"Aku masih mau menanyakan, bagaimana kalian bisa sampai kembali kesini?” tanya Jayaseta sesaat setelah ia pamitan dengan Pratiwi dan masyarakat sekitar yang mengelu-elukannya karena berhasil menumpas para pembuat kekacauan di pelabuhan Kesultanan Cerbon tersebut.
“Begini, le. Sebenarnya, kami memutuskan untuk tidak lagi mau bekerja di kapal tersebut. Kami bahkan sudah mengembalikan semua bayaran kami,” ujar Badra.
“Kami ingin mengikuti perjalananmu. Kami sadar bahwa kami tidak mungkin terus-terusan menguntitmu, tapi paling tidak berilah kami sedikit waktu lebih lama untuk berjalan di belakang kemenakanku ini, masih terasa kangenku dan sedikitnya waktu pelajaran yang kami dapatkan,” ujar Badra sang paman panjang lebar.
Jayaseta memandang mereka satu persatu kemudian sedikit bergumam, “Hmmm … baiklah paman dan kakang-kakang sekalian. Aku akan mengajak kalian untuk ikut bersamaku sedikit lebih lama. Ini kulakukan untuk membayar jasa kalian karena menyelamatkan Pratiwi dan aku. Lagipula aku butuh teman seperjalanan yang menyenangkan,” ujar Jayaseta.
Rombongan keluarga baru Jayaseta ini tak menutupi rasa girang mereka dengan tersenyum lebar.
Tiba-tiba Jayaseta kembali mengerutkan keningnya. Ia sedang berpikir. Para prajurit tentu saja bertanya-tanya di dalam hati mereka. Namun, sebelum salah seorang dari mereka ingin menanyakan langsung kepada Jayaseta apa yang menjadi beban pikirannya, Jayaseta sendiri mengungkapkannya, “Aku harus mencari topeng baru. Aku sudah tidak memiliki satupun topeng.” Ucapannya ini seperti lebih kepada diri sendiri.
Tanpa Jayaseta duga, semua prajurit bahkan Badra pamannya tersenyum lebar bahkan beberapa tertawa. “Tenang Jayaseta, aku bahkan sudah membelikan satu buah topeng. Aku berencana memberikannya kepadamu sebagai hadiah bila memang kita bertemu di darat,” ujar Kesuma, sang pendekar belati dari Surabaya dengan tiba-tiba.
Dari balik bajunya, ia mengeluarkan sebuah topeng kayu yang begitu indah dan masih baru. Topeng yang diberikan Kesuma itu adalah sebuah topeng Samba, salah satu topeng ciri khas Cerbon selain Panji. Maklum saja Cerbon adalah salah satu surga topeng yang digunakan untuk tarian. Bedanya dengan topeng Panji yang dahulu Jayaseta miliki adalah bila topeng Panji berwarna putih tanpa raut wajah dan menunjukkan kesucian, topeng Samba adalah topeng yang melambangkan kanak-kanak yang berwajah ceria, lucu dan lincah. Raut wajahnya tersenyum, berwarna jambon, seakan menunjukkan wajah yang tersipu-sipu malu. Walau melambangkan keceriaan, namun pada dasarnya topeng ini juga bernafas gaib dan penuh rahasia, malah kadangkala terlihat menakutkan.
Ini memang jenis topeng yang Jayaseta inginkan. Seakan topeng Samba juga menggambarkan gaya bertarung yang ia miliki. Mau tak mau Jayaseta ikut tersenyum lebar. Ia menerima topeng pemberian Kesuma tersebut dan berterimakasih tidak hanya kepada Kesuma, namun kepada semua anggota rombongan yang akan menemaninya ke Betawi. Namun karena Jayaseta tak memiliki buntalan kulitnya lagi, topeng itu ia gantungkan di pinggangnya, kemudian ia sembunyikan dengan melilitkan kain putih gading tersebut di pinggangnya.
***
“Aku harus ke Betawi seperti yang kuceritakan kepada kalian sewaktu di kapal. Kalian akan menemaniku ke Pakuan baru setelah itu kita berjalan kaki ke Betawi?” ujar Jayaseta kepada para rombongannya.
“Pakuan, Jayaseta?” tanya Kesuma.
“Mengapa kita harus lewat Pakuan yang ke arah Selatan? Kita bisa saja menyusuri pantai utara langsung ke Banten dan kemudian Betawi, ketua,” jawab Mahendra.
“Hmm ... jelaskan padaku lebih lanjut?” tanya Jayaseta.
“Walau kami dari Surabaya, kami sudah melakukan perjalanan dari ujung ke ujung pulau Jawa. Pakuan adalah bekas kotaraja kerajaan Sunda Galuh yang sudah runtuh. Tidak banyak yang bisa kita dapat disana. Memang banyak pepohonan, buah-buahan, dan beberapa jalan sangat bagus karena terbuat dari batu yang ditata dengan baik. Namun rasanya terlalu berputar-putar bila kita harus ke Pakuan. Kita lebih baik langsung ke Banten dahulu dan dari situ Betawi akan jauh lebih dekat,” jelas Sasangka mewakili kedua teman pasangan pendekar belati kembar tiga tersebut.
“Baiklah, kalau itu yang menjadi keputusan kalian. Kita akan ke Banten, toh kalian yang sangat paham dengan pengembaraan.” jawab Jayaseta mantap.
“Kalau begitu, kita siap-siap saja dulu, mungkin engkau dapat berehat barang sejenak selagi kami akan mempersiapkan kapalnya,” ujar Katilapan seakan sekaligus memberikan perintah bagi yang lainnya untuk berkemas-kemas.
Jayaseta tersentak bingung, “Tunggu dulu. Apa maksudmu dengan mempersiapkan kapal, Katilapan?”
“Lha, kita memang akan berangkat menggunakan kapal bukan?” balas sang paman. “Tenang le, walau kita tidak menggunakan kapal besar itu lagi, kami masih memiliki tumpangan ke Banten,” ucapnya seakan mencoba menepiskan keraguan dan kekhawatiran Jayaseta mengenai ketersedian kapal tersebut.
“Benar Jayaseta. Kami memiliki banyak kenalan di setiap pelabuhan di pulau Jawa ini. Kapal yang akan kita naiki nanti mungkin tidak sebesar kapal sebelumnya, namun sanggup membawa kita ke Banten,” ujar Katilapan kembali.
“Apa? Kita akan naik kapal?” ujar Jayaseta terkejut.
“Ya, tentu saja. Kita akan menyusuri pantai utara dan akan sampai lebih cepat dibanding berjalan kaki. Lagipula Banten memang adalah sebuah negeri pelabuhan yang ramai, maka dari itu banyak kapal-kapal yang berlabuh di sana to le,” kembali sang paman menegaskan.
Jayaseta sontak berdiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras, “Tidak, tidak … kita berjalan kaki saja. Kalian tahu aku tidak terbiasa dengan kapal. Aku akan gampang mabuk laut,” jawab Jayaseta dengan gusar. “Aku sudah jengah di tengah laut. Kalian kan yang paham bahwa aku tidak bisa berenang juga,” ujar Jayaseta malu-malu.
***
Dengan susah payah dan melawan rasa mabuk lautnya, Jayaseta ditemani oleh rombongan rekan-rekan barunya akhirnya sampai pula di tujuan. Pelabuhan utama di Kesultanan Banten ini dahulu sempat memiliki luas yang cukup besar sampai ke pelabuhan Sunda Kalapa yang sempat direbut Kesultanan Demak dan dinamakan Jayakarta dimana sekarang berganti nama menjadi Betawi ketika jatuh ke tangan Kompeni Walanda.
Jayaseta tenang sekali karena telah sampai di darat walau epalanya masih terasa puyeng dan tanah yang diinjaknya serasa masih bergoyang-goyang seperti ketika berada di laut. Namun selain perasaan sisa mabuk laut tersebut, ia baik-baik saja. Senang rasanya menyentuh darat lagi.
Menurut cerita para prajurit sahabat barunya tersebut, beragam macam barang dagangan dibawa ke Banten melalui pelabuhan karena ramainya tempat tersebut. Ada padi dan beras dari Jawa bagian tengah dan timur serta Johor, kayu cendana yang wangi dari pulau-pulau Sunda Kecil, pala dan cengkeh dari Maluku, lada dari Lampung, intan dan emas dari Kesultanan Brunei, bahkan barang-barang dari mancanegara seperti sutera dan piring mangkuk dari Cina serta kain-kain indah dan tenunan dari Hindustan.
