“Keparat! Apa yang kalian lakukan berlama-lama dengan orang ini?” teriak Pangeran Pekik, suami dari Ratu Pandhansari. Keduanya dikenal sebagai sejoli sakti pemimpin pasukan Surabaya dan Mataram itu datang bersama rombongan pasukan Mataram lain. Mereka ternyata telah berhasil mengalahkan perlawanan Giri Kedaton.
Pangeran Pekik adalah putra Raja Tegal Arum dari Surabaya. Sebelumnya Kerajaan Surabaya ditaklukkan oleh Mataram, tetapi hubungan Pangeran Pekik dan kerajaan Mataram menjadi sebuah hubungan kekerabatan karena pada tahun 1630 Masehi, adik sang raja, Ratu Pandhansari dinikahkan dengan Pangeran Pekik. Perintah raja Mataram untuk menumpas pemberontakan Giri Kedaton langsung ia lakukan, terlebih sang istri juga tidak tanggung-tanggung ikut terjun bersamanya.
Pasukan Mataram yang berbaris di belakang sang Pangeran adalah pasukan-pasukan tangguh. Memang beberapa diantaranya ternyata tewas juga di tangan si manusia bertopeng ini. Inilah yang membuat Pangeran Pekik murka karena peperangan telah usai, namun masih sempat-sempatnya menghabiskan waktu dan nyawa menghadapi satu orang ini saja.
Ratu Pandhansari dengan senapan lontaknya sudah kembali bersiap di samping sang Pangeran, sedangkan pasukan Mataram dan Surabaya yang berbaris di belakang Pangeran dan Ratu, termasuk beberapa orang prajurit perempuan pembantunya yang bertugas mengisi peluru, juga langsung bersiap-siap menunggu perintah untuk menyerang si manusia bertopeng serta menghabisinya.
“Ampun Kanjeng Pangeran. Ampuni kami karena bermain-main dan menyepelekan orang ini. Di balik topeng itu, ia adalah seorang bocah remaja yang masih bau kencur, tapi kami sama sekali tidak menyadari kehebatan ilmu kanuragannya sehingga kami tertipu dan kurang awas,” ujar salah satu prajurit yang mundur karena kesulitan menghadapi sepak terjang Jayaseta.
Pangen Pekik memperhatikan Jayaseta yang mengenakan topeng Panji dengan seksama. Ia tidak dapat melihat wajahnya, tidak tahu bagaimana raut wajah dan perasaan sang sosok bertopeng itu. Jayaseta sendiri perlahan mulai mencoba berdiri. Nampak sedikit kepayahan, namun tidak terdengar keluhan keluar dari balik topeng itu. Ya, topeng itu yang menutupi semuanya.
Pangen Pekik menimbang-nimbang laporan sang prajurit. Apa benar sehebat itu orang ini. Apalagi bila memang si sosok ternyata masih sangat belia. Apa masih ada Endrasena lainnya?
Pangeran Pekik adalah sosok yang gagah. Tubuhnya tidak besar, namun nampak sekali hawa kesaktian dan wibawanya. Sebagai seorang Pangeran, ia dikenal dengan julukan Gagak Emprit. Julukan ini jelas menunjukkan jati dirinya karena Gagak Emprit bermakna orang yang memiliki derajat tinggi namun tetap dapat menyatu dengan rakyatnya. Tak heran, selain berwibawa dan sakti mandraguna, sang Pangeran juga dikenal memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Walau tegas, ia juga dapat memahami keresahan masyarakat dan para kawulanya.
Di sabuknya terselip sebuah keris di bagian kiri serta pedang suduk, sebuah pedang pendek yang penggunaannya lebih untuk menusuk dibanding membabat di sebelah kanannya. Sedangkan, di tangan kanan ia menggenggam sebuah tombak pendek yang berbeda dengan tombak prajurit-prajurit Mataram dan Surabaya di belakangnya. Tombak ini memiliki gagang yang pendek biasa digunakan untuk pertarungan satu lawan satu di dataran karena lebih mudah digunakan di banding tombak yang lebih panjang. Tombak panjang biasa dipakai oleh pasukan berkuda, atau prajurit darat dalam perang besar. Namun, semua pasukan baik dari Surabaya, Mataram maupun Giri pasti meregang ototnya ketika mendengar bahwa tombak di tangan kanan sang Pangeran adalah tombak sakti bertuah miliki kerajaan Mataram, tombak Kanjeng Kyai Ageng Plered.
