Pasukan yang tercengang melihat kejadian ini tidak berdiam diri terlalu lama karena sang pemimpin, si gembil berhidung mancung sudah berteriak-teriak memerintahkan mereka untuk menyerang sang pendekar yang dengan cara yang tidak dapat dipercaya berhasil membuat jago Kali dari Bisaya terkapar tak sadarkan diri, “Ayo serang dia, dungu! Tunggu apa lagi, heh?! Pukuli dengan rotan kalian sampai dia ****** jadi bubur. Bisa-bisanya kalian kalah dengan pecundang mabuk laut itu,” perintahnya dengan penuh amarah kepada para anak buahnya.
Sebentar saja Jayaseta kembali dikepung. Sudah banyak pelajaran yang ia ambil hari ini. Rasa kesalnya karena ditipu oleh penjual makanan di kedai di pelabuhan Cerbon sementara harus ia tahan dahulu. Nyawanya sedang berada di ujung tanduk.
Mengalahkan Katilapan membawa ia ke taraf selanjutnya dalam pertarungan ini. Ia harus mengalahkan semua pengeroyoknya yang masih bersenjata rotan. Bila ia berhasil mereka hajar, tubuhnya akan merasakan siksaan yang jauh lebih besar dibanding langsung terbelah oleh pedang atau mati tertusuk keris tepat di jantung.
Ia acuhkan rasa mual di perutnya sekaligus pusing yang masih menggedor-gedor ruang kepalanya. Ombak yang menghantam kapal membuat kakinya goyah. Mau tidak mau ia harus memperkuat kuda-kudanya dan melemaskan semua otot-ototnya untuk menggunakan semua yang ada menjadi sebuah keuntungan baginya.
Jayaseta mengetahui sekarang dengan pasti bahwa tendangan bukanlah gerak serang yang tepat digunakan di atas sebuah kapal yang sedang melaju. Keseimbangan tubuh akan menjadi korban bila ia memusatkan serangan pada tendangan, tak peduli seberapa ampuh tendangan itu. Sebaliknya ia merendahkan kuda-kudanya, berjalan pendek-pendek, berputar, berguling dan menyerang dengan kedua tangannya yang memegang rotan dengan bertumpu pada kecepatan. Itulah yang ia lakukan.
Tiga prajurit yang tadi menggunakan belati menyerang Jayaseta seperti rantai besi. Bergiliran namun dilakukan sangat cepat sehingga setiap serangan seperti berkali-kali lipat. Sang pemanah dari tanah Melayu melompat-lompat membabat ke arah kepala Jayaseta. Sedangkan satu prajurit yang tadinya memegang tameng menusukkan rotannya ke arah dada Jayaseta.
Serangan-serangan mereka yang cepat dengan kuda-kuda rendah dan serangan menunduk sudah berhasil dikuasai Jayaseta pula. Yang terjadi adalah bahwa pertempuran ini dapat berjalan dengan panjang dan seru. Hanya saja Jayaseta tidak memandang demikian. Sebuah pertarungan bukanlah tempat untuk ajang pamer jurus. Sudah cukup waktu ia habiskan menghadapi Katilapan. Semakin jauh ia dari daratan, semakin resah pula jiwanya. Pendekar sehebat Jayaseta juka dapat merasa gelisah dan ketakutan. Sudah saatnya ia selesaikan pertarungan ini.
Serangan berantai tiga serangkai belati berhasil ia putuskan. Rahasianya adalah bahwa serangan mereka cenderung berulang dan berlapis-lapis. Ketika satu orang terakhir melakukan serangan Jayaseta sudah dapat membacanya sehingga satu prajurit ini terkapar dengan luka memar di bahunya. Kedua rekannya juga mendapatkan masing-masing satu hadiah sabetan di kepala mereka.
Sebelum para pengeroyoknya kembali pulih dan menyerang Jayaseta lagi, ia sudah lebih dahulu memapras kaki, paha, pinggang, bahu dan kepala mereka. PLAK, PLAK, PLAK, PLAK ... !!
