalam.
Almira terpaku, tidak menyangka bahwa orang bertopeng ini akhirnya membuka suaranya.
“Dengan sangat menyesal aku harus menyetujui ucapan ayahmu.”
Tangis pun berderai sudah. Almira menangis dengan pilu. Rambutnya yang acak-acakan menutupi wajahnya. Sebentar saja helai-helai rambutnya basah oleh air mata.
Mendengar ini Jayaseta merasa dadanya tersanyat-sanyat karena merasa ikut bersedih. Ia bingung harus bagaimana lagi. Atau mungkin apakah ia salah ucap? Hati gadis ini mungkin begitu rapuh sehingga ia harus pandai-pandainya berucap.
Ia sendiri mengetahui dengan baik bahwa kehilangan orang yang ia cintai apalagi dengan cara yang mengenaskan seperti ini bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi. Kematian ayahnya yang begitu mengerikan juga membuat Jayaseta saat itu sangat terpukul. Bedanya ia adalah seorang anak laki-laki yang diasuh dengan jalan pedang, sebagai seorang pendekar yang harus siap menghadapi kematian dan beragam kemalangan hidup.
Bagaimana dengan Almira? Seorang gadis muda yang cantik, anak seorang saudagar Arab yang kaya yang kebetulan ayahnya mampu berilmu kanuragan.
Jayaseta berdiri, tidak dapat berpikir apa yang harus ia lakukan. Kemudian menjauh sejenak dan mendekati dua orang sais gerobak sapi yang tadi menghindari peperangan. Mereka berdua lah yang beruntung masih hidup dalam rombongan saudagar tersebut. Mengetahui si pendekar bertopeng yang sepak terjangnya luar biasa itu mendekati mereka, dengan tergopoh mereka ikut pula mendekat.
“Bagaimana kisanak keadaan tuan kami?” salah seorang diantara dua orang sais itu memberanikan diri menanyai si jagoan bertopeng yang sudah menyelamatkan mereka.
“Saudagar Amir tidak akan bertahan lama. Berapa lama perjalanan ke pemukiman terdekat, dan kemana rombongan ini hendak menuju?”
“Eh, sebenarnya Kotagede Mataram adalah yang terdekat kisanak. Namun perjalanan membutuhkan waktu beberapa hari lagi. Kami akan membawa barang-barang dagangan ini ke Kotagede, ke rumah adik kandung laki-laki tuan Amir untuk kemudian di jual,” sais satunya kali ini yang berbicara.
“Saudagar Amir tidak akan mampu bertahan sampai Kotagede. Namun kita harus tetap berangkat sesuai rencana kalian semua. Bantu aku membawa korban-korban tewas dari rombongan kalian. Tidak pantas untuk meninggalkan mereka di jalan. Aku akan ikut serta rombongan kalian sampai Kotagede.”
Kedua sais saling pandang dan mendadak bernafas lega tanpa perlu ditutup-tutupi lagi. Mereka sadar bahwa rombongan ini sudah begitu lemah karena hanya tersisa tiga diantara mereka dan tidak mungkin untuk dapat bertahan lagi dari serangan sekecil apapun. Dengan adanya seorang pendekar yang sakti mandraguna ini, mereka dapat yakin bahwa nyawa mereka sudah terjamin.
Jayaseta kemudian bersama kedua sais gerobak sapi tersebut mengangkut jenazah teman-teman mereka yang telah tewas dan membungkusnya dengan kain yang mereka bawa agar lebih pantas. Sedangkan untuk gerombolan para perampok baik yang sudah tewas ataupun yang sekarat dan terluka parah, Jayaseta meminta mereka untuk meletakkan mereka di tepi jalan, tepat disamping Si Lebah Siluman agar nantinya tidak mengganggu para pejalan lain.
Jayaseta kemudian juga mengambil kembali dua buah cakram miliknya yang tadi ia gunakan untuk menyerang para perampok setelah kemudian membersihkannya dari noda-noda darah. Ia kemudian kembali meletakkan kedua cakram tersebut di kepalanya bersama dengan satu buah cakram lagi yang tidak ia gunakan tadi.
