Jayaseta terbangun. Ia tersentak ketika kedua matanya silau karena sinar matahari yang terang benderang dan panas menembus kelopak matanya. Ia masih nggliyer, otaknya belum berhasil menyusun kepingan-kepingan ingatan. Seorang pendekar setingkat dirinya harusnya dapat dengan sigap sadar dari sebuah tidur. Namun, bukankah Jayaseta bukan tertidur, bukankah ia sebelumnya tak sadarkan diri dengan cara yang sama sekali tidak bisa dikatakan tertidur? Tentu saja ketika ia terbangun, bukan kesigapan yang terjadi, namun sebuah perasaan mengambang yang aneh. Belum sempat ia sadar akan apa yang terjadi pada drinya, ia merasakan satu tendangan menghantam pahanya.
Ia kaget sehingga kedua matanya kembali melebar.
Kurang dari satu hembusan nafas, sebuah tendangan kembali mendarat di pahanya. Namun Jayaseta tidak merasa kesakitan di tempat dimana ia ditendang, sebaliknya tendangan itu malah sebenarnya tidak bisa dikatakan tendangan untuk orang dengan ilmu kanuragan setinggi Jayaseta.
Tak lama tendangan ketiga menyentuh pahanya lagi namun kali ini bersama sebuah teriakan kasar dari mulut si penendang yang Jayaseta masih belum tahu siapa, “Heh, bangun! Bangun kataku! Enak-enak saja kau tidur semalaman!”
Perlahan kedua mata Jayaseta menyesuaikan dengan cahaya bersama dengan pikirannya yang juga mulai sadar. Ia masih terbaring cukup lemas dan melihat seseorang yang berbadan gempal, berkulit gelap terbakar matahari, berjenggot dan berkumis tebal tanpa pakaian sedang berdiri di hadapannya.
Kelambatan tindakan Jayaseta pada ketiga tendangan dan teriakannya membuat si sosok gempal menjadi sebal. Ia kali ini berniat sedikit memberikan pelajaran bagi orang yang menurutnya pemalas ini. Tendangannya kali ini diarahkan menghujam ke arah perut Jayaseta, bukan lagi sekedar tendangan pembuat bangun.
Perlakuan si gempal ini kemudian harusnya menjadi penyesalannya karena orang yang ditedangnya kali ini juga paham bahwa tendangan yang diarahkan ke tubuhnya sudah merupakan sebuah serangan yang bertujuan melukai sehingga tendangan tersebut urung mencapai sasaran karena ditangkis dengan lengannya, dan menggunakan tangannya yang lain si sosok yang terbaring semalaman itu menopang tubuhnya melancarkan tendangan balasan ke arah si gempal.
DUG!
Satu adegan terjadi dengan sangat cepat. Dengan keadaan kepala di bawah, satu tangan menopang tubuhnya, dan kedua kaki diatas menerjang orang gempal tersebut, membuat tubuhnya terhempas dua tiga tombak jatuh di lantai kayu dan langsung tak sadarkan diri.
Dalam keadaan sudah berdiri inilah sekarang Jayaseta baru bisa melihat bahwa banyak orang di sekitar tempat itu yang sedang sibuk melakukan banyak hal seketika kemudian terdiam. Mereka memandang si gempal yang semaput dan kemudian memandang ke arah Jayaseta yang kini terlihat sedikit kelimpungan bingung.
Kedua mata Jayaseta memandang berkeliling, mencoba mencari tahu sedang berada dimana ia sekarang. Tidak hanya itu, ia sendiri juga berusaha mencari tahu bagaimana ia bisa sampai disini, kejadian apa yang terjadi sebelumnya, dan siapa orang-orang yang ada di sekitarnya. Tak berapa lama ia terkejut ketika tersadar. Sekarang ia sedang berdiri di atas sebuah kapal yang besar dengan lantai papan kayu, tali tambang dimana-mana, sebuah tiang raksasa dengan layar kain menggembung karena angin dan orang-orang yang sudah pasti diduga adalah para pelaut dan awak kapal. Sepanjang matanya melihat, ia hanya dapat melihat air dan sinar matahari pagi. Kedua ata sipitnya membelalak selebar mungkin karena tidak percaya pemandangan ini.