Bunyi sabetan kedua rotan di tangan Jayaseta terdengar jelas ketika bilah-bilah tersebut menaklukkan para penyerang yang kemudian terkapar berjatuhan di lantai papan geladak kapal sembari mengaduh. Hampir tak ada benturan antar rotan yang terjadi.
Jayaseta menyerang dengan kecepatan yang luar biasa. Rotan-rotan di tangan mereka juga sudah terlempar entah kemana. Jayaseta sendiri tetap dalam kuda-kuda dan pengamatannya yang awas. Memandangi sekeliling untuk melihat siapa lagi yang siap bertarung atau mungkin tiba-tiba membokongnya.
Tunggu dulu, masih satu orang prajurit yang berdiri. Ia tidak memegang rotan lagi, namun sudah berganti sebuah pedang dan tameng yang dipegang di sisi tubuhnya dengan lemas. Walau ia berdiri, tubuh dan wajahnya melorot, seakan kekuatan dan semangat sudah menguap entah kemana. Ia adalah si pemimpin prajurit.
Jayaseta melaju menyerang ke arah sang pemimpin gerombolan prajurit tukang pukul kapal tersebut. Ia tidak mau ambil kemungkinan buruk. Ia tidak mungkin bisa lagi mendapatkan kejutan. Sudah cukup badannya serasa hancur dipukuli rotan, mabuk laut dan masih sedikit banyak dibawah pengaruh racun. Bila sang pemimpin berpipi gembil itu adalah seorang jawara hebat, ia harus menguras tenaga lagi, dan ini adalah sebuah kemungkinan buruk lainnya.
“Ampun pendekar, ampuuun ….!”
Jayaseta menahan lajunya dengan tiba-tiba. Ia kemudan mengerutkan keningnya. Raut wajahnya yang heran tidak terlihat oleh siapapun di geladak itu karena penutup mulut yang ia jadikan topeng pengganti masih ia kenakan.
Bagaimana tidak, bukannya ini pemimpin prajurit yang tadi begitu sombong dan angkuh tersebut? Sekarang dia malah mengkerut seperti kucing kecemplung di sebuah kolam. Tiba-tiba saja sang pemimpin pongah tersebut sudah melepaskan tameng dan pedangnya di lantai dan merosot menyembah-nyembah Jayaseta. Dan memohon agar Jayaseta urung menyerangnya.
Jayaseta tetap mendekat namun perlahan, khawatir kejadian yang mengherankan ini adalah sebuah kejutan lagi. Mungkinkan si pemimpin ingin menipu Jayaseta mentah-mentah? Tapi terlihat jelas memang si pemimpin bergetar hebat karena ketakutan, meski ia kini berusaha berdiri.
“Ampun, ampun … aku mohon, aku akan melakukan apapun, kisanak. Aku akan meminta kapal ini untuk putar haluan,” ucapnya dengan suara yang bergetar sama seperti tubuhnya.
“Tolong tidak perlu menyerang aku. Aku sudah mendapatkan pelajannya hari ini. Apapun yang kisanak pendekar inginkan, pasti aku lakukan,” lanjut sang pemimpin dengan suara yang bergetar hebat.
Jayaseta semakin mendekat. Si pemimpin kembali ambruk berlutut, hampir seperti menyembah lagi.
“Ada apa denganmu? Bukankah kau ingin memotong kepalaku?” ucap Jayaseta di balik penutup mulutnya.
“Tidak kisanak, tidak … aku cabut semua perkataanku. Pokoknya aku akan lakukan apapun yang kisanak inginkan,” kata sang pemimpin yang sekarang benar-benar menyembah-nyembah di hadapan Jayaseta.
“Kau pengecut!” ujar Jayaseta.
“Ya kisanak, aku memang pengecut. Sebenarnya pemimpin mereka yang lama tidak sengaja aku bunuh. Mereka tiba-tiba menjadi patuh padaku. Aku bahkan sama sekali tidak memiliki kemampuan bela diri,” ujar si pemimpin prajurit sembari menangis sekarang, “Aku murni hanya seorang pedagang, kisanak,” ujarnya lagi dengan secepat mungkin menjelaskan kepada Jayaseta.
