Si Lebah Siluman berpikir bahwa dua pasangan dengan senjata kelewang anak buahnya akan menyerangnya. Maka ia sudah siap dengan apapun yang terjadi. Tidak sulit untuk melumpuhkan mereka berdua. Bukankah kemampuan ia menundukkan para perampok ini yang membuatnya diangkat menjadi ketua gerombolan begundal tersebut?
Malang bagi pikiran si Lebah Siluman tersebut. Rupanya Jayaseta yang berada di rerumputan dan semak perdu yang paham apa yang terjadi sebenarnya. Kedua pasang perampok berkelewang tersebut bukannya ingin menyerang ketua mereka, toh mereka pasti sadar takkan ada gunanya melawan si jawara. Sebaliknya, satu perampok menghadang si Lebah Siluman membuat keadaan seakan-akan akan menyerang, sedangkan satu rekannya lagi mengangkat kelewang tinggi-tinggi dan siap melesakkannya ke dalam tengkorak perempuan muda nan cantik tersebut.
Ya, ia memutuskan akan membunuh harta termahal namun sumber keributan tersebut. Mereka begitu keji! Hal ini juga yang membuat darah di kepala Jayaseta berdesir kencang karena amarah.
Jayaseta yang memiliki tiga buah cakram dengan ukuran yang berbeda yang ia letakkan di gelungan rambut di puncak kepalanya ingat bahwa Kakek Keling pernah menjelaskan padanya bahwa senjata cakram dari tanah Hindustan pada dasarnya adalah senjata lempar yang kerap digunakan oleh kaum Sikh. Senjata cakram ini memiliki beragam ukuran. Dari yang seukuran gelang-gelang yang diletakkan di lengan sang pengguna, atau ukuran yang lebih besar yang di letakkan di topi atau surban panjang mereka, sampai ukuran terbesar yang dikalungkan.
Cakram-cakram ini digunakan oleh pasukan Sikh dengan cara dilemparkan mendatar. Untuk cakram yang lebih kecil dilemparkan dengan cara diputarkan di jari telunjuk dan dilepaskan ke arah musuh. Bisa juga dengan menjepit dengan jari dan melemparkannya dengan cara yang biasa.
Ia tahu melempar cakram secara sembunyi-sembunyi bukan cara kesatria, namun ia terpaksa membokong para gerombolan tersebut, toh para perampok tidak pernah berbuat adil. Mereka mengeroyok dan menggunakan semua cara untuk mengalahkan lawan dan merebut harta benda korban. Belum lagi tindakan keji pasangan perampok berkelewang yang bila dibiarkan akan memutus satu nyawa lagi orang yang tidak bersalah.
Keputusan itu segera ia ambil. Sebuah cakram ia lepaskan setelah ia putar dengan jari telunjuknya. Cakram berdesing di udara dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa memapras pergelangan kaki sang pemegang kelewang yang akan membacok sang gadis. Serangan itu memutuskan telapak kaki dari betisnya. Jeritan tertahan yang memilukan mencuat, disusul satu teriakan lagi ketika satu cakram kembali berdesing dan memutus pergelangan tangan perampok satunya yang memegang kelewang. Bilah kelewang tersebut jatuh menancap di tanah. Kedua pasangan roboh karena kehilangan keseimbangan dan rasa sakit yang tak terperi.
Jayaseta tiba-tiba menyeruak dari rerumputan berlari menyerang, melenting ke udara dan menghujam ke arah para perampok. Jurus Tinju Besi dengan disertai tenaga dalam dihantamkan membuat satu perampok terpental menghantam gerobak dan menghancurkan beberapa bagian papan. Perampok yang terpental ini adalah salah satu dari tiga perampok bergolok. Mulutnya mengeluarkan darah dan goloknya jatuh ke tanah. Ia sendiri menggelosor jatuh terduduk. Demi melihat hal ini, kedua rekannya kaget bukan kepalang. Dalam waktu kurang dari setarikan nafas saja mereka melihat dua bagian tubuh terpotong dan teman mereka terluka parah.
