Sena yang tadinya gelagapan sekarang langsung tertawa lega melihat sang musuh tergeletak tak bergerak, “Ha ha ha ha … ****** kau! Mampussss!!” katanya puas.
Pallawa siuman dan langsung melihat tubuh Nata yang kini sudah tak sadarkan diri. Darah terus mengalir dari luka potong di lengannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir rasa pening akibat dihajar sang pendekar bertopeng. Namun ia juga enggan mendekat untuk melihat keadaan temannya yang sekarang tangannya kutung satu tersebut.
Ia malah mengangguk ke arah Sena untuk memberikan isyarat agar mereka berdua mendekat ke arah si pendekar bertopeng yang setengah tertelungkup. Tak ada tanda-tanda kehidupan.
“Mampusss …. Modarrrr ….!” Ujar Sena berulang-ulang.
Kepuasannya tampak berlebih-lebih. Ini karena mereka yakin bahwa orang yang dihadapi ini adalah memang benar pendekar pilih tanding, mungkin memang Pendekar Topeng Seribu adanya. Bagaimana tidak, selain berhasil memapras putus tangan Nata, ia berhasil mengelak dari semua paku yang dilemparkan ke arahnya dengan gesitnya. Bahkan sampai habis persediaan paku beracun Nata, hanya tiga buah paku yang berhasil menancap ke wajah pria muda bertopeng ini. Nata membayangkan bila saja Jayaseta berhasil mendekat tadi, habis sudah ia bakal dihajar habis-habisan dengan.
Sena menggunakan kakinya untuk membalikkan tubuh Jayaseta, namun segera dicegah Pallawa, “Tunggu, Sena! Kita harus tetap berhati-hati. Barangkali ia masih hidup.”
“Apa katamu, Pallawa? Ha ha ha … kau benar-benar ketakutan setengah mati dengan orang ini ya ternyata? Racun kita sangat kuat, cepat dan ganas, sehingga siapapun yang terkena tak akan dapat bertahan hidup lebih dari sepuluh hitungan. Apalagi kau lihat sendiri, wajahnya yang tertancap jarum-jarum sakti kita. Salah sendiri dengan bodohnya ia menantang kita untuk membidik wajahnya. ****** dia sekarang!” ujar Sena masih dengan menggebu-gebu.
Ia pun kembali menggunakan kakinya untuk membalikkan tubuh Jayaseta. Tepat pada saat itulah ia merasakan tulang keringnya berderak. Jayaseta menghajarnya dengan siku dalam keadaan setengah telungkup. Kemudian sama persis dengan gerakan yang ia lakukan di geladak kapal beberapa hari lalu, dengan satu tangannya yang lain untuk menopang tubuhnya, Jayaseta melesatkan dua tendangan ke kedua dagu musuh-musuhnya dengan begitu cepat dan bertenaga.
Akibatnya benar-benar luar biasa, tubuh Sena jatuh menghajar meja-meja jati, sedangkan tubuh Pallawa menabrak dinding gedek warung dan membobol dinding, terlempar ke luar.
Sekarang Jayaseta dapat mendengar dan melihat kerumunan orang sudah menunggu di luar. Jayaseta melepaskan topeng panjinya. Topeng panji berwarna putih bersih itu telah retak di berbagai sisi. Bahkan sebentar lagi sudah akan pecah dan tak bisa terpakai lagi. Tiga buah paku beracun menancap dan merusakkannya namun tak berhasil menyentuh kulit wajahnya.
Memang jurus Jarum Bumi Neraka bukan jurus biasa, bukan sekadar melempar senjata rahasia, namun hasilnya begitu mengerikan. Ia harus mencabut kata-katanya mengenai kehabatan kelompok ini. Jayaseta tadinya cukup kelabakan menghadapi jarum-jarum tersebut. Lemparan mereka begitu mengerikan dan membahayakan banyak orang di luar warung ini.
Untung Jayaseta berhasil menggoda Sena untuk menyerang ke arah wajahnya. Ia sudah berhasil menakar kemampuan lemparan paku-paku tersebut dan memperkirakan jarak yang berbahaya. Ia sengaja memburu Sena dengan maju begitu cepat, sehingga sudah diperkirakan Sena akan keteteran dan menyerang dengan segala usaha dan upaya terakhirnya untuk menghindari serangan Jayaseta. Kata-kata terakhir Jayaseta berhasil menempel di otak Sena sehingga ketika Jayaseta menghambur ke arahnya dengan cepat, Sena akan memusatkan serangan di wajah Jayaseta.