Ia langsung meraba tubuhnya dimana dilihatnya ia sendiri sekarang berdiri dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana hitam selutut yang diikat tali di pinggangnya. Bahkan ia tak mengenakan ikat kepala lagi. Rambutnya yang panjang terurai tidak lagi dalam keadaan tersimpul di atas kepala. Tentu saja ini berarti ia tidak bisa menemukan ketiga cakramnya. Bahkan pakaian dan benda-benda yang ia bawa pun tidak bersamanya.
“Dimana aku?” ujarnya keras-keras. Pertanyaan ini tidak diajukan secara khusus kepada siapa. Bahkan sebenarnya Jayaseta cenderung bertanya pada dirinya sendiri namun dengan perasaan yang sangat kesal karena bingung.
Orang-orang yang semula memperhatikannya, sekarang malah tak acuh walau mereka baru saja melihat si gempal terlempar dan jauh tak sadarkan diri akibat serangan si pemuda yang cepat tersebut. Mereka kembali pada pekerjaan mereka dan mulai ribut kembali. Awak-awak kapal itu kemudian menggulung tambang-tambang raksasa, menarik layar, mengangkat beragam barang dan beragam kegiatan lain.
Jayaseta gemas karena tak satu orangpun mengacuhkannya.
“Hoi, dimana aku?!” ujarnya dengan lebih keras.
Tak lama dua orang berperawakan sedang namun berotot liat membawa pedang melengkung dan perisai datang berlari. Mereka selain membawa perlengkapan persenjataan di tangannya ternyata juga mengenakan pakaian tempur. Rompi yang ditutupi rantai-rantai dan gelang-gelang rantai besi yang biasa digunakan pasukan tempur untuk melindungi tubuh dari senjata tajam lawan, mirip dengan prajurit atau tentara dari kerajaan Mataram atau Surabaya.
“Diam kau!” salah satunya menghardik Jayaseta. “Kau disini sudah menjadi budak. Kau harus bekerja bersama yang lain. Jangan buat onar, kami sudah membelimu dengan mahal. Kami bisa saja mencincangmu dan memberikan dagingmu untuk dimakan hiu bila kau bertingkah,” ujar orang itu kembali.
Jayaseta geram, “Aku minta putar haluan, bawa aku kembali ke pelabuhan Cerbon!”
Kedua orang yang nampaknya memang prajurit tersebut saling bertatap-tatapan dan kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha ha … kau mau buat kami tertawa sampai mati ya? Ha ha ha … heh, anak setan, hidupmu sudah kami beli. Kau adalah budak di sini. Kau harus mengikuti semua perintah kami,” ujar prajurit lainnya.
Jayaseta menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. Ia merasa ditipu habis-habisan. Otot-otot di tubuhnya meregang. Kulit terangnya yang berkeringat memantulkan cahaya mentari. Ia sadar ia sudah ditipu para pemilik warung makan di pelabuhan Cerbon. Padahal awalnya ia hendak memberikan bayaran lebih karena memuji keramahan, pelayanan dan masakan orang-orang tersebut. Sekarang malah ia dipeloroti dan tertipu habis-habisan.
Ia juga tersadar kemudian bahwa makanan yang ia santap pastilah teracuni. Sayangnya racun tersebut, yang pada dasarnya kuat dan cepat, berhasil lumpuh di dalam tubuh Jayaseta. Semenjak terkena racun dan kutukan tombak Kyai Plered dan tenaga dalam rajah Nagataksaka, tubuh Jayaseta menjadi kuat dan seakan kebal dengan beragam jenis racun. Racun yang masuk ke dalam tubuhnya tidak langsung dapat membunuhnya, namun bertempur dengan racun yang sudah lebih dahulu hinggap di dalam dagingnya. Seakan racun Kyai Plered tidak sudi racun lain yang membunuhnya.
