Jayaseta tinggal di rumah Kakek Keling selama ini. Tidak mungkin lagi baginya untuk kembali ke rumah karena keadaan kenegaraan yang sedang runyam. Giri sudah menjadi bawahan Mataram karena berhasil dikalahkan. Tentu saja pasukan Mataram sedang gencar-gencarnya meninjau daerah taklukannya, berpencar ke seluruh Giri, bahkan seluruh Gresik dan segala penjuru menangkapi sisa-sisa pemberontak dan meredakan perlawanan yang tersisa.
Di rumah sang Kakek Keling, Jayaseta belajar banyak hal. Dari kecil ia memang sudah menjadi seorang pengelana sekaligus calon pendekar yang dididik dengan keras oleh kakek dan ayahnya. Ia membantu sang kakek di kedai gerabahnya serta pagi buta atau sorenya giat melatih ilmu kanuragan dari sang kakek.
Jurus-jurus yang ia pelajari dari ayah, kakek serta Kyai Sumpana terus ia latih. Tambahan jurus-jurus Kakek Keling juga ia pelajari dengan sempurna. Penggunaan senjata seperti pedang, golok, parang, klewang, toya, tombak, trisula, cabang, keris dan melempar cakram ia kuasai dengan cepat. Latihan dengan senjata-senjata ini disebut Anghatari dalam Kalarippayattu. Dalam Kalarippayattu, pada dasarnya ada empat jenis senjata, meski beberapa aliran berbeda dalam menafsirkannya.
Senjata-senjata itu adalah muktam atau senjata yang dilepaskan atau dilemparkan dari tangan, misalnya saja cakram atau pisau lempar. Kedua disebut amuktam yaitu senjata yag digunakan tanpa dilepaskan dari tangan. Sebut saja pedang, tombak, keris dan sebagainya. Ketiga muktamuktam, yaitu senjata yang dilepaskan dari tangan namun dapat ditarik lagi dengan menggunakan tali atau rantai, seperti cambuk rantai atau senjata rante.
Yang terakhir disebut yantramuktam, yaitu senjata yang dilepaskan menggunakan alat. Misalnya busur dan anak panah, sumpit atau senapan. Beberapa aliran melengkapi dengan mantramuktam, atau senjata yang dilepaskan dengan bantuan mantra. Dalam hal ini adalah ledakan tenaga dalam.
Sisanya ada yang memasukkan bahuyuddam atau senjata tangan kosong. Dalam hal ini, sang kakek keling juga menekankan agar Jayaseta terus melatih ilmu kanuragan tangan kosongnya dimana senjata yang berbahaya juga berasal dari anggota tubuhnya sendiri.
Dalam pelatihannya memang beberapa kali racun Kyai Plered kembali menyerang Jayaseta. Awalnya ia masih memerlukan bantuan sang kakek untuk meredakannya seperti sebuah tamparan bertenaga dalam sang kakek pada awal kemunculan serangan racun Kyai Plered.
Perintah sang guru untuk menggunakan dan mengatur tenaga dalamnya masih menggaung di telinga Jayaseta, namun kemampuan Jayaseta meningkat pesat. Ini disadari Jayaseta karena Kalarippayattu sendiri merupakan sebuah olah diri kuno yang juga menitikberatkan pada kemampuan menyembuhkan, baik secara tenaga luar badaniah maupun menggunakan tenaga dalam.
Tak sampai tiga bulan, ia sudah benar-benar mampu menguasai ilmu tenaga dalam dan melakukannya sendiri. Tidak hanya itu, ia juga belajar ilmu totok dan pengobatan, bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga untuk mengobati orang. Tak terasa akhirnya setengah setahun lagi pun berlalu. Jayaseta semakin matang, walau wajahnya yang tampan tetap menunjukkan keremejaannya.
