Hari dimana Jayaseta akan memulai perjalanan sudah sampai. Ia mengenakan celana pangsi hitam selutut dengan jarit yang mengelilingi bagian bawah tubuhnya dan baju berlengan tanpa kancing. Kakek Keling membekalinya dengan sebuah tas buntalan terbuat dari kulit yang kuat namun ringan. Sang kakek juga membekali Jayaseta dengan keping uang perak dan emas untuk ia gunakan selama perjalanan. Di dalam tas buntalan itu, Jayaseta memasukkan beberapa selembar pakaian dan celana ganti saja. Sisanya ia malah memasukkan topeng-topeng kesayangannya.
Selain itu, tiga buah cakram seukuran gelang yang dulu telah diberikan sang kakek kepada Jayaseta juga ia bawa. Ia letakkan ketiga buah senjata lempar yang sangat tajam itu di kepalanya. Bagian tengah cakram yang berlobang ditempatkan tepat di gelungan rambut di puncak kepala Jayaseta dan membuatnya tertutup oleh iket sehingga terlihat seperti penutup kepala biasa belaka.
Sebelum berangkat ke Mataram seperti anjuran sang kakek guru, Jayaseta mengunjungi makam nenek, kakek, ibu dan ayahnya yang terpisah di beragam tempat di Giri. Doa ia lambungkan, beragam curahan hati juga ia sampaikan kepada Tuhan yang maha kuasa. Ia mantapkan hati dan berjalan meninggalkan tanah Giri dan Gresik yang sepertinya masih terasa panas. Ia melambaikan tangan ke arah kakek Keling yang membalasnya dengan anggukan dan senyuman kecil.
Entah nasib, entah takdir, baru empat hari perjalanan, Jayaseta sudah menemukan ketidakadilan yang terjadi di depan matanya yang membuat Jayaseta sebenarnya sangat bimbang. Di satu sisi dari awal ia dengan perasaan yang meledak-ledak ingin mengalami kehidupa sebenar-benarnya melalui pengelanaan ini. Ia sudah pasti siap menghadapi segala marabahaya yang hadir. Namun di sisi lain ia bukan si pencari perkara. Tidak mungkin perjalanan ini selalu ia gunakan untuk bertarung.
Namun, jiwa keadilan yang melekat di dalam tubuhnya gampang sekali bergolak, meski tak jarang ia khawatir bahwasanya ia akan memiliki kecenderungan mencari masalah dan jumawa karena merasa perlu menggunakan kemampuan silatnya untuk membela orang-orang yang ia anggap sebagai korban. Rasa keadilannya pun harus perlu diasah untuk membedakan mana yang benar, mana yang salah. Tidak semua kejahatan terpapar telanjang di depan mata. Ada kalanya penjahat berwajah malaikat, berbau mawar, dan berkata-kata surga.
Namun kali ini bukanlah hal yang sulit melihat apa yang terjadi. Seorang jawara silat sedang mengamuk di sebuah pemukiman. Dari sebuah tegalan yang ditumbuhi tamanan ketela dan bebatuan, Jayaseta merunduk dan melihat tepat di bawah tegalan berbentuk bukit itu keramaian yang terjadi di bawah.
Di sebuah pelataran bangunan gedek reot yang nampaknya biasa digunakan bagi para petani berkumpul, rehat dari kegiatan pertaniannya, terlihat dua orang petani terluka parah, sedangkan petani yang lain riuh dan terpencar-pencar. Mata mereka menunjukkan rasa takut melihat seseorang yang sedang mengamuk dengan sebuah pedang yang sangat panjang di tangan kanannya. Pedang itu agak berbeda dengan pedang yang pernah Jayaseta lihat karena panjangnya memang luar biasa.
Pedang adalah sebuah senjata yang paling awam dan di kenal di segala negeri dan latar belakang budaya yang berbeda. Hanya saja, dalam sebuah perang atau pertempuran, pedang bukanlah senjata utama yang digunakan. Seorang punggawa biasanya membawa lebih dari satu pedang atau senjata tajam lainnya seperti keris, golok atau belati. Tombak adalah senjata utama dalam sebuah peperangan.
Ini dikarenakan pedang sebenarnya sangat mudah rusak, sompel, bengkok dan patah. Sebuah pedang kerap patah ketika beradu dengan pedang lain. Pedang yang agak panjang ketika patah akan diasah dan dibentuk lagi sehingga menjadi sebuah pedang yang lebih pendek. Sedangkan untuk menyambungkan bilah pedang yang patah tepat di tengah, biasanya akan ditambal menggunakan tumpukan baja lagi dan ditempa kembali.