Pangeran Pekik beradu pandang dengan sang garwa, istrinya, sang Ratu yang walau berparas cantik namun dilihat dari busana yang dikenakannya dan kuda-kudanya, menunjukkan kesaktian dan keberanian yang sama hebatnya dengan sang pasangan. Seperti paham apa yang dimaksud sang suami, Ratu Pandhansari mengangguk, mundur sedikit dan menyampirkan senapan lontak di sampingnya.
Senapan lontak yang digunakan oleh sang ratu adalah sebuah jenis senapan yang hanya dapat ditembakkan sekali kemudian baru bisa digunakan lagi setelah diisi dengan ***** timah panas dan bubuk api melalui moncong laras senapan. ***** bolah timah tersebut dimasukkan melalui moncong senapan dengan kain katun untuk pengapian senapan lontak dan kemudian didorong masuk dengan tongkat pelontak. Oleh sebab itu, agar setiap serangan daat dilakukan dengan cepat tanpa membuang banyak waktu, sang ratu memiliki beberapa orang juru pengisi ***** yang bertugas mengisikan ***** dan membawa cadangan senapan lain yang dapat berjumlah empat sampai lima buah. Senapan lontak ini dapat memuntahkan pelornya dengan beragam cara, misalnya dengan kancing roda atau kancing batu api yang meledakkan bubuk api sehingga ***** dapat melaju dengan kencang. Senapan lontak juga dikenal dengan istilah istinggar dalam bahasa Melayu.
Pangeran Pekik berteriak kepada para prajuritnya, “Prajurit! Lemparkan tamengmu ke arahku!”
Para prajurit saling pandang, namun tidak lama. Mereka sadar bahwa sang Pangeran sedang ingin bertarung satu lawan satu, ingin menjajal kemampuan Jayaseta, si remaja bertopeng itu.
“Namun ampun Paduka … biarkan kami saja yang menghadapi orang itu. Biar kami segera bereskan. Paduka tidak perlu berepot-repot untuk …”
Sang prajurit terdiam, ketika Pangeran menatapnya dengan pandangan yang membuat jantung mencelot. Sang prajurit pun tidak dapat berkata-kata lagi selain memberikan isyarat kepada salah satu prajurit untuk melemparkan tameng mereka. Ia langsung memberikan tameng itu kepada sang Pangeran sembari menunduk, “Sendika dawuh Kanjeng Pangeran.”
Toh pikir sang prajurit, si belia bertopeng itu telah terluka karena ditembak kakinya. Ratu Pandhansari pun dapat membidik bilamana sesuatu yang tidak terduga mungkin terjadi. Yang paling ia sesalkan adalah bahwa ia terdengar meragukan kesaktian sang Pangeran yang dikenal mumpuni. Apalagi tombak Kyai Plered ada di tangan kanannya.
Sekarang Pangeran Pekik telah memegang tameng di tangan kirinya. Tameng milik pasukan Mataram ini serupa dengan pasukan Parsi atau Jambudwipa yang berbentuk bulat kecil, terbuat dari rotan yang dilapisi dengan kain, kulit serta lempengan logam ringan. Sang Pangeran tidak sabar ingin mencoba kemampuan sosok yang baru sejenak tadi telah membunuh beberapa orang prajuritnya.
“Mereka mengatakan engkau masih muda namun sakti karena berhasil membuat para prajurit tangguhku kepayahan. Bila memang seperti itu, berdiri anak muda. Angkat kedua pedangmu. Biar kujajal sabetanmu,” Pangeran Pekik berbicara dengan sosok bertopeng itu yang kemudian berdiri dan sepertinya menyambut tawaran sang Pangeran. Pangeran Pekik tersenyum dan secara tiba-tiba dengan cepat berlari berkelok-kelok dengan cepat ke arah Jayaseta, melompat dan menusukkan tombak Kyai Plerednya.
Jayaseta cukup kaget karena sekarang yang ia hadapi adalah tokoh besar di Surabaya dan Mataram dan secara kanuragan juga bukan orang sembarangan. Ia menghindar dengan berguling ke samping. Perih luka ***** di kakinya merebak. Namun sudah tidak ada waktunya untuk memedulikannya lagi. Tusukan pertama Pangeran Pekik terhindarkan.
