Tiba-tiba si pemimpin berpipi gembil memerintahkan enam orang prajurit tukang pukul bawahannya untuk meletakkan senjata-senjata mereka. perintah ini jelas membuat bingung Jayaseta. Bukannya mereka ingin menundukkan dan membinasakan dirinya bila perlu? Bila mereka meninggalkan senjata tajam berupa tiga belati, dua tombak dan satu busur, dengan apa mereka menyerang dirinya pikir Jayaseta.
Kebingungan ini ditanggapi dengan senyuman lebar keenam bawahan si gembil berhidung mancung tersebut. Mereka meletakkan semua senjata tajam mereka di tepi, kemudian salah satu prajurit tukang pukul memungut beberapa batang rotan setengah depa dan dibagikan kepada keenam rekan termasuk ketua kelompoknya. Ia sendiri menggenggam sebuah batang rotan di tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menyilang di depan dada. Prajurit ini adalah orang yang memegang ginunting, pedang melengkung ke depan yang menyerangnya sebelumnya.
Jayaseta sebenarnya sudah dapat membaca cara kerja kapal, cara kerja tubuhnya sendiri dan gerak jurus musuh-musuhnya dengan mantap. Jurus Tanpa Jurus adalah gerakan andalannya yang tidak berbentuk dan tidak terpikirkan, langsung mengikuti dan menyesuaikan keadaan dan alam. Untuk itu, jurus ini kemudian sangat berguna ketika ia sedang dalam keadaan genting ini. Namun sebuah perubahan tak terduga membuatnya terkejut dan seakan meragukan hal-hal yang terjadi ini.
Sang prajurit yang membagikan batang-batang rotan tadi lebih dahulu maju mendekati Jayaseta dan dengan sekali hentakan kilat dua pukulannya membabat pinggul dan bahu Jayaseta. Jayaseta sendiri kini mundur dua langkah ke belakang dengan rasa pedas yang menyengat kedua bagian tubuhnya yang terkena telak tersebut. Jayaseta hampir-hampir kehilangan kepercayaan dirinya. Apalagi kejadian ini diikuti dengan ledakan tawa ketujuh orang pengeroyoknya tersebut.
Jayaseta ingat dari cerita para santri yang datang dari Pegu dan Moro untuk belajar ke Giri bahwa ada sebuah daerah kepulauan yang bernama Bisaya atau Kabisayaan dalam bahasa Tagalog dimana para penduduknya dikenal dengan keberaniannya dan kemampuan beladiri mereka yang dikenal dengan nama Kali. Orang-orang berilmu tinggi tersebut menggunakan tongkat pemukul dari rotan untuk melawan orang-orang asing yang mencoba menjajah negeri mereka.
Pilihan rotan menggantikan senjata tajam seperti pedang atau golok memiliki alasan tertentu. Pedang mengakibatkan luka sayatan atau potongan yang mematikan, namun rotan dengan jurus-jurus tertentu yang dilatih dengan baik akan menghancurkan tulang dan luka dalam yang juga dapat melemahkan musuh dengan parah.
Pada waktu kerajaan bule Espanyola mencoba meminta pulau-pulau Bisaya untuk tunduk di bawah kekuasaan mereka, seorang kepala suku Mactan bernama Lapulapu berhasil mengusir pasukan bule tersebut dari tanah Mactan dan bahkan membunuh pemimpin penyerang, seorang Pranggi bernama Fernao de Magalhaes atau dikenal juga sebagai Ferdinand Magellan pada tahun 1521 Masehi.
Dijelaskan bahwa Ferdinand Magellan tewas di tangan sang pemimpin perlawanan Lapulapu dalam sebuah pertarungan satu lawan satu. Dengan jurus-jurus Kali, Lapulapu membunuh Ferdinand Magellan dengan merebut tombak yang ia pakai dan digunakan untuk menusuk tubuh Magellan sendiri. Meski ada cerita lain yang menjelaskan bahwa Lapulapu melemparkan tombak yang menembus paha Magellan dan ketika melihat ini, para prajurit bawahan Lapulapu mengeroyok dan mencincang habis sang ponggawa Pranggi tersebut. Apapun cerita yang benar, dapat dijelaskan bahwa orang-orang Bisaya adalah orang-orang yang hebat dalam ilmu kanuragan mereka.