Dengan berusaha sesopan mungkin, ia kemudian mengangkat tubuh saudagar Amir yang sedang sekarat ke dalam kereta kuda. Di sana ia akan dijaga oleh anaknya dalam sisa-sisa waktunya. Seharian mereka semua bekerja untuk membereskan semua ini, termasuk menguburkan rekan-rekan seperjalanan mereka.
Sedangkan Jayaseta sendiri kemudian menggantikan sais kereta kuda yang juga sudah tewas setelah sebelumnya ia meloncat ke balik semak-semak untuk mengambil tas buntal kulitnya yang semula ia letakkan di bawah pohon beringin. Di perjalanan akhirnya saudagar Amir berpulang kurang dari satu hari kemudian.
Mereka terpaksa menguburkannya di sebuah desa di perjalanan dan berpesan agar orang menjaga dan merawat makam sang saudagar, dengan memberikan upah yang cukup tentunya, Sesenggukan Almira di sepanjang perjalanan membuat Jayaseta semakin gelisah. Sebagai pendekar, serangan berbahaya dari senjata atau jurus-jurus mematikan tak membuatnya gentar.
Namun setiap tarikan nafas kesedihan Almira membuat pertahanannya runtuh. Ingin rasanya ia menghapus semua kesedihan Almira dan menyakinkan bahwa semua pasti akan berakhir dan baik-baik saja.
Tapi bagaimana caranya? Memeluk Almira? Hah! Kurang ajar sekali pikirnya. Memangnya siapa dia berani-beraninya menyentuh si gadis? Apa bedanya ia dengan para perampok tadi? Meskipun bayangan memeluk Almira membuat dadanya tercekat. Sudah pasti bila ini dimungkinkan, ia ingin sekali bisa merengkuhnya. Ah, pikiran macam apa ini, pikir Jayaseta.
Perjalanan mereka yang seharusnya hanya beberapa hari saja itu terpaksa terundur menjadi beberapa minggu. Sudah dapat diduga, sepanjang perjalanan beberapa kali terjadi halangan. Begundal-begundal sepertinya entah bagaimana mendengar kabar mengenai rombongan saudagar tersebut. Mereka seakan mencoba memastikan dan sedikit menjajal keberuntungan mereka yang sayangnya tidak berpihak kepada mereka. Apa lagi kalau bukan karena seorang pendekar sakti berpenampilan aneh yang menyertai rombongan mereka. Kebanyakan ngacir bila tidak mau mati atau paling tidak terluka parah karena mencoba merampok kereta dan gerobak sapi itu.
Rombongan saudagar Amir yang dijagai Jayaseta inipun akhirnya sampai di Kotagede, salah satu pusat kerajaan Mataram yang begitu besar, ramai dan gaduh. Jayaseta sudah membayangkan bahwa Mataram berkali-kali lebih besar dibanding Giri di Gresik sana. Walau pusat keraton Mataram sudah beberapa tahun lalu dipindahkan ke Karta, Kotagede adalah kota yang penting dan terlihat dari kegiatan perniagaan dan penduduknya yang sangat rapih.
Dinding-dinding tinggi dibangun dengan kokoh sedangkan jalan setapaknya lebar dan mulus dimana di beberapa bagian disusun dengan menggunakan susunan bebatuan yang rapih dan padat.
Pada awalnya sewaktu Kotagede masih merupakan pusat kraton Mataram, dinding-dinding benteng di bagian dalam kota yang diberi nama cepuri tersebut, mengelilingi kraton Mataram, sedangkan benteng di bagian luar yang disebut baluwarti mengelilingi dan melindungi kota Mataram.
Di luar benteng-benteng itu juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai. Ini menunjukkan keampuhan dan kekuatan pertahanan negeri Mataram. Rumah-rumah besar dan kecil dari kayu jati atau batu-bata berjejer dengan rapih.
Saat itu, rombongan ini sampai pada malam hari. Hal yang cukup menguntungkan karena tidak ada seorangpun yang begitu memperhatikan rombongan ini. Lampu-lampu sentir dan teplok menempel di rumah-rumah, sedangkan jalan yang tersusun diantara tembok-tembok benteng tinggi berwarna putih diterangi oleh jejeran panjang obor.