Sekarang yang berdiri di hadapan mereka adalah sang pembokong yang memiliki ciri-ciri aneh bin ajaib. Ia mengenakan sebuah topeng ganongan berwarna merah menyala dengan hidung panjang, kedua mata lebar melotot dan rambut singa menutupi sisa bagian kepalanya. Kaget karena dibokong bercampur dengan rasa sakit hati membuat amarah kedua perampok bergolok bergolak. Siapa orang ini yang dengan penampilan aneh berani-beraninya cari mati?
Pertanyaan mereka dalam hati tersebut dijawab dengan serangan mendadak Jayaseta dengan jurus Tapak Sakti Buddha yang dialiri tenaga dalam diarahkan kepada dada kedua perampok. Tidak mau keadaan serupa yang menimpa rekan mereka terjadi, kedua pasang jawara golok tersebut berguling menghindar. Pukulan Tapak Buddha Jayaseta memukul udara kosong. Melihat serangan sang sosok bertopeng tersebut tidak membuahkan hasil, kedua jawara golok merasakan mereka mendapatkan angin untuk menyerbu dengan kedua golok mereka secara bersamaan. Satu mengarah ke kepala, satu mengarah ke bagian dada Jayaseta.
TRANG! TRING!
Entah kapan si sosok bertopeng sudah memegang simitar di tangan kanannya. Simitar itulah yang ia gunakan untuk menangkis dua serangan golok para perampok menciptakan percikan api karena benturan kedua bilah tosan tersebut. Benturan ini membuat tangan kedua perampok kesemutan. Sadar lah sekarang mereka bahwa orang aneh yang mereka hadapi ini bukan orang sembarangan.
Jayaseta sendiri merasakan simitar di tangan kanannya yang sangat mirip dengan pedang shamsir sang kakek. Tadi dengan secepat kilat setelah melepaskan Tapak Buddha, ia memungut simitar sang saudagar Arab di tanah untuk ia gunakan melawan kedua perampok tersebut.
Jayaseta langsung kembali bergerak dengan cepat menyasar kedua perampok bergolok yang mengangkat kedua golok mereka menerima serangan Jayaseta.
TRANG! TRING! TRANG! TRING!
Kurang dari sepuluh sabetan membuat satu golok putung. Jayaseta bertubi-tubi menyerang kedua perampok secara bergantian. Mau tak mau mereka pun terpaksa harus membela diri dengan menangkisi serangan pedang simitar tersebut. Namun karena benturan terus-menerus yang terjadi salah satu golok tak kuat menahan gempuran pedang simitar.
Ini bukan berarti pedang simitar itu sendiri lebih kuat, karena bersamaan dengan patahnya golok lawan pedang melengkung itu pun patah di bagian ujungnya. Patahan ujung Simitar menancap dalam di dada perampok yang goloknya patah tadi. Ia pun jatuh berdebum tanpa nyawa. Rekannya sudah tak sempat menunjukkan rasa kaget atau amarah karena Jayaseta menangkap lengannya yang memegang golok, memuntirnya dan menggunakan golok tersebut untuk menancapkan lambung sang empunya senjata sehingga membuatnya menyusul rekannya ke alam baka. Akhirnya dua perampok meregang nyawa.
Jayaseta memutarkan kepalanya menghadap si Lebah Siluman.
Pemandangan atas kejadian yang begitu cepat ini mengagetkan semua pihak. Tidak hanya yang diserang, namun juga sang saudagar yang terluka parah, sang gadis yang begitu terpukul juga terkaget-kaget dan bengong, belum lagi si Lebah Siluman yang berdiri seakan tak percaya.