Rambutnya yang panjang tidak digulung ke belakang seperti rata-rata pria di jamannya, namun ia gulung dan simpulkan ke atas, di ubun-ubunnya, kemudian ia menggunakan ikat kepala yang semakin menunjukkan ketampanannya. Badannya tinggi dan tegap, bahunya lebar dan otot-otot liat tertata dengan baik di seluruh tubuhnya.
“Dalam pertarungan sebenarnya, ilmu silat di nusantara selalu menjadi satu bagian dengan jurus-jurus penggunaan senjata. Silat bukan sekedar gerakan untuk melumpuhkan dan menghukum seorang anak yang nakal. Silat digunakan untuk melumpuhkan musuh dengan melukainya separah mungkin dan membunuhnya tentu saja. Itu jelas sudah kau ketahui dari sebuah perang yang kau alami sendiri cucuku,” ucap sang kakek sehabis mereka latihan sore hari di bawah sebuah pohon rindang di bukit dimana mereka selalu menghabiskan waktu untuk olah kanuragan.
“Kemampuan tangan kosong digunakan oleh mereka yang benar-benar mumpuni, dan aku tahu kau pun sudah mencapai taraf itu sebagai seorang pendekar,” Jayaseta menunduk menghindari tatapan mata sang kakek antara malu dan bangga karena telah dihargai sedemikin tinggi oleh gurunya sendiri.
“Namun begitu jangan dewakan senjata. Seperti yang telah kau alami sendiri cucuku, pedang hampir selalu sompel dan patah dalam setiap pertarungan. Ketika baja menghantam baja, pasti akan ada kerusakan di sana. Pedang biasa akan rusak dalam beberapa kali pertempuran saja. Sedangkan untuk senjata pusaka memang memiliki kekuatan dan kehebatan tertentu dibanding senjata-senjata lain. Namun bisa engkau bayangkan bila senjata pusaka tersebut terebut, terjatuh atau hilang. Apakah seorang pendekar akan lumpuh bila senjata andalannya tidak ditangan?
“Jangan pula dewakan tenaga dalam yang sedang kau miliki dan masih kau pelajari sekarang cucuku. Banyak pendekar sejak dari masa lalu giat mempelajari ilmu tenaga dalam sampai ke taraf yang paling tinggi. Tentu tidak semua mampu karena latihan yang begitu berat dan terpusat serta syarat-syarat laku yang harus dijalani.
"Ada Aji Kancing Konci yang sanggup membuat musuh kaku tak bergerak dan terkunci sepak terjangnya. Ada Aji Macan Putih yang tenaga dalamnya disalurkan melalui rapalan mantra tertentu pada suara sehingga suara yang dikeluarkan pendekar tersebut bagai auman macan dan membuat ciut nyali musuh-musuhnya. Ajian ini serupa dengan Aji Gelap Sayuta yang membuat suara sebagai senjatanya.
"Sedangkan Aji Lembu Sekilan adalah ajian yang menitikberatkan pada semua indra yang dengan bantuan tenaga dalam dapat membuat semua serangan yang di arahkan ke tubuh sang pendekar akan lolos atau tak berhasil mengenai dan terlewat sejengkal atau sekilan. Atau mungkin engkau pasti kenal dengan ilmu tenaga dalam yang digunakan untuk kekebalan yang dikenal sebagai Aji Tameng Waja, Aji Pancasona, Aji Rawarontek atau Aji Bengkeleng. Semuanya memusatkan kekuatan tenaga dalam pada kekebalan tubuh sehingga senjata tajam maupun ***** akan mental sama sekali.
"Orang-orang jangkung berkulit pucat dari negara seberang lautan sana seperti Walanda, Pranggi atau Britania Raya acapkali berhadapan dengan para pendekar nusantara yang memiliki aji-aji semacam ini. Banyak dari mereka gentar, namun tak sedikit yang memiliki kepercayaan diri yang luar biasa, dan itu membuat mereka juga sama hebatnya dengan para pendekar yang memiliki aji-aji. Walau mereka tidak memiliki kehebatan dengan aji-aji tersebut, kehebatan orang seberang tersebut didapatkan dengan cara mempelajari semuanya, membuka pikiran dan mengalahkan ketakutan mereka sendiri. Bukan senjata aneh nan hebat yang mereka miliki, namun kepandaian dan keuletan mereka lah yang membuat banyak bangsa gentar,” Kakek Keling berkata kepada Jayaseta sembari menyesap wedang jahe hangat di depan mereka.
