Tombak bermata luk bak keris menusuk perut Hongko. Darah segar menyelip keluar dari sela-sela tusukan tombak itu. Tusukan itu tidak sempat masuk terlalu dalam karena dengan kekuatannya yang tersisa dan dalam keadaan terbaring, ia masih dapat menahan tombak itu untuk masuk lebih dalam ke perutnya. Namun untuk berapa lama?
Satu prajurit Mataram lainnya melihat ini sudah siap untuk menusukkan tombaknya ke dada Hongko yang masih dengan segenap sisa kekuatannya menahan tusukan tombak yang pelan-pelan semakin masuk merobek dagingnya. Sang prajurit pun mengambil ancang-ancang. Mengangkat tombak dan siap menghujamkannya.
SLEP!
Tiba-tiba sebuah lempengan gelang besi yang sangat tajam menancap di kepala terbalut iket sang prajurit Mataram yang hendak menghujamkan tombaknya ke dada Hongko. Lempengan gelang besi tajam itu adalah sebuah cakram yang dileparkan dengan ketepatan, kekuatan yang kelihaian yang luar biasa.
Sang prajurit ambruk tanpa suara.
Tak lama sesosok tubuh menyeruak dari pepohonan yang nampaknya darimana cakram itu dilempar. Dengan menggenggam sebuah pedang yang melengkung, sosok itu jelas menunjukkan permusuhan dan berusaha menyerang sang prajurit lainnya.
Sang prajurit yang sedikit terbengong karena temannya tumbang menjadi waspada. Segera ia mencabut tombak yang masih menancap di perut Hongko. Hongko tersedak. Darah mengucur dari luka tersebut.
Dengan tombak yang kini bebas, sang prajurit langsung mempersiapkan kuda-kudanya. Pertarungan tak terhindarkan. Pedang melengkung beradu dengan gagang tombak, namun hanya sekali. Sang sosok berputar dengan gesit dan berhasil membacok bahu sang prajurit. Tanpa menunggu lagi, dengan kecepatan yang luar biasa sang sosok berputar lagi ..
CRAS!
Kepala sang prajurit Mataram menggelinding ke tanah.
Samar-samar Hongko melihat sang sosok yang mengenakan celana pangsi – celana selutut – hitam dan berkaki telanjang. Baju sejenis tui-khim putih tanpa kerahnya ditutupi rompi beskap hitam. Ia mengenakan topeng. Sebuah topeng tokoh Panji berwarna putih yang tidak menampakkan wajah dan perasaan orang dibaliknya sama sekali. Sosok itu mendekat, “Ayah …”
Sudah barang tentu Hongko terkaget-kaget. Ia mengenali suara itu sebagai suara sang putra, Jayaseta. Apalagi Hongko juga mengenai pedang shamsir yang digenggam erat oleh sang sosok bertopeng tersebut. Ternyata memang benar adanya bahwa sosok di balik topeng tersebut adalah sang putra ketika Jayaseta membuka topengnya, meletakkan pedangnya di tanah dan segera mendekati ayahnya yang terbaring luka dan tak berdaya.
“Apa yang kau lakukan disini, nak?” dengan terbata-bata, Hongko berkata-kata. “Aku sudah katakan untuk pergi dari Giri. Lindungi penduduk dari serangan pasukan Surabaya dan Mataram. Gunakan ilmu kanuraganmu untuk membantu mereka!”
“Tapi ayahanda … aku tidak bisa meninggalkan ayah disini. Pasukan Surabaya dimana-mana. Aku berhasil membunuh beberapa diantara mereka dan menyelamatkan penduduk manjauh dari Giri. Lalu aku teringat ayah.”
Mendengarnya entah mengapa dalam keadaan semacam ini, dada Hongko malah bergemuruh. Ia merasakan perasaan bangga yang aneh. Si Kongsing atau Asing alias Jayaseta telah tumbuh menjadi seorang remaja pendekar pada usianya yang masih belasan ini.
Hongko menyaksikan otot-otot tangan dibalik lengan baju koko sang putra meliat. Wajah sang putra tampan dengan rambut panjang yang ia gulungkan di bagian belakang kepalanya serta ditutupi dengan kain. Walau masih menunjukkan hawa keremajaannya, ketegasan seorang jawara telah menunjukkan sinarnya.
