Masih tetap bertelanjang dada, para prajurit sewaan melepas kepergian Jayaseta ke darat. Pertemuan yang singkat, namun para prajurit tersebut telah merasakan hubungan batin yang begitu dalam dengan tokoh ini.
Sang pemimpin yang ketawan telah lama menipu para bawahannya itu ternyata adalah paman kandung sang pendekar yang telah mempecundangi mereka dengan telak dan membuka mata mereka tentang banyak hal, termasuk masalah ilmu kanuragan. Banyak hal mengejutkan yang terjadi di atas geladak kapal. Jayaseta sendiri yang kaget nya melebihi semua orang di atas kapal tersebut.
Sang paman, Badranaya yang juga bernama asli Abdul Gofur itu telah lama meninggalkan Giri di Gresik. Ia memiliki jiwa pedagang sang ayah, kakek guru Jayaseta, namun hampir tidak memiliki darah pendekar. Sebenarnya ia sangat malu karena ia merasa tidak berguna di Giri sana. Bukan mengapa, sang ayah kemudian memiliki menantu seorang pendekar pilih tanding dan merupakan prajurit istimewa sang Endrasena. Ia kemudian memutuskan untuk meninggalkan Giri, menjadi seorag musafir, namun bukan seorang pendekar kelana, hanya seorang manusia sang mencari jati diri hingga takdir membawanya ke dalam pusaran rahasia Ilahi yang rumit.
Ia masuk dan hampir tersesat ke dalam kegelapan. Memimpin orang-orang mantan perampok dan pembunuh yang juga kebetulan sedang mempertanyakan jati diri mereka. Kecerdasan Badra dan kelihaiannya membuat ia dipercaya dan beberapa lama membawa para bawahannya tersebut menjauhi kehidupan jahat sebisa mungkin. Sayang, ia tidak memiliki keberanian sebesar ayahnya, bahkan keponakannya sendiri.
“Sudahlah paman, hentikan sedu sedanmu. Allah Mahabesar sudah menunjukkan jalan untuk kita agar bertemu. Tidak ada hal yang memalukan dari paman yang tidak dimiliki oleh semua manusia,” ujar Jayaseta mencoba meredam kesedihan sang paman atas kenyataan ini.
“Duh, Gusti Allah. Salahku sebegini besar bahkan aku tak tahu bahwa Giri sudah jatuh di bawah kuasa Mataram. Duh ngger, kau sekarang sudah menjadi yatim piatu dalam usia sebegini muda. Aku semakin malu, bahwa dengan keadaanmu yang sebegini menyedihkan, kau tumbuh menjadi seorang pendekar pilih tanding. Tidak seperti aku yang mengutuki hari-hariku, tapi tidak mencapai sebuah kejatidirian yang paripurna.”
“Ah, paman, kita semua bakal melalui jalannya sendiri-sendiri. Sebenarnya, semua anggota prajurit ini sudah menjadi keluarga paman. Buktinya walau mereka begitu kesalnya, dan kalau tidak kucegah waktu itu bisa saja membunuh paman, sebenarnya mereka merasa khilaf. Mereka sadar bahwa bagaimanapun paman berhasil menjadi pemimpin mereka. Meski dalam hal yang lain. Paman berhasil membawa mereka menjauh dari hal buruk. Mereka sudah memiliki keterikatan yang kuat dengan paman.”
Jayaseta terus bercakap-cakap dengan sang paman, bahkan melepas rindu yang telah lama disimpan secara tak sadar. Ia hampir lupa kapan pertemuan terakhirnya dengan sang paman sebelum ia meninggalkan Giri. Untung saja, kenangan itu masih menempel di kepalanya sehingga masih dapat mengenal sang paman. Jelas berbeda dengan Badra yang tak sadar melihat Jayaseta telah tmbuh sedemikian dewasa dan perkasa. Keduanya merasa menjadi sebatang kara. Badranaya adalah satu-satunya keluarga sedarah yang ia miliki, begitu pula sebaliknya.
