Jayaseta dan Kakek Keling berdiri di sebuah bukit tak jauh dari pusat kota Giri di pagi hari yang dinginnya menusuk. Walau tak begitu jauh, namun suasana di tempat itu sangat berbeda. Tenang dan masih rimbun dengan pepohonan.
“Serang aku!” ujar Kakek Keling tiba-tiba.
“Apa maksudmu, kakek?” Jayaseta keheranan melihat sang kakek yang berdiri bertelanjang dada di hadapannya. Sang kakek mengenakan kain yang ia lilitkan di pinggang dan ujungnya di bagian tengah ditarik keatas sehingga kain itu kemudian membentuk celana selutut. Matahari pagi memantul di kulit legamnya.
Jayaseta sendiri yang juga berdiri bertelanjang dada, mengenakan celana selutut dengan seutas tali tersimpul mengikat di pinggangnya. Keduanya sepertinya tidak mengacuhkan udara dingin yang mengambang di udara. Jayaseta baru saja berlatih jurus-jurus silatnya seperti biasa. Kurang lebih setahun penuh sudah Jayaseta berlatih ilmu kanuragan di bawah bimbingan kakek Keling setelah serangan pasukan Mataram dimana ayahnya tewas. Ia berlatih dengan kakek Keling untuk terus menjaga kebugaran dan kegesitan jurus-jurusnya, terutama akibat ia terluka parah lebih dari setahun lalu oleh tombak Kyai Ageng Plered. Nyawanya hampir saja terenggut saat itu bila tidak diselamatkan oleh kakek Keling. Tidak hanya itu, racun dan kutukan tombak pusaka Kyai Plered merasuk ke dalam tubuh dan menggerogoti jiwa nya. Dengan melatih diri, selain mengembangkan ilmu kanuragannya, Jayaseta juga terus mengurung sang racun dalam rajah Nagataksaka nya.
“Coba serang aku,” Kakek Keling kembali mengulangi permintaannya.
“Kakek … aku tahu engkau memiliki kemampuan tenaga dalam yang tidak perlu aku ragukan. Selama ini aku sudah belajar bagaimana cara melempar cakram yang luar biasa dari kakek. Bahkan kakek juga menyelamatkan aku dan membawa tubuh ayah sekaligus serta membunuh pasukan Mataram. Tapi apa maksud kakek menyuruhku untuk menyerang ..?”
Belum selesai Jayaseta berhenti berbicara, sang kakek dengan kecepatan yang tidak disangka-sangka menyerang Jayaseta. Jarak dimana mereka berdiri terpaut cukup jauh, namun sekejap saja sang kakek dapat berlari, kemudian memutar tubuhnya di udara serta melepaskan tendangan ke arah Jayaseta.
Jayaseta kaget, namun berhasil menyilangkan kedua tangannya untuk melindungi wajah dan dadanya.
DUAG!
Tendangan sang kakek begitu kerasnya sehingga membuat Jayaseta terpental kebelakang namun masih berdiri tegak. Tangannya sedikit nyeri. Belum sempat lagi Jayaseta berpikir apa yang sedang terjadi, sang kakek menyerang lagi.
Serangan Kakek Keling sangat unik dimana ia lebih menitikberatkan pada tendangan. Selain itu tendangannya sangat bertenaga, sulit dipercaya melihat umur sang kakek yang mungkin telah mencapai usia enam atau bahkan tujuh puluh tahunan itu. Tubuhnya sangat liat dan lentur, melebihi gerak beladiri Tiongkok ala Hongko, ayah Jayaseta. Jayaseta tak diberi kesempatan untuk menyerang kembali. Jurus-jurus sang kakek berupa tendangan berputar, tendangan sapuan, tendangan samping yang terus merujuk ke bagian-bagian berbahaya tubuh Jayaseta. Jayaseta hanya menghindar, berkelit, dan menangkis tendangan-tendangan itu.
Selama ini Jayaseta cenderung berlatih jurus-jurus yang telah pelajari di bawah bimbingan kakek Keling. Beberapa kali memang mereka pernah adu tanding hanya untuk mengasah kemampuan dan kepekaan Jayaseta. Tapi sang kakek sebenarnya belum pernah menunjukkan kemampuan silatnya yang sebenar-benarnya, apalagi tenaga dalam yang sudah lama diincar Jayaseta yang memang dimiliki sang kakek.
Pelatihan ilmu melempar cakram yang Jayaseta pelajari dari sang kakek memang terus ia tingkatkan, namun Jayaseta tidak menyangka bahwa sang guru juga memiliki ilmu silat dengan jurus-jurusnya yang dahsyat. Jurus-jurus tendangan semacam ini belum pernah ia lihat sebelumnya. Bahkan almarhum ayahandanya yang terkenal memiliki jurus-jurus silat Tiongkok yang juga menekankan kelincahan tubuh juga tidak memiliki tendangan semematikan ini.
Tentu saja ketika sang guru memintanya untuk menyerang ia terkaget-kaget. Bukankah selama ini ia mengenal kakek Keling sebagai pendekar pelempar cakram yang mumpuni dan pemilik ilmu tenaga dalam yang juga sakti. Namun untuk urusan ilmu jurus, ia belum pernah melihat apalagi merasakan dengan langsung. Jangan-jangan sang kakek sengaja menyimpan kemampuan rahasianya ini untuk Jayaseta ketika ia dirasa telah siap? Setahun lebih lamanya.
Bagai badai, tendangan-tendangan Kakek Keling menderu-deru. Kaki telanjang Kakek Keling kadang seperti sebatang kayu keras, kadang seperti seutas tambang yang luwes namun menjerat. Jayaseta tak habis pikir, dari tumit, tepian kaki, punggung kaki, bagian ujung kaki, semua nya menjadi senjata yang dahsyat oleh kakek yang terlihat sudah sangat rapuh ini.
“Jangan pikirkan jurus apa yang akan kau pakai!” ujar sang kakek di sela-sela serangannya. Nampaknya ia berhasil mengetahui pikiran sang cucu yang sedang memikirkan ingin membalas serangan sang kakek dengan jurus apa. Garuda Nglayang, Cakar Macan, Tinju Besi, Cakar Naga, Tinju Delapan Penjuru Angin, atau apa? Mendengar ini, kecerdasan sang pemuda menyeruak muncul ke permukaan.
Jelas bahwasanya sang kakek memang benar adalah guru silat Jayaseta yang baru. Ia ingin mengajari sang murid dengan caranya sendiri. Jayaseta bersorak dalam hati. Ia tak mau ragu lagi menghadapi sang kakek. Ia juga telah mendapatkan pelajaran pertama langsung dari sang guru, yaitu bertarung tanpa terlalu banyak berpikir. Intinya adalah bahwa ketika sedang bertarung, ia hanya harus memusatkan pikiran para pertarungan itu sendiri. Tidak boleh merencanakan serangan macam apa yang harus lontarkan atau jurus apa yang harus ia gunakan.
Jayaseta mundur selangkah untuk menghindar dari serangan sang guru, kemudian menggunakan pukulan lurusnya berkali-kali dengan begitu cepatnya untuk membuyarkan serangan sang kakek. Setelah sang kakek juga terpaksa mundur karena serangan jurus tinju asal Tiongkok tersebut, pertarungan mulai menarik.
Jayaseta benar-benar menunjukkan dirinya sebagai seorang murid yang cerdas. Kali ini serangannya berbalas dengan serangan sang kakek. Ia tidak lagi memikirkan bentuk jurusnya, namun disesuaikan dengan keperluan. Bila saatnya memungkinkan ia menyerang dengan tinju, ia akan serang dengan tinju, namun bila tidak, ia akan menyerang dengan bentuk jurus apapun yang mungkin. Cakar, telapak tangan, sisi telapak tangan, siku, tendangan lurus, berputar atau tangkapan dapat berubah seenaknya.
Jurusnya kini sama sekali tak berbentuk. Ia berubah menjadi seorang pendekar yang semakin aneh dan unik. Bila dulu sewaktu menghadapi lawan-lawannya ia berganti-ganti jurus, dari satu jenis jurus silat ke jurus silat lain, kali ini semua jurus melebur dan ia gunakan suka-suka.
Jayaseta pernah mendengar legenda Jurus Tanpa Bentuk dan Jurus Tanpa Nama yang lama didengarnya di tanah Jawa. Tapi ini sama sekali berbeda. Jurusnya bukan tanpa bentuk, bukan tidak dapat digambarkan, namun memang bukan lagi sebuah jurus. Tidak bisa dikatakan sebagai jurus, tapi adalah usaha untuk menyerang dan bertahan secara alamiah dan naluriah. Semua jurus ia serap, lebur dan menghilang sekaligus. Inilah kelak yang menjadi cikal bakal kesaktiannya yang luar biasa, Jurus Tanpa Jurus! Dengan Jurus Tanpa Jurus, Jayaseta akan menjadi seorang pendekar pilih tanding di pulau Jawa.
