Anak laki-laki berusia tujuh tahun yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan selembar cawat itu berdiri tegap namun matanya berbinar terpesona melihat pemandangan luar biasa di depannya. Rambutnya yang panjang tanggung ia biarkan tergerai tanpa diikat atau digelung. Di hadapannya dua orang laki-laki sedang melakukan adu tanding. Dua orang yang sama sekali berbeda bahkan mungkin bertolak belakang dalam hampir semua sisi.
Satu orang yang lebih muda adalah seorang keturunan Cina yang berkulit putih dan bermata sipit, sedangkan satunya lagi lebih tua dengan paras wajah yang tegas. Hidungnya sangat mancung. Bersama keningnya yang menonjol menyembunyikan kedua matanya yang lebar.
Kulit wajahnya yang kemerahan dihiasi rambut-rambut lebat yang membentuk janggut dan brewok panjang. Laki-laki tua ini berasal dari Parsi atau biasa disebut Khorasan oleh orang Jawa. Keduanya juga bertelanjang dada dan mengenakan celana panjang hitam yang diikat di bagian pinggangnya dengan seutas tali.
Si lelaki Cina meliuk-liukkan badannya sambil terus menyabet menggunakan jian, sebuah pedang Tiongkok yang tajam di kedua sisinya. Sedangkan si Parsi tua meloncat-loncat dan memutar-mutarkan pedang shamsir nya yang ditempa di Damaskus. Pedang berbentuk melengkung itu menari-nari di tangan si Parsi tua.
Gerakannya memotong dan membelah. Bentuk shamsir yang melengkung memang dirancang untuk tebasan panjang. Dengan bentuk tersebut, ketika shamsir memotong tubuh lawan, pedang tersebut akan terus melewati daging sehingga dapat langsung digunakan untuk kembali memberikan serangan lanjutan. Bentuk yang melengkung memungkinkannya tidak terhambat karena tersangkut di tubuh lawan seperti pedang lurus misalnya.
Serangan membelah dari atas ke bawah menggunakan shamsir biasanya di arahkan kepada kepala dan meretakkan tengkorak, memapras bahu dan lengan serta pergelangan tangan atau menebas tangkai tombak yang diarahkan musuh. Sebaliknya serangan membelah dari bawah ke atas dilakukan dengan cepat untuk ruang terbuka di ketiak dan ************, menyasar kelamin musuh. Sedangkan serangan mendatar dari kiri ke kanan atau sebaliknya menyasar leher dan memancung kepala, merobek mulut dan wajah, menebas perut atau punggung, menatak tulang kering dan lutut atau kaki secara keseuruhan.
Kedua pendekar berbeda umur dan suku bangsa tersebut berjumpalitan melenting menghindar dan mencari celah untuk memasukkan serangan terbaiknya. Sekali dua kedua bilah pedang tersebut berbenturan menciptakan percikan api. Kedua jurus-jurus silat yang ditunjukkan mereka memiliki keunikan masing-masing meski sama-sama lincah dan sama-sama cepat. Si lelaki Cina yang lebih muda memainkan pergelangan tangannya dengan jian nya yang meliuk-liuk bagai angin puyuh kecil namun membahayakan. Tusukan dibarengi dengan sabetan pendek-pendek mengejar mangsa. Ujung pedang yang tajam juga digerakkan sedemikian rupa sehingga meliuk-liuk bagai kepala ular yang siap mematuk.
Jian yang merupakan pedang khas Tiongkok tersebut selain sebagai senjata, memiliki nilai yang hampir mirip dengan keris. Jian digunakan sebagai petunjuk kebangsawanan atau harga diri si pemilik. Seseorang yang memiliki jian tidak hanya dianggap seorang pendekar atau prajurit, namun juga berasal dari keluarga atau kelompok masyarakat kasta tinggi atau wangsa terhormat. Pada masa sebelum dinasi Qin di Cina, jian dibuat menggunakan bahan dasar perunggu. Pada masa kerajaan wangsa Qin ini yaitu tahun 221 sampai 206 Sebelum Masehi, walau besi baru dikembangkan, jian perunggu sudah terkenal kehebatannya.