Namun, mereka terus saja melanjutkan perjalanan menjauhi keramaian Kotagede ke pinggiran kota. Rombongan itu kemudian sampai di sebuah rumah besar yang dikatakan milik adik kandung laki-laki ibunda Almira, dalam hal ini adalah adik ipar saudagar Amir. Sebuah rumah kayu yang besar, dengan pekarangan yang lebar pula. Beberapa bangunan rumah tetangga juga terlihat, namun tidak begitu dekat dengan jeda persawahan, sungai kecil dan lahan kosong.
Nampaknya lingkungan ini memang sebuah lingkungan mewah dimana para tuan rumah kemungkinan adalah orang-orang kaya, pedagang dan saudagar, atau mungkin priyayi. Terlihat beberapa rumah panggung ciri khas priyayi Jawa. Rumah sang paman Almira sendiri bergaya Jawa. Diketahui pula oleh Jayaseta bahwa rupa-rupanya keluarga ibunda Almira sendiri juga adalah Jawa tulen.
Kesedihan masih tak terhindarkan menanungi rumah besar itu. Semua diceritakan dengan sejelas-jelasnya kepada sang paman oleh Almira dan para sais yang menjadi saksi peristiwa tersebut. Walau Jayaseta masih berada di sana, ia diam seribu bahasa bahkan tanpa melepas topengnya. Syukurnya Almira sendiri sepertinya sudah mulai kuat. Entah memang karena ia memang semakin bisa menerima kenyataan ini atau malah sudah kehabisan air mata.
Untuk menunjukkan rasa tanggung jawabnya, Jayaseta dua hari lamanya masih ikut tinggal bersama keluarga ini. Ia tidur di salah satu gerobak yang membawa barang-barang dagangan. Topengnya ia ganti setiap beberapa saat antara topeng ganongan, topeng barong macan, dan topeng panji.
Semua anggota keluarga sang saudagar walau masih dalam keadaan sedih juga tak bisa untuk tidak terheran-heran, terkagum-kagum dan sedikit bangga rumah mereka didatangi dan dijagai seorang pendekar pilih tanding yang berhasil menyelamatkan anggota keluarga mereka yang lain, yaitu Almira, bahkan beserta harta dan barang dagangan mereka.
Pada hari ketiga, sudah saatnya Jayaseta merasa harus pergi untuk kembali mengembara dan menyelesaikan tujuannya. Pagi itu, ia dalam keadaan gundah apakah ingin pamit atau langsung saja pergi. Bukankah terlalu aneh bagi seorang pendekar yang tak diketahui asal-usulnya yang biasa datang pergi sesuka hati harus pamitan kepada seseorang? Namun selagi ia masih kebingungan Almira ternyata sudah datang dengan segelas teh panas mengununginya di salah satu gerobak tersebut.
Kening Almira mengkerut melihat Jayaseta, “Apakah kisanak hendak pergi?”
Sejenak Jayaseta hilang kata-kata. Ada rasa sayang untuk meninggalkan Almira. Pagi ini ia semakin cantik saja. Apalagi kesedihan nampaknya sudah memudar dari wajahnya yang perlahan mulai digantikan dengan sinar yang berpendar di parasnya. Rambut hitam Almira mengintip dari balik kerudung hijaunya. Menciptakan pemandangan yang membuat nafas Jayaseta tercekat.
Kerutan di kening Almira memudar. Ia sekarang tersenyum ke arah sang pendekar bertopeng. Manis sekali, membuat Jayaseta merasa kedua lututnya melemas. Seperti terkena serangan tenaga dalam sihir dan jampi-jampi dari seorang pendekar ilmu hitam. Bukan, ini bahkan lebih parah. Ia merasa pertahanannya bobol. Bila ada seorang jawara membokongnya, ia pasti sudah akan tewas dari tadi.
Perlahan Jayaseta menjawab, “Ya, Almira. Aku rasa sudah saatnya untuk melanjutkan perjalanan. Kau nampaknya sudah cukup kuat dan bisa menerima semuanya. Terimakasih atas tempat tinggal dan makanan yang sudah kalian berikan selama beberapa hari ini.”
“Eh, kisanak. Kami yang harus berterimakasih kepada kisanak karena sudah menyelamatkan nyawaku. Lagipula, kisanak yang bersikeras untuk tidur di gerobak, bukannya di dalam kamar yang jauh lebih pantas di rumah kami,” suara Almira sudah menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Almira yang nampaknya adalah seorang gadis muda yang ceria, cerdas dan tegar.
“Kisanak, aku tidak mungkin bisa mencegah kepergianmu. Kau adalah Pendekar Topeng Seribu yang dikenal sebagai pembela kebenaran dan keadilan. Aku adalah salah satu saksi hidupnya,” Almira membuka kerudungnya dan melanjutkan perkataannya, “Aku juga tidak mungkin dapat membalas budimu. Namun, sebelum kau pergi, bolehkan barang sejenak aku melihat wajahmu kisanak? Bolehkah mungkin aku dapat melihat wajah penolongku agar dapat aku ingat seumur hidupku?” kedua mata jerih Almira memancarkan daya pikat yang tak mungkin Jayaseta tolak. Kejujuran dan ketulusan ada di sana, seakan mengambang di permukaan telaga jernih.
Jayaseta tergetar. Ia merasa malu di depan Almira. Entah mengapa ia merasa lebih baik bertopeng dibanding harus memperlihatkan wajahnya yang mungkin akan terlihat bodoh dan buruk rupa di depan Almira. Tapi ini toh mungkin kesempatan terakhir pertemuan mereka. Apa salahnya sedikit mengenal Almira dengan memperlihatkan wajahnya.
Topeng panji pun ia lepaskan.
Andai Jayaseta tahu apa yang ada di benak Almira saat ini mungkin Jayaseta akan berteriak dan melompat kegirangan.
Almira sekarang yang ternyata terpesona dengan rupa Jayaseta. Dengan susah payah ia tutupi perasaannya yang sebenarnya dengan menahan air mukanya. Dasar ndablek, Jayaseta harusnya saat itu juga paham perasaan kagum yang tersembunyi di raut wajah namun tergambar jelas di kedua matanya yang sejernih air danau itu.
Bagi Almira si pendekar pilih tanding yang berhasil menyelamatkan nyawanya dan menghabisi para jagoan rampok yang dikenal dengan baik di tanah persilatan di Jawadwipa ini ternyata adalah seorang pemuda yang usianya mungkin tidak terpaut jauh darinya. Namun wajahnya sangat rupawan. Ia tidak menyangka bahwa wajah pendekar dapat meruntuhkan hatinya sebegini dahsyat.
Tubuh si pendekar yang tinggi untuk seusianya dan terlihat lebih matang membuat si pemuda malah semakin menawan. Kedua matanya yang sipit berkebalikan dengan hidungnya yang mancung, mirip hidungnya dan hidung seperti ciri khas orang-orang Arab. Kulitnya pun sedikit lebih terang, tidak seperti kebanyakan pria Jawa yang agak gelap.
Bila dihitung-hitung, umur Jayaseta dan Almira di masa itu sudah dianggap matang dan termasuk layak untuk menikah. Sudah banyak orang-orang seusia mereka yang sudah menikah, bahkan lebih muda dari mereka, walau banyak pula pemuda-pemuda yang memutuskan menjadi pengelana menuntut ilmu. Mereka banyak yang tertarik menuntut ilmu agama dan menginginkan untuk menjadi ulama.
Beberapa juga berniat menyambangi banyak termpat di Jawadwipa bahkan sampai ke tanah Melayu untuk menuntut ilmu kanuragan atau mencari nama besar, menantang dan mengalahkan para jagoan beladiri dan para pendekar. Beberapa lagi mencari jati diri, berlajar ilmu agama dan kanuragan, atau keduanya. Keputusan mereka menjadi pengelana atau musafir membuat mereka sedikit mengacuhkan atau menepiskan sejenak keinginan mereka untuk menikah.