Sekian jurus berlalu namun tak tampak Kakek Keling kelelahan, malah Jayaseta yang mulai kedodoran. Bukan karena ia mulai lelah, namun ia baru saja mendapatkan pelajarannya yang pertama. Lagipula ia masih berusaha untuk menyesuaikan gaya dan irama bertarung barunya ini. Hingga sampailah pada saat Jayaseta memutuskan untuk berhenti sejenak, “Berhenti kakek, berhenti dahulu … “
Sayang, sang kakek memang sudah tak terhentikan. Tendangannya berhasil menghantam paha kiri Jayaseta, kemudian kaki kiri sang kakek menghajar pinggang kanan, sekali lagi tendangan lurus ke dada membuat Jayaseta terdorong keras ke belakang, terakhir sang kakek melompat tinggi dan langsung menghujamkan kedua kakinya sekaligus menghujam lagi-lagi ke dada Jayaseta, seperti guntur.
BUG!!!
Jayaseta merasa dadanya seperti dihantam palu raksasa sehingga tidak dapat lagi ia menahan tubuhnya jatuh ke bumi. Namun, sebagai seorang pendekar, ia langsung bangun, mengatur pernafasan dan mundur menjauh sembari mempersiapkan kuda-kuda lagi. Sang kakek sudah siap untuk menyerang, namun sekali lagi Jayaseta berseru sembari mengelu-elus dadanya, “Cukup kek. Cukup pelajarannya hari ini.”
Sang kakek membatalkan serangannya, berdiri tegak – sangat mengherankan sang kakek bahkan belum terlihat bungkuk – kemudian tertawa renyah, “Ha ha ha, bagaimana jurus-jurusku anak muda?”
“Jurus apa itu kek? Aku tak pernah melihat tendangan semacam itu. Apa itu jurus-jurus beladiri dari negara Keling dari mana kakek berasal?” Jayaseta bertanya.
“Ha ha ha,” sang kakek tertawa lagi.
“Beladiri ini disebut Kalarippayattu cucuku. Jenis beladiri yang sudah lama dikenal di negeri Keling, tanah Hindustan atau Jambudwipa. Kalarippayattu sebenarnya adalah istilah yang digunakan sebagai induk dari beragam gaya beladiri dari Jambudwipa bagian Utara. Bahkan menurut cerita yang kudengar dari guruku dahulu, Kalipayattu adalah induk dari jurus-jurus Shaolin dari tanah Tiongkok yang juga mempengaruhi gaya bertarung ayahmu dan sedikit banyak mempengaruhi silat nusantara di masa lalu meski silat kemudian memiliki bentuknya sendiri yang khas,” Kakek Keling mulai bercerita dan membuat Jayaseta mengangguk-angguk. Satu lagi hal yang membuat Jayaseta berdecak kagum adalah ternyata sang kakek juga selain hebat dalam berolah kanuragan juga memiliki pengetahuan yang luas.
“Saat itu agama Wisnu-Shiwa dan Buddha sama seperti di tanah Jawa, memiliki hubungan yang mesra dan saling melengkapi serta menghargai, walau juga melalui pasang surut hubungan.
“Kesalingmelengkapi ini juga ada pada sumbangsih budaya beladiri. Aku sendiri mempelajari Kalarippayattu dari guruku yaitu kakek buyutku sendiri, namun ketika sampai di tanah Jawa, aku juga menemui kehebatan yang luar biasa dari beladiri dari tanah ini.
“Kelenturan otot-otot namun ditambah kecepatan, kelincahan dan kekuatan sangatlah penting dalam jurus-jurusnya. Oleh sebab itu kau dapat merasakan sendiri tendangan-tendanganku. Tapi sebenarnya, jurus-jurus yang tadi kau hadapi bukanlah murni asli Kalarippayattu, namun jurus-jurus ciptaanku sendiri yang ditambah dengan pemusatan tenaga dalam kuno Jawa yang kupelajari langsung dari keturunan ksatria-ksatria keturunan Majapahit. Jurus-jurusku tadi itu kuberi nama Tendangan Guntur dari Selatan.”
Sang kakek menjelaskan bahwa Kalarippayattu yang merupakan silat Jambudwipa di bagian utara ini masih dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu Kaluyartippayattu yang jurus-jurusnya lebih menekankan pada jurus-jurus kaki, dan Kaikuttippayattu yang jurus-jurusnya menekankan pada penggunaan tangan. Masih banyak lagi jenis-jenis bela diri ini seperti Arappukkai atau Tulunadan yang merupakan bagian dari Kaluyartippayattu. Masih ada lagi anak-anak gaya silat ini seperti Vattayanthrippu atau Dronampalli yang mempengaruhi bentuk-bentuk-bentuk lain seperti Paricchakali, Kolkali, Margamkali serta Kambukali dimana semuanya dipelajari di daerah Selatan dari Jambudwipa bagian Utara ini. Sang kakek Keling sendiri adalah pendekar Kalarippayattu dengan aliran Kaluyartippayattu.
Jayaseta tercengang. Sosok tua di hadapannya kini serasa menjulang bagai raksasa. Entah bagaimana kehidupan sang kakek sewaktu masih muda. Sehebat apakah ia? Mengapa orang semacam Kakek Keling hidup di tempat semacam ini dengan keadaan yang jauh dari menonjol. Bukan sebuah kehidupan mahsyur seorang pendekar. Bahkan tidak bisa dibandingkan dengan kakek Husein atau ayahnya yang menempati hidup yang membanggakan sebagai seorang prajurit khusus kerajaan Giri Kedaton. Sebagai seorang yang sakti harusnya Kakek Keling menjadi termahsyur atau paling tidak menjadi orang penting di kerajaan seperti Pangeran Pekik yang sakti misalnya.
“Sekarang, perhatikan gerakanku cucuku,” sang kakek mempersiapkan kuda-kudanya lagi memutuskan lamunan Jayaseta. “Aku tahu engkau memiliki kecerdasan luar biasa dalam mengingat dan meniru gerakan segala jurus.”
Tanpa berlama-lama lagi, sang kakek melepaskan tendangan-tendangan guntur nya. Tendangannya menderu-deru membabat udara kosong, namun malah memperlihatkan betapa bertenaganya tendangan itu. Jayaseta kemudian mengamati dan mulai paham bahwa tendangan sang kakek memiliki kekuatan yang luar biasa dan cepat karena ia memberikan ruang untuk tolakan tendangan tersebut dengan cara berputar di udara, melepaskan tendangan dari kelenturan kaki sehingga dapat mencapai keadaan tolak terjauh yang mungkin. Belum lagi tenaga dalam yang ia miliki.
Sembari berjumpalitan mengumbar jurus-jurusnya, sang kakek berteriak menjelaskan kepada Jayaseta, “Cucuku, lihatlah ini. Di bagian Utara Jambudwipa olah kanuragan ini masih terbagi menjadi bagian Utara dan Selatan. Hiaattt!! Yang ini bernama vazhi, ciri khas bersama Utara dan Selatan. Hanuman vazhi menitikberatkan pada kecepatan,” sang kakek memeragakan beragam tendangan disambil dengan pukulan-pukulan yang luar biasa cepat. Kemudian kedua kakinya menapak ke tanah, pinggul dan bahunya bergerak dengan lincah dan liat.
“Ini bernama Bali vazhi, menggunakan kekuatan lawan dan membalikkannya kepada musuh,” ujarnya kencang. “Dan ini adalah Bhiman vazhi,” ujar sang kakek kembali. Kali ini gerakannya sangat kasar dan keras. Tendangannya bagai badai dan ombak yang menggempur, “Kekuatan tenaga tubuh adalah yang terpenting.”
Melihat hal ini Jayaseta tidak tinggal diam, tubuhnya secara naluriah bergerak meniru jurus-jurus sang guru. Tidak hanya meniru, ia menyerap intisari jurus-jurus itu, meleburnya dan akhirnya menghilangkannya karena intisari yang terserap telah masuk dalam Jurus Tanpa Jurusnya. Segala gerakan sang guru telah dimamah dan menjadi tambahan gerakan naluriah dan alamiahnya, meski ia masih belum dapat mengambil tenaga yang dikeluarkan dari jurus tendangan-tendangan dan pukulan sang guru.