Jayaseta memang pendekar cerdas dan di atas rata-rata, bahkan bagi para pendekar lain sekalipun. Topeng kayunya memang sengaja ia gunakan untuk menyambut paku-paku tersebut. Sebelumnya ia sedikit melonggarkan topeng dari wajahnya agar paku-paku tersebut menancap di topeng tanpa mengenai wajahnya. Ternyata memang tanpa dilonggarkan pun, paku-paku tersebut memang tidak berhasil menggapai wajah Jayaseta walau berhasil merusakkan topeng. Kemudian saatnya ia berpura-pura terkena paku-paku beracun tersebut. Dengan setengah telungkup ia berhasil mendekati kedua musuhnya dan melumpuhkan mereka.
Jayaseta membuang topeng panjinya, melepas ikat kepalanya dan mengenakannya kembali untuk menutupi mulut dan hidungnya sebagai cadar, karena topeng panjinya jelas sudah tidak mungkin dikenakan lagi.
Ia pergi keluar.
Di luar matahari bersinar terang. Banyak orang, perempuan dan laki-laki, bahkan tua dan muda sudah berkerumun. Mereka tidak memperhatikannya. Ada satu pemandangan yang tidak diduga oleh Jayaseta.
Pallawa yang tadi ia hantam membobol dinding warung sekarang sudah berdiri di belakang seorang perempuan muda. Wajah Pallawa yang berlumuran darah muntahannya sendiri tersembunyi di balik wajah si perempuan muda yang begitu ketakutan. Tangan kiri Pallawa melingkar di pinggang sang gadis, sedangkan tangan kanannya memegang paku hitam kelam yang ditempelkan di leher sang gadis.
“Uhuk, uhuk … mundur kau ********! Mundur jauh-jauh kalau tidak ingin perempuan ini mati keracunan kurang dari sepuluh hitungan,” Pallawa mengancam Jayaseta.
Itulah sebabnya perhatian orang-orang tidak tertuju pada Jayaseta, namun melihat ketakutan pada orang yang menyandera salah satu gadis mereka. Sekarang orang-orang dengan wajah campuran antara takut, benci dan memohon saling bergantian menatap Jayaseta dan Pallawa serta gadis itu.
“Apa yang membuat kau merasa aku peduli dengan perempuan itu?” ujar Jayaseta menantang.
“Uhuk, uhuk … ha ha ha .. uhuk, uhuk. Kau adalah Pendekar Topeng Seribu yang tersohor se-Jawadwipa. Pendekar golongan putih yang membantu orang-orang yang dizhalimi. Sudah jelas kau tidak, uhuk … uhuk … mau mengorbankan gadis tak berdosa ini. Dan jangan kau ragukan aku, Pallawa, salah satu anggota kelompok Jarum Bumi Neraka. Aku tak akan ragu menghabisi siapapun yang menghalangi niatku!”
Semua orang berteriak tertahan. Mereka sudah mendengar nama Pendekar Topeng Seribu yang terkenal baik dan membela kaum yang lemah, dan mereka sudah mendengar pula gerombolang Jarum Bumi Neraka yang bengis dan melakukan apapun demi harta dan jabatan kehormatan. Sekarang mereka melihat dengan mata kepala sendiri kedua nama besar itu. Jayaseta makin terbebani manakala berpasang-pasang mata memohon padanya.
“Buka cadarmu, buka penutup mulutmu hai pendekar. Biar aku bisa sekali lagi melihat wajah musuhku yang tidak berdaya ini, ha ha ha ha, uhuk .. uhuk … ha ha ha,” lanjut Pallawa.
Jayaseta tak bisa berbuat apa-apa. Kesalahan besar adalah ia tidak menyerang Pallawa dengan cukup kuat sehingga ia masih hidup.
Sang gadis muda yang ia taksir berumur empat belasan tahun ini sudah benar-benar ketakutan. Air matanya terus membasahi pipinya. Suaranya tak berani keluar, membuat suara tangis dan teriakan yang tertahan. Sang gadis masih terlihat sangat muda dan lemah, Jayaseta tak sampai hati. Bukan karena si gadis memang menarik dan cantik, walau itu ia benarkan, tapi ia adalah orang yang tak berdosa yang sedari tadi sewaktu bertarung telah habis-habisan ia hindari dan cegah.