Oleh sebab itu seorang pandai besi memiliki derajat yang tinggi dan sangat dihormati karena kemampuannya tersebut. Mengingat semua pelajaran jurus berpedang dari ayah, kakek serta wejangan Kakek Keling serta pengalamannya sendiri, Jayaseta mampu melihat penggunaan sesungguhnya dari sebuah pedang.
Namun sebenarnya ada apa gerangan? Agak sulit bagi Jayaseta untuk mengacuhkan apa yang terjadi. Sudah jelas para petani yang semuanya bertelanjang dada itu berusaha menghindar dengan bergulingan dan merangkak di tanah. Tampang mereka sangat menyedihkan. Apalagi kedua rekan mereka sudah terkena bacokan dan terkapar tidak diketahui keadaan sebenarnya.
Mau bagaimana lagi, ini sudah merupakan sebuah ketidakadilan. Ada yang perlu dibela disini. Paling tidak, pertumpahan darah yang tidak berguna dapat dihindari.
Jayaseta pun langsung mengeluarkan topeng panji dari tas buntal kulitnya, melepas baju berlengan tanpa kancing serta jarit yang melingkari bagian bawah tubunya. Ia sekarang hanya mengenakan celana pangsi selutut yang diikat di bagian pinggang, bertelanjang dada dan bertopeng Panji. Dalam satu gerakan saja ia meloncat dan berputar sekali ke udara dan turun dengan mantap di tanah.
Si jawara yang mengamuk dengan pedang panjangnya mendengar ada sosok seseorang yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Pastilah si jawara juga memiliki ilmu kanuragan yang tidak bisa dianggap sepele karena Jayaseta turun dari bukit tegalan dengan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi sehingga hampir tak berbunyi sama sekali namun begitu si jawara dengan sadar menengok ke belakang.
Sang jawara terkekeh demi sekarang melihat sesosok orang yang aneh berdiri di depannya sedangkan para petani yang juga keheranan dan terkaget-kaget dengan kedatangan sosok ini serta segera mengamankan kedua teman mereka dan menyingkir ke keadaan yang lebih aman. Namun begitu mereka tidak kabur, malah masih ingin melihat apa yang akan terjadi karena penasaran dengan kemunculan sesosok bertopeng panji bertelanjang dada dan bergelung keling – rabut panjang yang digelung melingkar di atas kepala – yang entah kapan dan darimana munculnya secara tiba-tiba.
Si jawara dengan pedang panjang ini pun bertelanjang dada dan mengenakan sehelai cawat berwarna abu-abu gelap. Pedang panjangnya ia sampirkan di bahu. Suara kekehannya terus berkumandang pelan. Hawa jahat dan kependekaran orang ini terus terang membuat Jayaseta semakin awas di balik topengnya. Rambut sang jawara yang panjang awut-awutan mengesankannya seperti orang tidak warasa saja, namun tatapan matanya yang tajam yang disembunyikan dibalik kekehan gilanya yang tak berkesudahan tak dapat menipu naluri kependekaran Jayaseta.
Keduanya berdiri berhadapan dalam beberapa waktu. Pemandangan ini bagi para petani malang tersebut adalah sebuah hal yang makin terlihat aneh, padahal kedua pendekar ini sedang menakar kemampuan masing-masing. Tentu saja si jawara berambut acak-acakan berpedang panjang dan bercawat abu-abu gelap itu masih terus terkekeh.
Selang beberapa tarikan nafas tanpa kata sama sekali Jayaseta pun menghambur maju menggunakan Tendangan Gledeknya mengincar kaki sang jawara. Kekehan panjang terdengar dari mulut sang jawara dengan deretan gigi-gigi hitamnya dengan diikuti loncatan sigap ke udara menghindari serangan Jayaseta ini.
Tidak hanya melompat, sang jawara menebaskan pedang panjangnya ke bawah ke arah datangnya lawan. Jayaseta berguling menghindari pedang yang tebasannya menyabet tanah dan membuat guratan panjang dan dalam di sana. Gerakan kedua orang yang sangat cepat tersebut membuat para petani semakin menganga bingung harus bagaimana bersikap.
Pedang panjang sang jawara memiliki banyak keuntungan dalam sebuah pertarungan satu lawan satu seperti ini. Jaraknya yang panjang membuat musuh akan kesulitan untuk mendekat. Maka dari itu Jayaseta melepaskan satu cakramnya dari gelungannya dan melemparkan ke arah sang jawara.