Jian perunggu ini memiliki kekuatan dan ketajaman luar biasa sehingga dapat memotong keping uang logam walau jian tersebut telah berusia ratusan tahun dan tertimbun di dalam tanah. Besi baru digunakan sebagai bahan jian pada masa wangsa Han, yaitu tahun 206 sebelum Masehi sampai 220 Masehi, wangsa Jin tahun 265 sampai 581 Masehi dan wangsa-wangsa Selatan dan Utara yaitu tahun 420 sampai 581 Masehi.
Jian yang dipakai lelaki Cina ini jelas menunjukkan tingkatan kemasyarakatannya, paling tidak di kelompok masyarakat Cina. Karena untuk seorang prajurit perang, dao adalah senjata mereka. Yaitu pedang Cina yang lebih lebar dan panjang. Dao ini yang dipakai rata-rata pasukan Endrasena yang berjumlah dua ratus tersebut untuk melawan pasukan Mataram dan Surabaya nanti di kemudian hari. Jian sendiri digunakan oleh para pejabat kerajaan atau perwira tingkat yang lebih tinggi di dalam pasukan.
Sedangkan untuk sang Parsi tua yang menggunakan shamsir nya lebih memiliki jurus yang tegas. Setiap potongan dan sabetan yang diarahkan ke lelaki Cina menderu-deru bagai topan. Badannya juga berputar-putar gesit sembari memapras tubuh lawan. Gerakan utama terletak di lengan bawah dan bahu dalam mengendalikan shamsir. Pedang yang seperti berbentuk bulan sabit itu seakan memang ditakdirkan untuk digerakkan dengan jurus demikian.
Setelah beberapa jurus keduanya mundur, menarik nafas serta secara serentak melipatkan pedangnya di belakang lengan mereka. Keduanya saling menghormat. Sang lelaki Cina muda menyoja dengan cara mengepalkan tangan kanan dan menutupnya dengan telapak tangan kiri.
Gerakan ini menunjukkan rasa hormat orang Cina dengan makna bahwa tangan kanan yang terkepal adalah tangan yang biasa digunakan untuk berkelahi dan bertarung, namun ketika ditutup dengan telapak tangan yang satunya, ini menandakan bahwa kepal tangan perlambang nafsu berkelahi tersebut ditahan dan disembunyikan untuk menunjukkan rasa damai dan hormat.
Anak laki-laki yang sedari tadi memperhatikan pertarungan kedua orang tersebut tak bisa menahan untuk tidak bertepuk tangan dan bersorak, “Hebat.. hebat ..,” ujarnya sembari terus bertepuk tangan dan melonjak-lonjak.
“Ayahanda dan kakek sama-sama hebat,” ujarnya lagi dengan suara melengking khas seorang bocah laki-laki.
Kedua laki-laki berbeda umur tersebut tersenyum memandang anak laki-laki itu. “Nah, apa yang dapat kau pelajari sekarang anakku, Asing?” si pria Cina yang ternyata adalah ayah kandung si bocah laki-laki tersebut bertanya.
“Kalian memiliki jurus-jurus yang hebat walau berbeda.”
“Jelaskan perbedaan itu, cucuku?” si Parsi tua kali ini yang bertanya dengan suaranya yang dalam dan berat. Walau memang sedikit mengherankan, namun kakek Parsi itu juga ternyata adalah benar-benar kakek kandung di bocah.