Ada sebuah wilayah pasar di belakang pelabuhan dan pasar ikan yang dibatasi dengan pagar kayu dan dinding bata dengan pohon-pohon besar dan rindang mengelilingi pagar tersebut. Jayaseta melihat banyak orang-orang Pranggi berdagang di sana. Matanya mencari-cari kedai makan selama di pelabuhan dan di sekitar pasar ini. Dilihatnya pasar tersusun dengan rapi namun tidak cukup tertib. Para pedagang berserakan menggelar tikar di tanah dengan menjual semangka yang besar-besar, mentimun dan kelapa. Di sebelahnya ada para penjual gula dan madu, buncis dan di dekat pagar pasar orang menjejerkan bambu-bambu panjang yang dijual untuk kepentingan perumahan dan bangunan atau perkakas rumah tangga.
Tidak hanya itu, bahkan terdapat banyak kedai yang menjual senjata tajam dan senjata seperti keris, pedang, tombak dan meriam kecil. Ada juga yang menjual barang-barang kesenian indah dari kayu cendana yang harum. Tidak jauh ada pula yang menjual pakaian laki-laki yang dipisahkan dengan para penjual pakaian perempuan. Barulah terlihat kedai rempah-rempah dan obat-obatan yang cukup luas dan besar serta dapat terlihat langsung dari gerbang masuk pasar. Maklum, memang rempah-rempah adalah bahan-bahan perdagangan yang sangat dicari di nusantara maupun mancanegara.
Di sebelah deretan kedai-kedai rempah dan obat-obatan, ada dua buah deretan kedai dimana orang Bengala dan Gujarat menjual perkakas dan alat dari besi yang biasanya digunakan untuk pertanian dan rumah tangga. Kedai-kedai orang Cina terletak jauh di belakang yang juga cukup luas dan terdiri dari banyak deret dimana mereka menjual daging, ayam, ikan, buah-buahan, sayur mayur, lada, bawang merah, beras, bahkan permata.
Jayaseta juga memperhatikan para penduduk Banten di pasar tersebut yang laki-laki rata-rata bertelanjang dada. Mereka mengenakan celana pangsi selutut, kadang celana panjang. Sedangkan orang kaya terlihat dari sabuk besar indahnya yang bertahtakan emas dan permata serta keris yang hulunya dipahat dengan indah. Celana panjang mereka mengerucut ke pergelangan kaki dengan warna-warna yang indah. Begitu juga kain yang mengelilingi pinggang. Mereka berjalan dipayungi oleh pesuruh mereka. Ada pula yang disertai dua atau lebih pengawal pribadi dengan senjata tajam di pinggang mereka.
Jayaseta merasakan perutnya mulai keroncongan, tenggorokannya kering dan badannya butuh tempat yang nyaman untuk rehat sejenak. Rupanya warung-warung makan dan kedai minum berjejer di pasar sedikit jauh dari pelabuhan, pasar ikan dan pasar rempah. Rombongan inipun segera menuju kedai-kedai tersebut.
Sembari berjalan menuju ke salah satu warung yang berjejer rapi tersebut, Jayaseta selalu memperhatikan sekeliling. Ia sangat menikmati perjalanannya ini dan selalu merasa bahagia dapat melihat dunia yang begitu kaya dengan beragam hal.
Jayaseta sendiri memang sudah tidak sabar untuk menuju kota. Ia perlu mencari tempat untuk menginap, membersihkan diri, termasuk mencukur kumis dan jenggot nya yang telah panjang selama berhari-hari di kapal.
Lagipula, bagaimanapun ia tidak mungkin untuk melanjutkan perjalanan lebih jauh bersama rombongannya ini. Ia harus memikirkan rencananya lagi. Tujuan utama adalah tetap menemui kakek Salman untuk menanyakan mengenai racun Kyai Plered yang ada di dalam tubuhnya. Walau syukurnya sampai saat ini, Kyai Plered belum muncul kembali mengganggunya, tetap saja ia perlu mendapat jawaban pasti.
Tak lama mereka sudah makan bersama dengan lahap.
***
Kota Banten sangat riuh dan ramai. Mereka masuk melalui sebuah gerbang indah. Gerbang ini adalah gerbang kota berpagar tembok dari batu bata yang bersiku-siku dengan tebal tujuh telapak tangan.
Tiga pendekar belati dari Surabaya; Sasangka, Kesuma dan Narendra yang sudah kerap ke Banten menjelaskan bahwa pagar tembok sepanjang kota Banten ini mempunyai tiga pintu gerbang, tetapi tidak berengsel maupun berkunci besi, hanya ditutup sebatang palang kayu besar dan dijaga banyak pengawal. Para pengawal ini menggunakan betung atau kayu tebal dan berat yang digunakan untuk memukul orang-orang yang mencari masalah. Betung kayu tebal ini cukup baik ketika digunakan sebagai senjata. Ketika digunakan sebagai penggebuk musuh, awamnya musuh akan terluka berat tapi tidak sampai mati, istilahnya musuh akan dapat diringkus untuk kemudian mempertanggungjawabkan kesalahan yang didapatkan dengan lebih jauh.