Dari awal ketika perang sudah mulai berkecamuk, Hongko telah menegaskan kepada sang anak untuk berani. Berani berperang, berani melawan kesewenang-wenangan dan kebatilan, berani melawan kekuasaan Mataram yang sudah menginjak-injak harga diri orang-orang Giri Kedaton. Sang raja yang sedang sibuk menawarkan, atau lebih tepat memaksakan gambaran Jawa Islam di bawah satu matahari, yaitu Mataram.
Hongko menjelaskan dengan gamblang kepada sang anak agar bersiap untuk berani membunuh siapa saja yang menginjakkan kaki di tanah Giri Kedaton dengan maksud buruk. Walau Jayaseta masih muda dan belum benar-benar paham keadaan masyarakat, kenegaraan dan keagamaan Mataram dan Giri Kedaton, peperangan sudah tidak dapat dihindari dan pasti Jayaseta harus siap suka atau tidak.
Lagipula, inilah inti dari mengapa selama ini Jayaseta ditempa dengan keras. Walaupun ia tak paham dengan segala permasalahan kenegaraan ini, hampir pasti seorang pendekar harus berani membela orang-orang lemah, apalagi orang-orang tersebut adalah sanak dulur dan orang-orang yang dikenalnya, seperti para penduduk Giri ini.
Ia pun awalnya telah dipersiapkan menjadi anggota pasukan Cina Endrasena. Namun Hongko tak menyangka bahwa Jayaseta telah sehebat ini. Baru saja Jayaseta bahkan mengatakan hari ini telah membunuh beberapa pasukan Surabaya dan Mataram. Belum lagi kejadian barusan, dimana sebuah cakram melesak ke kepala sang prajurit serta sebuah kepala terpancung. Bukankah hari ini berarti pertama kali anaknya ini membunuh?
Lalu kesedihan tiba-tiba mengalir di tubuh Hongko. Merayap cepat seperti sepasukan serangga mengerubungi bangkai tikus. Ia memikirkan nasib anaknya yang hebat ini. Apakah anaknya dapat selamat dari kekalahan Giri Kedaton? Ia sudah meminta Jayaseta untuk meninggalkan Giri sembari melindungi para penduduk. Namun ia malah kembali. Akankah ia selamat sebelum benar-benar matang ilmu kanuragannya dan menikmati hidupnya?
Tak sempat berpikir panjang, Hongko melihat serombongan pasukan lagi Surabaya dan Mataram akhirnya berhasil menemukan mereka. Keadaan menjadi semakin runyam sekarang. Sepertinya hal ini tidak disadari Jayaseta karena ia dalam keadaan menunduk ke arah ayahnya dan memunggungi rombongan pasukan yang baru tiba tersebut.
Terlihat jelas olehnya ketika rombongan pasukan ini tercekat melihat pemandangan yang ada dimana beberapa pasukan mereka terbunuh dengan dua orang pasukan Cina lainnya yang telah menjadi mayat. Salah satu prajurit demi melihat pemandangan ini langsung menggunakan tombaknya sebagai lembing dan melemparkannya ke arah Jayaseta yang masih sibuk mempedulikan luka ayahnya.
Demi melihat ini dengan segenap tenaga yang tersisa, Hongko memegang kedua bahu anaknya dan memutarnya hingga Jayaseta terhindar dari lemparan lembing itu. Jayaseta merasakan sang ayah dipelukannya, sebuah tombak menancap di punggung. Nyawa sang ayah mencelat keluar dari raganya tanpa suara. Pandangannya kosong menatap angkasa dan tubuhnya lemah sampai ke tulang-tulangnya. Ia ambruk sembari memeluk anak laki-lakinya.
Jayaseta menatap tak percaya pada tubuh ayahnya yang baru saja berubah menjadi seonggok mayat yang lemas yang menimpanya. Hati Jayaseta hancur berkeping-keping. Tak dapat digambarkan lagi betapa remuk hatinya yang seperti remah-remah, berderai ketika disentuh.