“Begini kakek Husein. Kakek menggunakan jurus-jurus yang lebih tegas. Sabetan pedang kakek ditujukan untuk memotong dan membelah. Yang paling unik adalah letak kaki kakek yang melangkah pendek-pendek dan juga kerap meloncat-loncat namun sabetannya panjang. Seperti anak seusiaku yang sedang bermain-main namun sangat tepat dan berbahaya. Sedangkan ayah menggunakan jurus pedang yang cenderung menyabet dan menusuk dengan meliuk-liukkan ujung pedangnya. Sulit sekali melakukannya tanpa gerakan yang luwes. Gerakan sabetan pedang ayah pun terkesan pendek-pendek namun bertubi-tubi,” si bocah menjelaskan dengan panjang lebar.
Kedua orang laki-laki yang merupakan ayah dan kakek kandung sang bocah pun mengangguk-angguk menunjukkan kepuasan.
“Lalu, menurutmu bukankah jurus kakek lebih hebat dari ayahmu?” kata sang kakek sembari mengelus jenggotnya.
“Ha ha ha … maafkan atas kekurangajaranku ayah mertuaku yang kuhormati ini. Tapi sudah jelas bahwa jian su empat arah mata anginku yang paling mumpuni. Aku lebih muda, lebih cepat, dan lebih lincah,” si pria Cina tertawa karena tidak setuju dengan ucapan ayah mertuanya.
“Hei Hongko, masih muda saja kau tidak dapat menyentuhkan seujung kuku saja pedangmu itu di tubuhku, apalagi sampai melukaiku. Pedang Damaskus ini terus berputar di sekeliling tubuhku bagai bola baja. Bahkan aku bisa saja melukaimu bila aku inginkan,” kata sang kakek.
“Ha ha ha … jangan membuatku tertawa lebih keras ayah. Pedangmu hanya berputar-putar seperti ayam yang melindungi telur-telurnya. Sama sekali tidak berbahaya. Karena akulah yang sebenarnya menahan jurus-jurusku yang lebih luas dan gesit agar kau tidak terluka.”
Begitulah, walau terdengar kasar, sebenarnya percakapan ini adalah percakapan wajar dari dua orang pendekar sang sama-sama mumpuni dan berilmu tinggi. Pertarungan mereka tadi pun sebenarnya adalah adu jurus, pertunjukan rangkaian serangan dan pertahanan diri menggunakan kedua senjata. Pertunjukan pertarungan mereka berdua seakan memang ditujukan untuk sang putra dan cucu kedua pendekar ini agar menjadi semacam pelajaran kanuragan.
Bila dirunut latar belakang mereka, si pemuda pendekar Cina yang bernama Nio Hongko dalam bahasa Cina Hokkien sebenarnya adalah anak dari seorang prajurit Cina yang menikahi seorang gadis Jawa di pesisir timur. Ketika lahir, karena ayahnya adalah seorang Cina maka ia menerima nama she atau nama keluarga Nio.
Jelas karena ayahnya adalah seseorang dengan ilmu kesaktian mumpuni, Hongko juga mendapatkan gemblengan langsung dari ayahnya yang mengajarkan semua kesaktian dan jurus-jurus bertempur yang ampuh. Menurut cerita sang ayah, keluarga Nio telah beranak-pinak menjadi pendekar. Mereka adalah keluarga Cina muslim yang bila dirunut garis kekeluargaan mereka berasal dari suku Hui di Tiongkok.
Nenek moyang Hongko juga ada yang berasal dari Kanton yang menetap di Giri melalui pelabuhan Gresik. Kedatangan nenek moyang Hongko ini juga diangggap bersamaan dengan kedatangan Maulana Ibrahim, Maulana Mahpur berserta pengikutnya yang berjumlah empat orang dari Geddah yang kemudian menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa.
Nio Hongko, sama seperti ayahnya kemudian mengabdi kepada kesunanan Giri Kedaton. Keluarga mereka juga telah mengabdi kepada Sunan Giri sejak masa penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Saat pengabdiannya inilah pula Hongko berjumpa dengan anak perempuan sang kakek Parsi.
