Tak ada yang lebih memperdayakan daripada waktu, terlebih lagi jika kita meyakini kalau waktu kita masih tersisa banyak. Dalam hal apa pun itu, sebagian besar orang memandang remeh perkara waktu. Padahal, waktu itu sangatlah berbahaya: dia berlalu bagaikan semilir angin yang berhembus lembut, menyejukkan namun ketika kita tersadar ia sudah berlari jauh. Orang-orang yang menyepelekan waktu, mereka akan lebih terlena dari orang-orang pemalas, dan keterlenaan itu akan membuat kedua jenis orang itu menyesal ketika mereka benar-benar sadar. Benar-benar kerelativitasan yang benar-benar relatif, namun semu, itulah kesimpulan yang cocok untuk menyederhanakan semuanya. Waktu, sesuatu yang hanya bernilai bagi mereka yang benar-benar memahami makna dari kehidupan.
Waktu itu sendiri, bagi Savier, adalah paradoks. Kendati semuanya jelas sesuai dengan apa-apa yang dibayangkan dan direncanakan, namun terdapat kontradiksi-kontradiksi yang membuat semuanya bagaikan spiral yang tak bermula dan tak berujung. Benar-benar sesuatu yang penuh misteri; sebagian berpendapat bahwa waktu adalah dimensi ke empat, namun apakah itu benar-benar dimensi ke empat? Eh, itu tak terlalu penting, yang penting adalah waktu itu relatif dan memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Kerelativitasannya itu benar-benar memukau, Savier bahkan merasa baru kemarin ia mendaftar di sekolah ini, dan sekarang sudah mencapai akhir dari tahun pertamanya di sekolah ini.
Plak.
Tepukan di pundak kanan membuat Savier tersentak, ia dengan sigap bergeser ke kiri guna menghindari siapa pun yang baru saja menepuk pundaknya—Savier tidak suka dengan kontak fisik, karena itu ia bergeser secara spontan. Mata Savier langsung melebar begitu ia melihat siapa yang baru saja menepuk pundaknya, “Shona?” panggilnya dengan kedua alis yang bertautan. Shona hanya tersenyum kecil, “Maaf, tapi karena tidak ada yang lain di kelas, aku jadi sedikit hilang kendali...,” ucap Shona sambil menyatukan kedua telapak tangannya dengan gestur meminta maaf. Mendengar itu membuat Savier mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Memang benar kata Shona, kelas benar-benar kosong, hanya ada dirinya dan Shona di kelas.
“Em…, kau akan datang ke acara pentas seni besok, kan, Vier?” tanya Shona dengan suara yang terlampau pelan, namun masih cukup kuat untuk didengar Savier.
“Tentu,” jawab Savier cepat. “Kalau aku nggak datang, maka status kehadiranku akan dibuat absen, itu akan merepotkan.”
“Karena hari perpisahan anak kelas tiga sekaligus pentas seni besok akan ramai dan berisik, kupikir kau tak akan mau hadir, tapi syukurlah kau akan datang.”
Savier tersenyum mendengar ucapan Shona, ia senang Shona mengerti dirinya, terlebih lagi Shona ingin dirinya datang di hari esok. “Mungkin karena aku tahu kalau kau akan merindukanku, karena itu aku akan datang besok?” ucap Savier dengan nada bertanya yang terkesan menggoda.
“Ck, mana ada itu,” respon Shona singkat, kedua tangannya dia lipat di bawah dadanya. “Seperti yang tadi kau bilang, kau datang karena kalau tidak maka kau akan dibuat absen, kan?”
“Itu alasan ke tiga dari tiga alasan yang ada.”
“Lalu alasan yang pertama dan ke dua?”
“Yang ke dua ya itu: mungkin karena aku tahu kalau kau akan merindukanku, karena itu aku akan datang besok. Sedangkan alasan yang pertama,” Savier menghindar dari menatap mata Shona, “aku juga ingin melihatmu di hari esok, karena kegiatan yang seperti ini hanya ada sekali dalam setahun, tentu saja aku tak ingin melewatkannya.”
Shona tak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum, dia senang mendengar jawaban Savier. “Kalau begitu sam-“ ucapan Shona terhenti secara tiba-tiba, dia langsung berbalik dan bergegas menjauhi Savier—dia kembali ke tempat duduknya. Savier menaikkan sebelah alis matanya pertanda bingung dengan sikap Shona, namun kebingungan itu hanya bertahan beberapa detik saja, suara langkah kaki di belakang Savier membuatnya sadar akan tindakan Shona.
“Jadi dugaanku benar, pantas saja aku sering mendapati kalian selalu menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan; memang ada sesuatu di antara kalian.”
Savier tak perlu berbalik untuk dapat mengetahui siapa yang baru saja berbicara. Dari suaranya sudah jelas, itu tak salah lagi adalah suara Alena. Ia tidak tahu apakah Alena mendengar percakapannya dengan Shona atau tidak, dan ia pun tak berminat untuk menanyainya, karena itu hanya akan mengkonfirmasi dugaan Alena. “Oh, hai, Alena. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” tanya Savier sekasual mungkin.
“Eh, tidak ada kok, aku hanya sedikit penasaran. Tapi itu tak penting, aku hanya ingin mengatakan kalau kau diminta untuk menemui wali kelas di ruang guru, Shona. By the way, aku tak mengganggu kalian, kan?” Alena mengedipkan sebelah matanya, Savier menaikkan sebelah alisnya berusaha untuk tidak terpancing dengan perkataan Alena. “Ayo pergi, Shona, bu guru sudah mencarimu sedari tadi.”
Shona hanya mengangguk dan langsung beranjak ke luar kelas bersama dengan Alena tanpa mengucapkan sepatah kata pun, meninggalkan Savier seorang diri di kelas besar itu.
***
Pakaian yang wajib dikenakan oleh para siswa-siswi dalam menghadiri pentas seni sekaligus acara perpisahan kelas tiga adalah batik. Namun Savier tidak memiliki batik, karena itu tepat setelah pulang sekolah ia langsung pergi membeli baju batik untuk dipakainya esok hari. Terus terang Savier tidak suka datang ke tempat perbelanjaan, tapi ia tak punya pilihan lain selain ke sana, ia butuh batik soalnya. Setelah beberapa waktu lamanya, akhirnya Savier berhasil mendapatkan baju batik lengan pendek berwarna coklat dengan motif yang menarik.
Esok harinya, Savier tak langsung bergegas ke sekolah, ia sengaja untuk datang lebih lambat dari biasanya, namun tak cukup lambat untuk membuatnya melewati jam masuk sekolah.
Setibanya di sekolah, Savier mendapati kalau suasana di sana sudah ramai, bahkan lebih sibuk dari biasanya. Melihat hal itu, Savier langsung bergegas berjalan menuju ke ruang kelasnya. Ia tidak bergabung dalam klub sastra, pun ia tidak ikut serta menjadi pengisi acara pentas seni, karenanya Savier bisa bersantai ria seperti kebanyakan siswa-siswi lainnya. Bagi orang seperti Savier yang tak suka dengan tari-tarian dan nyanyian-nyanyian tak bermakna, menjauhkan diri dari hal-hal yang berhubungan dengan kedua hal tersebut adalah sebuah keharusan, karena itu pula ia tak bergabung dalam banyak kegiatan-kegiatan serupa.
Bukan Savier yang menjadi orang pertama yang memasuki kelas, beberapa siswa/i sudah ada yang datang lebih awal darinya. Savier tak terkejut; sudah pasti ia tidak akan menjadi yang pertama hadir karena ia memang sengaja untuk datang lebih lambat. Tanpa menyapa teman-teman sekelasnya ia langsung meletakkan tasnya di laci meja, kemudian ia bergabung dengan anak lelaki lainnya di pojok belakang kelas. Savier tidak tahu mereka sedang berbicara apa, namun ia bisa menduga kalau mereka sedang membicarakan tentang sepak bola, mungkin tentang final liga champion yang akan dilaksanakan pada akhir Mei mendatang.
“Vier, menurutmu siapa yang akan juara, MU atau Barca?” tanya seorang siswa tepat ketika Savier mendudukkan dirinya di kursi yang kosong.
“Menurutku sih Barca,” jawab Savier.
“Kan apa kubilang, rata-rata orang selain fans MU dan Barca pada meyakini kalau Barca yang akan menang.”
