Hari masih siang ketika Savier menghampiri Gabriel yang sudah menunggunya di dekat gerbang keluar fakultasnya. Gadis berkacamata itu dengan setia duduk di atas sepeda sambil melambai ke arahnya. Merasa tidak enak jika ia tidak ikut melambai, Savier pun mengangkat tangan kanannya dan membalas lambaian tangan Gabriel. “Sudah lama menunggu, Gab?” tanya Savier sambil mensejajarkan sepedanya dengan sepeda Gabriel.
“Sangat lama malah, tapi berhubung kau sudah datang, rasa lelahku menunggu mendadak hilang. Ayo pergi!”
Savier mengangguk dan kembali mengayuh pedal sepedanya mengikuti Gabriel yang sudah mengayuh sepedanya menjauh. Hanya butuh beberapa detik bagi Savier untuk menyamakan laju sepedanya dengan laju sepeda Gabriel. Mereka lalu mengayuh sepeda beriringan dengan laju yang selaras menyusuri jalanan kampus.
Senyum lembut berkembang di bibir tipis Gabriel, ia bersenandung ria menikmati perjalanan pulang mereka. Meskipun sudah sangat amat sering mereka pulang bareng seperti ini, namun hari ini berbeda, karena hari ini Gabriel berniat untuk mengambil jalan yang panjang lagi memutar untuk tiba di tempat kos.
“Vier, di persimpangan nanti kita belok kanan, ya?”
“Belok kanan, kos kita kan ke kiri, mau ke mana rupanya?” tanya Savier sedikit penasaran.
“Apa kau tidak bosan, selalu pulang dan pergi melalui rute yang sama?”
“Tidak, aku tidak melihat satu alasan pun untuk mengubah rute. Lagipula, itu rute yang tercepat dari semuanya.”
“Ah…, aku salah karena telah menanyakan hal itu padamu, kalau begitu aku akan berterus terang: kita akan pulang setelah mengunjungi pantai.”
“Seriusan? Jarak dari sini ke pantai lumayan jauh, lho.”
“Jauh? Kan cuma enam belas kilometer lebih, Vier. Paling lama, dengan kecepatan kita ini, kita bisa sampai ke sana kurang dari satu jam. Jangan bilang kalau kau tidak sanggup mengayuh sepeda selama itu? Aku bakal tertawa terbahak-bahak kalau kau mengiyakannya, lho!”
“Yang benar saja, tak mungkin aku tak sanggup kalau hanya segitu. Aku hanya mengkhawatirkanmu saja, akan merepotkan kalau kau merasa lelah terus minta beristirahat.”
“Heee… kau mengkhawatirkanku? Aku tidak tahu apa aku harus tersenyum senang atau tertawa, tapi tidak perlu khawatir, kalau aku kelelahan nantinya maka aku hanya perlu minta diboncengi olehmu, bukan begitu?”
Savier langsung menutup mulutnya dengan rapat. Ia menyerah; memenangkan argumen dengan Gabriel adalah hal yang sangat sulit baginya. Kalau sudah begini ia hanya akan meng-iyakan setiap pemintaan egois Gabriel. Ia bisa menolaknya kalau ia ingin, tapi entah kenapa Savier tidak bisa membawa dirinya untuk menolak ajakan Gabriel. Bukan hanya saat ini saja, tapi dari dulu sewaktu sekolah menengah atas pun begitu. Sangat sulit baginya untuk mengatakan tidak pada Gabriel, seolah-olah jika ia mengatakan tidak maka ia suatu saat akan menyesal.
“Vier…? Kau… tidak mau?”
“Tidak, bukan begitu, aku hanya teringat sesuatu saja.” Savier menggelengkan kepalanya pelan dan kembali fokus pada jalan yang terhampar panjang. “Kalau begitu ayo balapan ke sana, yang menang berhak meminta hadiah sama yang kalah, bagaimana?”
“Hooo… kau berani? Bahkan kau belum pernah bisa mengalahkanku dalam bermain catur, kau yakin bisa menang dalam hal ini?”
Savier mengernyitkan keningnya, ia sungguh merasa kesal diperingatkan hal itu oleh Gabriel. Ia memang belum pernah bisa mengalahkan Gabriel dalam permainan catur, ia bahka sudah menyerah melakukan itu sejak semester genap kelas tiga sekolah menengah atas dulu. Gabriel adalah lawan yang terlalu tangguh buatnya, semua trik-triknya bisa terbaca dengan mudah oleh Gabriel. Yang paling jauh yang bisa ia lakukan hanyalah memaksakan draw, itu pun karena Savier menggunakan langkah-langkah yang sulit yang berhasil membingungkan Gabriel. Akan tetapi, kali ini berbeda, sepeda sangat jauh berbeda dengan catur. Ia tidak akan bisa memandang mata Gabriel kalau sampai ia kalah dalam hal ini. “Tentu sa-“
“Aku akan menang, Vier!”