Sang mertua Hongko yang bernama Husein ini adalah seorang pria asal Parsi yang telah lama tinggal di pulau Jawa. Tujuan dasar Husein adalah berdagang. Namun begitu, ia bukan pedagang biasa. Ia juga dibekali ilmu kanuragan yang mumpuni yang ia pelajari di tanah asal. Ilmu ini sangat berguna ketika ia harus pergi berdagang sekaligus berdakwah di tanah Jawa yang dikenal keras dan kejam pada masa itu. Tidak semua orang Jawa adalah orang-orang yang ramah dan bersikap baik terhadap para pendatang dari mancanegara. Belum lagi perampok dan begal yang bersembunyi di hutan-hutan rimba dan gunung-gunung yang angker.
Husein berlayar ke pulau Jawa bersama beberapa pengikut dan rekan-rekan dagangnya orang-orang Parsi yang kebanyakan mencari nafkah dengan berjualan batu mulia atau obat-obatan. Ia juga kemudian menikahi seorang perempuan Jawa yang hidup dalam daerah kekuasaan kerajaan Mataram.
Pasangan suami istri Parsi Jawa ini kemudian dianugerahi seorang anak perempuan, Siti Aisyah, dan seorang anak laki-laki, Abdul Gafur yang juga dikenal dengan nama jawa nya, Badranaya. Anak perempuan Husein ini lah, Siti Aisyah, yang menurut Hongko merupakan kecantikan sebenarnya.
Parsi dan Jawa yang terpadu membuat mata dan hati Hongko tak dapat lari lagi. Ia kerap memanggil sang istri dengan sebutan Roro Srengenge yang dalam bahasa Jawa berarti putri matahari karena wajahnya yang terang dan menyilaukan hati Hongko, walau sebenarnya Roro sendiri adalah sebuah gelar resmi bagi cucu perempuan susuhunan yang berdarah ningrat atau bangsawan. Tak apa, toh Siti Aisyah adalah ningrat bagi Hongko.
Hebatnya lagi, Hongko dan Husein adalah sesama pecinta oleh kanuragan. Hongko dan Badranaya sang putra kedua Husein juga sama-sama menjadi prajurit pembela keraton Giri sewaktu Giri diserang Surabaya dan Mataram. Beberapa kali pertemuan Hongko dan Husein yang harus dimulai dengan pertarungan malah membuat Husein mantap menerima Hongko sebagai menantunya.
Hongko dan Siti Aisyah tak lama setelah pernikahan langsung dikarunai seorang anak laki-laki.
Sang bocah, yang kemudian diberi nama Nio Kongsing, namun karena ia juga memiliki separuh darah Jawa juga dipanggil Jayaseta, memiliki penampilan yang nyaris berhasil merangkum semua ciri-ciri tubuh orangtuanya. Walau masih belia, ia sudah menunjukkan tubuh yang tegap dan tinggi yang diturunkan oleh kakek melalui ibunya, melebihi tinggi rata-rata teman-teman sebayanya. Walau matanya sipit, hidungnya mancung.
Bagi orang Jawa, sudah barang tentu ia dianggap seorang belia yang tampan. Kulitnya sedikit lebih terang bila dibandingkan dengan teman-teman Jawanya, campuran kulit ayah dan kakeknya, walau akan tersamar oleh warna gelap pula karena sering terpapar sinar matahari. Percampuran ini belum selesai sampai disini.
Kecerdasannya yang luar biasa ternyata mampu membuat orangtuanya, terutama ayah dan kakeknya bangga. Karena dalam olah kanuragan ia sepertinya gampang menyerap apapun yang diajarkan oleh kedua guru utamanya tersebut.
Sejak umur tiga tahunan sewaktu pertama kali digembleng, Jayaseta selalu menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Seperti kali ini, ketika ayah dan kakeknya mulai menunjukkan jurus-jurus kanuragan menggunakan senjata. Ia dengan segera meniru sebisanya.
Dengan rotan panjang di tangannya, ia berjumpalitan meniru jurus-jurus jian su ayahnya. Tak berapa lama dengan rotan yang sama, ia meloncat-loncat sembari meumutar-mutarkan rotan tersebut meniru gerakan pedang sang kakek.
Kakek dan ayah Jayaseta sebenarnya sudah tak terkejut lagi melihat kemampuan meniru jurus Jayaseta ini. Sejak dari usia enam tahun saja, Jayaseta telah menunjukkan kehebatan dan bakat kanuragannya. Ilmu silat dasar dari pasukan santri Giri yang diberikan ayahnya sejenak saja dapat langsung diselesaikan dalam hitungan bulan. Ilmu pedang, keris dan tombak silat Jawa yang menjadi dasar gerakan pasukan Giri ditelan dengan sekaligus. Maka tak heran Hongko dan Husein berpendapat bahwa sudah saatnya mereka mengajarkan jurus-jurus khusus yang menjadi andalan mereka, ilmu pedang Damaskus dan silat Cina.
Hongsing alias Jayaseta mampu menyerap jurus-jurus pedang sang kakek yang berputar-putar dan membelah dengan tegas itu. Tidak hanya itu, ilmu silat Parsi juga terkenal dengan tangan kosongnya. Bedanya dengan silat Jawa, ilmu silat Parsi mengutamakan bantingan, kuncian dan gulat. Ilmu silat ini memang dirancang bagi para prajurit Parsi yang ketika dalam perang terpaksa kehilangan senjatanya.
Dengan menubruk musuk, bergulat di tanah dan menghancurkan musuh dengan mematahkan tangan atau menghajarnya ketika berada di bawah, merupakan sebuah gaya silat yang tepat untuk sesegera mungkin menghindari sabetan pedang yang memang panjang dan tajam dari musuh.
Dalam ilmu silat, Jayaseta dilatih menyerang musuh dengan memukul dengan telapak tangan dan tinju, menendang dan menyikut. Ia juga diajari menghindar dari serangan, berkelit, menangkis atau mundur menghindar. Namun khusus jurus-jurus Parsi sang kakek, Jayaseta dilatih bagaimana bergulat berguling-guling di tanah, membanting musuh ke bumi dan mengunci persendian lengan, kaki atau leher musuh.
Dengan ilmu silat Parsi ini, otot-otot muda Jayaseta menjadi semakin liat dan kepekaan rasanya semakin terlatih. Ia tidak hanya dapat menyerang dan menghindar dari serangan musuh, ia juga dapat melumpuhkan musuh dengan cara yang tidak diduga-duga. Sedangkan dari sang ayah yang memiliki dasar ilmu Cina suku Hui, Jayaseta dilatih kelincahan dan kelenturan tubuh. Ia dapat melakukan gerakan-gerakan gesit seperti melejit ke udara, berputar, mencelat dan beragam gerakan lincah lainnya.
Dalam usia yang sangat muda Jayaseta telah mampu menyerap kelincahan sang ayahanda, termasuk keuletan sang kakek. Tentu saja Hongko dan Husein tak dapat menahan rasa bangga yang meletup-letup di rongga dada mereka melihat sang cucu dan anak yang juga adalah murid mereka sangat berbakat dalam ilmu kanuragan. Mereka akan lebih bangga lagi bila saja mereka tahu bahwa beberapa tahun kemudian, Nio Kongsing alias Jayaseta akan menjadi seorang pendekar tanpa tanding yang terkenal di jagad persilatan dengan gelar Pendekar Topeng Seribu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
y@y@
🔥👍🏿👍👍🏿🔥
2022-11-22
3
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
. blasteran Jawa parsi dan cina.. ganteng banget pasti
2022-10-11
3
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
parsi itu kek orang Arab gitu ya?
2022-10-11
3