Dengan perasaan yang luar biasa hancur, Jayaseta menggeser tubuh sang ayah, berteriak pilu sembari dengan penuh amarah mengambil pedang shamsir milik almarhum kakeknya sekaligus meluncur cepat meraih jian milik sang ayah yang tergeletak tidak begitu jauh di tanah setelah dilemparkan ayahnya ke arah salah satu prajurit Mataram tadi.
Beruntung bagi Jayaseta karena dua jenis pedang tersebut adalah pedang satu tangan, dimana gagangnya memang diperuntukkan untuk digenggam dengan satu tangan. Ini berbe dengan dandao Cina atau katana dari negeri Jepun yang diperuntukkan untuk dipegang dengan kedua tangan. Dengan kedua senjata ini tanpa pikir panjang ia langsung menyerbu ke arah para prajurit Mataram tersebut.
Kedua pedangnya berputar-putar mencari mangsa dengan murka. Para prajurit menghindar sehingga walau Jayaseta menyerang dengan membabi buta belum ada sedikit bagian tubuh lawanpun yang tergores. Inilah permasalahannya, dengan kalap dan berlinang air mata jurus-jurus Jayaseta menjadi tak berbentuk.
Kemampuan bertarungnya seperti luntur dikarenakan perasaan sedih yang luar biasa. Benar kata orang bahwa kemantapan jiwa dan pikiran jauh lebih hebat dibandingkan kekuatan otot dan tubuh. Ketika pikiran dan jiwa terganggu, tubuh menyerah dan menjadi budak.
Walau paham bahwa ayahnya adalah seorang prajurit dimana kematian dan kehidupan hanya terpisah benang tipis, ia masih tidak bisa menerima kematian ayahnya yang memilukan ini. Sayang ia bingung menggunakan jian Cina di tangan kanannya dan pedang shamsir Damaskus di kirinya. Selain pikiran dan perasaannya yang tercerai berai, dua bentuk dan berat pedang yang sangat berbeda sangat menyusahkannya untuk mengatur gerak kaki dan tangannya.
Sekarang ia dikelilingi sekelompok prajurit Mataram yang demi melihat kebingungan Jayaseta dan wajahnya yang penuh kesedihan menjadi girang dan tertawa-tawa. Bagaimana tidak, pasukan Surabaya dan Mataram telah menang telak sedangkan di hadapan mereka hanyalah tampak seorang remaja yang nampaknya yang orang dicintainya tadi baru saja mati terkena lemparan tombak. Belum lagi sabetan-sabetan kedua pedangnya nampak seperti orang yang tidak bisa menggunakan senjata dan hanya terbawa amarah dan kesedihan.
Jayaseta dengan serangan yang membabi-buta pelan-pelan sadar semua sudah terjadi. Kesedihan menjadi semakin akrab dengan dirinya ketika sang ibu wafat setahun yang lalu karena sakit keras kemudian disusul oleh kakek guru yang sangat dicintainya beberapa hari kemudian. Kali ini ayahnya, sang prajurit sekaligus sang guru yang juga tewas dalam peperangan. Sebuah kematian yang terhormat bagi seorang prajurit sebenarnya. Bisa dikatakan sekarang ia adalah seorang yatim piatu yang tidak memiliki keluarga lagi, baik ayah bunda maupun kakek nenek.
Pelan-pelan Jayaseta mencoba menyerap semua kesedihan itu. Ia tidak mau lagi menghindari kesedihan yang teramat dalam ini. Ia terlanjut mengenalnya, ia mulai dapat menerima kenyataan pahit yang ia terima sekarang. Pesan ibu, ayah dan kakeknya yang pada dasarnya meminta ia untuk menjadi orang yang tangguh dan kuat dalam menghadapi hidup sekarang menjadi kekuatan sebenarnya. Harapan ayahnya agar ia menjadi seorang pendekar yang pilih tanding harus ia penuhi. Ia tidak boleh menyerah dengan perasaan. Seorang jawara harus mampu menaklukkan penghalang dari diri sendiri dahulu baru dapat melawan musuh.
Ia menenangkan diri. Merasakan jian di tangan kanannya yang berbentuk lurus panjang, tajam di kedua sisi dan lancip di bagian ujungnya. Ia teringat kata-kata ayahnya bahwa jian ini adalah hasil tempaan masa kerajaan wangsa Ming di Tiongkok sana dari bahan besi baja.
“Ingat Asing, jian bukan sekedar senjata tajam biasa. Berbeda dengan dao, jian adalah senjata seorang laki-laki terhormat dan memiliki martabat atau tingkatan di masyarakat yang lebih tinggi. Gerakan jurus-jurusmu tidak boleh hanya bersifat lincah dan gesit belaka, namun juga harus indah,” Jayaseta ingat perkataan sang ayah sewaktu mengajarinya ilmu jian. “Gerakanmu pantang kasar dan keras. Semua gerakan harus merupakan bentuk pengendalian dirimu sehingga walau lembut tetap menunjukkan kekuatannya, kekuatan seorang laki-laki sejati terhormat.”
Tak lama Jayaseta juga menimbang-nimbang pedang Damaskus di tangan kirinya yang melengkung dan begitu kokoh. Kali ini iapun teringat kata-kata sang kakek, “Pada awalnya pedang orang-orang Parsi berbentuk lurus dan memiliki dua sisi yang tajam. Namun pada masa Kesultanan Seljuk pada abad ke dua belas shamsir dibawa ke Parsi. Shamsir adalah basa Parsi yang sederhananya berarti pedang.
Shamsir yang juga sangat dikenal dengan lainnya yaitu simitar, berbentuk melengkung dan merupakan ciri pedang Muslim dari Arab dan orang-orang Muslim di tanah Hindustan atau yang dahulu dikenal juga dengan nama Jambudwipa. Bentuk shamsir yang melengkung membuatnya mantap untuk memotong dan membabat, tapi akan cukup sulit untuk digunakan menusuk musuh. Jadi kau memang perlu memiliki kemampuan yang mumpuni cucuku.”
Jayaseta sudah melatih jurus-jurus shamsir dengan bimbingan keras namun penuh kasih sayang sang kakek. Dalam menggunakan shamsir, Jayaseta harus memiliki kekuatan otot dan oleh tubuh yang luar biasa. Dalam pelatihannya, ia harus melatih kedua tangannya dengan melatih menggunakan beban sebelum memegang shamsir dan menggerakannya ke depan dan ke belakang serta ke atas dan ke bawah dengan cepat dan kuat.
Kemudian Jayaseta juga harus menggunakan semacam pemberat lain berbentuk seperti tapal kuda di kedua bahunya untuk membuat serangannya semakin bertenaga dan bagian sendi-sendinya terbiasa bergerak dengan lincah. Ini adalah latihan dasar yang harus dilakukan oleh para pendekar pedang di negeri Parsi sana.
Ia melihat sekelilingnya. Tawa para prajurit membayang diselingi gambaran senyum ayah dan kakeknya. Semua prajurit musuh menertawakan kesedihannya. Wajahnya lusuh dan basah oleh air mata. Jayaseta, meletakkan kedua pedang di tanah. Kemudian mengambil topeng Panji yang tergeletak tak jauh dari kakinya. Mengenakannya dengan mantap dan kembali mengambil kedua pedang milik ayah dan kakeknya tersebut.
“Hua ha ha ha … hei apa maksudmu bocah?” salah seorang prajurit tertawa terbahak-bahak.
“Nang ning gong ning gong ning gong …” yang lain menirukan suara gamelan. Sedangkan yang lainnya terpancing dengan menggerak-gerakkan bahu dan tubuh mereka mengikuti irama. Mereka mengejek seakan si bocah remaja adalah seorang penari topeng dari Cerbon itu.
Sekarang para prajurit hanya dapat melihat sosok topeng berwajah putih pucat bermata kecil tanpa gambaran raut wajah asli dan perasaan bocah itu di depan mereka. Sejenak kemudian, tanpa diduga sama sekali tiba-tiba satu orang prajurit berteriak keras ketika melihat lengannya sepanjang bahu sudah tidak ada lagi di tempatnya.