Pada usia belasan tahun dimana banyak laki-laki yang sudah menikah, Jayaseta sudah jelas harus menunda barang sejenak kesempatan ini untuk mengisi seluruh kehausannya atas pengalaman hidup dan jatidiri.
Almira menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. Ia menunduk, sadar bahwa ia terlalu lama menatap ketampanan Jayaseta. Ia semakin menunduk dan menggigit bibir dan menutup kedua matanya erat-erat menutupi rasa kikuknya. Tapi sebentar saja, ia tidak mau berlama-lama memalingkan pandangannya pada wajah rupawan sang pahlawan. Ia kembali menatap sang pangeran, “Rupanya kakang masih muda. Maaf bila sebelumnya aku berpikir kakang mungkin seumuran dengan pamanku, apalagi dengan kemampuan silat kakang yang mumpuni dan matang,” Almira kembali tersenyum. Tapi kali ini dengan agak malu-malu.
Jayaseta mau tak mau membalas senyuman Almira sebiasanya. Ia tidak mau terlihat semakin kikuk. Segera ia mereguk teh panas di dalam cangkir tanah liat yang dibawakan Almira tadi untuk menutupi perasaannya. Hanya saja senyuman sederhana Jayaseta ini malah membuat Almira semakin terpana dan tersipu-sipu malu.
“Kakang, apakah aku boleh tahu siapa nama kakang? Selama beberapa lama bersama kakang aku hanya mendengar gelar pendekar kakang. Bila tak berlebihan, aku masih ingin mengetahui nama asli kakang,” Almira mencoba mengatur laju kata-katanya. Ia tidak ingin terdengar begitu bersemangat walau jelas-jelas ia sudah tak dapat mengalihkan pandangannya pada Jayaseta.
“Namaku Jayaseta, Almira. Tapi tolong kau simpan wajah dan namaku baik-baik. Jangan kau ceritakan kepada siapapun mengenai apapun yang kau tahu tentang diriku dibalik topeng ini.”
Almira menggeleng-gelengkan kepalanya sekaligus mengangguk keras dan tersenyum dengan sangat lebar untuk meyakinkan Jayaseta. Ini membuat wajahnya yang bersemangat menjadi semakin manis di mata Jayaseta, membuat Jayaseta semakin lemas lututnya.
“Aku berjanji tidak akan mengatakan apapun, kakang Jayaseta. Aku paham sekali dengan alasan kakang merahasiakan jati diri kakang sebagai seorang pendekar.”
Jayaseta memasukkan topeng panjinya ke dalam buntalan kulitnya.
“Aku sangat berharap kita dapat bertemu kembali, kakang. Mampirlah bila kakang kembali ke Mataram. Aku pasti kan menyambut kakang dengan baik.”
Jayaseta hanya mengangguk, “Assalammualaikum, Almira,” ucapnya.
“Walaikumsalam,” ucap Almira kembali.
Jayaseta kemudian berbalik arah serta meninggalkan Almira dan segala keindahannya di belakangnya. Almira terus memendangi punggung Jayaseta sampai tubuhnya menghilang melewati pagar rumah dan megecil jauh di jalanan setapak. Kedua hati remaja tersebut sama-sama berbunga-bunga karena cinta meski tanpa saling menyadari perasaaan satu sama lainnya.
Paman Almira bergegas berlari ke arah Almira bersama dua orang sais yang dipekerjakan almarhum sang ayah. Ia bermaksud menanyakan kepergian sang pahlawan secara mendadak dan tiba-tiba. Ia dan para sais merasa belum sempat menyatakan terima kasih kepada sang pahlawan dan tidak sempat lebih jauh mengenalnya, apalagi melihat wajah si pendekar bertopeng. Almira hanya tersenyum simpul, menutup rapat-rapat mulutnya sehingga tak satupun tahu bahwa ia telah mengenal wajah Jayaseta dan gambaran wajah itu akan bersemanyam selamanya dalam kepalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
Jayaseta mungkin mempesona tapi tenang mas @ucup3 hatiku tetap untuk Mas 😍😅😅
2023-04-02
1
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
jd dia pake topeng terus ya?
2023-04-02
0
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
mulai berimajinasi liar nampaknya dia 🤣🤣
2023-04-02
0