Savier tak lagi mendengarkan celotehan-celotehan teman-temannya, matanya tertuju pada pintu masuk kelas, menantikan kedatangan seseorang yang belakangan ini telah menjadi orang yang sangat penting dalam hidupnya. Beruntung ia tak menanti terlalu lama, sosok Shona berbalutkan baju batik berwarna coklat—sewarna dengan baju yang dikenakan Savier—memasuki kelas beberapa menit setelah ia duduk. Savier langsung menolehkan pandangannya menghindari dari memandang Shona yang kini telah menjatuhkan pandangan padanya sambil tersenyum manis; akan merepotkan kalau sampai ada yang melihat mereka berpandang-pandangan sambil melempar senyuman. Tapi bukan berarti ia akan membiarkan hal ini berlalu begitu saja, Savier yakin ia akan bisa berbicara dengan Shona hari ini, ia sendiri yang akan membuat kesempatan jika kesempatan itu tak ada.
Acara pentas seni sekaligus perpisahan siswa-siswi kelas tiga baru benar-benar dimulai ketika jam menunjukkan pukul delapan pagi. Savier dan yang lainnya langsung bergegas menduduki kursi yang telah disediakan di halaman utama sekolah yang dinaungi oleh atap-atap pentas yang dipasang dengan begitu rapi. Savier mendapat tempat duduk di barisan kedua di kolom ke-tiga paling kanan pentas, sedangkan Shona mendapatkan tempat duduk tepat di belakang Savier. Logikanya, itu adalah tempat yang tak buruk, namun karena ia adalah Savier yang tak suka kebisingan maka posisi duduk yang didapatnya menjadi sangatlah buruk, terlebih lagi dengan loudspeaker yang terletak tak jauh dari posisi duduknya. Namun Savier harus bersabar. Setelah kata-kata sambutan selesai diucapkan, dirinya akan bisa meninggalkan tempat duduk ini dengan tanpa masalah, ia hanya perlu bersabar untuk setengah jam ke depan.
“Selamat datang di acara-“ blablablablabla….
Savier tak peduli dengan perkataan-perkataan sang pembawa acara yang sudah menaiki panggung, ia hanya menginginkan hal ini cepat selesai agar dirinya bisa kembali ke kelas. Selama setengah jam lebih Savier duduk tenang dengan penuh kesabaran, namun pada akhirnya ia bisa bernapas lega dan langsung kembali ke kelas setelah kata-kata sambutan yang terakhir selesai diucap.
Yang meninggalkan barisan tempat duduk bukan Savier seorang saja, melainkan banyak siswa-siswi lainnya yang memutuskan untuk meninggalkan kursi mereka guna menonton dari jarak yang lebih jauh. Ada yang memutuskan menonton dari bangku-bangku di depan ruang guru, ada yang memilih menonton dari depan kelas mereka, dan ada juga yang sama sekali tak tertarik untuk menonton acara tersebut seperti halnya Savier.
“Lho, kok langsung ke kelas, Vier?” tanya Morian—dia duduk di depan komputer kelas yang terletak di belakang kelas, tepat di tengah-tengah ruangan dan berhadapan langsung dengan pintu kelas.
Savier mengernyitkan keningnya begitu melihat siswa bertubuh besar itu. Harus ia akui kalau Morian itu adalah siswa yang pemberani dan nekat, meski dia tahu kalau mengikuti acara pembukaan adalah wajib, dia tetap bertahan di dalam kelas tanpa peduli kalau-kalau dia akan dilaporkan oleh petugas patroli dari osis. “Iya, Mor,” jawab Savier sambil menutup kembali pintu kelas, “di sana berisik soalnya.”
“Oh, pantas.”
Savier menghendikkan bahunya dan langsung menduduki tempat duduknya. Ia mengeluarkan buku bacaan yang memang sengaja ia bawa—perpustakaan tidak dibuka hari ini, ia tak bisa membaca di perpus. Savier tahu kalau hari ini akan dilaluinya tanpa hal yang penting, karena itu Savier berpikir untuk menghabiskan hari ini dengan membaca buku, tentu saja ia juga akan menyempatkan diri untuk sekadar berbicara dengan Shona.