Enam orang prajurit sewaan kapal tersebut juga tidak membutuhkan waktu lama untuk menerima kembali Badra sebagai bagian dari kelompok mereka, bukan sebagai pemimpin lagi tentunya, tapi sama setara seperti mereka. Yang mereka butuhkan adalah rasa persaudaraan senasib yang membuat mereka bertahan melalui hari-hari keras hidup mereka. Watak pemimpin yang dimiliki Katilapan digunakan untuk membuat para anggota menjadi lebih bijak, bukan memerintah dan memaksa lagi seperti pemimpin mereka dahulu atau Badra yang berpura-pura.
***
Dari pelabuhan Jayaseta dapat melihat kapal yang sempat ia tumpangi itu besar menjulang membuat rambut-rambut di tubuhnya meremang, ia merinding membayangkan bahwa ia telah berada di atas kapal raksasa itu beberapa lama. Ketakutannya akan kapal dan air jelas terlihat.
Dengan tiang-tiang layar yang tinggi dan besar, kapal itu juga terdiri dari dua geladak utama dimana geladak bawah terdapat dayung-dayung raksasa. Para budak lah yang bekerja sebagai para pendayungnya. Mungkin bia ia tidak memiliki ilmu beladiri yang mumpuni, ia pun akan berakhir di tempat itu pula waktu itu.
Meski pada awalnya sebelum mereka berpisah Jayaseta meminta agar para prajurit untuk merahasiakan tentang dirinya, tetap saja awak-awak kapal tersebut kelak yang akan menyebarkan berita mengenai kehebatan sang Pendekar Topeng Seribu dengan penambahan di sana-sini. Walau nama Jayaseta tidak pernah diketahui, semua orang mulai dapat melihat gambaran seorang pendekar ini. Seorang pemuda yang tampan, topeng yang selalu berganti-ganti, jurus yang aneh namun luar biasa, dan sebagainya dan sebagainya. Kelak ketika Jayaseta melakukan perjalanan ke Betawi, berita mengenai dirinya sebagai Pendekar Topeng Seribu, sudah sampai jauh-jauh hari.
Sembari menunggu kapal berputar haluan pulang ke pelabuhan Cerbon, Jayaseta sempat bertukar pelajaran silat bagi para prajurit. Tentu saja ini hal yang sangat membanggakan hati para prajurit tersebut karena merasa dilatih langsung oleh sang pendekar. Mereka tidak hanya bertukar ilmu berkelahi, namun juga berganti cerita mendalam mengenai latar belakang kehidupan dan pengalaman mereka. Katilapan sang pendekar tongkat rotan Kali dari Bisaya; Karsan sang pemanah dari tanah Melayu; tiga pendekar belati dari Surabaya, Sasangka, Kusuma dan Mahendara; Narendra sang pendekar tombak trisula dan tameng rotan dari Banyumas dan tentu saja Badranaya sang bekas pemimpin yang juga adalah paman kandung Jayaseta dari Gresik sekarang memilih untuk tetap mempererat rasa persaudaraaan mereka terutama dengan sang Pendekar Topeng Seribu yang terkenal itu.
Keenam prajurit meski sempat kesal dan membenci Badra, bagaimanapun kembali memiliki perasaan hormat. Bukan sekedar karena bagaimanapun juga ia masih memiliki hubungan darah yang kental dengan sang pendekar, namun kecerdasan dan kelihaiannya dalam banyak hal yang tidak mereka ketahui selain bertarung juga harus diakui. Mungkin Badranaya adalah seorang pendekar otak bagi mereka.
Esok harinya, pelabuhan pun terlihat.
Kesibukan di kapal dan pelabuhan mulai terasa oleh Jayaseta. Sudah saatnya ia mengambil barang-barangnya yang dirampas, dan tentunya memberikan pelajaran bagi ketiga penipu ulung yang telah mencelakannya. Orang-orang semacam itulah yang sudah menjadi hak Jayaseta dan tujuan dari perjalanannya.
Walau lega karena Jayaseta telah menyentuh tanah kembali, ia merasa sedikit kasian pula karena para prajurit bayaran itu akan terkena murka tuan mereka, saudagar yang membayar mereka karena terpaksa menghabiskan waktu beberapa hari di perjalanan dengan percuma. Bagaimanapun, pekerjaan sebagai prajurit tukang pukul sewaan adalah pekerjaan utama mereka saat ini.
Rambut Jayaseta sudah kembali digulung rapi di puncak kepalanya. Kain bendera yang ia sobek di kapal dan ia gunakan menutupi mulut dan hidungnya sebagai pengganti topeng, sekarang ia gunakan sebagai ikat kepala.
Saat untuk memberikan pelajaran telah tiba. Kaki telanjangnya membawa tubuhnya mantap menuju warung makan tak jauh dari pelabuhan tersebut.
Sesampainya di warung, ia melihat suasana sedang ramai-ramainya. Kegiatan di sekitar kedai juga gegap gempita. Ia tidak peduli lagi. Ia bermaksud akan sekalian menghajar mereka tepat di hadapan semua orang yang lalu-lalang. Cecunguk-cecunguk itu belum tau siapa yang dihadapi mereka. Apa mereka pikir sekadar bermodalkan racun dapat membuat setiap rencana buruk mereka berhasil?
Baru saja ia hendak masuk ke warung makan tersebut, tak disangka ia melihat onggokan topeng-topengnya di salah satu sudut. Senyum kecil menyungging di bibirnya. Topeng-topeng itu sepertinya memang sudah dibuang karena disamping topeng-topeng tersebut juga tergeletak kayu-kayu bekas, pecahan piring tanah liat dan sampah rumah tangga lainnya.
Namun ketika ia mendekat, hatinya menjadi kecewa, topeng yang ia bawa dari Giri ternyata hanya tinggal satu buah, topeng panji. Sedangkan kedua topeng lainnya sudah hilang.
Sudut matanya tiba-tiba melihat seorang anak kecil bertelanjang bulat berlari-lari mengenakan topeng ganongan yang sangat kebesaran. Sudah pasti itu adalah topengnya. Namun apa mau dikata, sangat tidak mungkin untuk merebutnya. Topeng barong macan satunya lagi pastilah juga sudah dipungut anak-anak karena memang cukup menarik bagi mereka.
Dengan geram Jayaseta mengambil topeng panji nya dan mengenakannya. Topeng itu sedikit berbau terasi. Ini membuat Jayaseta semakin jengkel, tubuhnya serasa ingin meledak. Tak buang waktu, ia masuk ke dalam warung tersebut setelah topeng panji ia kenakan.
“Perhatian semua warga Cerbon yang terhormat!” suara Jayaseta yang menggelegar membuat semua pengunjung warung yang sedang makan mendongak ke arah suara berasal.
Membelakangi pintu masuk yang disinati mentari pagi ada sebuah pemandangan yang menganehkan. Seorang laki-laki bertelanjang dada dengan mengenakan celana kolor pangsi selutut, tak berkasut, dan mengenakan sebuah topeng panji, topeng ciri khas negara mereka, Cerbon.
Ia berkacang pinggang dengan terlihat angkuh dan percaya diri. Walau mereka tidak dapat melihat wajahnya, dari suara yang keluar dari mulut orang aneh ini sudah dapat diketahui bahwa ia sedang menahan kemurkaan.
“Aku adalah orang yang memiliki julukan Pendekar Topeng Seribu. Aku di sini untuk meminta kalian segera pergi dari warung ini karena tiga orang pemiliknya adalah penipu-penipu ulung. Aku datang untuk memberikan mereka hukuman yang setimpal dengan kejahatan-kejahatan mereka.”
Sampai di sini, orang-orang masih saling berpandang-pandangan. Beberapa menahan senyum keheranan. Tapi Jayaseta tahu, ini bukanlah cara yang tepat. Rupanya terlalu banyak bicara tidak menghasilkan apa-apa pikir Jayaseta. Akhirnya, ia memutuskan untuk maju ke tengah warung. Ia melihat sebuah meja kokoh yang terbuat dari kayu jati di tengah warung tersebut. Tidak ada orang yang menggunakan meja itu.
BRAK!
Dengan sekali hantam, meja terbelah dua.
Orang-orang di dalam warung itu terkejut setengah mati!
Nampaknya baru sadar bahwa orang ini memiliki kedigdayaan yang tinggi dan mereka tidak mau menjadi korban atas apapun yang bakal terjadi. Merekapun berlarian keluar melewati sang pendekar dengan meninggalkan makanan yang sedang mereka makan.
Sudah barang tentu sebentar saja warung sudah kosong. Tapi sebentar lagi pula, warung akan kembali ramai karena orang-orang yang penasaran dan cukup berani berbondong-bondong datang untuk menonton apa yang sedang terjadi dari balik jendela dan pintu kedai terutama bila kejadian itu adalah sebuah perkelahian karena sudah menjadi adatnya, perkelahian dan perseteruan akan selalu menarik bagi banyak orang.
Sena, Nata, dan Pallawa sudah berdiri berdampingan di depan Jayaseta. Sena memicingkan matanya, Nata dan Pallawa mengerutkan keningnya, mereka berpandang-pandangan.
“Jadi … budak kapal ini si Pendekar Topeng Seribu yang tersohor itu?” ujar Pallawa lebih kepada dirinya sendiri ketika sadar bahwa orang yang berdiri di depan mereka adalah orang yang mereka racuni beberapa hari yang lalu.
“Apa-apaan ini?” ujar Nata.
Sedangkan Sena berujar, “Bagaimana ia bisa kembali ke pelabuhan? Bukannya kapalnya sudah berhari-hari berlayar di lautan?”
Semua keheranan, namun Jayaseta sudah ingin segera menyelesaikan masalah ini.
“Kembalikan tas buntal kulitku, baju-bajuku, kepengan uangku serta tiga buah lempengan besi dari rambutku yang kalian rampok saat ini juga! Kemudian kalian ikut aku ke Keraton Cerbon untuk menyerahkan diri dan mengakui semua tindak penipuan kalian. Biarkan sang raja memutuskan hukuman yang pantas buat orang-orang semacam kalian!” ujar Jayaseta masih dengan suaranya yang menggelegar.
Ketiganya maju mendekat hampir serentak. Sekitar dua tombak dari Jayaseta mereka berhenti. Tak dapat diduga bahwa meski mereka memiliki bentuk tubuh yang berbeda, gerakan mereka sama cepat dan gesitnya.
“Kau memang bedebah kecil yang beruntung. Tak mati karena racun dan masih bisa kembali ke pelabuhan. Namun, kami tidak peduli bila memang kau adalah benar Pendekar Topeng Seribu. Kami tidak takut,” ujar Sena dingin.
Sedangkan Nata si tambun sedikit tergelak kemudian berujar, “Setelah kau kami hajar habis-habisan disini, kami tinggal katakan pada orang-orang dan para prajurit Kesultanan bahwa kau adalah biang onar yang berusaha merampok warung makan kami yang sederhana ini. Maka kau yang akan mendekam di penjara busuk Kesultanan Cerbon. Ya, tentu saja bila kau tak ****** di tangan kami.”
Pallawa menuntaskan ucapan kedua temannya dengan berujar dengan sinis, “Lagipula, sandang yang kau kenakan sekarang benar-benar seperti perampok.”
Namun bedanya dengan kedua rekannya, Pallawa tidak memerlukan waktu berlama-lama berbicara karena seketika saja ia menghambur maju dan memukulkan tinjunya ke arah wajah Jayaseta yang bertopeng. Jayaseta dengan entengnya menghindar sedikit saja ke samping sehigga tinju lolos. Pallawa rupanya berniat menghajar Jayaseta dengan jurus-jurus tangan kosongnya.
Dalam waktu sekejap saja ia kemudian melancarkan tendangan, pukulan, tendangan dan pukulan lagi beruntun diarahkan ke wajah dan dada Jayaseta secara bergantian. Jayaseta meggeser tubuhnya ke kiri dan ke kanan serta menangkis setiap serangan dengan kedua tangannya menggunakan gerakan jurus tanpa jurusnya.
Kurang dari sepuluh hitungan, sudah lebih dari sepuluh jurus Pallawa hanya membentur udara kosong sampai Jayaseta menyepak kaki Pallawa kemudian menunduk sedikit dan memukul ulu hati penyerangnya. Pallawa mengerang dan terlempar mundur ke belakang membentur meja jati yang sudah patah dua di bagian tengahnya tadi. Ia terkapar tak sadarkan diri.
Demi melihat kejadian ini, Sena dan Nata saling berpandangan dan sama-sama paham bahwa mereka tidak bisa bermain-main dengan orang yang satu ini.
“Kami kembalikan barang milikmu!” ujar Sena tiba-tiba.
Segera setelah itu melesat tiga senjata rahasia dari tangan Sena yang mengincar tubuh Jayaseta. Jayaseta melenting sekali dan memutarkan tubuhnya di udara.
Tiga buah cakram melewati kepala, leher dan perutnya dan menancap di meja-meja jati lainnya yang masih utuh. Satu cakram memotong sebuah tiang bambu dan menancap di lantai kayu.
Sial! Pikir Jayaseta. Bagaimana orang ini tahu cara melempar senjata rahasia yang diberikan Kakek Keling tersebut? Pikirnya lagi.
Kedua kaki Jayaseta menyentuh bumi, namun ia harus meloncat lagi ketika tidak hanya Sena, bahkan Nata juga kembali melancarkan senjata rahasia lagi. Jayaseta berkelit dan melenting ke udara dengan begitu gesit. Senjata-senjata itu lolos lagi.
Bukan cakram kali ini, tapi beberapa buah benda kecil sepanjang satu jari berwarna hitam legam yang sekarang mencancap di mana-mana.
“Jarum Bumi Neraka!” ujar Jayaseta.
“Ha ha ha ha … kau tahu rupanya. Sudah barang tentu kau memang orang dari dunia persilatan. Bagaimana, apakah kau mulai takut dengan nama kami?” ujar Nata meledak-ledak. Gelambir di dagunya bergoyang-goyang bersamaan dengan gelak tawanya.
“Hah! Aku sudah pernah menghadapi Jarum Bumi Neraka yang lain. Bahkan aku sudah menghabisinya. Jurus-jurus licik kalian bukan hal baru buatku. Kalian hanya akan menambah daftar orang-orang Jarum Bumi Neraka yang berhasil kukalahkan,” balas Jayaseta sembari mengenang pertarungannya dengan anggota perguruan hitam tempo hari.
Memang benar, dalam pengelanaannya Jayaseta pernah melawan seorang pendekar Jarum Bumi Neraka dan mengalahkannya. Itu sebabnya iapun akhirnya paham mengapa orang-orang ini mampu melepaskan senjata cakramnya. Mereka memiliki kemampuan sakti melemparkan senjata rahasia yang memang dipelajari secara khusus di dalam pelatihan ilmu kanuragannya.
Sebenarnya yang dimaksud jarum sebagai senjata rahasia orang-orang perguruan silat aliran hitam ini adalah besi-besi paku panjang. Dalam sekali lempar, seorang pendekar Jarum Bumi Neraka sanggup melepaskan lima sampai sepuluh paku.
Yang membedakan musuh yang ia lawan dahulu dengan ketiga orang ini adalah bahwasanya lemparan paku pendekar yang sempat ia kalahkan lebih bertenaga karena tenaga dalam yang mumpuni, sedangkan lemparan ketiga orang ini hanyalah lemparan jurus biasa, namun paku-paku hitam mereka penuh racun jahat.
Ia dapat merasakan hawa racun tersebut melewati tubuhnya ketika paku-paku tersebut dilemparkan dan hampir menggores kulitnya. Seakan racun Kayai Plered dan tenaga Nagataksaka memberikan peringatan sebagai bentuk pertahanan diri. Dari sini pula Jayaseta mulai menyadari kemampuan dirinya yang lain, yaitu kemampuan memahami dan mengenali racun. Ia mulai sadar bahwa ia memiliki kepekaan terhadap racun yang sangat.
“Bedebah! Sombong sekali orang ini. Ayo kita habisi cepat-cepat biar dia tidak merepotkan kita lagi,” ujar Sena.
Paku-paku beracun kembali mendesing. Jayaseta melenting lagi dan berputar-putar menghindari paku-paku itu.
Ini tidak bisa terus terjadi. Walau paku-paku racun berhasil ia hindari, Jayaseta khawatir orang-orang diluar bisa saja menjadi korban karena paku-paku beracun ini dilemparkan ke segala arah untuk membunuhnya. Ia takut beberapa paku bisa saja menembus dinding bambu dan mengenai orang yang berkerumun di luar warung tersebut. Apalagi sepertinya kedua orang ini sudah mulai jengah melihat Jayaseta mampu menghindari serangan mereka. Jangan-jangan mereka akan melemparkan paku-paku mereka dengan membabi-buta.
Dalam sebuah jeda serangan, Jayaseta berputar di udara, memungut cakramnya yang menancap di lantai dengan menjepitnya diantara jari-jari kakinya dan melepaskan tendangan. Cakram melesat dan memapras putus lengan kanan Nata. Teriakan keras meledak disertai darah yang muncrat dari luka terpotong Nata. Ia pun rebah sambil berteriak menahan rasa sakit di lengannya. Sena tak sempat tercengang karena ia mulai melemparan paku membabi-buta. Ini yang Jayaseta takutkan, meski hanya satu dua paku yang terlepas, bukannya lima sampai sepuluh, tetap saja serangan yang cenderung ngawur dan penuh amarah itu sangat berbahaya bagi orang-orang yang berkerumun di luar kedai.
Jayaseta memutar otak, “Hei cecunguk dungu. Dari tadi melempar hanya itu yang kau bisa. Bagaimana kalau kalian coba melempar ke arah wajahku ini? Atau jangan-jangan kalian tidak diajari bagaimana jurus melempar yang benar oleh guru sialan kalian sehingga hanya bisa membidik acak?” tiba-tiba Jayaseta berteriak menantang, sembari menunjuk-nunjuk ke arah wajahnya yang bertopeng kayu itu memancing kemarahan Sena.
“Itu sebabnya teman gembulmu itu sekarang kehilangan tangan. Mungkin kau mau menyusul.”
Mendengar tantangan itu ternyata membuat Sena tergugah harga dirinya. Sambil berteriak keras, Sena melemparkan lima buah paku sekaligus tepat ke arah wajah bertopeng tersebut. Jayaseta melenting dan berguling-guling menghindari kelima paku beracun tersebut. Dalam sekejap saja ia sudah mendekati Sena dalam jarak yang begitu tipis. Ini membuat Sena menjadi gelagapan sehingga mendadak melemparkan semua paku yang masih tersisa dengan begitu cepat dan tergesa-gesa untuk menyongsong kedatangan musuh yang bagai kilat itu.
JLEB! JLEB! JLEB!
Tak disangka hal ini menghasilkan tiga buah paku menancap di bagian wajah Jayaseta ketika jarak mereka terpaut hanya satu tombak. Pendekar bertopeng ini berteriak keras dan rubuh di lantai.
Suasana hening.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
akp
wah kena racun lagi
2022-06-01
2
R. Yani aja
keren... 👍
2022-02-06
2
Sis Fauzi
favorite
2022-02-02
2