Tapi tentu ini tidak berhenti begitu saja. Pangeran Pekik mementalkan tubuhnya lagi dan menyerang kepala Jayaseta. Gerakannya ini luar biasa cepat dan bertenaga yang membuat Jayaseta mau tak mau berguling jauh ke belakang sampai hampir dua tombak jauhnya. Jayaseta sekarang berhadapan langsung dengan seorang pendekar sekelas ayah, kakek atau guru-guru silat di padepokan Giri. Pangeran Pekik bukan begundal jalanan yang biasa ia hadapi atau prajurit kerajaan lain yang telah berhasil ia bunuh. Namun ia sendiri tak mau merasa terdesak, apalagi nyeri kakinya terus menyerang karena tertembus timah panas. Bila ini dibiarkan sebentar saja ia akan tertusuk tombak sakti itu. Jayaseta memutuskan untuk balik menyerang.
Dengan semua jurus gabungan yang ia kuasai, dalam sekali gerak kedua pedang berputar membacok dan membabat ke arah lawan. Sang Pangeran dengan gesit dan lincah menahan serangan balasan Jayaseta ini dengan tamengnya. Jian dan shamsir beradu dengan logam di tameng sang Pangeran dan menciptakan percikan-percikan api karena hebatnya tenaga yang dilontarkan.
Pangeran Pekik meloncat sedikit ke belakang dan menyerang kembali dengan sedikit menyerong dan menunduk. Langkah-langkah Pangeran Pekik ini seperti kijang yang meloncat-loncat dengan gesit, namun dahsyatnya serangannya bak banteng yang menyeruduk dengan buasnya. Tombak Kyai Plered kemudian menderu mencari titik-titik lemah musuh. Satu tusukan mengarah ke perut Jayaseta. Jayaseta awas dengan serangan ini memutarkan tubuhnya sembari memutarkan pula shamsirnya untuk melindungi tubuh bagian bawahnya. Namun dengan gesit dan lincahnya Pangeran Pekik memutarkan tombak Kyai Plered menghindari kedua senjata beradu.
Setelah tombak Kyai Plered diputar, dua kali tusukan kilat menyasar ke leher dan kepala Jayaseta. Kedua serangan inipun berhasil dihindari Jayaseta dengan kibasan shamsir dan jiannya. Tusukan-tusukan cepat itu memang dilakukan sang Pangeran untuk membongkar pertahanan Jayaseta dengan kedua pedangnya.
Pertarungan terlihat berjalan sangat seru. Para prajurit terkagum dengan kemampuan sang junjungan namun juga menarik minat serta penasaran dengan siapa orang di balik topeng tersebut. Diam-diam pula, prajurit yang tadi sempat bertarung dengan Jayaseta merasa lega karena orang yang mereka lawan tadi ternyata memang orang sakti. Mereka beruntung karena tidak sempat tewas dibabat pedang ganda Jayaseta.
***
Sayangnya setelah beberapa saat pertarungan seru ini berjalan, beberapa prajurit mulai resah. Sudah lebih dari sepuluh tusukan tombak Pangeran Pekik dan lebih banyak lagi sabetan kedua pedang si pendekar bertopeng sama-sama tidak mengenai sasaran. Hindaran dan jurus-jurus gesit kedua petarung menciptakan sebuah tontonan yang hampir seperti sebuah pertunjukan, bukannya pertarungan hidup dan mati. Bagaimana tidak, bukannya menyepelekan sang Pangeran, namun si sosok bertopeng walau tertembus peluru di kakinya masih mampu mengimbangi lawan yang berilmu tinggi, yaitu junjungan mereka. Bagaimana bila sang Pangeran tanpa sengaja terluka? Keragu-raguan dan kekhawatiran beberapa orang prajurit mulai unjuk ke permukaan.
Gerakan sang bocah bertopeng sekarang mulai terlihat. Serangan-serangannya yang sepertinya tak terencana sudah mulai membahayakan karena menyasar ke bagian-bagian penting tubuh sang Pangeran. Walau Pangeran Pekik belum terlihat kepayahan, pertarungan ini terlalu lama bagi sebuah pertempuran besar, dimana kemenangan sudah di tangan pasukan Surabaya dan Mataram. Ini seakan berkebalikan dengan apa yang dikatangan Pangeran Pekik sendiri karena ia sendiri lah yang menghabiskan waktu berlama-lama dengan seorang bocah yang tersisa. Sayangnya memang pertarungan satu lawan satu ini belum memiliki akhir yang pasti.
Tiba-tiba SLEP!
Sebuah anak panah melesat menancap tepat di bahu kanan Jayaseta. Kuda-kuda dan serangannya seketika berantakan ketika rasa sakit menyeruak. Lucunya, Pangeran Pekik tak tahu bahwa ada sebatang anak panah menacap di bahu kanan sang lawan. Demi melihat pertahanan lawan yang terbuka dan gerak yang kedodoran Pengeran Pekik melihat ruang terbuka dalam pertahanan Jayaseta dan tanpa membuang kesempatan ini merangsek maju secepat kilat dan langsung menusukkan tombak Kyai Plered ke dada kiri Jayaseta.
Bilah tombak menembus miring sampai ke punggung Jayaseta melewati ruas-ruas tulang iganya, hampir mengenai jantung. Kedua pedang Jayaseta terlepas dari tangannya.
Kepuasan yang sempat muncul di wajah sang Pengeran pudar ketika melihat anak panah menancap di bahu lawannya. Dengan secepat kilat langsung mencabut tombaknya dan melihat pemuda bertopeng itu jatuh berdemum ke bumi dan darah menyembur dari luka tusukannya.
“Siapa yang berani kurang ajar mengganggu pertarunganku?!” teriak sang Pangeran dengan geramnya, “siapa si dungu itu?!” tambahnya sembari memandang berkeliling dengan mata berkilat murka. Harga diri sang Pangeran terusik karena seseorang dengan lancang meremehkan kemampuan tarungnya dan mengganggu jalannya pertandingan satu lawan satu tersebut.
Ratu Pandhansari yang juga terkaget dengan kejadian ini dan juga langsung melihat sekeliling mencari prajurit yang berani-beraninya bertindak tanpa perintah darinya ataupun Pangeran Pekik. Sang pemanah sendiri kini didapati berdiri sendiri dengan bingung sedangkan prajurit lain menjauh darinya. Bila dilihat dengan seksama, sang prajurit pemanah jelas adalah seorang pemanah mumpuni. Ia sanggup membidik Jayaseta dan mengenai bahunya ketika Jayaseta sedang bergerak-gerak dengan lincah. Sayang, apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya sehingga berani bertindak sendiri, dengan lancang pula.
“Jatuhkan busurmu, prajurit!” perintah sang Srikandi sembari berjalan cepat ke arah prajurit tersebut.
Tersadar akan perbuatannya dan mengetahui apa yang akan terjadi, menghadapi kemurkaan sang Ratu, si prajurit pemanah ini kemudian melepaskan busurnya begitu saja dan hendak menyembah, “Ampun Ratu ….”
Belum sempat kata-katanya selasai dan tubuhnya berlutut ke tanah, sang Ratu sudah menghajar dagunya dengan gagang bedil. Sang prajurit mendongak karena hantaman yang keras. Tidak sampai disitu, ketika sang prajurit terdongak sang Ratu kemudian dengan cepat menyodok dadanya dengan ujung senapan sehingga tubuh sang prajurit jatuh ke bumi dengan keadaan terbaring dan tak sadarkan diri. Sebuah pelajaran yang berharga bagi prajurit lain yang kemudian menunduk melihat peristiwa ini.
Melihat sang pelaku mendapatkan ganjaran dari garwanya, amarah Pangeran Pekik pun teredam. Ia kemudian menatap sosok yang terbaring lemah di hadapannya. Ia membungkuk, membuka topeng Panji yang dikenakan sang sosok. Terkejut kerena benarlah adanya bahwa lawannya tadi hanyalah seorang remaja belia. Usianya mungkin tak lebih dari lima belas tahun, masih di bawah rata-rata usia para prajuritnya yang berusia awal dua puluh sampai tiga puluhan.
Sang Pangeran berdiri, menarik nafas dan memberikan perintah pada prajuritnya, “Kita kembali ke Mataram. Giri sudah kita taklukkan, tapi berikan pemakaman yang layak bagi orang-orang yang sudah bertempur dengan luar biasa, terutama anak yang hebat ini. Mungkin yang kalian bunuh salah satunya adalah kerabatnya, mungkin pula ayahnya. Itu sebabnya ia bertempur dengan semangat besar dan membara.”
Setelah memberikan perintah, Pangeran Pekik meninggalkan medan peperangan itu dengan langkah tegapnya diikuti sang Ratu, pengawal dengan bedil atau senapan lontak mereka dan beberapa pasukan lainnya. Sisanya tinggal untuk melaksanakan titah sang pemimpin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
y@y@
🔥👍🏻👍🏿👍🏻🔥
2022-11-26
2
y@y@
🔥👍🏾👍🏼👍🏾🔥
2022-11-26
2
🍭ͪ ͩ𝓚ˢᵍⁿAnny1 😘
semakin seru nih 🤭🤭🤭🤭🤭
2022-10-27
2