Sepotong tangan tersebut jatuh berdebum ke tanah bersama tombak yang ia pegang. Jayaseta berhasil memaprasnya dengan kecepatan yang hampir mustahil untuk diketahui. Sang prajurit pun ikut tergeletak di tanah menahan rasa sakit di bagian dimana tangannya terpotong dan darah menyembur deras.
Tawa lenyap di wajah pra prajurit. Sekarang teriakan amarah yang menggantikannya, “Serang … bunuh. …!!”
Mengherankan. Sosok bocah ini sama sekali berbeda dibanding beberapa saat lalu yang mereka pikir hanya seorang bocah remaja yang ketakutan. Setelah menggunakan topeng Panji ini, sang bocah berubah menjadi sosok yang liar dan sulit ditebak. Padahal bila disimak jurus sang bocah sama seperti sebelumnya, gerakan yang aneh, seakan tidak benar-benar dapat berkelahi. Namun bacokannya sangat berbahaya. Buktinya sebentar saja dua prajurit lagi tumbang dalam beberapa gerakan saja.
Bagi yang belum paham mungkin melihat Jayaseta tidak mampu bertarung, namun bagi yang mengerti, sebenarnya jurus-jurus yang ia gunakan adalah gabungan jian su empat arah mata angin Tiongkok milik ayahnya dan jurus pedang shamsir Damaskus milik sang kakek. Jurusnya menjadi sulit tertebak.
Setiap sodokan tombak yang menyerang tubuhnya berhasil ia elakkan atau tepis dengan cara berputar-putar, meloncat-loncat, bahkan kadang dengan meliuk di udara dan serangan balasannya membabi buta, sukar ditebak namun sangat mematikan.
Para prajurit walaupun dalam keadaan mengepung dan sepertinya unggul, sekarang malah bingung karena gerakan sang lawan yang liar dan tak tertebak. Dalam waktu singkat lagi seorang prajurit jatuh meregang nyawa dengan sayatan menyilang di dadanya dan bacokan memapras kuping kanan dan melesak ke kepalanya menyemburkan darah kental.
Dua lagi terluka juga dengan beragam sayatan dalam di lengan, bahu dan pinggang. Sisanya langsung mundur dan ragu-ragu sembari bergetar memegang tombak mereka kebingungan dan ketakutan akan keganasan sang lawan. Apakah seorang bocah atau sebenarnya iblis di balik topeng itu? Atau Endrasena yang telah tewas diterjang ***** panas senapan Pranggi Ratu Pandhansari kembali hidup di dalam tubuh sang bocah?
Jayaseta memang sangat tertarik dengan topeng. Di rumahnya ia memiliki beragam macam topeng. Dari topeng barong macan asal Bali, topeng Hanuman sang kera putih, topeng merah membara ganongan yang berhidung panjang dan bermata besar, sampai topeng Panji yang berwajah dingin ini. Ketika menggunakan topeng, ia merasa dapat menyerap semua jurus yang telah ia pelajari.
Dengan topeng ia dapat menjadi siapa saja, atau malah tidak menjadi siapapun. Musuh pun tidak dapat mengenali wajahnya dan apa yang ada di benaknya. Dengan topeng ganongan lah pertama kali dalam hidupnya beberapa tahun yang lalu, Jayaseta berhasil memasukkan bogem mentahnya sekaligus ke tubuh sang ayah dan kakek dalam latihan pertarungan mereka dan unggul dalam sebuah latihan adu tanding.
Jayaseta masih terus mengamuk, berputar-butar membabatkan kedua pedangnya dan membuat para prajurit yang menyeroyoknya berhamburan dan bergulingan menghindari serangannya. Amukan Jayaseta baru berhenti ketika tiba-tiba bunyi letupan senapan terdengar dan betis Jayaseta tertembus *****. Darah menyembur dari luka tersebut diikuti bau terbakar yang cukup menyengat. Ia goyang dan jatuh berlutut dengan sebelah kakinya masih berusaha menopang tubuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
y@y@
🔥👍👍🏿👍🔥
2022-11-26
2
y@y@
👍👍🏾👍🏻👍🏾👍
2022-11-24
2
y@y@
🔥👍🏾👍🏻👍🏾🔥
2022-11-23
2