Amarah meledak di dalam kepalanya. Dengan disertai pemusatan tenaga dalam di dada dan kerongkongan Jayaseta berteriak, “Sekali lagi aku katakan, putar haluan, bawa kembali kapal ini ke Cerbon!” Tanpa disangka, suara Jayaseta menggelegar di kapal, bahkan sampai buritan. Kedua orang prajurit terkejut, bahkan para awak juga kembali menolehkan wajah mereka ke arah suara dengan terkaget- kaget. Mendengar nada mengancam dan tenaga yang luar biasa dari mulut Jayaseta, kedua orang prajurit tadi tidak mau berlama-lama.
Mereka merasa orang ini harus dilumpuhkan karena berbahaya. Tanpa memerlukan perintah dari siapa-siapa keduanya maju serentak berniat mendorong Jayaseta dengan kedua tameng mereka. Dorongan kedua tameng tersebut harusnya dapat membuat siapapun terjatuh ke lantai kapal, paling tidak jatuh terduduk. Tentu bukan ini yang terjadi, Jayaseta mundur selangkah kemudian balik mendorong kedua tameng yang disodorkan ke arahnya dengan cepat. Hasilnya kedua prajurit tersebut yang terdorong ke belakang. Salah satunya bahkan tersandung kakinya sendiri dan ia yang malah jatuh terduduk.
Wajahnya merah padam, apalagi temannya yang satunya sekarang terbengong melihat dirinya terduduk. Dengan cepat ia bangkit. Kedua pandangan prajurit yang beradu tersebut seakan menunjukkan sikap yang sama, mereka tanpa bicara sama-sama setuju, sudah tidak perlu melumpuhkan atau menangkap baik-baik orang asing ini. Menggunakan kedua pedang yang telah terhunus, mereka maju sekali lagi dengan lebih cepat dan lebih ganas dan membabat ke arah Jayaseta.
Dua sabetan pedang yang tidak bisa diragukan ketajamannya melewati dagu dan leher Jayaseta, karena sejenak sebelum kedua senjata itu mencapai sasarannya, Jayaseta hanya menggerakkan tubuh atasnya sedikit saja ke belakang. Namun setelah serangan itu lolos, Jayaseta melangkah maju dengan cepat dan menghantamkan kedua tangannya ke depan. Pukulannya membentur kedua perisai logam para prajurit. Hasilnya luar biasa, kedua prajurit tersebut lagi-lagi terpental beberapa langkah dan terjatuh. Bukan hanya satu, namun keduanya sekarang jatuh terkapar.
Jayaseta melihat sekeliling, berlari ke depan, ke salah satu tiang layar kapal dan mencelat. Ia sekarang seperti berjalan miring sepanjang tiang kapal ke atas dengan begitu cepat, sampai ketinggian tertentu ia menggunakan kedua kakinya untuk menolak tubuhnya lagi. Ia ternyata mengambil bendera kapal yang berwarna hitam di bagian tiang layar. Berputar di udara dan mendarat di lantai kapal dengan mantap.
Bendera berwarna hitam itu kemudian dikoyakkannya, kemudian bagian yang terkoyak digunakannya untuk menutup mulut dan hidungnya. Penampilannya kini bagai seorang bajak laut, “Aku adalah seorang pendekar silat yang bergelar Pendekar Topeng Seribu! Putar haluan, atau kalian akan mendapatkan pelajarannya!” ujar Jayaseta dengan lantang.
Jayaseta sudah merasa nyaman menggunakan julukan kependekarannya. Ini dikarenakan sudah dalam beberapa kesempatan, nama Pendekar Topeng Seribu telah berhasil menyelesaikan masalah, lagipula julukan itu sudah melekat menjadi bagian dari dirinya. Alasan adalah bahwasanya darah sudah berdesir ke otaknya dengan cepat membuatnya begitu kesal, jadi ia ingin mengancam dan benar-benar menghajar orang-orang yang bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi dengannya.