TING!
Cakram beradu dengan ujung pedang sang jawara yang dengan kepekaan seorang pendekar mampu menepis sejata rahasia tersebut. Hal ini sudah diperkirakan oleh Jayaseta karena memang serangan cakram ini bukanlah serangan yang utama, karena walau lemparannya dapat ditepis Jayaseta dapat merengsek maju dan melemparkan satu buah cakramnya lagi.
TING!
Kembali cakram yang kedua dapat ditepis dengan pedang panjang sang jawara. Bedanya kali ini satu jengkal ujung pedang sang jawara patah dan terlempar lumayan jauh. Ini membuktikan hebatnya cakram buatan sang Kakek Keling. Serangan kedua inipun sudah diperkirakan Jayaseta.
Serangan pertama mengikis pedang di bagian ujungnya dan berhasil dipatahkan oleh serangan kedua karena dengan pedang yang panjang tersebut biasanya bagian ujung lah yang merupakan bagian yang rawan rusak. Akibatnya jarak pedang panjang tersebut menjadi terpotong dan Jayaseta berhasil mendekat dan kembali melancarkan sebuah tendangan ke arah bawah tubuh sang jawara.
BRAK!
Paha sang jawara terkena tendangan Jayaseta dengan telak dan membuat nya hilang keseimbangan dan terlempar jatuh. Dasar jawara gila. Ia bangun dengan cepat walau masih hilang keseimbangan, menepuk-nepuk pahanya dan terkekeh-kekeh lagi tanpa terlihat rasa sakit di raut wajahnya. Ia melihat pedangnya yang kini telah berkurang panjangnya, menggeleng dan kekehannya perlahan menjadi sebuah tawa berat yang aneh.
Seorang pendekar mungkin akan paham bahwa ini adalah sebuah perasaan aneh seorang jawara yang senang karena mendapatkan lawan yang kuat atau pantas disandingkan dengan kesaktiannya. Seorang pendekar yang berjalan di jalan kanuragan tidak akan menyesal bila kematiannya berada di tangan seseorang yang pantas. Ya, nampaknya jawara gila ini sudah sampai di taraf tersebut, kematian di jalan pedang adalah kematian yang ia idam-idamkan.
Sinar aneh di mata sang jawara bersinar membara melihat Jayaseta dengan pedang puntungnya ia menghambur maju membabat Jayaseta. Tapi kali ini serangannya menggila, dalam sekali serangan saja ia telah mencoba memotong-motong Jayaseta dengan dua kali babatan menyilang dan tiga kali tebasan atas dan bawah yang semuanya dihindari Jayaseta dengan berguling dan mencelat mundur sejauh mungkin.
Jayaseta juga semakin paham betapa sabetan pedang sang jawara memang sangat berbahaya walau ujungnya sudah patah dan panjangnya berkurang. Jurus-jurus yang ia hadapi ini sangat mirip dengan jurus-jurus para prajurit Mataram, syukur pedangnya sudah tidak sepanjang tadi karena pedang panjang yang ia gunakan memberikan rasa bahaya yang lebih besar.
Melihat serangannya dapat dihindari oleh musuh, sang jawara sekarang benar-benar mengubah kekehannya menjadi tawa. Matanya semakin berkobar mengerikan. Ia mengangkat tangannya lagi siap untuk membabat Jayaseta. Saat itulah pedang panjang putungnya jatuh ke tanah disertai keempat jarinya yang memegang gagang pedang tersebut. Dalam sebuah gerakan yang luar biasa cepatnya Jayaseta kali ini berhasil memapras putus jari sang jawara dengan cakram terakhirnya tanpa sempat diperkirakan sebelumnya.
Sang jawara melongo melihat keempat jari kanannya, kecuali ibu jari, sudah menghilang dari tempatnya. Tak ada ringisan kesakitan sedikitpun. Bahkan ia akan mulai tertawa ketika kerongkongannya tersendat oleh hantaman telak di dadanya. Jayaseta kembali memberikan Tendangan Geledeknya dan sebuah hantaman sisi telapak tangan bersarang di tengkuk sang jawara dan membuatnya terjerembab tanpa sempat mengeluarkan kekehan atau tawa aneh terakhirnya karena ia tak sadarkan diri untuk waktu yang sangat lama.