Jayaseta membuka penutup mulutnya dan membuang kain itu ke tanah. Semua nafas tertahan. Beberapa orang berbisik-bisik mengatakan kepada yang lain bahwa mereka mengaku pernah melihat orang ini di pelabuhan dan pasar beberapa hari yang lalu. Mereka tidak menyangka bahwa ia adalah seorang pendekar yang sakti mandraguna. Beberapa malah berbisik-bisik tanpa malu mengakui ketampanan sang pendekar yang berdiri di depan mereka ini.
Sang gadis sudah semakin ketakutan. Ia adalah benar-benar seorang gadis desa yang sederhana. Ia hanya mengenakan jarit atau kain yang dililitkan ke tubuhnya, tanpa mengenakan sabuk atau perhiasan lain. Bahkan di rambutnya yang tergerai panjang, ia juga tidak menghiasnya dengan barang apapun, sukuntum bunga sekalipun.
Jayaseta tiba-tiba melihat Almira di tangis si gadis.
Sial, pikir Jayaseta. Mengapa ketika melihat seorang gadis yang menangis semua kekuatannya seperti menguap ke udara? Jayaseta sama sekali tidak berkutik.
“Sekarang lepaskan gadis itu dan kau bisa bebas pergi dari sini,” ujar Jayaseta kemudian.
“Ha ha ha ha, uhuk ..uhuk … hoekkk …,” Pallawa memuntahkan darah tepat di samping tubuh sang gadis. Tak pelak sang gadis berteriak-teriak ketakutan.
“Kau pikir setelah melukaiku seperti ini aku semudah itu pergi lari, heh? Bodoh … bodoh! Kebodohanmu itulah yang akan membunuhmu. Terimakasih sudah memperbolehkanku melihat wajahmu sekali lagi sehingga aku ingat bagaimana rupa Pendekar Topeng Seribu yang berhasil kubunuh!”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Pallawa mendorong sang gadis sehingga rubuh menggelosor ke tanah.
Jayaseta sama sekali tidak siap, pikirannya kacau, sehingga ia tak mempersiapkan kemungkinan yang ada. Sedangkan Pallawa sudah membidikkan Jarum Bumi Neraka beracun satu-satunya itu ke tubuh Jayaseta tepat ketika pikirannya terpusat pada sang gadis.
***
“Nama hamba Pratiwi, tuan muda,” ujar si gadis yang berhasil diselamatkan Jayaseta sambil menunduk. Airmatanya sudah habis dihapus. Walau kulitnya hitam manis, wajahnya bersih dan sudah mulai bersinar. Warna merah segar sudah muncul di wajahnya yang dalam keadaan berbahaya tadi gelap dan kelam karena rasa takut yang sangat.
“Adinda tidak apa-apa?” tanya Jayaseta.
Yang dipanggil adinda pun tersipu malu dan melirik Jayaseta sebentar kemudian tersenyum dikulum, “Hamba baik-baik saja tuan muda. Terimakasih sudah menyelamatkan hidup hamba. Hamba tidak tahu harus membahas dengan apa. Hamba hanya hamba sahaya, tidak memiliki harta apapun yang dapat hamba persembahkan bagi tuan muda.”
“Tidak perlu adinda. Adinda Pratiwi sudah berhasil terselamatkan saja aku sudah senang,” jawab Jayaseta.
Jayaseta yakin bahwa gadis yang bernama Pratiwi ini memang usianya lebih muda dari dirinya. Itulah sebabnya mengapa ia memanggilnya adinda. Namun tanpa dirasakan dan diketahui Jayaseta, Pratiwi merasakan gejolak luar biasa di dalam dadanya. Bergemuruh bagai ombak yang menerpa bebatuan karang. Hampir saja Pratiwi pingsan dibuatnya, Apalagi ketika wajah Jayaseta begitu dekat dengannya untuk menanyakan keadaannya.
Pratiwi begitu lega karena nyawanya berhasil diselamatkan. Padahal sebenarnya yang menyelamatkan toh bukan benar-benar Jayaseta. Tepat ketika Jayaseta kehilangan pemusatan pikirannya dan Pallawa siap melesatkan paku beracunnya, bilah melengkung ginunting menembus dada Sena dari belakang. Bilah pedang yang berbentuk seperti paruh burung tersebut melesak masuk menembus daging dan tulang Sena dan membuatnya mendelik terkejut sekaligus kesakitan tiada terperi.
Jayaseta tak kalah kagetnya. Ginunting yang ia kenal dengan baik milik Katilapan memang berada di tangan sang empunya yang entah kapan dalam waktu yang sangat menentukan berhasil melesakkan senjatanya ke dada sang lawan sebelum Sena melemparkan paku terakhir itu ke arah Jayaseta. Jayaseta walau sebagai seorang pendekar muda pilih tanding juga tidak bisa tidak pasti memiliki banyak kelemahan. Harusnya ia selalu awas ketika sedang lawan tanding dengan musuh, apalagi musuh yang berniat membinasakannya.
Namun apa daya, seorang perempuan muda, korban yang tidak bersalah menjadi taruhannya. Sebagai hasilnya, pikirannya pun tidak lagi terpusat dan ia menjadi lengah. Kedatangan Katilapan yang tiba-tiba berhasil menyelamatkan nyawanya.
Kedua mata Sena yang membeliak lebar menatap beringas kepada Pratiwi. Jayaseta kembali awas, barangkali di ambang kematiannya, sudah tidak mungkin untuk menyerang Jayaseta. Sena dapat saja berpikiran untuk sekalian membunuh perempuan muda tak berdosa itu sekadar untuk melimpahkan kemarahan dan kekecewaannya karena gagal membunuh Jayaseta. Dengan membunuh korban yang berusaha Jayaseta lindungi mungkin dapat membuatnya tenang walau harus pergi ke neraka sekalipun.
Tentu saja Jayaseta tidak dapat tinggal diam. Katilapan dan ginunting nya yang menembus tubuh Sena ternyata masih tak dapat membungkam Sena selamanya maka Jayaseta pun menghambur maju bagai burung alap-alap. Ia merenggut tangan kanan Sena yang masih menggenggam erat paku beracun Jarum Bumi Neraka, kemudian memelintir lengan itu dan menancapkan paku tersebut ke mata kiri Sena, melesakkannya dalam-dalam di sana. Sena tak sempat berteriak, tusukan ginunting dan racun dari pakunya sendiri kali ini benar-benar mengirimnya ke alam baka kurang dari sepuluh hitungan.
Setelah itu Jayaseta menarik nafas lega. Tidak ada perasaan apapun di dalam hatinya selain perasaan tenang karena Pratiwi berhasil terselamatkan. Tidak ada orang tak bersalah yang menjadi korban hari ini walaupun didapati kemudian Nata yang tangannya telah kutung sebelah berhasil ditatih Pallawa diam-diam melarikan diri meninggalkan medan pertarungan yang mereka yakin tidak mungkin dimenangkan. Sedangkan Katilapan berdiri disamping rekan-rekannya setelah mengelap darah dari ginunting nya. Semua anggota prajurit tukang pukul bayaran yang berada di kapal bersamanya tertawa sumringah.
“Nampaknya kita masih berjodoh, Jayaseta,” ujar Karsan yang kini telah berbusana yang mencirikannya sebagai orang dari tanah Melayu, sarung melilit di pinggangnya, selembar baju sutra hijau dan tentu saja ikat kepala tinggi. Sedangkan busur bambu pendeknya tersampir di pinggang kiri bersama dengan anak-anak panahnya.
Jayaseta menggelengkan kepalanya kemudian tersenyum, “Terimakasih kakang-kakang sekalian, terutama kau kakang Katilapan karena sudah menyelamatkan nyawaku.”
Yang disebut namanya juga menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata dengan sungguh-sungguh, “Itu sama sekali bukan bantuan, Jayaseta. Engkau sendiri pun dapat menyelesaikan pertarungan ini. Aku hanya gemas melihat orang dungu yang menggunakan perempuan dan orang-orang tak berdosa sebagai tameng. Aku benci pengecut semacam itu.” Keakraban kilat yang terjadi di atas geladak kapal beberapa waktu, sudah membuat para anggota prajurit tersebut memanggil Jayaseta dengan namanya, tidak lagi dengan sebutan pendekar, kisanak atau anak muda.
Jayaseta kembali tersenyum, mengangguk kepada Badra pamannya dan semua anggota para prajurit tukang pukul kapal yang kini berada di darat bersamanya.