Sang prajurit yang memukul Jayaseta dengan sebatang rotan di tangannya bernama Katilapan. Ia adalah warga Bisaya, tepatnya di daerah Kedatuan Cebu, yang juga memiliki ilmu kanuragan Kali yang mumpuni. Dari awal, sang ketua para prajurit berpipi gembil tersebut memang sengaja meminta para prajuritnya menggunakan rotan untuk menyerang Jayaseta. Ini dimaksudkan untuk menghabisi Jayaseta pelan-pelan dengan menyiksanya dengan pukulan demi pukulan yang menghancurkan tubuh bagian dalamnya dan bagi si Prajurit yang berada tepat di hadapan Jayaseta ini mungkin sebagai ajang pamer dan uji jurus Kali melawan sang pendekar yang namanya termahsyur di tanah Jawa akhir-akhir ini.
Jayaseta sudah merasakan dua pukulan remeh nan cepat yang mengenai tubuhnya. Lapulapu dianggap memiliki ilmu Kali yang dipelajarinya turun-temurun dari nenek moyangnya. Kali sendiri merupakan sebuah kata cabangan dari kata keris, senjata orang-orang nusantara. Adapula yang mengatakan bahwa kata Kali diambil dari kata cakalele, yaitu tarian perang dan beladiri asal Maluku yang juga menggunakan tongkat dalam peragaan gerakannya. Ini menunjukkan pengaruh yang besar dari orang-orang Jawa dan Melayu dalam jurus-jurusnya.
Bisaya yang berasal dari bahasa Sansekerta Vishaya adalah nama asli dari kerajaan Sriwijaya di pulau Melayu Swarnadwipa. Dalam hal ini, orang-orang Bisaya adalah keturunan orang-orang Melayu Sriwijaya yang datang awalnya ke pulau Panay oleh sepuluh datuk dipimpin oleh Datuk Putih pada abad ke-12 ketika kerajaan Sriwijaya mulau runtuh dan digantikan oleh kekuasaan kerajaan Majapahit dari Jawa. Mereka datang dari sebuah pulau di nusantara dimana kerajaan Tanjungpura atau dikenal juga sebagai Bakalapura berada.
Jadi mereka juga merupakan orang-orang campuran Melayu dan Jawa yang terpengaruh oleh Sriwijaya dan Majapahit. Sedangkan orang-orang keturunan Majapahit yang memeluk Islam kemudian menempati kepulauan di daerah Selatan dan kemudian mereka dikenal sebagai orang-orang Moro.
Setelah seratusan tahun, terutama setelah kedatangan para penjajah dari Espanyola, Kali sendiri kemudian menyerap beragam jurus berpedang dari para penjajahnya tersebut. Kehebatan jurus-jurus Kali adalah bahwa penggunaan tongkat rotan sudah mewakili penggunaan hampir semua senjata lain.
Seseorang yang sudah mahir dalam salah satu aliran silat Kali dalam menggunakan tongkat rotan akan mampu menggunakan semua senjata, seperti pedang, tongkat atau yang disebut sibat, tombak atau bangkow, belati, keris, atau beragam senjata lainnya. Bisa dikatakan, seorang murid ilmu Kali tidak perlu mempelajari secara khusus setiap jurus-jurus berbeda dalam penggunaan setiap senjata.
Katilapan memang memiliki gaya berbusana yang khas orang dari Kedatuan Cebu di kepulauan Bisaya. Tubuhnya penuh dengan rajah bahkan sampai ke bagian leher, mirip seperti orang-orang Daya di pulau Bakalapura. Begitu juga dengan kedua telinganya yang ditindik dengan anting-anting bulat lebar.
Ia mengenakan baju longgar berlengan panjang dengan kerah bulat serta celana selutut yang juga longgar. Sedangkan tepat di bawah lututnya terdapat semacam hiasan berupa ikatan kain berwarna merah. Kepalanya juga diikat dengan selembar kain lebar.
Senyum Katilapan merekah ketika ia merasa bahwa ini adalah sebuah kesempatan emas untuk dapat menghadapi seorang jawara yang namanya sedang naik daun di daratan Jawa. Jauh-jauh dari Bisaya untuk menjadi tukang pukul atau prajurit kelautan membuatnya gatal ingin menjajal kemampuan seorang jawara yang sebenanarnya, dan ini adalah kesempatan yang tidak mungkin ia lewatkan untuk bermain-main kanuragan.