Para petani yang ketakutan perlahan mendekati sang jawara yang selama ini mereka takuti. Dibalik raut wajah mereka yang kebingungan dan ketakutan di waktu yang sama, mereka juga menyimpan gelora kelegaan dan kegembiraan yang serasa ingin meledak.
Jayaseta memungut ketiga cakramnya dan meletakkan kembali di gelungnya. Tanpa bicara, tanpa terlihat raut wajahnya sama sekali, Jayaseta hanya mengangguk di balik topengnya. Para petani menunduk-nunduk berterimakasih kepada sang sosok pendekar antah berantah ini.
“Haduh … terimakasih kisanak, terimakasih ngger. Kami tidak tahu siapa angger ini, tapi kami yakin angger sakti mandraguna ini adalah pendekar yang baik hati,” salah satu petani yang mungkin paling dituakan diantara mereka berterimakasih kepada Jayaseta. Ini kemudian langsung diikuti dengan ucapan terimakasih seluruh petani miskin tersebut.
Mereka kemudian menjelaskan bahwa si jawara merupakan seorang mantan prajurit Mataram yang meninggalkan ketentaraannya karena kalah di perang melawan pasukan kompeni di Betawi. Sang Sultan Agung Hanyakrakusuma memerintahkan untuk menghukum para prajurit yang kalah di medan laga tersebut dengan memenggal kepala mereka. Sang jawara sendiri adalah salah satu dari banyak prajurit yang melarikan diri dari hukuman mati sang raja.
Setelah lewat beberapa tahun, banyak prajurit yang ternyata linglung dan luntang-lantung tanpa tujuan dan akhirnya menjadi perampok, begundal dan beragam kejahatan lain. Dari sini Jayaseta mengerti mengapa cara bertarung sang jawara serupa dengan prajurit Mataram yang pernah ia hadapi dahulu. Ini juga menjelaskan mengenai kegilaan sang jawara.
Sang jawara ini sudah berkali-kali datang ke kampung mereka dan meminta makan dan uang dengan paksa. Jagoan kampung berhasil ia bunuh dan membuat warga yang memang hampir semua adalah petani menjadi ketakutan. Jadi mereka lebih baik menuruti orang itu yang datang dan pergi sesuka hati, sampai hari ini dimana orang-orang kampung sudah tidak mampu untuk menuruti keinginannya, ia malah mengamuk di sawah.
Jayaseta mendengarkan mereka dengan sedikit saja bicara. Ini membuat sosoknya semakin membuat penasaran meski para petani ini kemudian berterima kasih dengan sangat dan akan memenjarakan sang jawara dengan melaporkannya pada kedipaten.
Apalagi Jayaseta meyakinkan bahwa sang musuh sudah tidak akan mampu bertindak sesuka hati lagi kerena ia telah meremukkan tulang dada sang jawara dan memutuskan urat di lehernya, tak terhitung empat jari yang terputus, membuatnya akan kesulitan bahkan untuk mengangkat cangkul saja.
Tanpa sadar kejadian ini adalah titik awal cerita kemahsyuran Jayaseta di tanah Jawa. Berita mengenai seorang pendekar dengan topeng yang mengalahkan banyak pendekar berilmu tinggi dan para penjahat langsung menyebar dalam beberapa bulan purnama.
Walau sebenarnya Jayaseta hanya mengenakan kurang lebih tiga buah topeng, dan kadang ia hanya menutup wajahnya dengan kain, orang-orang sudah terlanjur menjulukinya Pendekar Topeng Seribu karena topeng yang ia gunakan selalu berganti-ganti antara satu berita dengan berita lain. Satu hal yang membuat banyak orang yakin mengenai adanya sosok ini adalah karena jurus-jurus yang ia peragakan sama sekali lain dan tidak dapat ditebak bentuknya.
Jurus-jurusnya seperti kumpulan gerakan orang yang hanya menyesuaikan dengan gerak lawan. Namun begitu tidak ada yang menyangsikan keampuhan dari jurus-jurus yang Pendekar Topeng Seribu ini miliki.
Dalam waktu beberapa pekan saja perjalanan Jayaseta ia sudah melumpuhkan para pencari gara-gara di beragam kampung. Ia sempat dua kali berhadapan dengan dua orang pendekar yang sedang turun gunung dari padepokan untuk menjajal ilmu mereka.
Kebetulan pula dua orang ini, walau berbeda waktu dan perguruan, sama-sama berasal dari kelompok pendekar beraliran hitam. Jayaseta jadi semakin merasa bahwa ia memang harus menghadapi dunia di Jawadwipa yang sebenarnya. Keras dan liar, dimana sebagai seorang pendekar ia tidak mungkin menghindar dari pertarungan.
Seperti biasa, orang-orang semacam ini akan mencoba mencari masalah dan menantang siapa saja yang dianggap pantas menghadapi mereka. Satu orang terpaksa tewas di tangan Jayaseta karena jarum-jarum racun yang ia gunakan dilemparkan dengan membabi buta dan melukai banyak orang.
Jarum Bumi Neraka adalah perguruan silat yang banyak menelurkan pendekar-pendekar mumpuni, sayangnya murid-murid Jarum Bumi Neraka selalu terlibat dalam beragam peperangan dan dibayar serta digunakan oleh banyak penguasa untuk tujuan-tujuan mereka.
Murid-murid Jarum Bumi Neraka sempat mendapatkan nama baik ketika beberapa dari mereka menjadi anggota telik sandi pasukan Mataram sewaktu penyerangan ke Betawi. Lagi-lagi nama itu kembali memburuk ketika pada serangan Sultan Agung kedua, para telik sandi itu dihadapkan dengan para murid Jarum Bumi Neraka lain yang berhasil dipekerjakan kompeni Walanda untuk melawan serang pasukan Mataram.
Dengan jurus-jurus rahasia ini, murid-murid Jarum Bumi Neraka memang hebat dalam tugas-tugas rahasia. Lemparan jarum-jarum hitam mereka tidak hanya sekadar menancap pada tubuh lawan, namun mampu menembusnya. Ini dikarenakan selain ketepatan dan kemampuan melempar yang harus dipelajari, mereka juga dilatih menggunakan tenaga dalam sehingga lemparan jarum tersebut semakin berbahaya.
Murid-murid yang dipekerjakan kompeni inilah yang diberikan tugas membakar lumbung-lumbung makanan pasukan Mataram serta membunuh pasukan Mataram sebanyak mungkin. Ketika kedua golongan murid Jarum Bumi Neraka yang berada di dua pihak itu bertemu, kedua kelompok tersebut memutuskan untuk berpihak pada kompeni karena dianggap lebih menguntungkan. Kekalahan Mataram pun jelas terpampang.
Untuk melawan musuh yang sama sekali tidak peduli dengan apapun ini, Jayaseta terpaksa membungkam mereka dengan lebih sungguh-sungguh. Namun pertarungan ini tidak mungkin ia lawan hanya dengan menghindari lemparan jarum-jarum berbahaya itu. Sembari berputar dan berguling menghindar, Jayaseta terpaksa harus menghancurkan beberapa tiang bambu sebuah warung makan dimana perkelahian ini terjadi.
Tiang-tiang bambu ini digunakan Jayaseta untuk menangkisi serangan-serangan sang lawan, hingga akhirnya ia menemukan sebuah pisau dapur yang ia gunakan untuk menangkisi jarum lawan sembari merengsek masuk.
Tentu saja ini bukan perkara gampang. Jarum-jarum itu melesat dengan kecepatan dan diimbangi dengan tenaga dalam pula. Angin panas serasa menyertai jarum-jarum itu. Dengan gaya itu pula Jayaseta mengalirkan tenaga dalamnya ke sepotong besi pisau dapur yang biasa dan ringkih tersebut karena bukan digunakan untuk bertarung.
Hasilnya, gesekan pisau dan jarum yang memantul menimbulkan percikan api dan hembusan tenaga yang luar biasa. Warung porak poranda, namun Jayaseta berhasil mendekati musuh dan menanamkan pisau tersebut di delapan bagian tubuh musuh yang kemudian membuatnya terjengkang tanpa nafas dengan darah membanjiri lantai.
Di kesempatan lain, pertemuan terjadi di pasar yang begitu ramai. Orang berjualan ayam, ikan, sayur mayur dan mainan anak-anak di pagi yang cerah itu diganggu oleh seseorang yang mencari gara-gara. Ia merusak warung dan kedai dengan tangan kosong.
Pukulannya menderu-deru bagai godam. Bahkan tubuhnya yang bagai raksasa itu juga kebal dari segala bacokan. Pokoknya pendekar ini benar-benar menggunakan kekuatan badannya yang mengerikan. Tak heran ia menyebut dirinya Raksasa Bukit Batu, karena selain badannya yang besar bagai raksasa, tubuhnya pun keras bagai batu.
Namun begitu Jayaseta sudah siap sekali menghadapi lawan semacam ini. Sekali lagi, ia tidak berkeinginan menantang sang pendekar, walau si Raksasa memang bertujuan mencari lawan yang pantas untuk ia kalahkan.
Jayaseta hanya ingin menghentikan perbuatan mengganggu orang ini. Cara satu-satunya ia terpaksa menantang si raksasa di sebuah alun-alun dekat pasar dengan disaksikan banyak orang. Ia benci ini, ia tidak mau menjadi pusat perhatian, ditonton ketika berkelahi. Perkelahian bukanlah suatu hal yang patut dijadikan hiburan dengan tepukan dan sorakan para penyimak. Oleh sebab itu ia harus menyelesaikan pertarungan ini sesegera mungkin.
Sang Raksasa selain besar tubuhnya juga geraknya sangat gesit. Hal ini yang sedikit luput dari perkiraan Jayaseta. Kedua lengan dan kakinya beberapa kali menghantam pertahanan Jayaseta dan membuatnya tergetar karena begitu kuatnya serangan tersebut. Tenaga dalam yang dialirkan sang Raksasa mengalir merata ke semua bagian tubuhnya. Pendekar semacam ini biasanya juga melatih kekebalan pada bagian-bagian tubuhnya yang lemah dan rawan seperti leher, ulu hati, perut, bahkan ************. Namun bagaimana dengan mata, pikir Jayaseta.
Dengan gerakan berputar-putar yang membingungkan, lima jari Jayaseta membentuk sayap Garuda dan terkembang berkelebat menyerang kedua mata sang raksasa. Teriakan perih menggema. Karena kelengahan ini, Jayaseta dengan kecepatan bagai setan memukul bertubi-tubi ke seluruh bagian lemah sang lawan. Ini dimungkinkan karena dengan mata yang walau hanya sedikit terluka, namun sang Raksasa akhirnya menjadi lengah.
Itulah saatnya Jayaseta benar-benar menggunakan kesempatan menghajar habis sang musuh. Serangan dengan cepat menghajar wajah, dagu, leher, dada, pinggang, ulu hati, ************, paha, lutut dan tulang kering. Sang Raksasa jatuh berdebum. Tidak menyangka selama ini ia telah berlatih habis-habisan untuk dapat menerima segala jenis serangan ke tubuhnya malah kalah dengan pukulan yang bertubi-tubi dilancarkan ke tubuhnya. Ia jadi semacam sasaran pukul dan latihan orang bertopeng ini.
Seluruh ototnya meregang, mungkin beberapa bagian tulangnya retak. Ia masih bisa sembuh, tapi sudah tidak mungkin sombong karena berhasil dipermalukan oleh orang asing bertopeng hanya dalam waktu sekejap. Serangannya dihindari dengan baik oleh si sosok bertopeng, matanya diserang, kemudian ia dihajar.
Sesederhana itu.
Bukan senjata yang melukainya, namun tinju, kepal dan tendangan yang menghancurkan tubuhnya. Itu pula yang akan diceritakan semua orang yang melihat pertarungan itu. Dari mulut ke mulut, belum lagi bumbu tambahan dengan melebih-lebihkan cerita, walau ia sadar tanpa dilebih-lebihkan pun si pendekar bertopeng itu memang memiliki ilmu kanuragan yang sangat tinggi dan berada jauh di atasnya.
Jayaseta kemudian meloncat, melenting dan dengan kemampuan meringankan tubuhnya, memanjati bangunan dan hilang di antara pepohonan sembari diiringi tepukan dan sorakan pujian kemenangan dan kehebatan sang jagoan. Ini seakan meresmikan gelar Pendekar Topeng Seribu yang tidak pelak tersebar ke seantero Jawadwipa. Para tokoh-tokoh dunia persilatan juga sudah mencantumkan namanya di pikiran mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
🍁мαнєѕ❣️💋🄿🄰🅂🄺🄰🄷👻ᴸᴷ
akhirnya bisa lanjut baca ini lagi
2023-04-02
0
Karnadi Bin Daid
jalan cerita nya bagus, cuma sayang alurnya dibikin sepihak jadi cenderung lebih kearah cerita biasa atau lebih terkesan bukan cerita novel tp lebih bersifat pemberitahuan ,karena minim dialog, jd jiwa pembaca tdk ikut lebur dalam alur cerita
2022-12-25
1
👑👑🅚🅘🅝🅖👑👑
lanjuutttt 👍👍
2022-07-14
2