Dengan menutup wajahnya lagi dengan kain, menjadikannya topeng dan menyatakan siapa dirinya, membuat para penyerang akan menjadi terancam. Ini akan menjadi sebuah pelajaran yang luar biasa bagi mereka.
Jayaseta menekukkan sedikit kedua lututnya serta membuka telapak tangan dan meletakkan di depan tubuhnya dengan santai. Sebuah bentuk Jurus Tanpa Jurus yang memang tidak memerlukan bentuk tertentu. Yang penting nantinya semua gerakan akan disesuaikan dengan keperluan pertarungan. Yang jelas sekarang keadaan tubuhnya sudah siap untuk pertarungan lagi. Ia sudah semakin siap untuk keadaan semacam ini.
Pertarungan demi pertarungan yang tak terelakkan adalah jalannya, jalan seorang pendekar. Matanya tajam melihat sekeliling kapal yang mengapung di lautan tanpa batas. Matahari bersinar terik, menyinari luka tusuk di dadanya yang mengkilat oleh keringat.
Melihat kejadian yang begitu cepat ini kapal mejadi riuh. Para awak kapal meninggalkan pekerjaannya dan menjauh dari Jayaseta yang sekarang hampir bisa dikatakan berdiri tepat di tengan-tengah kapal. Tak berapa lama, kedua prajurit yang tadi menyerang Jayaseta kini bangun. Tak berapa lama pula prajurit-prajurit ini bertambah beberapa orang lagi dengan datang berlarian dan langsung mengepung Jayaseta.
Tidak seperti dua orang prajurit yang dibuat terpental oleh Jayaseta tadi, tambahan prajurit ini tidak mengenakan busana keprajuritan. Hampir semua bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pangsi selutut dan jarit. Kepala mereka ditutupi beragam jenis penutup kepala. Ada yang berupa iket, ada pula yang mengenakan pengikat kepala dengan kain lebar. Tubuh mereka melegam karena paparan sinar matahari seperti layaknya nelayan, pelaut dan orang-orang yang hidup di kapal. Hanya saja, walau mereka terlihat seperti pelaut biasa, cara menggenggam tombak, pedang pendek dan belati menunjukkan kemampuan silat mereka yang sudah dipastikan mumpuni.
Tameng dan perisai mereka pun sepertinya disesuaikan dengan gaya bertarung masing-masing prajurit. Ada tameng bulat kecil seperti milik prajurit Mataram, ada pula yang sedikit lebih besar dan terbuat dari rotan. Beberapa goresan luka di tubuh menunjukkan seberapa banyak asam garam dunia persilatan yang telah mereka dapat.
Dari gambaran wajah dan tubuh mereka tersebut, paling tidak rata-rata berumur lebih dari tiga puluh dan empat puluh tahunan, jelas telah memiliki pengalaman yang lebih lama dari Jayaseta. Mereka mungkin seusia paman-pamannya. Mungkin sebut saja mereka adalah prajurit tukang pukul yang disewa oleh orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan untuk melindungi kepentingan mereka.
Ketika sedang menakar kemampuan setiap prajurit dari sudut matanya Jayaseta dapat melihat bahwa sang pimpinan prajurit tukang pukul tersebut ikut berdiri mengepungnya. Dari caranya berdiri, bersikap bahkan memberikan perintah terlihat bahwa ia memegang kekuasaan yang lebih dibanding yang lain. Hanya saja, Jayaseta melihat bahwasanya sang pemimpin yang berdiri lebih pongah dibanding yang lain itu memiliki tubuh yang lebih mulus dibanding yang lain. Perutnya juga lebih tambun. Lemak-lemak menghiasi tubuhnya dibanding otot-otot liat terlatih ditempa latihan dan pengalaman, terutama bagi seorang prajurit.
Benar perkiraan Jayaseta, sang pemimpin prajurit maju ke depan beberapa langkah di depan Jayaseta, “Benarkah kau yang orang katakan Pendekar Topeng Seribu?” katanya kepada Jayaseta. “Wah, wah, wah … kenapa tak ada yang mengatakan bahwasanya pendekar itu adalah seorang anak muda yang terlantar?” ujar sang pemimpin prajurit dengan nada yang angkuh dan sombong.
Si pemimpin kelompok prajurit ini sebenarnya tidak memiliki wajah yang beringas, hanya saja kumis dan jambang yang lebat menghiasi wajahnya sekan menyamarkan kedua pipinya yang gembil. Hidungnya yang mancung seperti orang Parsi membuatnya lebih terlihat sedikit tampan dibanding galak. Namun perilakunya yang kasar dan pongah membuat siapapun langsung jengah. Maklum, ia kan bertindak sebagai pemimpin sebuah kelompok prajurit. Kekerasan dan sikap gahar haruslah ditunjukkan bila ingin mendapatkan hormat dari anak buah maupun lawan.
Sambil memutar-mutarkan pedang pendek melengkung di tangan kanannya dan memukul-mukulkannya ke tameng bulat di tangan kirinya, sang pemimpin memandang merendahkan ke arah Jayaseta, “Asal kau tahu wahai pendekar, kau sekarang sudah berada dalam sebuah kapal dalam perjalanannya menuju Cina. Kau tak bisa kembali. Kami adalah para prajurit yang dibayar untuk mengamankan kapal dari serangan para bajak laut Jawa, Mangkasar atau Bugis. Kami sudah dilatih dengan baik untuk menghadapi berbagai mara bahaya. Dengan adanya pendekar tersohor seperti kau di kapal ini, kami merasa sangat beruntung. Mayatmu nanti akan kami …”
DUAG!
Belum sempat si pemimpin prajurit menyelesaikan pidato panjangnya, Jayaseta dengan kecepatan yang luar biasa maju menggebrak dengan sikutnya. Walau sang pemimpin prajurit dengan kaget berhasil menutupi dagunya dari sikut Jayaseta dengan perisainya, tak pelak ia terpental dua tombak dan jatuh terduduk di lantai kapal karena serangan cepat dan bertenaga itu.
Sang pemimpin terkejut luar biasa dan langsung meraung, “Bajingan, bedebah! Serang dia. Bunuh! Sisakan kepalanya untukku seperti para bajak laut yang telah kita habisi!” ucap sang pemimpin dengan amarah yang meluap-luap walau masih dalam keadaan terduduk.
Pasukannya sudah barang tentu demi melihat kejadian yang begitu cepat ini, terutama karena terjadi pada pimpinan mereka tidak langsung segera menyerang. Mereka memusatkan pandangan pada musuh mereka di depan. Seorang pemuda yang jelas masih di bawah umur mereka. Tubuh pemuda yang bertelanjang dada itu menunjukkan betapa uletnya latihan dan pengalaman tempurnya. Dalam usia semua itu, otot-otot tubuhnya sudah terlihat dengan baik. Luka di lambung dan beragam goresan lain di sekujur tubuhnya hampir sama dengan luka-luka di tubuh mereka sendiri digabungkan menjadi satu.
Bendera hitam yang dijadikan penutup mulut dan hidungnya hanya menyisakan kedua matanya yang menyorot dengan tajam. Belum lagi sikutan cepatnya tadi bukanlah sebuah serangan biasa. Bisa jadi ialah memang yang orang-orang desas-desuskan sebagai si Pendekar Topeng Seribu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
akp
thor, sedikit saran atau kritik atau apapun namanya terserah penilaian apa yang akan diberikan.
kalau bisa, penjelasan-penjelasan di dala. cerita agak disingkat namun tidak mengurangi maksud dari apa yang akan author sampaikan, dan mohon maaf karena jika seperti ini cerita jadi membosankan karena bertele-tele.
2022-05-31
5
Sis Fauzi
nice
2022-02-02
2
Apuila Jowo
bisa2 kapal ancur tuh 😂
2021-08-31
2