Jayaseta mengambil kain penutup mulut dan hidungnya kembali dan memasangnya. Tindakan Jayaseta ini membuat Katilapan dan rekan-rekannya kegirangan. Pemimpin kelompok sengaja menugaskan anak buahnya untuk mengganti senjata tajam dengan tongkat rotan untuk memberi Jayaseta pelajaran. Ia juga membiarkan Katilapan untuk bermain-main sejenak dengan sang pendekar Topeng Seribu sebelum nantinya ia akan benar-benar dihabisi oleh rekan-rekannya.
“Hoi, tidak adil rasanya kita biarkan si pendekar tidak memiliki senjata. Lemparkan sebatang rotan itu ke arahnya, Jipang,” teriaknya dalam bahasa Melayu pada rekannya yang tadi bersenjata tombak dengan mata trisula.
Jipang terkekeh kemudian melemparkan rotan yang ia pegang ke lantai kapal di depan Jayaseta. Jayaseta pun memungut rotan itu. Sedikit banyak ia merasa ini adalah sebuah kesempatan yang baik untuk menguasai keadaan dan meraih kuasa atas musuh-musuhnya. Ia sudah diperolok dan ditertawakan karena kelemahannya pada mabuk laut. Ia harus tunjukkan kepada mereka siapa Jayaseta.
Tangannya mantap menggenggam tongkat rotan tersebut. Katilapan juga memasang kuda-kuda silat Kalinya. Jayaseta walau masih sedikit puyeng karena belum terlalu terbiasa dengan goyangan kapal oleh ombak memutuskan untuk menyerang lebih dahulu. Ia meluncur maju dengan sebuah langkah panjang dan menyasar ke kepala Katilapan.
Katilapan melihat gerakan Jayaseta. Ia hanya mengeser sedikit tubuhnya, menepis tongkat rotan Jayaseta, dan dengan tangan kirinya yang bebas dengan kecepatan luar biasa ia mengunci pergelangan tangan Jayaseta sehingga pemukul rotan Jayaseta terlepas begitu saja dan terlempar ke lantai geladak kapal. Katilapan juga sempat menghadiahi Jayaseta dengan dua pukulan cepat ke bahu dan pinggul. Tepukan dan teriakan riuh rekan-rekannya membahana.
“Ayo pendekar. Jangan bermain-main lagi denganku,” ucap Katilapan.
Jayaseta memperhatikan bahwa jurus serangan tongkat rotan Kali Katilapan sangatlah luwes dan cepat. Ia melihat bahwa sang lawan menitikberatkan pada jari telunjuk dan ibu jari untuk memainkan rotan, namun ketika sudah mengenai sasaran, kekuatan pukulan menjadi mengeras karena semua jari digunakan. Selain itu, berbeda dengan banyak jurus-jurus bersenjata lain, tangan kirinya yang bebas ternyata juga bekerja dengan sama bergunanya dengan tangan yang memegang senjata.
Jayaseta kembali memungut batang pemukul rotannya. Kapal kembali bergoyang. Ia pun ikut goyah. Tawa kembali membahana. Jayaseta terpaksa menggertakkan rahangnya kuat-kuat karena amarah. Ia tetap harus mampu mengendalikan perasaan dan tindakan seperti yang sudah ia pikirkan masak-masak tadi bila ingin unggul di atas lawan-lawannya dengan segala kekurangan yang ia miliki saat ini.
Katilapan tiba-tiba melaju ke depan dengan cepat dan membabatkan rotannya ke arah Jayaseta. serangnnya diarahkan tidak hanya satu kali, tapi sampai lima kali serangan yang mengincar bagian-bagian tubuh Jayaseta yang berbeda. Walau kelima serangan tersebut telak mengenai Jayaseta dan terasa sakit yang menyengat, Jayaseta pun paham bahwa sang musuh hanya bermain-main dengan tidak mengeluarkan tenaganya, seakan sedang memukul dan memberi pelajaran seorang anak yang nakal.
Katilapan tersenyum mengejek. Kali ini ia ingin mencoba membuat Jayaseta terluka agar ia paham seberapa hebatnya pukulan-pukulannya. Maka dari itu Katilapan memukul lurus ke arah kepala Jayaseta. Pukulan ini jelas sangat mematikan. Bila lawan tak dapat menghindar atau menangkis, sudah pasti tulang kepalanya akan retak dan ia sendiri tak sadarkan diri serta berada di ambang kematian.