Tubuh dan mayat bergelimpangan. Para pengawal saudagar yang tewas, dua perampok yang sedari tadi masih tak sadarkan diri, satu orang terluka parah juga tak sadarkan diri di dekat gerobak, dua perampok lain yang menggeliat-geliat kesakitan dan kehabisan darah dari luka potong di tangan dan kakinya, serta dua tubuh perampok yang baru saja menjadi mayat menutupi jalan yang dilewati gerobak dan kereta kuda tersebut.
Semula Lebah Siluman terkaget-kaget dengan kemunculan si penyerang bertopeng ini, terutama karena hanya sebentar saja anak buhanya sudah kocar-kacir. Dua orang anak buahnya mati, tiga orang lainnya tak jelas juntrungannya. Entah sekarat, entah sudah mati pula sekarang menyusul rekan-rekannya yang lain. Begal dan begundal biasa mungkin sudah kecepirit lari tunggang langgang kurang lebih serupa dengan yang dilakukan para pengawal sang saudagar.
Tidak bagi si Lebah Siluman. Dengan cara yang aneh ia tersenyum dan kemudian perlahan terkekeh. Ada kilatan di matanya yang Jayaseta cukup kenal. Kilat ini ada di mata si gila berpedang panjang yang Jayaseta hajar tempo hari karena menyerang para petani. Kilat itu ada di mata setiap pendekar dan jawara ketika menemukan pendekar dan jawara lain yang mereka anggap pantas untuk dihadapi dan dijajal ilmunya.
Si Lebah Siluman berdiri dengan angkuh. Matanya semakin menyala-nyala. Keris dengan hulu indah yang semula disarungkan sekarang sudah terhunus. Sekejap saja Jayaseta berusaha menakar kemampuan silat sang musuh. Keris yang ia gunakan adalah jenis keris dari pulau Bali yang tidak seperti kebanyakan keris-keris Jawa yang pendek dan ringkas, tosan aji ini begitu panjang, mungkin sepanjang golok atau sebuah pedang pendek. Lengkungannya begitu tegas dan lempengan tosannya terlihat tebal. Tak heran ia dijuluki si Lebah Siluman karena menurut hemat Jayaseta si Lebah Siluman pastilah memiliki jurus-jurus silat menusuk yang sangat cepat dengan keris tersebut, seperti sengat seekor lebah.
“Jadi … kaulah yang mereka sebut Pendekar Topeng Seribu?” suara parau namun tetap bernada angkuh si Lebah Siluman sontak mengagetkan Jayaseta. Ia tidak menyangka bahwa gelar yang disematkan orang-orang kepadanya menyebar begitu cepatnya ke seantero dunia persilatan tanah Jawa ini. Bahkan Jayaseta mendapatkan sedikit perasaan bangga yang aneh ketika tahu bahwa namanya ternyata juga dikenal oleh si Lebah Siluman yang namanya sudah dahulu dikenal di jagad persilatan.
“Ha ha ha … sayang sekali aku tidak dapat melihat wajahmu, padahal ini adalah hari keberuntunganku. Mereka mengatakan bahwa Pendekar Topeng Seribu adalah seorang jawara silat baru yang pilih tanding. Aku baru sadar bahwa aku memang sedang berhadapan dengan pendekar ini ketika melihat gaya silatmu yang aneh, tentu saja sekaligus topengmu yang tak kalah aneh,” si Lebah Siluman berbicara panjang lebar.
“Hari ini adalah benar-benar hari keberuntunganku, karena setelah kau ****** di tanganku, namaku akan semakin digentari di rimba persilatan tanah Jawa ini, ha ha ha …”
Kegirangan aneh si Lebah Siluman ini sangat dimaklumi mengingat bagaimanapun ia adalah seorang pendekar sakti yang juga memiliki nama di jagad persilatan tanah Jawa. Walau ia lebih dikenal sebagai seorang perampok, bukan tanpa sebab ia sangat ditakuti oleh banyak orang. Ilmu kanuragan dan jurus-jurus mematikannya adalah bekal utama namanya yang mahsyur tersebut.
