"Kakak Ifa di panggil Abi dan ummah ke ruang kerja."
Suara cempreng mengalun, memekik, menyakiti gendang telinga Adiba Hanifa Khanza. Yang kerap di panggil Ifa oleh keluarga tersayang.
Ifa menatap adiknya tajam, kebiasaan masuk kamar suka tak ucap salam.
"Kalau masuk kamar kakak atau siapapun ucap salam dulu, dek."
Tegur Ifa tegas, sambil membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja belajar.
"Hehehe .., maaf kak. Soalnya buru-buru. Dah, Assalamualaikum."
Ifa menggelengkan kepala melihat tingkah adiknya.
Habibah Harfa Al-karim, kerap kali di panggil Harfa oleh keluarga besar. Adik Ifa, anak bungsu Abi Farel dan ummah Sinta.
Kedua kakak beradik yang sangat cantik-cantik. Namun, keduanya berbeda karakter.
Wajah Ifa memang duplikat Abi Farel. Sangat cantik, tegas, dingin nan sedikit tomboy. Hanya sifatnya saja menuruni ummah Sinta dulu.
Gadis yang anti dekat dengan laki-laki. Selalu risih jika di dekati. Waktunya hanya di habiskan untuk kerja dan kerja.
Sedang Harfa, gadis cantik, ceria, murah senyum dan bisa akrab dengan siapapun membuat Harfa banyak di sukai kaum Adam.
Wajahnya duplikat ummah Sinta namun sifatnya seperti Abi Farel. Apalagi jika sudah manja.
Ifa menuruni anak tangga, berjalan pelan menuju ruang kerja sang Abi. Dada Ifa berdebar merasakan sesuatu yang tak enak. Namun, Ifa menepisnya mencoba bersikap tenang.
Mungkin saja Ifa di panggil mau membahas pekerjaan di kantor. Ifa berusaha berpikir positif saja. Walau jujur, Ifa sedikit merasa heran kenapa ummah nya juga ikut.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Abi, ummah."
Ucap Ifa tatkala mendorong pintu ruang kerja sang Abi.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Kak,"
Jawab Abi Farel dan ummah Sinta. Mereka berdua tersenyum melihat putri pertama mereka yang sudah tumbuh besar secepat itu. Rasanya baru ke maren ummah Sinta mengandung kakak Ifa. Ummah Sinta tak menyangka jika putrinya akan tumbuh menjadi gadis tomboy dan dingin. Padahal waktu ngidam kakak Ifa, masyaallah nya luar biasa.
"Duduklah, kak."
Ifa langsung duduk di hadapan kedua orang tuanya. Ifa bersikap tenang walau hatinya terus bergemuruh bertanya-tanya.
"Kapan kakak mengenalkan laki-laki pada Abi dan ummah. Usia kakak sudah matang, loh."
Deg!
Ifa tertegun mendengarnya. Dadanya berdenyut nyeri. Pasalnya ibu bukan yang pertama kedua orang tuanya bertanya mengenai laki-laki.
Bibir Ifa bergetar, mengatup rapat. Bingung harus menjawab apa. Kenapa harus bahas laki-laki dan laki-laki. Ifa tak tahu harus seperti apa bersikap. Ifa takut salah jawab dan malah menyakiti hati kedua orang tuanya.
Sejujurnya Ifa, belum siap menikah. Belum ada yang cocok untuknya. Ifa masih belum bisa memutuskan tentang pernikahan.
Tak ada yang tahu tentang perasaan Ifa saat ini. Ifa selalu berperang dengan perasaan nya sendiri.
Mengingat hebatnya ujian rumah tangga temannya membuat Ifa takut akan namanya pernikahan. Walau Ifa percaya tak semua laki-laki saja. Buktinya Abi Farel. Sosok suami yang begitu menyayangi istri dan sosok Ayah yang begitu menjaga putri-putri nya dengan limpahan kasih sayang dan cinta. Menjaga sebaik mungkin agar tidak lecet sedikitpun.
Perasaan Ifa campur aduk. Keringat dingin mulai membanjiri pelipis Ifa.
"Kak."
Ifa tersentak akan usapan lembut tangan yang sudah puluhan tahun berjuang menjaganya penuh kasih. Memeluknya penuh Cinta.
Walau tangan itu tak selembut dulu, tapi bagi Ifa tangan itu tetap lembut. Ifa berusaha tersenyum mencoba menatap ummah Sinta dan membalas genggaman tangan ummah Sinta.
"Adek Harfa sudah ada yang melamar."
Ifa terhenyak mendengar ucapan ummah Sinta. Ifa memicingkan mata, tapi seperti nya ummah Sinta tak bohong. Dan tak mungkin kedua orang tuanya berbohong akan hal penting.
"Ummah tak mau kakak di langkahi. Ummah ingin tetap kakak yang menikah duluan baru adek Harfa."
Sesak rasanya dada Ifa seolah pasokan udara di ruang kerja sang Abi yang luas itu terasa sempit.
Ifa diam tak bergeming dengan pikiran rumit. Tak tahu harus menjawab apa setiap kalimat yang di ucapan kedua orang tuanya.
Menikah!
Kata itu padahal belum terlintas di pikiran Ifa. Tapi bagaimana? Ifa tak tega melihat raut wajah sendu kedua orang tuanya. Pasti berat juga bagi kedua orang tuanya memutuskan hal besar itu.
"Abi sudah ada calon untuk kakak."
Deg!
Sekali lagi, Ifa terhenyak. Apa? abi nya sudah ada calon. Ifa tak menyangka jika kedua orang tuanya sudah menyiapkan semuanya. Padahal Ifa merasa tak apa di langkahi. Rasanya Ifa ingin mengatakan hal itu tapi keburu sang Abi bicara.
"Dia baik, paham agama. Seorang santri pula. Insyaallah calon yang baik untuk kakak. Walau dia belum punya pekerjaan tetap. Setidaknya dia paham agama yang pasti bisa membimbing kakak dengan baik."
"Dunia, kita sudah punya, Abi ingin punya calon yang paham agama. Abi merasa tenang melepas kakak pada orang yang paham agama."
Lidah Ifa semakin kelu. Ingin rasanya berteriak tak mau. Tapi, Ifa hanya bisa menelan ludahnya kasar. Tak tega Ifa harus menyakiti kedua orang tuanya dengan jawaban penolakan. Tapi, bagaimana dengan diri Ifa sendiri yang memberontak. Rasanya Ifa tak tahu harus bersikap seperti apa.
Melihat tatapan pengharapan kedua orang tuanya membuat hati Ifa tersayat.
Tak tega rasanya menyakiti hati selembut sutra itu.
"Ab--"
"Jangan dulu di jawab. Abi dan ummah hanya ingin kakak mempertimbangkan nya saja. Kalau kakak sudah punya calon, bawa ke rumah."
Potong Abi Farel tak ingin putrinya terbebani. Abi Farel memberi kesempatan Ifa memilih pasangannya sendiri. Kecuali memang Ifa menyetujui calon pilihannya.
Sebenarnya bukan calon pilihan Abi Farel juga. Hanya saja Abi Farel tak mungkin bersikap kurang ajar pada laki-laki yang mau melamar putrinya. Apalagi keluaran pesantren. Bagi Abi Farel agama adalah nomor satu dari apapun.
"Kakak bisa pikir-pikir dulu. Hanya saja jangan lama ya. Kakak sendiri kan tahu bagaimana adek. Abi hanya takut adek khilaf."
Ifa mendesah pelan mendengarnya. Ifa tahu adiknya memang sangat ceria, welcome sama siapapun tanpa mengenal batasan walau dalam batas wajar jika sama lawan jenis.
"Terimakasih Abi dan ummah memberi waktu. Insyaallah Ifa akan pikirkan semua ucapan Abi dan ummah."
Ucap Ifa pada akhirnya. Setidaknya kedua orang tuanya memberi ia waktu.
"Terimakasih kak. Ummah bangga."
Ifa tersenyum tipis. Sudah membahas masalah pernikahan. Ifa keluar dari ruang kerja Abi Farel.
Langkah Ifa begitu berat namun memaksakan diri menjauh dari pintu ruang kerja menuju lantai atas di mana kamar dirinya dan kamar adek Harfa.
Setiap langkah yang Ifa langkahkan terasa berat. Seolah membawa beban berat di pundaknya.
Tangan Ifa menggantung ketika akan membuka pintu kamarnya. Ifa melirik pada kamar sang adik yang ada di sebrang nya.
Langkah Ifa berbelok menuju kamar sang adik. Ifa ingin tahu kenapa adiknya tak bilang jika sudah ada yang melamarnya.
"Assalamualaikum, dek."
Ucap Ifa mendorong pintu kamar sang adik. Dahi Ifa mengerut melihat tak ada Harfa di kamarnya. Namun, pintu balkon terbuka. Ifa berjalan ke arah balkon yang di yakini pasti Harfa ada di sana.
"Mas tolong mengerti ya. Mas kan tahu aku sangat menyayangi kakak. Aku takut menyakiti kakak jika aku melangkahinya. Sabar, ya."
Deg!
Hati Ifa berdenyut nyeri mendengar ucapan adiknya. Ifa diam mematung, kakinya berat sekali melanjutkan langkahnya. Namun, Ifa memaksa keluar dari kamar sang adik dengan beban yang semakin berat.
Bersambung ...
Jangan lupa tinggalkan jejak ya 🙏🙏🙏🥰🥰🥰
Like, komen yang banyak-banyak ..
Kasih kopi dan bunganya dong hehehe ..
Berkali-kali Ifa memijat pelipisnya. Di depannya tumpukan berkas menumpuk.
Hari ini Ifa benar-benar tak semangat bekerja. Ucapan sang adik dan kedua orang tuanya terus berisik di telinga nya.
Ifa tak tahu harus berbuat apa dan memutuskan apa. Ifa juga tak mungkin menolak hingga membuat sang adik terus menunda-nunda pernikahannya karena dia.
Ifa tak mau jadi penghalang kebahagiaan adik tercintanya. Ifa sangat menyayangi Harfa demi apapun. Ifa tak sanggup jika melihat adiknya sedih. Apalagi kedua orang tuanya berharap banyak padanya.
Usia Ifa memang sudah memasuki usia ke dua puluh tujuh. Beda dua tahun dengan Harfa. Sekarang Harfa berusia dua lima. Sukses menjadi seorang dokter seperti ummah Sinta.
"Astaghfirullah! Apa yang harus aku lakukan."
Gumam Ifa mengusap wajahnya kasar. Ifa menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata.
Bukan memikirkan pekerjaan Ifa malah terus bergelut dengan keputusan yang akan ia ambil.
Tok ... Tok ...
Ketukan pintu membuat Ifa kembali membuka kedua matanya.
"Masuk."
Seru Ifa membuat seseorang muncul di balik pintu.
Laki-laki gagah berjalan cool menghadap Ifa. Sorot matanya sangat tajam namun meneduhkan.
"Maaf nona, apa berkas tadi sudah di tanda tangani?"
Tanya Mikail menundukkan pandangan. Terdengar Ifa membuang nafas kasar. Berkas yang Mikail pinta belum selesai Ifa tanda tangani semuanya. Dari tadi Ifa tak fokus bahkan sekedar tanda tangan saja terasa berat.
Mikail memberanikan diri menatap Ifa karena Ifa tak kunjung menjawab hanya helaan nafas kasar berkali-kali keluar.
"Nona sakit?"
Tanya Mikail suaranya kini terdengar khawatir.
"Tidak. Tapi Ifa belum menandatanganinya."
Ifa mengambil berkas di hadapannya lalu menandatangi dengan cepat tanpa memeriksa kembali. Bukan Ifa seperti biasanya membuat Mikail heran. Biasanya Ifa sangat teliti sama pekerjaan. Selalu memeriksa ulang laporan baru menandatangi laporan yang perlu di tanda tangani. Tapi kali ini Ifa mencoret-coret asal tanda tangannya.
"Ail, Ifa sudah katakan jangan panggil Nona. Kakak saja sama seperti Harfa."
Tegur Ifa sambil menyerahkan berkas pada Mikail.
Mikail tidak menjawab. Ia hanya menunduk lalu izin pamit.
Mikail Al-Haidar, putra tunggal om Yandi dan Tante Cantika. Usianya baru menginjak dua lima, sama dengan usia Harfa. Yang kerap di sapa Ail, oleh Ifa apalagi Ifa sudah menganggap Mikail seperti adiknya sendiri.
Setelah Mikail keluar, Ifa mendesah kembali. Ingatan Ifa kembali pada dua tahun silam. Dimana Ifa menyaksikan sahabatnya di siksa oleh suaminya yang ternyata seorang pemabuk.
Waktu itu Ifa berniat menjenguk sahabatnya yang katanya sakit karena tak masuk kantor. Dulu asisten Ifa adalah sahabatnya sendiri. Karena kejadian itu berhenti dan pindah hingga di gantikan oleh Mikail yang waktu itu juga baru lulus kuliah.
Ifa melihat dan mendengar dengan kepala matanya sendiri bagaimana sahabatnya menjerit dan memohon ampun. Andai saja Ifa telat sedikit saja mungkin nyawa sahabatnya sudah melayang.
Sikap penjudi, pemabuk dan tempramen membuat sahabat Ifa tersiksa dalam pernikahannya. Padahal dulu suami sahabat Ifa terlihat baik, lemah lembut dan sopan. Apalagi kebetulan Ifa kenal dengan suami sahabatnya itu. Tapi siapa sangka nyatanya di balik wajah polosnya menyimpan sesuatu yang mengerikan.
Sampai sahabat Ifa di bawa ke rumah sakit dan suami nya di penjara akan hal itu.
Tak terasa air mata meluncur deras membasahi wajah Ifa. Terasa sesak mengingat kejadian itu. Rasanya Ifa tak kuat membayangkan berada di posisi sahabatnya.
Walau Ifa gadis tergolong tomboy tapi Ifa punya hati yang sangat rapuh.
Ifa bak cangkang kosong. Yang terlihat di luar sangat kuat. Nyatanya itu hanya fatamorgana.
Namun, mengingat ucapan adiknya di telepon dengan kekasihnya membuat Ifa kembali bimbang.
Rasa takut begitu mendominasi tapi kasih sayang pada keluarganya melebihi besar rasa takutnya.
Ifa menyeka air matanya, lalu meminum air mineral yang tersedia di atas meja kerjanya. Berharap setitik saja hatinya merasa tenang.
Adzan dhuhur berkumandang membuat Ifa langsung pergi ke kamar khusus yang berada di ruangannya untuk melaksanakan sholat.
Sesibuk apapun memang Ifa tak pernah menunda kewajibannya.
Sudah sholat dan berdoa sangat khusyu kali ini. Ifa kembali keluar dari kamarnya.
Ifa tersenyum melihat sudah ada makanan di atas meja kecil, sofa sana.
Sudah jadi kebiasaan memang. Ifa jarang makan di luar. Memilih makan di ruangannya semenjak tak ada sahabatnya.
Mikail sudah tahu dan terbiasa akan menyiapkan makan siang untuk bosnya.
Mikail memang asisten yang dapat di andalkan. Walau wajahnya selalu datar entah kenapa Ifa juga tidak tahu.
"Bismillahirrahmanirrahim ...."
Ifa membaca doa sebelum menyantap makan siangnya.
Ifa mencoba menelan kasar makanan yang terlihat lezat itu. Tapi terasa hambar di lidah Ifa. Mungkin karena perasaan dan pikiran Ifa yang bercabang tapi Ifa tetap memaksa makan. Karena sayang akan makanan yang sudah Mikail beli dan juga Ifa tak mau sakit yang ujungnya akan membuat kedua orang tuanya sedih.
Sudah makan Ifa kembali melanjutkan pekerjaan nya.
Ponsel Ifa berdering terdengar notifikasi pesan. Ifa langsung melihatnya.
..."Assalamualaikum kakak. Jangan pulang telat ya. Laki-laki yang Abi maksud akan datang ke rumah. Semoga kakak sudah bisa memutuskan dengan baik."...
"Astaghfirullah! Lahaula wala quwata illa billahil aliyil adzim!"
Gumam Ifa menjatuhkan ponselnya saking terkejut membaca pesan dari ummah Sinta.
Rasanya Ifa ingin menjerit, meraung dan menangis. Kenapa bisa secepat itu. Bukankah kedua orangtuanya akan memberi ia waktu. Bahkan ini baru semalam mereka bilang tapi siang ini Ifa harus di hadapkan dengan keputusan terberat dalam hidupnya.
Rasanya mood kerja Ifa benar-benar hancur hari ini. Bahkan makanan yang tadi Ifa paksa makan memaksa keluar kembali.
Kepala Ifa sangat pusing, mata Ifa memerah. Sungguh, Ifa tak tahu harus berbuat apa. Hidupnya terasa harus di gadaikan demi kebahagiaan keluarganya.
Raut wajah pengharapan dan suara permohonan berisik di kepala dan telinga Ifa membuat Ifa rasanya tak bisa melanjutkan pekerjaan nya lagi. Ifa butuh suasana yang menenangkan.
Dengan cepat Ifa keluar dari ruangannya kebetulan Ifa berpapasan dengan Mikail membuat Ifa tak perlu ke ruangan Mikail.
"Ail, kensel meeting sore nanti."
"Nona mau kemana?"
Tanya Mikail namun hanya suara langkah kaki yang terdengar menjauh hingga hilang di balik lift.
Mikail menghembuskan nafas kasar. Matanya berubah sendu, pasti ada sesuatu yang tak beres.
Di dalam lift wajah Ifa terlihat tegang dengan tangan mengepal erat.
Semua karyawan yang melihat bosnya keluar dari pintu lift mengerut heran. Pasalnya mereka baru kali ini melihat bos mereka berwajah dingin seperti itu.
Sinta langsung membawa mobilnya meninggalkan perusahaan. Membelah jalan yang cukup ramai dengan kecepatan tinggi.
Jangan bilang Ifa mau bunuh diri agar keluar dari kesulitan itu.
Kejauhan, Ifa menghentikan mobilnya di jalan yang cukup sepi. Di kiri kanan banyak pohon rindang terlihat menyeramkan seperti di film horor.
Brak!
Ifa menutup pintu mobil dengan kencang melangkah ke depan mobilnya lalu menatap ke atas sana.
"Akhhh!!!!"
"Akhhhh!!!!"
Jerit Ifa meluapkan segala beban pikirannya dengan menjerit. Tak ada yang menyangka gadis tomboy nan kuat itu bisa serapuh itu.
Gadis yang jarang banyak bicara kecuali ada yang penting. Lihatlah sekarang menjerit-jerit meluapkan segala kesesakan di dadanya.
Air mata Ifa meluncur dengan rintikan hujan yang mulai turun menemani tangis kepiluan Ifa. Padahal tadi pagi masih cerah tapi siang ini alam pun ikut merasa sakit melihat kerapuhan Ifa.
Air hujan memeluk Ifa seolah mengisyaratkan jika ia akan menemani Ifa.
Bersambung ..
Jangan lupa tinggalkan jejak ya ...
Kasih Like yang banyak-banyak ...
Jangan lupa Komen dan Subscribe juga ya biar novelnya tambah melambung .....
Ifa melangkah gontai ke dalam rumahnya dengan pakaian yang berbeda. Tak mungkin Ifa pulang dengan keadaan basah kuyup. Bisa-bisa banyak pertanyaan yang harus di jawab Ifa. Ifa tak mau menambah beban pikirannya sendiri.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Abi, Bunda."
Ucap Ifa penuh semangat seolah tak terjadi apapun.
Suasana di ruang tamu seketika hening mendengar suara tegas mengucap salam.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Jawab semua orang di ruang tamu. Tidak hanya ada Abi Farel dan ummah Sinta di sana. Ada beberapa orang juga yang di yakini keluarga laki-laki yang akan melamarnya.
"Sini duduk kakak."
Ifa duduk di samping ummah Sinta hingga matanya bertatap dengan mata meneduhkan milih laki-laki berbaju kokok. Terlihat seperti orang alim namun Ifa menatapnya dingin apalagi melihat senyuman nya membuat Ifa mual.
Kesan pertama saja sudah membuat Ifa mual. Ifa pikir orang yang paham agama akan menundukkan pandangannya.
"Masyaallah, cantik sekali putri kalian. Pantas saja Akmal ingin acara lamarannya di percepat."
Celetuk seorang wanita paruh baya yang di yakini ibu dari laki-laki yang terus menatap lapar Ifa.
Hati Ifa entah berapa kali berdenyut. Apa katanya di percepat lamarannya. Berarti sang Abi sebelumnya sudah menerima. Sungguh Ifa sedikit kecewa. Katanya akan memberi Ifa waktu nyatanya bukan waktu yang di berikan tapi sebuah keputusan yang harus di putuskan.
"Putra saya keluaran pondok pesantren. Insyaallah agamanya bagus. Kedatangan kami ke sini berniat melamar nak Adiba untuk putra kami Akmal."
Seru suara berat yang di duga itu ayah dari laki-laki yang bernama Akmal yang berada di hadapan Ifa.
"Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya. Saya serahkan jawaban nya pada putri saya."
"Kakak bagaimana, nak?"
Ifa meremas ujung jilbab panjangnya. Ingin sekali ia berteriak menolak. Lagi, tatapan kedua orang tuanya penuh harap. Apalagi tadi ada chat masuk padanya sebelum pulang. Dari calon adik iparnya yang memohon pada Ifa.
Ifa menjadi serba salah. Sungguh berada di situasi yang sangat sulit itu membuat Ifa benar-benar tak nyaman.
Ifa rasa nya ingin mengenal dulu calon suaminya itu. Tapi, desakan dari berbagai pihak membuat Ifa tak berkutik. Bahkan Ifa tak di berikan waktu cukup untuk berpikir.
"Bismillahirrahmanirrahim."
"Ifa menerima nya."
Jawab Ifa dingin namun terdengar membahagiakan bagi semuanya.
Andai ibu calon adik iparnya tak sakit mungkin Ifa ingin meminta waktu. Tapi, ibunya sakit-sakitan dan ingin anaknya segera menikah.
Ifa sangat terpaksa tapi tak bisa berbuat apa-apa.
"Alhamdulillah."
Ifa berusaha tersenyum melihat pancar kebahagiaan di sorot kedua orang tuanya.
Rasanya Ifa ingin segera pergi dari ruang yang menyesakan itu. Apalagi Ifa sangat risih di tatap terus oleh laki-laki asing.
Hacim ..
Hacim ..
Ifa bersin-bersin membuat Ifa pamit dengan sopan masuk kamar.
Bersin-bersin tersebut memang asli tapi Ifa menjadikan kesempatan agar bisa kabur dari ruang keluarga.
Ifa tak mau lagi tahu tentang pembahasan selanjutnya. Toh, dia juga sudah menjawab lamaran itu. Ifa berharap keputusannya sudah benar. Ifa berharap calon suaminya adalah laki-laki yang baik, penuh tanggung jawab dan tentu penyayang seperti Abi Farel.
Ifa akan berusaha menerima takdir yang tak di inginkan ya. Demi kebahagiaan kedua orang tua dan adiknya. Setidaknya Ifa tak akan menghalangi langkah adiknya.
Ifa mandi air hangat karena badannya sedikit menggigil akibat kena hujan. Tak lama adzan magrib berkumandang. Ifa langsung melaksanakan kewajibannya.
Hujan di luar sana sudah reda, namun udara dingin tetap sama. Membuat Ifa mematikan AC di kamarnya. Seperti nya tubuh Ifa tak bisa menerima kedinginan saat ini.
Tok .. Tok ...
"Masuk."
Seru Ifa tanpa menoleh sedikitpun. Ifa sibuk membaca email yang di kirim Mikail.
"Assalamualaikum, kakak."
Sapa Harfa membuat Ifa langsung menoleh mendengar suara adiknya.
Ifa terdiam menatap sang adik yang berjalan ke arahnya dengan raut wajah sendu. Bukankah Harfa harusnya senang kenapa malah terlihat lesu.
"Waalaikumsalam, dek. Kenapa?"
"Maafkan adek, kak. Adek merasa jahat karena keadaan ini membuat kakak harus memutuskan hal rumit."
Ifa mendesah pelan. Tak tahu harus mengatakan apa.
Sejatinya mereka berdua memang saling menyayangi satu sama lain. Hanya saja keadaan membuat salah satunya harus berkorban.
"Kakak gak apa. Bagaimana keadaan ibu mertua adek?"
"Kritis! Maafkan adek. Ibu Mas Zidan meminta mas Zidan segera menikah."
Ifa mendesah lagi. Ifa tahu pasti sulit di posisi Harfa juga. Jika Ifa tak menerima lamarannya Harfa pun tak boleh menikah. Karena kedua orang tuanya kekeuh ingin Ifa dulu yang menikah baru Harfa.
"Sudah jangan sedih. Doakan saja semoga calon suami kakak laki-laki seperti Abi."
"Aamiin."
Kedua kakak adik itu saling peluk satu sama lain. Tak ada satupun yang mau berada di posisi Ifa. Yang harus terdesak segera menikah karena suatu keadaan dan orang tuanya kekeuh tak ingin Ifa di langkahi. Hingga Ifa harus menempuh jalan ini.
Ifa belum pernah jatuh cinta pada siapapun kecuali pada Abi Farel yang menjadi cinta pertama nya. Apa Ifa mampu mencintai sosok yang akan menjadi suaminya atau malah sebaliknya.
Ifa berharap keputusannya menerima lamar itu menjadi awal kebahagiaan nya. Ifa akan berusaha menerima segala kekurangan apapun dari suaminya kelak asal dia bisa memperlakukan Ifa dengan baik.
"Sudah. Adek mandi gih. Pasti sebentar lagi ummah panggil untuk makan malam."
Tomboy kelihatannya tapi Ifa adalah gadis yang sangat lemah lembut. Pada keluarganya, terutama pada Harfa.
Harfa mengangguk berlalu dari kamar sang kakak.
Ifa menatap sendu punggung Harfa sampai menghilang di balik pintu. Ifa memijit pelipisnya yang terasa berat. Kenapa hari ini begitu berat hari yang Ifa hadapi. Secepat itukah Ifa harus melepas lajangnya. Bahkan dengan orang yang tak Ifa kenal.
Ifa belum tahu bagaimana sikapnya. Tapi melihat sang Abi begitu berharap membuat Ifa yakin. Mungkin pilihan sang Abi adalah pilihan yang baik buatnya. Ifa mencoba menerima takdir hidupnya.
Apalagi Ifa sudah memutuskan menerima lamaran itu. Ifa tak bisa mundur lagi. Ifa hanya butuh kekuatan untuk mengahadapi nya.
"Jika memang ini takdir mu ya Allah. Kuatkan hati Ifa menerima setiap takdir mu."
Gumam Ifa menekan hatinya untuk lapang dada.
Takdir ini rasanya tak ada dalam benak Ifa. Tapi, Ifa harus berada dalam kondisi yang membuatnya tak ada pilihan.
Entah takdir apa yang menunggunya di depan sana.
Berkali-kali mencoba menguatkan diri agar tidak terlihat lemah. Ifa tak mau mengecewakan kedua orang tuanya. Jika kedua orang tuanya ridho Ifa ikhlas menjalani nya.
Cukup lama Ifa melamun membayangkan nasibnya. Sampai adzan isya berkumandang. Ifa langsung menjalankan kewajibannya. Sudah selesai sholat isya Ifa keluar dari kamar tepat Harfa juga keluar. Kakak beradik itu turun ke lantai satu untuk makan malam.
Di bawah Abi Farel dan ummah Sinta tersenyum melihat kedua putrinya turun bareng.
"Wah, putri-putri ummah sebentar lagi jadi manten. Auranya sangat berbeda."
"Ah, ummah...,"
Rengek Harfa tersipu malu. Bahkan wajahnya memerah. Berbeda dengan Ifa yang hanya tersenyum tipis dengan wajah datarnya.
Walau hati sakit tapi Ifa tetap mencoba tersenyum di depan kedua orang tuanya. Apalagi kedua orangtuanya terlihat bahagia begitu.
Rasanya Ifa sulit menelan makanan yang nampak lezat itu.
"Oh, iya kak. Pernikahan kakak Minggu depan seminggu sebelum puasa ramadhan."
Deg!
Bersambung ...
Aduh nyesek sekali ini🥺🥺🥺😭
Jangan lupa tinggalkan jejak yang banyak ya ..
Kasih mawar biara tambah semangat hehe ...
Like, komen, dan Vote jangan ketinggalan ..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!