Jayaseta menahan pukulan rotan tersebut dengan menyilangkan rotannya di atas kepala, kemudian dengan tangan bebasnya, ia meraih lengan Katilapan, memuntirnya dengan cepat dengan bantuan tongkat rotannya dan melucuti rotan musuh. Rotan Katilapan terlempar ke lantai geladak kapal. Jayaseta kemudian menghadiahi Katilapan dengan satu sabetan keras ke pahanya. Membuat Katilapan berjingkat sedikit dan terseok karena dahsyatnya pukulan tersebut.
Geladak kapal tiba-tiba hening. Tidak ada satupun orang di geladak kapal yang memperkirakan kejadian ini. Kemampuan Jayaseta meniru jurus musuh adalah bakat kanuragan dan bagian dari keunggulan Jurus Tanpa Jurusnya.
Salah satu rekan Katilapan memungut rotannya yang jatuh tadi dan melemparkannya ke arah Katilapan. Ketika Katilapan telah menggenggam rotannya kembali, wajahnya memerah karena amarah. Kedua matanya menatap tajam ke arah sang lawan yang berhasil memepermalukannya di depan rekan-rekannya. Mungkin ia memang terlalu meremehkan Jayaseta dan lupa serta khilaf bahwasanya yang dihadapinya memang kemungkinan besar adalah si pendekar termahsyur itu.
“Akan kuhabisi bocah tengik ini. Sudah bukan saatnya aku main-main dengannya. Rupa-rupanya ia tidak bisa dianggap enteng. Bila memang seperti itu, saatnya untuk menghancurkan sendi-sendi tubuhnya sudah tiba,” ujar Katilapan dengan keras kepada rekan-rekannya.
Semua rekannya pun mahfum akan hal ini. Nampaknya keinginan mereka untuk bermain-main memukuli sang pemuda dengan rotan mereka harus batal karena Katilapan yang ahli dalam permainan tongkat rotan silat Kalinya lah yang mungkin menewaskan sang pemuda.
Tanpa buang waktu Katilapan membabat tiga kali serangan ke arah kepala, leher dan bahu Jayaseta. Serangan yang begitu cepat itu untungnya dapat hindari dengan gesit pula. Ini yang membedakan serangan Kali dengan silat atau ilmu kanuragan lain.
Dalam menggunakan jian, seluruh lengan dan jurus berputar serta meliuk-liuk digunakan dalam jurus-jurusnya. Begitu pula dengan permainan shamsir atau simitar dimana serangan-serangannya dipusatkan pada tebasan panjang. Dalam Kali, permainan jari dan serangan pendek bertumpu pada siku dan pergelangan tangan adalah yang utama. Kedua kaki memiliki kuda-kuda yang mendukung serangan cepat senjata di tangan. Kedua kaki berguna sebagai pegas yang memantulkan tubuh dan pukulan secepat kilat.
Sembari berteriak lantang, Katilapan menyerbu Jayaseta dengan membabat ke arah kepala. Jayaseta langsung mundur sampai dua langkah dan mencoba menangkis serangan itu, namun Katilapan terlalu cepat, sebentar saja ia sudah menggantikan serangan ke arah pinggang dan perutnya. Jayaseta kembali mencoba menangkis dengan rotannya, namun apa lacur, Katilapan masih terlalu cepat dan mahir dalam pertandingan adu rotan ini. Rotan di tangan Jayaseta sudah terlepas dari tangannya, bukan terlempar kali ini tapi sudah ada di tangan kiri Ketilapan.
PLAK! PLAK! PLAK!
Jayaseta terjerembab. Tiga pukulan telak menghajar kepala dan punggungnya. Jayaseta mengerang pelan.
Keselahan besar lain yang dilakukan Jayaseta. Ia bagaimanapun masih seorang pemuda yang berusaha menanjak menjadi seorang pedekar yang bijak. Dari awal, ketika dipermainkan Katilapan, ia selalu beranggapan bahwa orang yang ia lawan memegang sebuah rotan, bukan senjata tajam seperti golok atau pedang. Oleh sebab itu, ia masih belum sadar untuk habis-habisan melawan sang musuh. Ini menyebabkan ia berkali-kali takluk.
Kepalanya berdenyut dan punggungnya seakan retak. Bila bukan karena latihan yang keras dari kakek, ayah, dan guru-guru silatnya, sudah pasti badannya sudah remuk redam dan ia sudah menghembuskan nafas terkahirnya. Bagitu juga bila yang membabatnya adalah sebuah pedang, sudah pasti ia tak akan pernah melihat matahari lagi saat ini.