Prajurit-prajurit bawahannya yang setengah sadar karena masih kesakitan dihajar Jayaseta tadi sekarang menjadi seperseratus sadar. Mereka satu persatu bangun walau dengan kekuatan yang tersisa karena rasa pusing dan sakit di beberapa bagian tubuh mereka namun secara umum baik-baik saja. Ini membuat mereka mendengar semua perkataan pemimpin mereka itu. Bahkan Katilapan pun juga tiba-tiba sadar dan tak pelak ikut mendengar semuanya.
Sang pemimpin terus menangis dan memohon-mohon kepada Jayaseta. Jayaseta sendiri masih dalam keadaan yang sama sekali awas. Kenyataan ini sepertinya terlalu aneh untuk dipercayai.
Ia kemudian melepaskan kedua rotan yang digenggamnya. Sang pemimpin kemudian langsung saja terlihat lega. Senyuman hampir saja tercipta di wajahnya ketika bukannya urung menyerang, Jayaseta malah melaju dengan kecepatan yang tak terlihat ke arahnya sembari memberikan satu pukulan keras.
DAG!
Tinju Jayaseta yang dilepaskan dengan tanpa tenaga dalam itu mengena telak di dada sang pemimpin dan membuatnya terlempar sampai tiga tombak jauhnya dan jatuh bergulingan ke belakang. Tinju ini hanyalah sebuah tinju biasa. Harusnya seseorang dengan ilmu kanuragan pastilah mampu menghindari serangan ini, atau paling tidak ia takkan terlempar sejauh itu.
Sang pemimpin tersungkur sembari mengelus-elus dadanya dengan cepat. Sepertinya ia merasakan pedas dan sakitnya tinju Jayaseta itu. Dengan susah payah ia berusaha berdiri sembari tetap mecoba berkata-kata, memohon-mohon kepada Jayaseta agar tak melanjutkan serangannya.
Jayaseta sendiri kemudian menghambur ke arah sang pemimpin berpipi gembil tersebut sebelum sang pemimpin sempat berdiri. Kali ini ia melompat dan hendak menjejak kepala atau leher sang pemimpin, kali ini dengan sedikit tambahan tenaga dalam.
Sang pemimpin jatuh terduduk kembali dan hanya menutup kedua matanya serta sebuah teriakan tertahan.
Jayaseta langsung menahan serangannya tepat sebelum telapak kakinya menghajar wajah sang pemimpin.
Sekarang Jayaseta sadar bahwa benar adanya bahwa sang pemimpin gerombolan prajurit tukang pukul bayaran itu bukanlah seorang digdaya. Seorang pendekar tidak akan berpura-pura semacam itu, terutama bila ia paham bahwa serangan yang dilakukan musuhnya adalah sebuah serangan yang bisa membahayakan nyawanya.
Bila ia seorang pendekar, kepekaannya akan mendorong tubuhnya untuk bergerak secara naluriah terhadap serangan dan mara bahaya untuk menghindar atau menyerang balik. Tapi apa yang terjadi? Sehebat-hebatnya seorang pendekar, tak akan ia merelakan kepalanya terbuka untuk diinjak secara percuma oleh musuh dengan kesaktian yang tak dapat diragukan lagi.
“Ampuun pendekar muda, ampuun ...,” ujar sang pemimpin lagi ketika sadar Jayaseta membatalkan serangannya.
“Bajingan! Jadi itu kebenarannya selama ini? Kau menipu kami!” ujar Katilapan yang sudah sadar walau tubuhnya terasa memar-memar, tiba-tiba. Ia memperhatikan kejadian dari awal ia sadar dan mendengar semua yang diucapkan pemimpin mereka.
Ketika ia sudah merasa dapat berdiri tegap, ia menghambur ke arah si pemimpin dengan bilah rotannya. Melihat ini Jayaseta meloncat maju dan menubruk bahu Katilapan dan mendorongnya dengan kekuatan tertentu sehingga Katilapan terdorong beberapa langkah menjauh ke belakang.