Lain halnya bila mereka bersenjatakan pedang atau tombak yang memiliki sisi-sisi tajam dimana orang akan memiliki kesempatan untuk tewas lebih besar akibat luka sayat akibat goresan senjata tajam tersebut. Selain itu, pilihan betung sebagai senjata bisa dikatakan jauh lebih murah, sederhana namun tidak kalah ampuh dibanding senjata lainnya.
Prajurit Kesultanan Banten sendiri dibekali dengan tameng bulat yang besar sampai separuh badan mereka. Tombak panjang juga mereka bawa di tangan kanan mereka. Beberapa pasukan khusus berbedil terlihat berjaga berdua-dua, satu orang sebagai penembak dengan memanggul sebuah senapan atau bedil sundut dengan peluru yang ia selipkan di pinggangnya. Ia juga mempersiapkan api untuk menyalakan senapan. Sedangkan satunya lagi adalah pembantunya yang siap mengisi ulang peluru dengan senapan lainnya. Ada juga pasukan-pasukan dengan tameng dan pedang. Namun bedanya dengan pasukan bertombak, banyak dari pasukan ini mengenakan pakaian pelindung perut, dada dan bahu dengan pakaian berlapis lempengan logam.
Mereka juga menjelaskan bahwa Kesultanan Banten memang memiliki pertahanan yang luar biasa, bahkan sampai ke desa-desa. Setiap kampung dikelilingi oeh pagar berduri demi keamanan. Beragam orang tinggal disana, seperti Melayu, Benggala, Gujarat, Habsyi dan kampung Cina di sebelah barat yang berpagar cerucup. Di kampung Cina banyak orang Walanda, Pranggi, dan Britania Raya tinggal di sana.
Banyak kabar menceritakan bahwa orang-orang berkulit pucat dan berambut pirang tersebut digambarkan memiliki tubuh raksasa yang melampaui tinggi rata-rata orang Jawa atau pribumi. Padalah bila diperhatikan ini tidak terlalu tepat. Sama seperti para bumiputra, orang-orang bule itupun ada yang pendek dan kecil, memang meski tidak sedikit yang memiliki badan jangkung.
Karena kekayaan dan keberagaman Banten yang terlihat inilah yang membuat Mataram tertarik untuk menguasainya. Namun dengan kekuatan yang Banten miliki ini pula, Mataram sampai saat ini masih tak dapat menyentuhnya. Bagaimana tidak, pada tiap siku pagar benteng terdapat sebuah meriam dimana setengahnya bercagak, setengahnya tidak.
Kekuatan pasukan Banten juga dapat dilihat di pelabuhan tadi yang sudah mereka lewati. Angkatan bersenjata laut Banten juga patut diperhitungkan. Kapal-kapal perangnya menyerupai kapal galai dengan dua tiang layar. Serambinya sempit dan merupakan emperan yang mengikuti bagian buritan kapal. Ruangan bawah digunakan untuk para budak dan pengayuh sedangkan para tentara atau prajurit berada di geladak agar lebih leluasa untuk berperang. Empat pucuk meriam ditempatkan di depan.
Ketika masuk kota, Jayaseta melihat di sepanjang tembok terdapat bangunan kayu bertingkat tiga yang indah dan kokoh. Jarak antara dua bangunan kira-kira selemparan batu. Di malam hari sungai dan anak sungai juga dijagai orang yang juga menggunakan betung sebagai senjata mereka. Sungai nya sedalam kira-kira tiga kaki, dimana airnya tenang namun keruh. Ini karena sungai juga dapat menjadi sarana perjalanan melewati air dan musuh dapat saja menyelip ke dalam kota Banten.
Di pusat kota terdapat alun-alun yang cukup luas dengan istana kerajaan di sebelah Selatan. Di bagian timur alun-alun itu terdapat gudang senjata yang dijagai ketat oleh para prajurit. Sedangkan masjid raya ada di sebelah barat dengan tiang kayu yang berukiran indah. Berdinding sasak dan atap ilalang atau rumbia.
Menurut penjelasan ketiga pendekar Surabaya itu mengenai gudang senjata yang adalah salah satu tempat yang paling menarik bagi para pendekar, jawara dan pegembara yang tertarik dengan olah kanuragan seperti mereka dan Jayaseta sendiri, di dalamnya terdapat puluhan sampai ratusan senjata tajam yang digunakan untuk berperang dan sebagai penyimpanan cadangan senjata bagi para prajurit Banten. Mereka akan keluar masuk gudang senjata untuk meminjam senjata yang akan dibawa bertugas atau latihan untuk kemudian diserahkan kembali ke dalam gudang. Catatan yang lengkap dibuat dalam kegiatan ini. Terdapat beragam jenis pedang panjang dan tombak yang khusus digunakan untuk berperang.
Jayaseta paham bahwasanya ada beragam jenis gudang senjata. Ada gudang senjata yang digunakan untuk menyimpan meriam dan bubuk api dimana biasanya juga ditempatkan berbeda dengan gudang-gudang senjata lain karena memiliki cara pemeliharaan yang berebeda pula. Ada gudang senjata yang digunakan untuk menyimpan senjata-senjata pusaka milik kerajaan yang memiliki kekuatan dan kewibawaan khusus sehingga ditempatkan di dekat kraton, sebut saja keris-keris dan tombak-tobak pusaka raja dan pangeran kerajaan.
Jayaseta sadar tombak Kyai Plered adalah jenis senjata pamungkas yang penyimpanannya harus dijaga ketat dan bisa jadi tempat penyimpanannya dirahasiakan. Ada pula gudang senjata umum yang senjatanya berupa senjata-senjata perang besar.
Terdapat beragam tombak dengan beragam bilah atau bagian tajamnya. Jenis bentuk bilah tombak disebut dengan dapur. Untuk gudang senjata di Banten rata-rata adalah bilah tunggal yang lurus atau bener, dan panjang serta lancip seperti dapur Ron Pring, dapur Kudup Teratai, dapur Baru Kuping atau dapur Baru Tropong. Ada beberapa pula yang berbilah banyak seperti dwisula atau trisula. Biasa tombak berbilah banyak itu digunakan untuk menyerang musuh yang bersenjatakan pedang agar dapat mengunci dan melepaskan pedang dari tangan musuh.
Kebanyakan landeyan atau gagang atau pegangan tombak yang terbuat dari kayu memiliki panjang panurung atau lebih untuk keperluan perang besar berhadap-hadapan langsung namun jarak yang lebih jauh daripada pertarungan satu lawan satu. Panjang landeyan panurung adalah panjang dua kali dedeg. Satu dedeg adalah ukuran kira-kira ukuran tinggi manusia dari telapak kaki sampai ujung kepala. Ini adalah ukuran yang cukup panjang untuk sebuah tombak. Jayaseta ingat tombak Kyai Plered yang melukainya menggunakan landeyan sehasta, yaitu hanya sepanjang ujung siku tangan yang ditekuk tegak lurus dengan ujung jari yang direntangakan ke atas, dimana dengan landeyan atau gagang pendek ini membuat pergerakan prajurit selihai Raden Pekik lebih leluasa.
Tidak hanya itu, ada juga tombak-tombak yang luar biasa panjang, disebut dengan landeyan blandaran yang panjangnya tiga kali dedeg! Sangat panjang, yang dari namanya saja bisa dijelaskan bahwa tombak dengan landeyan yang sangat panjang ini biasanya diletakkan di blandar rumah, atau sepotong kayu utama yang besar dan melintang yang gunanya sebagai penyangga atap rumah.
Pembahasan mengenai senjata ini membuat kumpulan para pendekar ini ceria dan bersemangat. Jayaseta pun kemudian memutuskan menginap di sebuah penginapan sederhana namun dengan harga yang cukup mahal. Maklum, ia berada di tengah kota, bahkan dekat dengan alun-alun dan keraton. Tapi toh sekali-kali ia perlu menggunakan uang yang ia bawa dengan pantas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
𝓚ˢᵍⁿ🍁ᗰᗩᕼᗴՏ ʷᵃʳᶦ ❣️
aku lanjut
2023-04-04
0
𝓚ˢᵍⁿ🍁ᗰᗩᕼᗴՏ ʷᵃʳᶦ ❣️
wkwkwk🤣.. mabok laut lagi..
2023-04-03
0
👑👑🅚🅘🅝🅖👑👑
👍👍
2022-07-14
2