Jayaseta sudah mempersiapkan dirinya untuk pertandingan satu lawan satu terakhirnya. Suka tidak suka ini harus segera ia hadapi dan selesaikan karena sudah terlalu banyak nyawa melayang hari ini. Sang gadis anak saudagar itu pun harus dilindungi, malah bisa dikatakan tindakan asusila dan semena-mena para perampok terhadap sang gadis itulah alasan utama Jayaseta ikut campur dalam permainan hidup dan mati ini.
Saat itulah Jayaseta mendengar suara sang gadis dengan lirih dengan sedu sedan yang tertahan, “Kisanak,” panggilnya, “Ayahku memintamu menggunakan keris ini.”
Jayaseta baru sadar bahwa sekarang sang gadis sudah berada di sisi ayahnya sang saudagar Arab yang sedang sekarat. Ia menggenggam sebilah keris yang dari tadi memang digenggam erat oleh si saudagar. Rupa-rupanya sang ayah walau dalam keadaan terluka parah demi mendapatkan angin dan setitik harapan, segera mendukung si sosok bertopeng tersebut.
Sepak terjangnya yang sekejap saja mampu menghabisi para perampok jelas merupakan bukti nyata pendekar golongan putih yang juga pernah ia dengar desas-desusnya dengan julukan Pendekar Topeng Seribu. Pedang simitarnya sudah digunakan sang pendekar dan patah hingga tidak mungkin digunakan lagi. Tinggal keris lah yang ia miliki. Oleh sebab itu ketika sang anak perempuan mendekati dan mencari tahu keadaannya, sang saudagar dengan nafas tersendat-sendat segera memintanya untuk memberikan kerisnya sebagai senjata sang sosok pahlawan.
Jayaseta dibalik topengnya memandang sang dara jelita yang memberikan keris tersebut serta ayahnya, sang saudagar Arab yang terbaring di pangkuan anak gadisnya menunggu ajal. Tak terbayangkan perasaan macam apa yang berkecamuk di hati sang anak melihat sang ayah tak berkutik dan penuh bermandi darah. Demi mereka berdua, ia harus menyelesaikan pertarungan ini secepatnya.
“Baiklah, cukup pertunjukan sandiwara menyedikan ini!” ujar si Lebah Siluman. “Keris dan keris. Luar biasa. Kita lihat seberapa kemampuanmu dengan senjata itu. Aku sudah lebih dahulu mendapatkan julukan yang sesuai dengan kemampuan silatku yang istimewa dalam memainkan keris. Jadi harusnya kau jauh lebih baik dariku bila ingin menggantikan julukanku …”
Pidato panjang sang ketua kawanan perampok ini terputus. Jayaseta tidak mau menunggu berlama-lama lagi langsung menerjang dan menghujamkan keris ke arah dada si Lebah Siluman.
“Setan, kurang ajar, bedebah!” sumpah serapah si Lebah Siluman menyeruak ke udara sehabis ia berguling mundur ke belakang menghindari serangan Jayaseta yang tiba-tiba itu.
“Apa ini yang kau namakan tindakan ksatria heh wahai pendekar aliran putih? Harusnya kau … “
Kedua kalinya si Lebah Siluman harus mundur sampai tiga langkah jauhnya mengelak dari tusukan keris Jayaseta. Ini membuatnya sangat gusar. Sebagai begundal saja ia memiliki syarat-syarat dalam tindakan-tindakannya, tapi ini seorang pendekar aneh yang tak diketahui asal-usulnya namun dikenal membela orang-orang lemah itu malah membuatnya merasa ditipu dan dikadali.
Si Lebah Siluman menggeram. Cukup sudah pikirnya, “Orang tak tahu diuntung! Mau meliciki ketua perampok semacam aku ini ini heh?! “Hiyaaa … hiyaaa … kita lihat seberapa mampu kau menghindari jurus Sengat Pencabut Nyawa ku. Hiyaaaaa ….!!” Si Lebah Siluman menghambur maju membalas serangan tiba-tiba Jayaseta si Pendekar Topeng Seribu tersebut.
Takaran Jayaseta tepat, serangan si Lebah Siluman memang selalu menusuk namun dengan kecepatan dan tenaga yang luar biasa. Dalam satu gebrakan saja, ia telah melepaskan beberapa tusukan sekaligus yang diarahkan ke dada, leher dan kepala Jayaseta. Ketiganya berhasil Jayaseta hindari dengan berguling-guling dan berjumpalitan saking cepat dan berbahayanya, apalagi keris yang digunakan memiliki panjang yang cukup untuk serangan jarak jauh.
Jurus si Lebah Siluman yang bernama Sengat Pencabut Nyawa ini sepertinya sesuai dengan namanya yang menderu-deru bagai seekor lebah. Ia bahkan emakin mempercepat tusukan demi tusukannya. Sudah hampir lima tusukan susulan yang dihindari Jayaseta dengan cukup bersusah payah. Ini membuat Jayaseta sadar ia tak mungkin terus-terusan menghindar.
Ia terus mencari celah sambil berguling dan berkelit dengan lincah. Ia harus berhasil menemukan kesempatan untuk menyerang karena memang bukan perkara mudah bisa membalas menyerang apalagi menusukkan kerisnya ke arah musuh yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi ini. Namun begitu, Jayaseta jelas bukan sembarang pendekar muda.
Jayaseta menyepak kaki si Lebah Siluman.
Sepakan ini dilakukan karena jarak mereka terlalu jauh bagi Jayaseta untuk ngeyel menusukkan kerisnya, terutama menghadapi keris panjang dan serangan cepat sang musuh. Walau sepakan itu bukanlah sepakan yang cukup berbahaya, akibatnya cukup mengagetkan karena kuda-kuda Si Lebah Siluman oleng dan saatnya pula Jayaseta mendapatkan celah untuk melakukan balasan serangan. Jurus Tapak Buddha yang telah digubah oleh suku Hui di daratan Tiongkok dengan tambahan tenaga dalam yang dialirkan ke telapak tangan kiri Jayaseta berhasil mendarat ke dada Si Lebah Siluman.
BUG!
Si Lebah Siluman merasakan tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Berhubung si Lebah Siluman bukanlah orang biasa, ia segera tahu bahwa serangan Jayaseta pasti lah memiliki tenaga dahsyat yang bisa saja meremukkan tulang dadanya seperti yang ia lihat pada salah satu anak buahnya yang masih terkapar hingga saat ini. Karena itu ia dengan cermat berhasil menyilangkan keris panjangnya ke dada sehingga badan bilah logam itu menahan tenaga dalam Jayaseta sehingga tidak langsung menyentuh dadanya. Dengan sigap dan tanpa kehilangan kendali Si Lebah Siluman menolakkan kakinya ke tanah sehingga tubuhnya meluncur deras bagai ***** pistol Walanda menuju Jayaseta dengan keris terhunus menusuk.
Menghadapi serangan ini dengan kecepatan dan kegesitan yang luar biasa Jayaseta berkelit dan dan memutar sedikit tubuhnya serta menancapkan serta mencabutnya dengan cepat ke pinggang sang musuh.
“Bedebah! Aku akan benar-benar menghabisimu, setan alas!” maki si Lebah Siluman sambil merasakan darah mengucur dari pinggangnya.
Suara makian parau Si Lebah Siluman itu langsung diikuti dengan serangan tusukan yang membabi-buta. Keris panjang itu sekarang tidak hanya digunakan untuk menusuk namun juga membabat. Semua bagian tubuh Jayaseta dijadikan sasaran. Dari dada, ulu hati, leher dan kepala harus Jayaseta lindungi. Ia menghindar berputar-putar bagai orang yang tidak memiliki ilmu silat.