Ketika serangan Katilapan gagal, seorang prajurit lain dengan ikat kepala tiga lapis lilitan tiba-tiba sudah menggantikan rotan di tangannya dengan tombak bermata trisula dua hastanya. Kali ini ia berniat membabat habis sang pemimpin yang sudah membuat mereka malu luar biasa. Sudah pasti para bawahannya merasa malu yang begitu besarnya karena telah lama ditipu oleh seorang pemimpin yang sama sekali tidak memiliki ilmu kanuragan dan memiliki sifat yang luar biasa pengecut. Sudah pasti ia berniat membunuh sang pemimpin.
Jayaseta juga kali kedua tidak membiarkan ini terjadi. Ketika sang prajurit meluncur maju menyasar tusukan trisulanya pada dada atau kepala sang pemimpin yang masih mendeprok di lantai geladak kapal, Jayaseta menggelosor dan menyilangkan kedua kakinya ke arah kedua kaki sang penyerang. Akibatnya si prajurit jatuh bergulingan. Walau ia dapat dengan mudah bangkit kembali, ia mendadak berhenti sama sekali demi melihat Jayaseta. Kali ini pandangannya tidak terlihat rasa benci terhadap Jayaseta, sebaliknya ada pandangan hormat dan kepatuhan yang datang tiba-tiba. Ia mengangguk dan mundur.
Jayaseta memandang berkeliling. Seakan tersihir, ketiga pendekar belati yang juga sudah menggenggam belati mereka bukannya rotan lagi, serta pemanah berikat kepala Melayu yang juga telah memegang busurnya semua merasa tidak perlu bertindak lebih jauh untuk sementara ini.
Jayaseta mengarahkan pandangannya pada sang pemimpin yang mendeprok ciut dengan mata yang berkaca-kaca ditahannya agar tak tumpah, “Bangun! Siapa namamu?” tanya Jayaseta kepada sang pemimpin tersebut.
“Eh … eh … namaku Bandi, kisanak,” jawab si pemimpin sambil menghapus air matanya yang menggenang. Ia kemudian mencoba berdiri dengan ditemani pandangan mata semua bekas prajurit bawahannya dengan amarah.
“Apa itu nama aslimu, penipu?!” teriak Katilapan.
Pertanyaan Katilapan ini kemudian diiyakan dengan garang oleh yang lainnya.
Jayaseta sendiri hanya memandang tajam ke arah sang pemimpin dalam diam.
Merasa tidak enak hati dan nyali menciut, Bandi pun lantas mengaku dengan jujur, “Namaku sebenarnya adalah Badra, anak muda.”
“Apa itu sudah kejujuran terbaikmu?” teriakan lain lagi dari salah satu dari ketiga prajurit pendekar belati dengan lantang.
“Badranaya, Badranaya namaku, Sasangka ...”
“Badranaya? Kau memiliki nama yang bagus,” ujar Jayaseta kembali.
“Aku sebenarnya hanya seorang pengusaha dari Gresik, pendekar. Aku tak memiliki ilmu kanuragan apapun. Sewaktu aku sedang dirampok, aku tak sengaja membunuh pemimpin mereka yang kebetulan juga sedang mabuk berat. Ia tertusuk kerisnya sendiri.
Ketika mereka datang, mereka melihat seakan aku yang berhasil membunuh sang pemimpin tersebut. Dengan tipu daya, aku terpaksa memainkan peran jumawa sebagai seorang pendekar pilih tanding dan memimpin mereka,” ujar Badra dengan lancar tanpa terpatah-patah seperti awal tadi.
“Ah ... dasar di dungu si Jaka. Sudah kita katakan bahwa kita tidak merampok lagi dan menjauh dari arak. ****** juga dia dengan konyol. Memang sudah lama ia tak pantas jadi seorang pemimpin” kali ini si pendekar panah yang berbicara.
Semua anggota prajurit bayaran tersebut menunjukkan sikap kesal dengan kejadian ini. Mereka nampaknya juga merasa bodoh dengan semua hal yang mereka lalui di bawah pimpinan Badranaya yang mengaku bernama Bandi.
“Kisanak,” ujar Badra kepada Jayaseta. “Aku sadar akan kesalahanku. Entah mau diapakan aku, aku serahkan kepada keputusanmu yang bijak sebagai seorang pendekar yang namanya bukan lagi omong kosong.”
“Kau yang terlalu banyak omong kosong! Kalau kau memang berniat pasrah dengan apapun yang akan dilakukan oleh kami, biar kutebas saja kepalamu, hiaaattt!”
“Kesuma, tunggu!”
Teriakan pencegahan dari Katilapan terlambat. Prajurit yang bernama Kesuma tersebut, yang juga merupakan salah satu dari tiga pendekar belati, sudah memburu maju dan meloncat tinggi ingin membabat Badra. Di sisi lain, demi melihat serangan yang penuh amarah dari rekan mereka yang tak bisa ditahan lagi, Sasangka dan satu lagi pendekar berbelati juga menyusul menghambur ke arah Badra.
Jayaseta tidak tinggal diam. Dengan secepat kilat iapun meloncat menghadang Kesuma dengan lututnya. Kesuma terjatuh bergulingan ke belakang. Bukan karena serangan mematikan Jayaseta, lebih karena terkejut Jayaseta masih menahan serangan para mantan anak buah Badra agar tak membunuh orang yang pernah menjadi pemimpin mereka itu.
Begitu juga dengan Sasangka sang kembali bergulingan karena kakinya di sepak Jayaseta, sedangkan satu temannya lagi mendapatkan sebuah tendangan di bahu. Semua serangan tidaklah mematikan, hanya memang dilakukan dengan sangat cepat dengan unsur kejutan.
“Dengar semua!” suara Jayaseta menggelegar. Ia melepaskan penutup wajahnya.
“Aku tidak sedang tidak ingin ada yang mati di kapal ini. Aku tidak mengijinkan siapapun untuk saling membunuh, seberapa kesalnya kalian dengan si Badra ini. Kalian paham?”
Semua terdiam.
Dua prajurit kapal yang tadi tak sadarkan diri, kini sudah pulih dan bingung dengan apa yang terjadi. Mereka sendiri melihat sekeliling, dan untuk amannya segera mundur jauh-jauh dari ladang peperangan.
Jayaseta kembali memandang Badra dengan tajam, “Paman Badra, sudah berapa lama paman memimpin mereka?”
Badra kaget, bukan sekedar karena Jayaseta tiba-tiba bertanya padanya dengan tajam, namun penggunaan kata paman yang dialamatkan kepadanya. Bukankan ini menunjukkan rasa hormat dan penghargaan kepadanya?
Dengan malu dan terbata-bata ia menjawab ”Su .. sudah lebih dari dua warsa, pendekar.”
“Nah, selama itu, sudah berapa kali paman Badra bertindak buruk pada anak buah paman?” pertanyaan ini sepertinya lebih dialamatkan kepada para anak buahnya.
“Apakah paman pernah mengarahkan anak buah paman kembali kepada keadaan dan lelaku buruk seperti pada pimpinan Jaka? Merampok, membunuh, mabuk-mabukan, atau bermain perempuan?”
“Eh, eh ... aku tak dapat menjawab dengan pasti, pendekar. Tapi, tapi ... setahuku, aku berusaha mencari pekerjaan yang menjauhkan mereka dari lelaku buruk seperti ... seperti di masa lalu mereka.”
“Tapi kau kan menipu kami, Bandi. ... Badra penipu maksudku?!”
“Tunggu jangan kau potong dulu, Mahendra,” Katilapan kembali ikut menahan amarah salah satu anggota mereka, yaitu Mahendra, orang terakhir dari tiga pendekar belati. Nampaknya, setelah sang pemimpin, Katilapan adalah orang kedua yang memiliki tempat yang cukup dihormati di kelompok mereka.
“Aku tidak ingin mencampuri urusan kalian. Tapi kalian tidak boleh saling membunuh. Aku ingin agar kita segera kembali ke pelabuhan Cerbon. Aku tahu kalian merasa dungu karena telah dibohongi selama ini. Tapi menilik dari masalah kalian, harusnya kalian sadar bahwa bagaimanapun Badra pernah menjadi pemimpin kalian yang memimpin dengan lelaku yang menjauhkan kalian dari keburukan yang tidak lagi ingin kalian lakukan di masa bersama pemimpin kalian yang lain,” ujar Jayaseta panjang lebar.
“Kisanak, namaku Karsan. Aku mulai paham maksudmu. Namun begitu, Badra adalah milik kami, hak kami memutuskan hukuman yang paling tepat untuknya. Namun, kami berjanji tidak akan ada pertumpahan darah di kapal ini,” ujar Karsan, sang pemanah.
“Aku juga paham itu, aku percaya denganmu. Sudah dari pertama, kalian berusaha menghindari untuk membunuhku.”
“Ah, untuk itu kami juga minta maaf, pendekar. Entah siapa gerangan dungu yang berniat menjadikanmu budak. Namaku Narendra, kisanak. Aku tahu pekerjaan kami mungkin tidak terlalu benar. Menjadi prajurit bayaran, bertindak kasar tanpa berpikir dahulu. Tapi kami selalu berhadapan dengan kejahatan dan kekerasan. Hanya itu pekerjaan yang kami bisa. Jauh lebih baik dibanding merampok dan membunuh seperti dahulu.”
Katilapan pun angkat bicara, “Kami akan mendengar apa keinginanmu, kisanak. Sebagai anak yang jauh lebih muda dari kami, namun memiliki ilmi kanuragan yang begitu mumpuni, sudah tak mungkin bagi kami petantang-petenteng jumawa di hadapanmu. Sama seperti Narendra, kami benar-benar meminta maaf atas semua perilaku kami tadi.” Keempat anggota kelompok lainnya pun mengagguk hampir berbarengan tanda setuju, walau pandangan mereka masih menyasar tajam ke arah Badra.
“Kakang Narendra dan Kakang Katilapan, aku sepenuhnya paham, tidak perlu kalian bahas lagi masalah itu. Masalah paman Badra aku serahkan kepada kalian, aku yakin kalian akan menyelesaikannya dengan bijak. Kalian tahu kan aku mabuk laut? Tanpa kalian aku bisa mati di lautan, jadi tolong kembalikan aku ke daratan kakang-kakang.”
Jayaseta mendeprok ke lantai geladak, terlihat kelelahan. Ia menghirup udara dalam-dalam, kemudian tertawa.
Sikapnya yang begitu santai ini menular langsung ke geladak. Pelan-pelan semua anggota prajurit sewaan kapal tertawa. Diikuti kedua prajurit kapal yang kebingungan yang tertawa keras-keras tanpa malu dan tanpa tahu apa yang terjadi, selama mereka aman. Badra sendiri menyeringai dengan aneh, merasa tak enak hati dan bingung dengan nasibnya.
Tiba-tiba Jayaseta berdiri demi melihat raut wajah Badra. Badra terkejut bukan kepalang, takut-takut pada perubahan yang terjadi di garis-garis wajah sang pendekar.
“Paman ....”
“I ... iya ... iya, pendekar ...”
“Paman, aku adalah Jayaseta.”
Badra menjadi tambah bingung. Apa maksudnya sang pendekar mengatakan ini dengan tiba-tiba?
“Paman, paman Badranaya. Abdul Gofur, aku Jayaseta, kemenakanmu, paman. Anak kangmbok mu, paman!”
Badra melihat paras Jayaseta lekat-lekat. Kemudian ia bersimpuh dan menutup kedua wajahnya, “Ya Gusti Allah, mau dimana mukaku diletakkan.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
𝓚ˢᵍⁿ🍁ᗰᗩᕼᗴՏ ʷᵃʳᶦ ❣️
ya ditempat biasanya lah paman mau di mana lagi? 😅
2023-04-03
0
𝓚ˢᵍⁿ🍁ᗰᗩᕼᗴՏ ʷᵃʳᶦ ❣️
wait... jd masih kerabat?
2023-04-03
0
𝓚ˢᵍⁿ🍁ᗰᗩᕼᗴՏ ʷᵃʳᶦ ❣️
yang penting ikut tertawa 😂😂
2023-04-03
0