“Ha ha ha … bagus Jayaseta. Sekarang persiapkanlah dirimu! Lawan aku habis-habisan, karena aku tidak akan sungkan-sungkan kali ini,” teriakan sang guru membelah udara dan membuat Jayaseta meregang dan langsung mempersiapkan dirinya. Ia tidak menyangka bahwa sang guru benar-benar ingin melanjutkan pertarungannya.
Bisa dikatakan, inilah pelajaran silat tercepat yang pernah ia alami. Sang guru seakan paham kemampuan Jayaseta dalam menguasai ilmu kanuragan yang telah ia amati selama ini. Namun keterkagetan itu tidak berjalan lama, kuda-kuda Jurus Tanpa Jurus Jayaseta yang baru ia ciptakan dalam benaknya sudah harus ia gunakan secara langsung.
Seperti tadi, sang guru beguling liat di udara dan memberikan tendangan memotong dari langit. Jurus tendangan guntur dari selatan kembali dimulai. Namun tentu saja serangan sang guru kali ini sangat berbeda. Beban tendangannya luar biasa berat karena sang kakek memang benar-benar bersungguh-sungguh kali ini. Jayaseta yang sekarang gerakannya telah dituntun oleh naluri, tetap merasakan betapa hebat udara di sekeliling tendangan sang kakek yang lambat laun malah semakin menjadi.
Jangan-jangan sang guru menambahkan tenaga dalam yang ia pelajari di tanah nusantara ini yang semua ia katakan memang digabungkan dengan jurus-jurus tanah Hindustan. Sebagai akibatnya Jayaseta menjadi harus waspada dan juga lebih bersungguh-sungguh terhadap tendangan-tendangan Kakek Keling yang menderu-deru karena angin yang ditimbulkan ternyata juga memberikan pengaruh yang tidak biasa.
Sebuah tendangan menyamping menggunakan sisi telapak menghujam dada Jayaseta. Ia bergerak ke kiri sedikit, namun sepertinya tendangan itu berlipat-lipat banyaknya sehingga Jayaseta terpaksa menjatuhkan diri dan berguling ke belakang. Jarak mereka menjadi cukup jauh sekarang, ruang dan kesempatan yang terbuka inilah merupakan saatnya Jayaseta untuk menyerang.
Sial! Ternyata sang kakek dapat menebak gerakan sang pendekar muda ini. Sekali lagi sang kakek mematahkan serangan Jayaseta. Pukulannya berhasil ditepis sang kakek sembari menghantamkan telapak tangannya ke dada Jayaseta. Meski satu lengannya berhasil menahan tapak tersebut dengan cara disilangkan di depan dada, dorongan tenaga sang kakek yang begitu dahsyat membuat Jayaseta mundur beberapa langkah dan jatuh terduduk.
Sebelum Jayaseta bangkit, Kakek Keling dengan gerak yang sangat mustahil dengan melihat usianya, sudah melenting ke udara, berputar sedikit dan menghempaskan punggung kakinya ke kepala Jayaseta. Jayaseta kembali berhasil menahan kepala dengan kedua tangannya. Mungkin inilah jurus tendangan guntur dari selatan yang sebenarnya. Tendangan itu terasa sangat berat!
Jayaseta memang bukan pendekar biasa walau masih belia. Setiap tendangan dengan beban yang makin lama makin berat itu masih dapat ditahan, ditangkis atau dihindari, namun kali ini ia sudah dalam keadaan yang terjebak. Tendangan punggung kaki itu kembali menghujam. Dua kali, tiga kali, sampai pertahanan itu jebol dan punggung kaki sang kakek menghajar leher Jayaseta dan membuatnya tersungkur. Jayaseta masih dapat berdiri dengan susah payah. Namun sang kakek tak mau membiarkan Jayaseta bernafas sedikitpun. Ia meluncur sederas ***** dan kembali memberikan sebuah tendangan telah ke dada Jayaseta. Tendangan itu telak tanpa perlindungan sama sekali. Jayaseta terlempar berguling-guling ke belakang sampai lima tombak jauhnya.
Saat itulah sang kakek merasakan hal yang mengejutkan. Tiba-tiba tubuh Jayaseta yang terlempar dan sekarang dalam keadaan terbaring terlentang bergetar hebat. Sang kakek tahu langsung sadar, ini bukan karena Jayaseta terluka karena serangan tendangan guntur dari selatan yang sudah ia tambahkan dengan tenaga dalam, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ia paham bahwa Jayaseta adalah pendekar muda yang sakti. Tendangannya walau hebat tetap tidak semudah itu melumpuhkan Jayaseta.
Tubuh bergetar Jayaseta sekarang ditemani dengan teriakan keras yang memilukan dari mulutnya. Kakek Keling mundur. Ini yang ia takutkan. Sekarang Jayaseta mengangkat tubuhnya. Jayaseta dalam keadaan berlutut, sang kakek dapat melihat dengan jelas tubuh berkulit terang Jayaseta berbanding terbalik dengan luka tusuk di dada bagian kiri Jayaseta yang sekarang menggelap.
Secara ajaib, rajah Nagataksaka seakan mengalirkan darah hitam di sekeliling luka tusukan tombak pusaka Kyai Plered itu. Seakan rajah Nagataksaka bersinar, muncul tercetak dengan jelas melingkupi luka tusuk tersebut. Jayaseta sendiri tiba-tiba merasakan tenaga luar biasa mengalir ke seluruh tubuhnya. Kekuatan dan daya tenaga yang berlipat-lipat meletup di setiap bagian otot-ototnya. Ia merasa seperti seorang dewa. Pandangannya sekarang tajam menusuk ke arah Kakek Keling. Jari-jarinya mengeras membentuk cakar. Ia menggeram. Tak berapa lama ia mencolot dengan tinggi menghujam Kakek Keling.
Kakek Keling langsung mundur dua tombak mengindari serangan cakar Jayaseta yang seperti kalap itu. Jayaseta tentu tidak berhenti, ia terus mengejar sang kakek bagai seekor macan memburu seekor kijang. Serangan Jayaseta masih tidak dapat ditebak, ia masih menggunakan pola Jurus Tanpa Jurus. Namun tenaga dan kecepatannya berlipat-lipat lebih besar. Tentu saja ini membuat sang kakek gentar. Jayaseta sedang kerasukan tenaga racun kutukan tombak Kyai Plered yang sedang berperang dengan Nagataksaka.
Apa boleh buat, Kakek Keling terpaksa mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Serangan Jayaseta menderu-deru. Pukulan bertubi-tubi mengarah ke wajah, leher dan dada Kakek Keling. Sebaliknya selain menangkis dan menghindar, tendangan guntur dari selatan sang kakek juga mengincar bagian-bagian tubuh Jayaseta yang dianggap dapat menghentikan serangannya ini. Namun Jayaseta seperti gila, sehingga tak perlu ditebak lagi bahwa sang kakek pasti akan terdesak.
Ketika sang kakek melompat untuk memberikan tendangannya ke arah samping tubuh Jayaseta, saat itu pulalah sang cucu ikut melompat dan melakukan gerakan yang sama. Namun jauh lebih cepat. Tendangan itu tepat mengenai rusuk sang kakek sehingga ia jatuh berdemum ke bumi. Itu tadi Tendangan Guntur dari Selatan milik sang kakek yang ditiru dengan lebih baik oleh Jayaseta.
Tidak sampai disitu, Jayaseta terus menyerang seperti kesetanan. Sang kakek seperti kehabisan tenaga. Sekarang ia terlihat benar-benar seperti seorang kakek yang sesuai dengan usianya. Satu hantaman Jayaseta menghajar bahu sang kakek, satu tendangan ke paha kanan sang kakek, dan terakhir sebuah tendangan lurus menohok dada sang kakek membuatnya terjengkang.
“Tunggu, cu!” sang kakek berteriak mencoba memberhentikan serangan Jayaseta. Namun Jayaseta sudah benar-benar terasuk setan. Serangannya semakin membabi-buta.
Sembari menghindar dan berkelit dari deruan serangan Jayaseta, sang kakek berseru untuk menyadarkan sang cucu, “Cu, sadar … kekuatan ini bukan dirimu!”
Sang kakek merasa semua ini telah cukup. Ia harus menghentikannya.
Dengan kekuatan yang tersisa, Kakek Keling mengumpulkan tenaga dalam ke kepalan kanannya. Kemudian dengan keadaan yang tepat, ia pukulkan tinju itu ke arah Jayaseta yang masih menyerbu ke arahnya.
BLAR!
Walau tanpa suara, namun tenaga dalam dari tinju itu benar-benar meledak seperti meriam Pranggi. Ledakannya juga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, namun hasilnya jelas. Gelombang tenaga tinju itu menghantam dada Jayaseta. Jayaseta terlonjak kebelakang.
Tenaga terakhir kakek yang sepertinya habis-habisan itu ternyata tidak melukai Jayaseta, hanya membuatnya sedikit terjengkang sedangkan matanya masih menunjukkan kebuasan yang luar biasa. Namun memang hanya ini yang diperlukan sang kakek. Dengan kesempatan ini, sang kakek menggunakannya dengan segera menyerbu ke arah Jayaseta, menampar bekas luka tusuk di dada kiri antara sela-sela tulang iga tepat dibawah jantung.
Tamparan itu bukan sembarang tamparan, tapi dengan rapalan dan tenaga dalam yang memang dipersiapkan oleh Kakek Keling setelah ledakan tenaga dalam sebelumnya. Tamparan ini seperti tepukan di kepala seekor singa untuk membuatnya diam dan menurut. Singa itu adalah raksasa dari tenaga Kyai Plered dan Nagataksaka yang bertarung di dalam tubuh sang murid.
Tak sampai disitu, tamparan itu disertai totokan ke beberapa titik di rajah Nagataksaka. Membuat Jayaseta tersedak dan kaku, “Cucuku, lawan kekuatan itu. Pusatkan tenaga di tiga pusat. Kepala, dada dan perut. Hilangkan tenaga yang bergejolak di seluruh ototmu. Ingat sewaktu pertama kali kau bertarung dengan tenaga racun Kyai Plered sewaktu aku menyelamatkanmu. Kekuatan itu hanya tipuan. Hanya menyedot tenagamu habis-habisan. Kau akan ditinggalkan dengan kehabisan tenaga sama sekali.”
Sebagai seorang pendekar, suara Kakek Keling yang dilapisi tenaga dalam langsung berhasil masuk dan menggugah jiwa Jayaseta yang semula dirasuki kekuatan asing. Badannya yang tadi kaku langsung lemas dan dikeadaankan bersila. Jayaseta menarik nafas panjang, menegakkan punggung. Memusatkan tenaga dalamnya untuk menjinakkan singa yang sedang mengamuk di dalam tubuhnya.
Melihat ini sang kakek pun segera mempersiapkan tenaga dalamnya untuk membantu sang cucu. Tapi kemudian tanpa membuka mata Jayaseta mengangkat satu tangannya dan berkata dengan tenang, “Kakek, jangan habiskan tenagamu. Terimakasih, aku bisa mengatasinya kali ini.”
Sang kakek terduduk di tanah. Terkaget dan kagum karena sang cucu mampu dengan sangat cepat meningkatkan kemampuannya dalam segala hal. Selain itu ia pun merasa semua tenaganya benar-benar sudah tersedot habis.
Tak lama Jayaseta membuka mata. Ia sudah jauh lebih tenang, sang singa telah ditundukkan. Ketika melihat sang kakek terduduk lemah, seketika ia tersadar dan segera ia menghambur, “Kakek, bagaimana keadaanmu?”
“Ha ha ha … kau memang luar biasa cucuku, ha ha ha …”
“Kakek, mengapa malah tertawa? Jangan buat aku khawatir,” Jayaseta bingung dengan perilaku kakeknya ini.
“Ha ha ha … apa kau pikir kakekmu ini akan menjadi gila, hah? Ha ha ha …” sang kakek semakin tertawa geli dan memegang perutnya.
Melihat ini Jayaseta paham apa yang sebenarnya terjadi. Tawa sang kakek adalah perasaan lega bercampur lelah yang luar biasa. Tak bisa ditahan lagi, Jayaseta pun ikut menjatuhkan diri di tanah dan tertawa terbahak-bahak bersama sang kakek, “Ha ha ha ha ha …”.
Tawa kedua guru murid itu sahut menyahut sampai mereka kelelahan dan merebahkan diri di tanah sampai matahari kemudian semakin menanjak dan panasnya mulai terasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
y@y@
🔥👍👍🏻👍🔥
2022-12-02
1
y@y@
🔥👍🏾👍🏿👍🏾🔥
2022-12-02
1
y@y@
🔥👍🏼👍🏻👍🏼🔥
2022-12-02
1