Mata Savier membelalak lebar mendengar teriakan yang sudah memotong ucapannya. “Oi, Gab!” teriak Savier setengah kesal sembari menambah kecepatannya mengayuh pedal sepeda. Tapi Gabriel tak peduli, ia tetap mengayuh kencang sepedanya setelah mencuri start duluan dari Savier yang tadi melamun. “Aku akan menang!” seru Gabriel lagi dengan senyum penuh kemenangan.
Kedua sepeda itu melaju kencang menyusuri jalan beraspal. Sepeda kota berwarna biru muda yang dikendarai Gabriel memimpin jalan dengan sepeda serupa namun berwarna hitam mengejarnya dengan beringas. Kedua sepeda itu terpisah belasan meter, dan setelah sepuluh menit berlalu, tidak ada tanda-tanda kalau sepeda kedua akan berhasil menyusul sepeda pertama.
Savier sengaja tidak mengayuh dengan sekuat tenaga, ia sengaja membiarkan Gabriel berpikir kalau dirinya sudah mengayuh dengan sekuat tenaga dengan cara menampilkan ekspresi lelah di wajahnya tiap kali Gabriel melirik ke belakang. Dengan begitu, ia harap Gabriel akan terkecoh dan ia akan menyalip gadis berkacamata itu ketika pasir pantai telah terlihat jelas. Dan jika Gabriel menyadari niatnya, itu tetap tidak akan mengubah apa-apa, karena Savier yakin kalau Gabriel sudah mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh, ia bahkan dapat melihat keringat membasahi pelipis gadis itu. Kesimpulannya, ia pasti akan memenangkan duel balapan ini.
Belasan meter di depan Savier, Gabriel terus mengayuh sepedanya dengan sama cepatnya dengan kecepatan awalnya, ia sama sekali tidak menurunkannya barang sedikit pun. Dan seperti yang Savier lihat, keringat telah mengalir memenuhi pelipis Gabriel. Namun napas gadis itu sama sekali tidak memburu, sebaliknya, senyum senang mewarnai wajah jelitanya.
Laju sepeda mereka terus seperti itu untuk beberapa waktu lamanya, barulah belasan menit kemudian Savier mengayuh pedal sepedanya sekuat mungkin begitu lensa matanya melihat pasir di simpang tiga jalan di ujung sana.
“Gab, garis finisnya pasir itu!” teriak Savier dengan penuh semangat.
Gabriel tak merespon teriakan Savier, ia justru menambah daya kayuhnya hingga mencapai kemampuan maksimumnya, membuat kecepatan Gabriel kembali meningkat dan membuat Savier gagal mendahului Gabriel. Kendati demikian, Savier berhasil memperkecil jarak di antara mereka hingga hanya sekitar tiga meter saja. Namun itu tak membuat Savier senang, ia justru mendelik tajam pada Gabriel yang menjulurkan lidah mengejeknya.
“Makanya, jangan pernah meremehkanku, Vier!” seru Gabriel dengan nada mengejek.
Savier menggeretakkan gigi-giginya mendengar ejekan Gabriel. Harus ia akui kalau dirinya memang meremehkan Gabriel dalam hal ini, tapi seharusnya memang begitu! Ini bukan permainan adu kecerdasan, ini permainan adu tenaga dan stamina, harusnya ia bisa mengalahkan Gabriel! Tapi kenyataan menolak mewujudkan isi pikiran Savier, Gabriel masih tetap memimpin, dan jaraknya dengan pasir itu hanya tinggal puluhan meter saja.
Sepeda Gabriel melaju mulus dengan tanpa hambatan, dan dengan mulus pula besi beroda dua berwarna biru muda itu menerobos jalan beraspal dan terus maju hingga menapaki pasir putih pantai yang terbentang luas di hadapannya. “It’s my win!” seru Gabriel sembari menghentikan laju sepedanya.
“Ck,” Savier berdecak sebal dan menghentikan sepedanya tepat di samping Gabriel. Ia telah kalah, dalam permainan yang seharusnya ia menangkan. Meskipun ia benci mengakuinya, tapi Gabriel benar-benar telah mengalahkannya. “Oi, Gab, apa jangan-jangan kau telah berlatih lama untuk ini?” tanya Savier mengentaskan kekesalannya.