Namun gerakan aneh ini sebenarnya sangat berhasil dalam menghadapi serangan-serangan lawan yang mematikan. Lambat laun selain dikenal sebagai Pendekar Topeng Seribu, Jayaseta juga akan dikenal dengan gerakan anehnya ini yaitu Jurus Tanpa Jurus.
“Aaaaghhh!” Teriakan kesakitan tak dapat dihindari dari mulut si Lebah. Keris panjangnya jatuh ke tanah dan menancap di sana. Jayaseta berhasil membingungkan dan membuat kesal si Lebah Siluman dengan jurusnya yang sulit dimengerti itu. Itulah sebabmya Jayaseta kembali berhasil menusukkan kerisnya ke lambung kiri sang lawan. Rasa sakit ini tak terperi. Dengan luka yang parah, wajah sang ketua perampok memerah. Namun tak lama ia tertawa.
“Ha ha ha ha … uhuk … uhuk. Nampaknya nas … nasibku jatuh ditangan pendekar aneh ini. Terimakasih atas … atas … uhuk … pertarungan luar bia … “ lagi-lagi ucapan si Lebah Siluman terpotong. Matanya membeliak liar ketika Jayaseta menusukkan kerisnya melalui bawah tulang iga dan menembus jantungnya.
BLAR!!!
Tidak sampai disitu, jurus gabungan Bogem Watu Langit dan Tinju Delapan Penjuru Angin dilepaskan dengan tangan kirinya ke arah dada si Lebah Siluman. Tubuh Si Lebah Siluman terlontar jauh dan menghantam pohon nangka tempat tadinya ia mengaso melihat kawanannya bertindak. Akibatnya luar biasa, bahkan pohon nangka tersebut berderak patah karena ditabrak benda yang terlempar dengan keras. Tentu saja, tubuh si Lebah Siluman juga tidak bisa tertolong lagi.
Selain tiga tusukan mematikan di tubuhnya, hantaman Jayaseta ke dada si Lebah berhasil meremukkan tulang-tulangnya, sedangkan tulang punggung si Lebah juga remuk akibat menghantam pohon nangka tersebut. Si Lebah Siluman tewas terduduk dengan darah segar keluar dari mulutnya, matanya melotot namun sudah tanpa kesadaran sama sekali. Hampir semua tulang di tubuhnya remuk dan pecahannya menyebar dan menusuk di dalam tubuh, di setiap bagian daging si Lebah.
Si Lebah Siluman tewas mengenaskan di tangan Jayaseta, Pendekar Topeng Seribu yang namanya baru saja menanjak. Sesosok pendekar pilih tanding, tanpa banyak cakap, tak diketahui asal usul bahkan gaya bertarungnya yang merupakan rahasia besar. Dengan topeng anehnya, Jayaseta seperti berubah menjadi orang lain.
Setiap keputusan yang ia ambil sangat mengejutkan. Membunuh lawan bukan perkara sulit. Keputusannya tidak perlu melalui pertimbangan yang rumit dan nyeleneh. Mengerikan juga kadang melihat para penjahat harus mati di tangannya dengan cara yang mengenaskan. Apakah kematian tersebut pantas bagi para penjahat tersebut? Bukan saatnya Jayaseta membahas itu lagi. Mungkin ada sesosok mahluk berbentuk raksasa yang dapat memutuskan tindakan apa yang tepat ketika ia sedang menghadapi musuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
wah perampok yg penuh aturan nampaknya
2023-04-02
0
akp
pertarungannya sepintas mirip adegan silat modern sekarang, dan itu sangat bisa diterima logika.
tapi untuk menambah ketertarikan bumbui sedikit napa thor, pukulan atau tendangan yang bisa menghancurkan sebongkah batu menjadi debu biar tambah hebat gitu 😆
2022-05-26
2
Ronggolawe
baru sempet komen,cerita yg luar biasa apik thor. terima kasih
2022-04-21
2