“Apa yang kalian lakukan disini?” tanya Jayaseta tidak dapat menahan rasa penasaran dan terkejutnya.
“Sudah kukatakan bahwa kita masih berjodoh,” ujar Karsan sembari tersenyum.
“Kami memutuskan untuk ikut turun sebentar ke darat, le,” ujar Badra sang paman.
“Ya, sebenarnya kami yang penasaran dengan apa yang bakal terjadi dan bagaimana kau memberi pelajaran pada orang-orang kurang ajar yang membuatmu terkatung-katung di lautan, Jayaseta ... Hahaha ..., ” sambung Narendra sang pendekar tombak trisula pendek.
Tiba-tiba Pratiwi menyela, “Tuan muda, hamba mohon tuan muda dapat menerima barang sekadarnya dari hamba. Hamba sadar ini bukan seberapa, namun hanya ini yang hamba miliki,” Pratiwi menyerahkan selembar kain berwarna putih gading. Sandang ini sangat sederhana, namun melihat nasib pakaian dan buntalan kulitnya, Jayaseta mau tidak mau merasa lega dan berterimakasih.
Beberapa waktu yang lalu Jayaseta dan rombongan membongkar-bongkar kedai makan milik ketiga kelompok Jarum Bumi Neraka, Jayaseta tidak dapat menemukan tas buntal kulit miliknya serta pakaian yang ada di dalamnya. Mungkin benda-benda itu tidak dianggap berguna, sama seperti topeng-topengnya. Sedangkan uang kepengan emas dan perak, Jayaseta sengaja mengambil saja langsung dari simpanan uang-uang milik warung tersebut. Ia menghitung sampai pas sejumlah uang yang ia miliki, tidak kurang, tidak lebih. Jayaseta kemudian juga mengmbil tiga buah cakram miliknya dan sudah ia simpan kembali di atas kepalanya.
Jayaseta senang dengan selembar kain sederhana yang diberikan Pratiwi. Ia memerlukannya untuk perjalanan panjangnya. Kain putih gading tersebut ia lingkarkan di lehernya untuk menutupi bagian dada. Di dalam perjalanan kelak, selembar sandang itu sangat berguna untuk melindunginya dari sinar matahari yang menyengat atau dingin yang menggigit. Kadang Jayaseta hanya melingkarkan kain itu di pinggangnya untuk memudahkannya bergerak, terutama bila harus kembali menggunakan kemampuan silatnya menghadapi lawan-lawanya.
Pratiwi tersenyum malu-malu melihat Jayaseta yang sekarang semakin tampan dan gagah, walau hanya selembar kain menutupi dadanya. Ia berharap Jayaseta dapat mengenangnya terus dalam perjalanannya, hingga bila suatu kala dapat bertemu bila jodoh memungkinkan.
Pratiwi telah menjelaskan panjang lebar bahwasanya ia berasal dari desa di dekat sini yang mencari penghidupan dengan berjualan kain di pasar. Ia hanya tinggal berdua dengan sang ibunda yang juga harus mencari penghidupan dengan bekerja di tempat lain. Tidak ada kejadian menarik apapun yang terjadi hari ini sampai ia hampir terbunuh bila tidak diselamatkan Jayaseta dan rombongannya. Cukup mengherankan bagi Jayaseta, untuk seorang penjual kain, Pratiwi termasuk orang yang sederhana dilihat dari sandang yang ia kenakan. Mungkin kesederhanaan itulah yang membuat Pratiwi menjadi seorang gadis yang menarik di mata Jayaseta.
“Terimakasih adinda Pratiwi. Aku akan melanjutkan perjalanan. Bila suatu kali aku bertemu dengan adinda kembali, aku tidak akan lupa kebaikan yang telah adinda berikan,” ujar Jayaseta sembari tersenyum. Pratiwi kembali tersenyum simpul, kemudian menghaturkan sembah sekali lagi kepada Jayaseta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
akp
cie habis Almira sekarang Pratiwi suit suit
2022-06-02
2
Oed Jank
Salam kenal kisanak..
Ijinkan sy menjadi pembaca kisah mu... 🙏
Oya, yang dilempar keluar kedai oleh Jayaseta,
Pallawa atau Sena ya?
2022-05-16
2
Sis Fauzi
best novel
2022-02-02
2