Rotan, kayu, atau logam besi dan baja yang digunakan sebagai senjata harusnya tidak menjadi berbeda. Kesalahan besar Jayaseta adalah berharap pertarungan ini tidak berakhir dengan keatian. Namun jelas ia salah. Rotan Katilapan membuat tubuhnya seakan terkoyak-koyak senjata tajam. Semua pukulan yang mengenai tubuhnya mulai berdenyut sampai ke tulang. Sebuah senjata tetaplah senjata. Ia harus mulai berusaha untuk memenangkan pertarungan ini dengan berpikir lebih luas dan berani.
Katilapan yang sekarang telah menggenggam dua rotan di kedua tangannya kembali menyerbu Jayaseta yang perlahan sudah mulai berdiri. Serangan cepat kedua rotan tersebut membabat Jayaseta ke segala arah. Dalam satu tarikan nafas saja mungkin lebih dari sepuluh babatan di arahkan ke Jayaseta.
Jayaseta sendiri sudah mengganti pola pikirnya dengan pola pikir baru yang memandang kedua rotan tersebut tak beda dengan pedang atau senjata lain yang dapat membuat ia terbunuh. Oleh sebab itu dengan daya elaknya yang terlatih, Jayaseta berguling-guling dan melontarkan dirinya untuk menghindari serangan Katilapan.
Pola serang-bertahan ini bagaimanapun membuat Katilapan menjadi berang. Tadinya jelas Jayaseta sudah di ujung kekalahannya. Ia tinggal menyelesaikan apa yang sudah ia mulai. Tidak ada lagi pelajaran yang diberikan untuk sang musuh. Ia sudah harus membuatnya terkapar di geladak kapal tak berdaya.
Pukulan di kepala dan punggung Jayaseta secara mengherankan tidak benar-benar membuatnya tunduk. Harusnya untuk seorang pendekar sekalipun, retak di tulang punggung atau tengkorak kepala sudah bisa dipastikan. Apalagi sekarang, seakan-akan Jayaseta berkembang seperti sebuah tanaman. Ia menyesuaikan diri, gerakan-gerakannya makin berkembang ke arah yang lebih baik hanya dalam beberapa waktu saja dalam pertarungan mereka ini.
Katilapan masih memburu Jayaseta, ia kalap dan semakin terasa rasa sakit hatinya dipermalukan ketika sang pemuda bertopeng kain itu merebut dan membuang rotannya dengan menirukan jurus Kali yang ia gunakan. Walaupun Jayaseta sepertinya mati-mati menghindari serangan rotan kembarnya, tapi tak nampak gerakan menghindarnya kedodoran. Bahkan Katilapan merasa mulai melambat dan ia sendiri kemudian menciptakan sebuah kesalahan.
Jayaseta melihat juga kesalahan ini, sebuah lubang menganga dalam kuda-kuda dan pertahanannya. Tak menyia-nyiakan kesempatan ini, Jayaseta menghambur maju, menangkap pergelangan tangan kanan Katipalan, sedangkan satu tangannya lagi ditahan dan ditempelkan ke dadanya sendiri. Jayaseta menyeruduk menghadiahkan sundulan kepalanya ke wajah Katilapan.
Dalam kesempatan itu juga, kedua tangan Jayaseta memuntir kedua pergelangan tangan Katilapan sedemikian rupa sehingga kedua rotannya terlepas dan berpindah tangan kepada Jayaseta. Dengan kedua rotan ini pula Jayaseta membabatkan ke seluruh bagian tubuh Katilapan. Satu pukulan terakhir membuat Katilapan terjerembab telungkup di geladak kapal dan punggung yang serasa hancur. Ia tak sadarkan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
𝓚ˢᵍⁿ🍁ᗰᗩᕼᗴՏ ʷᵃʳᶦ ❣️
bakat menurut jurus? jadi ingat Cakiya
2023-04-03
0
𝓚ˢᵍⁿ🍁ᗰᗩᕼᗴՏ ʷᵃʳᶦ ❣️
ayo Jayaseta.. balas perlakuan mereka
2023-04-03
0
𝓚ˢᵍⁿ🍁ᗰᗩᕼᗴՏ ʷᵃʳᶦ ❣️
waahh.. si penjelajah dunia... 😍😍
2023-04-03
0