Setelah latihan badan mereka yang luar biasa melelahkan sore tadi, malam ini keduanya membahas habis-habisan jurus-jurus dan segala hal yang berhubungan dengan pertarungan mereka tadi.
“Ada sebuah cerita termashyur yang beredar di kalangan para pendekar. Beberapa tahun yang lalu, di negeri Betawi, lima orang pendekar mantan prajurit dari Kerajaan Banten bertemu seorang prajurit dari negeri Walanda sewaktu ia sedang menambatkan kuda dan beristirahat sejenak di sebuah warung makan. Lima orang pendekar ini tersulut perasaannya melihat seorang pucat dari negeri seberang dan merupakan tentara kompeni yang menundukkan Jayakarta dan memaksa orang-orang dari Kerajaan Jayakarta menyingkir kembali ke Banten.
“Dendam lama yang diceritakan kakek nenek mereka masih belum bisa pulih, apalagi mereka melihat si jangkung ini sedang sendirian, tidak bersama pasukan lain bahkan tidak pula dengan orang-orang pribumi seperti orang-orang Larantuka dan Jawa yang biasa menjadi pasukan Walanda. Mereka berpikir bahwa pasukan Walanda dan antek-anteknya yang berhasil menundukkan Jayakarta adalah lebih karena peralatan perang mereka yang besar dan jauh lebih maju dibanding pasukan Jayakarta yang terdiri dari orang-orang Cerbon, Banten dan Demak itu. Mereka juga berpikiran para kulit pucat memiliki uang dan kekayaan besar yang membuat mereka mampu membayar para jagoan dan jawara pribumi untuk melawan orang-orang mereka sendiri.”
Jayaseta menegakkan punggungnya dan mempersiapkan dirinya untuk cerita ini. Ia ingin tahu apa yang akan terjadi antara lima pendekar Cerbon dan seorang prajurit kulit pucat itu. Kakek Keling pun melanjutkan, “Pada saat lengah setelah makan sang prajurit Walanda ingin melanjutkan perjalanannya, namun kemudian ia sadar bahwa senapan dengan sangkur di ujungnya sudah tidak ada di sampingnya. Tadi ia meletakkan di samping dekat ia duduk begitu saja. Salah satu pendekar sekarang berdiri di hadapannya sembari memintanya dengan bahasa Melayu untuk keluar bila ingin senjatanya kembali.
“Dengan tenang sang prajurit yang dikenal kemudian bernama Devisser de Jaager itu keluar dari warung mengikuti salah satu pendekar Cerbon itu ke hutan di belakang warung yang jauh dari keramaian. Disana ia telah ditunggu empat orang lainnya. Senapannya tergeletak begitu saja di tanah.
“Tanpa perlu berbasa-basi, de Jaager paham bahwa ini adalah sebuah tantangan. Sebenarnya ia masih memiliki sebuah pistol panjang berpisau di pinggang kanan dan sebuah pedang tipis lurus yang memiliki pelindung jari menggantung di pinggang kirinya. Sebuah pedang ciri khas dari tanah seberang yang bernama rapier. Namun ketika ia melihat kelima orang itu melemparkan golok mereka ke tanah, ia semakin paham bahwa mereka menginginkan pertarungan tangan kosong. Ia pun meletakkan pedang dan pistolnya di tanah.”
“Kakek, apa para pendekar Cerbon ini merasa mereka dapat menang melawan si jangkung? Mengapa aku melihat para pendekar itu hanya seperti begundal-begundal yang biasa aku hajar ya kek?” ujar Jayaseta mendengar cerita sang kakek.
Sang kakek terkekeh pelan, “He he he … lebih baik kau dengar dahulu ceritaku, cu.”
Jayaseta menarik nafas karena sangat penasaran dengan cerita sang kakek. Ia kemudian senyap karena ingin segera mendengar kelanjutannya.
“Sang pemimpin lima pendekar sadar bahwa pengeroyokan bukanlah tindakan ksatria. Lagipula ia sangat percaya diri bahwa orang pucat ini hanya selain badannya yang tinggi dan memang jauh lebih besar dibanding orang-orang di pulau Jawa pada umumnya, hanyalah bermodalkan senjata-senjata baru serta aneh bin ajaib dan lebih maju dari bangsa Jawa untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di pulau ini.
“Mereka memiliki senapan yang dibuat dengan sangat baik. Mereka juga memiliki meriam dengan ukuran yang jauh lebih besar dan daya gempur yang jauh lebih hebat dibanding pasukan Cerbon, Banten, bahkan mungkin Mataram. Namun, ia belum pernah mendengar prajurit Walanda bertanding langsung antar muka dengan pedang atau tangan kosong. Si pimpinan gerombolan pendekar ini juga dikenal memiliki ilmu kanuragan yang pilih tanding. Ia memiliki tenaga dalam yang mumpuni sehingga ia kebal terhadap berbagai senjata. Jurus-jurus silatnya sudah pada taraf yang sangat tinggi.
“Ia pun maju dan langsung menyiapkan kuda-kudanya. Sedangkan de Jaager memiliki kuda-kuda yang terbilang aneh. Ia hanya memundurkan kaki kanannya sedikit dan mengepalkan kedua tangannya ke depan sejajar dagunya. Dengan tubuh jangkungnya berhadapan dengan jawara Cerbon ini, suasana menjadi sangat lucu. De Jaager seperti seorang raksasa yang tidak tahu bagaimana cara bertarung, melawan seorang kerdil namun matang dalam ilmu silatnya.
“Sang pendekar tak lama langsung berteriak lantang sembari berlari maju dan kemudian melompat ke arah de Jaager. Tinjunya siap menghajar kepala si jangkung. Tapi tanpa diduga, de Jaager hanya bergeser ke samping sedikit, kemudian melepaskan tendangannya ke arah dada sang jawara. Tendangan ini begitu cepat sampai-sampai sang pendekar rubuh ke tanah dengan rasa sakit dan perasaaan bingung. Belum sempat bingungnya hilang, satu tinju menghantam wajahnya dan membuatnya tak sadarkan diri.
“Keempat kawannya yang lain demi melihat pimpinan mereka rubuh sudah tidak mengindahkan peraturan tidak tertulis mengenai pertarungan satu lawan satu lagi. Dengan kalap mereka menyerang secara bersamaan. Hanya dalam beberapa saat saja, dua orang kembali rubuh. Tendangan yang sangat cepat dari de Jaager menghajar perut, dada serta tulang rusuk gerombolan itu. Kedua kakinya yang dibalut sepatu kulit sampai ke bawah lutut itu menderu-deru dengan kekuatan yang sama besarnya dengan bentuk badan raksasanya. Belum lagi tinjunya yang menembus pertahanan lawan.
“Dua orang sisanya sudah tidak tahan untuk tidak mengambil golok dan langsung menyerbu de Jaager. Serangan demi serangan dapat dihindari oleh de Jaager. Gerakannya tidak luwes, malah cenderung kaku namun sangat cepat. Kedua orang pendekar Cerbon ini belum pernah melihat gaya silat seperti ini. Semua gerakannya terkesan cepat dan tegas. Hampir tidak memiliki jurus yang dikenal oleh para pesilat.
“Hingga salah satu dari mereka terpaksa harus jatuh lagi karena de Jaager berhasil menendang lututnya, membuat kuda-kuda sang pendekar oleng. Saat itulah, de Jaager berhasil menangkap tangannya yang memegang golok, kemudian menggunakan tangan tersebut untuk memutar dan membantingnya. Namun sebelum ia jatuh ketanah, sebuah tendangan lurus mendarat di pinggang musuh dengan kerasnya, membuat tubuh tak berdaya itu terlempar jauh dan jatuh berdemum ke bumi.
“Sisanya yang satu orang tidak memiliki pilihan lain selain menyerang kembali, namun di saat itu pula, de Jaager sudah menggenggam pedang panjangnya yang tipis. Kuda-kuda de Jaager kali ini pun terbilang aneh. Ia meletakkan ujung pedang yang lancip ke tanah, sedangkan tangan kirinya yang bebas ia tempelkan ke pinggang, berkacak pinggang. Namun, dengan gaya bertarung ini, gerakan pedangnya yang menusuk dan menyambar terbukti sangat cepat dan mematikan.
“Golok sang pendekar jatuh menancap di tanah, ia terluka di bagian dada dan bahunya. Mengetahui ini, ia kabur, lari meninggalkan teman-temannya yang tidak sadarkan diri. Kejadian ini kemudian ia ceritakan kepada banyak orang sehingga menjadi sebuah dongeng yang terkenal. De Jaager kemudian dikenal sebagai salah seorang panglima perang kompeni Walanda yang ditakuti. Ia digelari si Petir Berkulit Pucat oleh pasukan Mataram dan para pendekar di dunia persilatan.”
“Hmmm … tunggu kakek. Bukankah kakek mengatakan tadi bahwa kelima pendekar Cerbon itu dikenal memiliki ilmu tenaga dalam dan ilmu kebal? Mengapa mereka mudah sekali untuk dilumpuhkan? Mendengar cerita dari kakek, aku bahkan tidak melihat sesuatu yang istimewa. Aku juga kerap melumpuhkan begundal-begundal dengan sekali gerak. Bahkan aku pernah bertarung dengan orang yang juga memiliki ilmu kebal dan tenaga dalam yang mumpuni selain kakek, dan aku juga bisa mengalahkannya,” ujar Jayaseta.
“Tapi kau memerlukan topeng untuk melihat kelemahannya bukan?” sang kakek menjawab. Ini membuat Jayaseta mengangguk. Meski ia masih bingung mengenai cerita ini dan kemana arah pembicaraan sang kakek.
“Kau menggunakan topeng sebenarnya untuk membuatmu lebih percaya diri. Kekuatan tenaga dalam atau bahkan sihir yang digunakan lawanmu dapat kau patahkan karena keyakinan dirimu. Tenaga dalam dan ilmu-ilmu kekebalan itupun dihasilkan dari rasa percaya diri sang empunya ilmu kanuragan tersebut. Sama seperti dirimu, si Petir berkulit pucat ini juga memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi. Bedanya, ia tidak perlu mengenakan topeng. Kepercayaan diri pendekar-pendekar Cerbon ternyata kalah oleh milik si Petir, sehingga pada serangan pertama yang begitu cepat, si Petir kemudian tak memberikan kesempatan bagi mereka untuk berpikir dan merapal jurus.
“Perlu kau ketahui cucuku, tenaga dalam pun memiliki cara dan pelatihan khusus sehingga bisa digunakan dengan benar. Bila seseorang diperbudak dengan kekuatan yang membuat ia merasa seperti dewa ini, ia sendiri akan jatuh dengan menyakitkan. Kecepatan, keuletan, dan kecerdikan adalah hal yang utama dalam sebuah pertarungan. Tenaga yang kuat bisa dihasilkan dari banyak hal. Senjata tajam, senjata api, dan tenaga dalam, namun itu tetap bisa dikalahkan dengan ketetapan hati, kepercayaan diri dan seperti apa yang aku ucapkan tadi cucuku …,”
“Kecepatan, keuletan, dan kecerdikan,” Jayaseta memotong kalimat dengan mengulang ucapan kakek gurunya. Kakek Keling mengangguk-angguk dan mengelus-elus dagunya yang ditumbuhi jenggot putih tipis. Ia kemudian kembali terkekeh, “He he he. Kau paham maksudku bukan?”
Kali ini, Jayaseta yang mengangguk mantap.
“Di tanah Jawa, banyak pendekar baik dari golongan putih, golongan hitam, golongan yang tak memihak, atau pendekar-pendekar yang mengabdi di kerajaan, tidak jarang mereka mampu menggunakan tenaga dalam mereka dan menyalurkannya ke senjata-senjata pusaka. Senjata-senjata itulah yang dalam banyak kesempatan berhasil melawan senjata-senjata maju milik bangsa kulit pucat. Namun, apakah kau tahu mengapa sering kita dengar pasukan Walanda atau Pranggi berhasil mengalahkan pasukan-pasukan di pulau Jawa ini? Ingatkah kau bahwa pasukan Mataram tidak berhasil menembus benteng Walanda di Betawi, dan berapa banyak pasukan Mataram tewas dalam perang itu?”
“Ya kakek. Aku paham. Ini karena tidak sedikit pendekar di tanah Jawa ini yang menyumbangkan ilmu kanuragan mereka di balik kekuatan Walanda. Senjata-senjata Walanda telah mereka beri rapalan dan tenaga dalam pula,” ujar Jayaseta.
“Selain itu?” sang kakek menambahkan sebuah pertanyaan. Ia yakin bahwa Jayaseta cukup cerdas untuk tidak menjawab dengan sederhana.
“Selain itu, pasukan kompeni Betawi memiliki keteguhan hati dan kepercayaan diri yang kuat dalam melawan musuh-musuhnya. Mereka juga memiliki kecepatan, keuletan dan kecerdikan yang tidak dimiliki pasukan Mataram atau kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.”
“Ha ha ha …,” kali ini sang kakek tidak lagi terkekeh, namum tertawa dengan keras dan lepas. “Benar cucuku. Ilmu kanuragan si Petir memang hebat, bukan karena kelima pendekar itu lebih lemah, namum memang karena dalam ilmu silat dan beladiri ia benar-benar menggunakan semua hal dan sumber. Penggunaan waktu yang tepat, pukulan dan tendangan yang tepat pula sasarannya, kecepatan yang terlatih. Dan yang paling penting, adalah kepercayaan diri yang luar biasa. Itulah syarat kemenangan. Bukan kekuatan badan atau jurus yang terkenal dan termahsyur kehebatannya. Padahal banyak sekali prajurit Walanda yang juga sebenarnya gentar dan keheranan dengan kehebatan-kehebatan pra jawara nusantara. Mereka kebal *****, apalagi cuma senjata tajam. Namun penggunaan segala sumber dan kecerdasan mereka memungkinkan untuk mengalahkan musuh dengan telak."
“Hmmm … kakek, dimanakah si Petir sekarang?”
Membaca rasa penasaran sang cucu, sang kakek mengangguk penuh arti, “Ya cucuku. Sang Petir berkulit pucat sekarang adalah salah satu panglima perang tentara kompeni. Tentara kompeni ini bukan saja berasal dari orang-orang Walanda, namun juga banyak pendekar-pendekar nusantara dari bangsa timur seperti bangsa Larantuka, Ternate dan Ambon. Mereka diminta bergabung dengan pasukan Walanda untuk memerangi kerajaan-kerajaan di nusantara. Itu sebabnya banyak pendekar dan prajurit-prajurit kerajaan di pulau Jawa, bahkan Mataram yang begitu kuat juga kewalahan menghadapi kompeni.”
“Aku ingin bertemu dengan si Petir, kakek. Aku ingin merasakan sendiri kehebatannya,” ujar Jayaseta mantap.
“Aku sudah dapat membaca dari raut mukamu yang masih muda dan penuh gejolak itu cucuku. Ha ha ha … tenanglah, masih banyak hal yang akan kau alami di dunia ini. Pertanyaanmu mengenai tujuan hidupmu akan harus kau jawab sendiri. Biarkan waktu dan nasib yang membawakan kisah hidupmu, apakah kau berjodoh dengan di Petir atau barangkali arah kehidupan akan membawamu ke tempat yang lain. Engkau hanya perlu bersiap.”
Sang kakek tidak mengomeli sang murid karena sifatnya yang masih muda dan menggebu-gebu. Ingin selalu menjajal kemampuan dengan bertarung. Seorang pendekar yang baik tentu akan menggunakan kesaktiannya untuk membela yang benar dan sedapat mungkin mengindari pertarungan. Namun, dengan kemampuan yang luar biasa, namun hati yang belum teracuni oleh rasa dengki dan benci, tak adil rasanya mengekang Jayaseta. Biarlah jalan hidup yang menentukan arahnya sendiri. Toh, Jayaseta adalah sama sekali orang yang berbeda yang pernah ia kenal selama ini.
Tiba-tiba sang kakek terdiam. Ini membuat Jayaseta menjadi bertanya-tanya ada apa gerangan sang kakek gurunya ini mendadak tak bersuara, seperti sedang memikirkan sesuatu. Rasa penasaran Jayaseta kemudian seperti coba dijawab sang kakek dengan melihat lekat-lekat ke wajah Jayaseta.
“Cucuku,” sang kakek berkata kepada Jayaseta.
“Ya kakek. Ada apa gerangan?”
“Ada hal yang harus kau lakukan, namun ini menjadi pilihanmu, cucuku.”
“Apa maksud kakek?” Jayaseta malah menjadi semakin bertanya-tanya.
“Terus terang aku sudah melihatmu menjadi seorang pendekar muda yang pilih tanding. Kau juga memiliki semangat yang masih tinggi untuk menimba ilmu dan pengalaman di dunia persilatan di Jawadwipa ini. Namun, sayang sekali kau memiliki kelemahan yang cukup mengkhawatirkan.”
“Maksud kakek, mengenai luka tombak Kyai Plered?”
Sang kakek tetap memandang lekat sang murid dan mengangguk pelan.
“Kakek sudah mengajari aku tenaga dalam dan menggunakannya dengan tepat. Bila sewaktu-waktu racun tombak Kyai Plered menyerangku, aku pasti akan dapat mengatasinya, kek,” ujar Jayaseta berusaha meyakinkan sang kakek.
“Aku tahu aku sudah mengajarimu dan kau telah menyerap ilmu kanuragan yang aku berikan dengan sempurna. Namun bagaimanapun, aku masih tetap khawatir racun itu akan terus ada di dalam tubuhmu. Jujur, aku tidak paham benar apakah kau mampu bertahan dengan serangan demi serangan racun itu. Rajah Nagataksaka hanya menahannya agar tidak langsung membunuhmu, tetapi racun Kyai Plered adalah sebuah racun dan kutukan yang begitu sakti,” jawab sang kakek panjang lebar. “Aku mau kau berangkat ke Betawi, Jayaseta.”
“Betawi? Bekas kerajaan Jayakarta yang ditaklukkan kompeni Walanda? Ada apa disana, kek?”
Sang kakek mengelus-elus jenggot tipisnya, menunjukkan ia sedang memilih-milih kalimat yang tepat. “Di Betawi, carilah saudara seperguruanku. Ia bernama Salman, tetapi lebih dikenal dengan julukannya sebagai Si Pisau Terbang Penari. Dahulu kami berdua sempat menjadi saudara seperguruan dalam mempelajari ilmu lempar. Aku memperdalam ilmu lempar cakram, sedangkan ia memang sangat berbakat dalam ilmu melempar pisau.
“Ia adalah keturunan dari prajurit-prajurit Fatahillah, panglima Demak yang berasal dari Pasai. Beberapa orang mengatakan bahwa Fatahillah berasal dari Gujarat, bagian barat tanah Hindustan, sama seperti Salman berasal dari Gujarat, bagian barat tanah Hindustan dan ia beragama Islam sedangkan aku beragama Hindu dan berasal dari Keling atau dulu lebih dikenal sebagai kerajaan Kalingga di Lanka, sebuah pulau di Selatan tanah Hindustan.
Awalnya di Keling sana, ayahku menganut ajaran Wishnu dan memuja Krishna, namun aku lahir di Jawadwipa dan ikut menganut ajaran Çiwa yang paling banyak dianut masyarakat Jawa. Walau begitu hubungan kami, aku dan Salman, sangat baik. Kebanyakan orang dari Gujarat maupun Keling adalah para pelaut handal dan sangat lihai di bidangnya.
“Aku ingin kau menemuinya. Ia juga menguasai ilmu kanuragan dan tenaga dalam yang mumpuni. Aku harap ia dapat membatumu atau memberikan petunjuk untuk melawan racun Kyai Plered.”
“Jadi, aku harus pergi ke Betawi, kakek?” jelas sekali nampak semangat yang menyala-nyala Jayaseta dari nada bicara dan raut wajahnya.
Ia memang dari kecil sudah memiliki sifat petualang yang begitu besar. Rasa ingin mempelajari semua hal sudah melekat di dalam dirinya. Ia sudah ingin segera berangkat untuk menyerap semua pengetahuan di tanah Jawa ini. Ia pun selalu mendengar betapa besarnya Betawi itu. Bahkan kerajaan Mataram pun tidak berhasil menundukkan Betawi, sangat berbeda dengan yang terjadi di Giri.
Selain itu, bagaimanapun ia juga sangat khawatir dengan luka yang ia derita, yang ia setuju dengan sang kakek yang melihatnya sebagai sebuah ‘kutukan’. Di Giri inipun ia sudah tidak memiliki sanak keluarga. Giri sudah resmi berada di bawah kekuasaan Mataram.
Sang kakek melanjutkan penjelasannya ,”Namun kau harus pergi ke negeri Mataram dahulu Jayaseta.”
“Mataram? Menagapa aku harus kesana dahulu, kek?”
“Aku ingin kau melewati perjalanan dahulu ke Kotagede di negari Mataram untuk mendapatkan pengalaman dan melihat dunia dengan lebih baik. Aku akan benar-benar melepaskanmu untuk menghadapi dunia. Setelah kau sampai ke Kotagede, mulailah pergi ke Betawi melalui jalur yang pernah dilewati oleh para pasukan Mataram sewaktu menyerang Betawi, yaitu Pekalongan, Tegal, Cerbon, Sumedang, Cianjur dan Pakuan.”
Sang murid sebenarnya sangat paham apa mau sang guru. Ia diharuskan menjalani perjalanan panjang untuk menempa dirinya. Bukan hanya untuk ‘berobat’ di Betawi, tetapi harus menjalani pahit dan getirnya dunia. Ia harus mengecap dunia persilatan di tanah Jawa. Sang guru ingin ia menghadapi beragam kejadian hidup, mungkin bahkan terpaksa harus bertarung untuk bertahan hidup dengan para perampok dan begal, para jawara yang memang ingin menunjukkan kesaktiannya, atau melawan para pengembara dengan beragam maksud dan tujuan.
Sederhananya, perjalanan ini juga akan menentukan seperti apakah dirinya sebenarnya. Siapakah Jayaseta nantinya. Seorang pendekar pilih tanding yang seperti apa. Pembela kebenaran dan keadilan, atau sekadar seorang pendekar luntang-lantung yang tak tahu tujuan hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
pelan2 aku lanjut baca bang
2022-12-25
0
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
suka dengan semangatnya Jayaseta
2022-11-03
0
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
harus.. tp pilihan?
2022-11-03
0