Jarum jam terus berputar tanpa henti, perlahan-lahan ruang kelasnya sudah terisi oleh siswa-siswi lainnya yang hilang minat dalam menikmati pentas seni. Melihat suasana kelas yang menjadi ramai, Savier menolehkan wajahnya ke belakang melihat jam yang terpajang rapi di dinding kelas. Jarum pendek jam menunjuk angka 10 sedangkan jarum panjang menunjuk angka 1, artinya sudah lebih dari satu setengah jam ia berada di kelas.
“Savier, ke kantin yok!” ajak Morian—dia bersama dengan tiga siswa lainnya.
Savier menimbang-nimbang sejenak, setelah beberapa detik kemudian barulah ia mengiyakan ajakan mereka untuk ke kantin. Akan tetapi, setelah berjalan beberapa langkah melewati ruang kelasnya, langkah Savier langsung berhenti begitu ia mendapati Shona berada di belakang panggung bersama dengan Nafa—siswi sekelas Savier juga.
“Ada apa, Vier?”
“Eh, aku nggak jadi ikutlah, kalian aja, ya!”
“Oh, ya sudah.”
Savier melihat kepergian Morian dan yang lainnya dalam diam, namun sebenarnya yang menjadi fokus lensa matanya adalah sosok Shona yang masih berdiri menemani Nafa di belakang panggung. Mata Savier terpaku pada sosok gadis itu. Meskipun penampilannya sangat sederhana, namun justru kesederhanaan itulah yang membuat Shona terlihat lebih menarik dibandingkan siswi-siswi lainnya. Tentu saja orang lain boleh berpikiran berbeda dengannya, namun bagi Savier, Shona lebih menarik perhatiannya dibandingkan siapa pun.
Tak ingin terlihat seperti orang bodoh di antara siswa-siswi yang berlalu lalang, Savier segera berbalik dan kemudian menyandarkan dirinya dekat sudut dinding kelas yang menghadap ke arah belakang panggung, ia sengaja berdiri bersandar di situ sembari membaca buku agar kalau sewaktu-waktu Shona melihat ke arah kelas maka dia akan melihat keberadaannya di situ. Savier bukannya mencari perhatian, sama sekali bukan! Ia hanya mempermudah Shona untuk bisa menemuinya; jika ia menetap di kelas maka mereka tak akan bisa untuk bertukar kata, ia tak bisa membiarkan hal itu terjadi.
Savier membaca dengan tenang dan dalam diam. Suara bising yang dikeluarkan pengeras suara sama sekali tak mampu menghentikannya. Kendatipun ia tak suka kebisingan, namun jika Savier sudah serius membaca maka ia bisa mengabaikan suara kebisingan itu. Satu-satunya kondisi yang bisa menghentikan konsentrasi Savier adalah panas. Ia tidak akan mampu untuk berkonsentrasi jika berada dalam situasi yang pengap dan bertemperatur tinggi, apalagi dalam keadaan berkeringat, Savier sama sekali tak akan bisa memfokuskan dirinya untuk melakukan hal-hal yang memerlukannya untuk berpikir.
“Hei, Vier.”
Savier sama sekali tidak terkejut mendengar suara yang sangat familiar di telinganya itu. Ia melirik ke kanannya mencoba melihat pemilik suara, namun Savier tak bisa melihat Shona dikarenakan siswi tersebut bersandar di dinding yang bersinggungan dengan dinding tempatnya bersandar; mereka berdiri berdekatan namun dibatasi oleh dinding ruang kelas yang menghalangi keduanya dari saling melihat.
“Shona,” respon Savier setenang mungkin, matanya sudah kembali tertuju pada buku bacaannya. “Sebegitunyakah kau ingin berbicara denganku hingga meninggalkan Nafa sendirian?”
“Heh, bukannya kau yang sangat ingin berbicara denganku sampai-sampai bersandar di situ, meskipun suasana di sini sangat berisik?”
“Em..., kau yakin? Aku bisa saja pergi dari sini kalau kau memang tak ingin berbicara.”
“Eh, kau yakin ingin pergi? Besok libur loh, kau benar-benar yakin ingin langsung pergi?”
Savier tak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum, Shona sangat keras kepala sekali, bahkan dia tak mau mengakui kalau dia sangat ingin bertutur kata dengannya. Apa boleh buat, untuk kali ini saja ia akan mengalah—tapi itu bukan berarti apa yang dikatakan Shona memang benar adanya, er, mungkin itu sedikit benar, hanya sedikit.
“Jadi, em, apa yang kau lakukan di sana tadi bersama si Nafa?” tanya Savier.
Shona tersenyum lebar begitu mendengar pertanyaan Savier—tentu saja Savier tak bisa melihat senyumnya dari tempatnya berdiri. “Aku tak akan bertanya mengapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu,” ucap Shona, Savier dapat mendengar nada sombong yang terselip dalam nada bicara Shona, namun ia tak berkomentar tentang itu. “Jawaban untuk pertanyaan itu adalah: sebentar lagi si Nafa akan tampil, dia memintaku untuk menemaninya di belakang panggung, soalnya hanya dia sendiri yang merupakan anak kelas satu.”
“Oh, kalau begitu mengapa ke sini?” tanya Savier.
“Kau menungguku datang ke sini, bukan begitu?” Shona tak menunggu Savier untuk menjawab, karena keduanya tahu kalau itu adalah pertanyaan yang retorikal. “Aku ke sini karena si Nafa tak keberatan kutinggal, lihatlah, dia sedang melihat ke arahmu.”
Savier menurunkan sedikit posisi bukunya begitu mendengar penjelasan Shona lalu melihat ke arah belakang panggung, dan wajah Nafa yang tersenyum usil langsung saja menyambut pandangannya. Secara refleks Savier langsung menaikkan posisi bukunya guna menghalangi Nafa dari memandang wajahnya. “Kau memberitahunya?” tanya Savier sedikit kurang senang.
“Menurutmu?”
“Kau memberitahunya.”
“Ee, dia dan Alena sudah tahu kok kalau kita saling menyukai. Sebenarnya, jika kau benar-benar memperhatikan, banyak juga selain dari mereka berdua yang tahu. Tapi yang benar-benar tahu kalau kita sangat dekat hanya mereka berdua, kau tidak perlu khawatir.”
Savier menghela napas pelan. “Aku bukannya khawatir, hanya merasa tidak nyaman saja.”
“Oh, mengapa begitu? Bukankah kita tidak memiliki hubungan spesial apa pun sehingga perlu disembunyikan?”
“Ah…, kau benar. Tapi, bukankah aku tak pernah berbicara panjang lebar dengan para perempuan, kecuali denganmu?”
“Ah, kau benar….”
“Hm.”
Keheningan menyelimuti keduanya. Keduanya sama sekali tak berminat untuk mengusir keheningan itu, baik Savier mau pun Shona sama-sama konten dengan keheningan tersebut, biarlah kebisingan para pengisi acara pentas seni yang bergema sendiri.
“Bagaimana penampilanku hari ini?” tanya Shona setelah beberapa saat diam menikmati suasana, membuat keheningan yang menyelimuti keduanya menghilang entah ke mana.
Normalnya disuasana yang seperti ini, Savier harus memuji penampilan Shona—itu adalah hal yang normal untuk dilakukan. Akan tetapi, Savier tidak akan melakukan itu, ia tidak akan memuji penampilan Shona. Namun itu bukan berarti ia akan mengatakan hal yang buruk juga. “Tidak buruk jika dibandingkan dengan yang lain,” jadilah ia berkata seperti itu.
Tentu saja itu bisa diartikan sebagai pujian juga, namun Savier berpikir itu adalah respon yang paling pas.
“Oh, berarti itu artinya bagus?”
“Mungkin.”
“Hoo…, kau malu untuk mengatakan kalau penampilanku sangat menawan, bukan begitu? Dasar, Savier pemalu… hihihi.”
Savier mengernyitkan keningnya mendengar asumsi Shona—asumsi yang sepenuhnya benar. Jika sudah begini ia tak tahu harus merespon apa, jadilah ia hanya diam tanpa berkata sepatah kata pun. Seolah memahami dirinya, Shona kembali berbicara memecah keheningan yang hendak kembali mengokupasi. “Tak terasa sebentar lagi kita akan menghadapi ujian kenaikan kelas, huh?” Suara Shona terdengar sangat serius, dan terselip nada sedih di dalamnya.
Savier menganggukkan kepalanya. “Kau benar, sebentar lagi kita akan menjadi siswa/i kelas dua, tak terasa waktu sudah berlalu begitu cepat, rasanya baru saja kemarin kita berbicara untuk pertama kalinya di perpus.”
“Ee, rasanya baru hari kemarin aku melihatmu memasuki perpus seorang diri dan memutuskan untuk mengikutimu ke perpus.”
“Hmm...? Kapan itu?”
“Bulan Agustus lalu, tapi aku tak duduk, aku hanya membaca di lorong rak buku, mungkin karena itu kau tidak melihatku.”
“Oh…, aku baru tahu tentang itu.”
“Kalau kuberitahu lebih awal nanti kau bakal ke-GR-an... hahaha.”
“Hahaha,” tawa Savier. “Mungkin kau benar, aku akan ke-GR-an nantinya.” Tak sedikit pun Savier ragu akan hal itu, sangat mudah bagi Shona untuk membuatnya tersipu atau tersenyum malu seperti saat ini, mungkin karena itu juga Shona suka mengusili dirinya.
“Hei, Savier….”
“Hm?”
“Bulan Juli nanti kita akan jadi pelajar kelas dua, Juli depannya lagi kita akan jadi kelas tiga, terus di Bulan Mei setelahnya adalah giliran angkatan kita untuk mengadakan acara perpisahan, 'kan?”
“Um, kurang lebih dua tahun lagi kita berada di sekolah ini.”
“Apa nanti… kita akan terus bersama? Memikirkan datangnya hari perpisahan itu membuat relung dadaku terasa sesak, rasanya sungguh menyakitkan.”
Savier tak lekas memberi respon, ia terdiam sejenak memikirkan perkataan sendu Shona. Memang, memikirkan datangnya hari perpisahan itu selalu membuat dada terasa sesak. Namun Savier mengerti, baik cepat atau pun lambat, perpisahan itu tak mungkin bisa untuk dihindari, itu pasti akan terjadi. Karenanya, Savier tak akan mengatakan hal-hal yang semu seperti “jangan khawatir, kita akan selalu bersama” atau sejenisnya kepada Shona, ia akan mengatakan hal yang sebenarnya.
“Shona,” respon Savier pada akhirnya, suaranya terkesan lembut meskipun ia sedang serius, membuat perhatian Shona teralihkan padanya sepenuhnya. “Masa depan itu adalah misteri, yang bisa kita lakukan hanyalah mempersiapkan diri dan merencanakannya saja, namun meskipun kita sudah berusaha semaksimal mungkin, bisa jadi masa depan yang kita alami akan sangat berbeda jauh dengan apa yang kita harapkan. Akan tetapi, Shona, jika takdir telah menjalin ikatan di antara kita berdua, maka pada suatu waktu kita akan bersama jua. Karena itu, Shona,” tatapan Savier melembut dan bibirnya sedikit melengkung membentuk senyuman hangat, “kita hanya perlu menjaga komitmen kita, dan bersama-sama merencanakan masa depan itu. Aku yakin, suatu saat nanti kita akan bisa bersama selalu….”
Shona menengadahkan wajahnya memandang langit biru yang terhampar luas di atas sana. “Kau benar,” ucapnya sambil tersenyum, sorotan matanya melembut, dan ekspresi sendunya sama sekali tak berbekas. “Kau benar,” ulang Shona. “Suatu saat nanti… sepuluh tahun yang akan datang… kita pasti akan bersama, aku harus yakin itu, kan?”
“Ee, kita harus meyakini itu,” balas Savier sambil menengadahkan kepalanya juga, “karena kalau kita tidak bisa yakin, untuk apa kita berjanji?”
Untuk apa? Untuk apa kita berjanji jika kita sama sekali tidak berusaha untuk mewujudkannya? Jika seperti itu maka lebih baik untuk tidak usah membuat janji tersebut, karena janji yang tak bermakna hanya akan membuat semuanya sia-sia: hati, pikiran, dan waktu juga. Savier mengerti itu, Shona pun mengerti itu, karenanya mereka tak ingin semuanya menjadi sia-sia. Jika mereka tak yakin dengan komitmen mereka, maka siapa lagi yang akan meyakininya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Ima Mardiana
mna ne lanjutan ny
2019-12-14
1