“Bagaimana, ya? Hm… mungkin saja ia, mungkin saja tidak.”
Ha…, tidak ada gunanya menanyakan hal itu pada Gabriel. Gadis berkacamata yang merupakan teman terdekatnya ini tidak akan memberitahukan hal yang ingin dirahasiakannya pada siapa pun. Tidak peduli jika ia memaksa sekalipun.
“Aku merasa bahwa harga diriku sebagai lelaki baru saja tercoreng,” gerutu Savier. “Aku jelas sekali melihat kalau sudah lelah, keringat yang memenuhi pelipismu adalah buktinya. Tapi, mengapa kau masih bisa menyamai kecepatan lajuku, hm?”
“Ooh, soal itu….” Gabriel memasukkan tangan kanannya ke saku jaketnya, kemudian ia mengeluarkan benda yang mengisi kantungnya itu dan menunjukkannya pada Savier. “Ini sangat pedas, lho!” serunya.
Savier menghela napas lelah. Apa yang ditujukan Gabriel padanya adalah beberapa potong cabai rawit yang masih segar, hal itu sudah cukup untuk meyakinkannya kalau itu adalah apa yang menyebabkan keringat memenuhi pelipis Gabriel. “Berapa banyak cabai yang kau makan sampai membuatmu keringatan dengan bibir memerah seperti itu?”
“Er, tujuh.”
“Haa… persiapanmu lebih matang dariku, aku mengaku kalah, Gab. Kau menang.”
“Tentu saja!” Gabriel turun dari sepedanya lalu menggiring sepeda itu ke tempat parkir. Savier pun turun dari sepedanya dan menggiring sepeda itu di samping Gabriel. Setelah mereka meletakkan dan mengamankan sepeda mereka di tempat parkir, Gabriel memakai tasnya lalu bersama dengan Savier ia berjalan santai ke tepi pantai.
“Oi, Gab…”
“Apa?”
“Apa yang kau mau?”
“Hmm... apa ya? Oh, aku akan memikirkannya sembari bermain di pantai, bagaimana?”
“…”
“…Kau tidak mau kan kalau aku meminta hal-hal aneh seperti memintamu memelukku?”
“…”
“…Atau, mencium keningku?”
“Gab….”
“Ya…?”
“Apa kau, er, em, apa kau menyukaiku…?”
“Haaa…? Mengapa aku harus menyukaimu?” respon Gabriel dengan senyum geli di bibirnya. ”Atau,” Gabriel menghentikan langkahnya dan menghadap Savier yang juga telah berhenti, “apa kau ingin aku menyukaimu?” tanyanya dengan senyum lebar.
Savier mengerjapkan matanya sekali, dua kali, dan tiga kali sebelum akhirnya ia menghela napas pasrah. “Ha… baiklah, baiklah. Aku akan menunggu di sini,” ucapnya sembari mendudukkan dirinya beberapa langkah di samping Gabriel berdiri.
“Seperti yang diharapkan dari Savier!” seru Gabriel sambil menepukkan kedua telapak tangannya dengan ceria, kemudian ia melemparkan tasnya ke arah Savier, mencopot sepatunya, lalu berlari kecil ke bibir pantai.
Savier menselonjorkan kedua kakinya dan meletakkan tas Gabriel di pangkuannya, kedua pupilnya memandang intens pada sosok Gabriel yang mulai menendang-nendang ombak yang menerpa pantai. Gabriel mengenakan kaos abu-abu berlengan pendek dibaluti jaket abu-abu, sedangkan bawahannya dia menggunakan rok hitam selutut disertai legging hitam yang membaluti seluruh kulit kakinya sehingga membuat kulitnya tak terlihat. Rambut hitam lembut panjangnya yang tadi dia ikat dengan model ekor kuda kini tergerai bebas, sapuan angin pantai kadang berhembus dan membuat rambut indah itu berlambaian. Savier merasa terpaku setiap kali Gabriel merapikan rambutnya yang diterpa angin.
Ya, Savier terpaku, pada sosok Gabriel yang sangat mempesona. Jika harus ia ungkapkan dengan kata-kata, maka sempurna adalah kata yang paling dekat untuk mendefinisikan gadis berkacamata itu. Senyum Shona memang indah, tapi senyum tulus Gabriel tidak terkalahkan. Ia yakin, tidak ada yang tidak akan terpana melihat senyum tulus di wajah cantik Gabriel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments