Tahun ajaran baru pun dimulai, Savier kini berada di kelas dua, namun kelas yang ia tempati dan teman kelasnya masihlah tetap sama, satu-satunya yang berbeda hanyalah posisi duduk mereka: Savier duduk di bangku urutan ke dua dari depan dan di kolom paling kanan, secara ajaibnya tepat di belakang Shona duduk. Oh, bukan itu saja, ada satu hal lagi yang benar-benar berbeda dan membuat Savier terpaku: Shona tak lagi mengenakan seragam standar, melainkan dia mengenakan seragam muslimah seperti Alena dan beberapa siswi lainnya. Tanpa sadar bibir Savier melengkung membentuk seuntai senyuman, ia senang melihat penampilan Shona berubah seperti itu; Shona memang lebih cocok berpakaian tertutup seperti itu. Selain daripada semua itu, tak ada hal yang berbeda lagi, semuanya serupa dengan sewaktu kelas satu dulu, bahkan wali kelasnya pun masih tetap sama. Rasanya sedikit membuatnya bernostalgia; suasana kelas benar-benar tak berubah barang sedikit pun.
Tak lama kemudian kelas pertama di semester baru pun akhirnya dimulai, pelajaran bahasa Inggris, pelajaran yang sebenarnya tak terlalu Savier sukai. Namun karena guru yang mengajar bahasa Inggris itu tak segalak guru yang mengajar sewaktu kelas satu, Savier mulai sedikit menyukai bahasa Inggris. Sepertinya memang benar apa yang kebanyakan orang bilang, tak peduli sesulit atau semudah apa pun pelajaran itu, itu semua tergantung apakah kita menyenangi guru yang mengajar pelajaran tersebut atau tidak. Jika kita menyenangi guru tersebut, maka pelajaran yang diajarkannya pun akan menjadi menyenangkan. Sebaliknya, jika kita enek dengan guru yang mengajar, maka pelajaran yang diajarkannya pun tidak akan kita sukai, dan bisa jadi itu akan mendarah daging dan membuat kita tidak menyukai pelajaran itu untuk selamanya.
Setelah pelajaran bahasa Inggris, waktu istirahat pun datang, dan Savier sama sekali tak beranjak dari kursi tempatnya duduk. Perpustakaan normalnya baru akan bisa diakses tiga minggu setelah semester baru dimulai, karenanya tanpa perlu keluar kelas pun Savier tahu kalau perpus masih belum akan dibuka, setidaknya untuk tiga minggu ke depan. Artinya, ia dan Shona tidak akan bisa menghabiskan waktu istirahat mereka di perpus, untuk tiga minggu beruntun. Tapi rasanya sekarang itu tidak lagi menjadi suatu masalah karena posisi duduk mereka yang berdekatan membuat keduanya bisa berbicara kapan saja—tentu saja mereka tak bisa berbicara sebebas di perpustakaan seperti biasanya.
“Yo,” sapa Shona sembari duduk menghadap ke kiri dengan iris mata fokus ke Savier. “Long time no see, hope you are well and happy~” lanjutnya menirukan suara guru bahasa Inggris tadi.
Savier menaikkan sebelah alisnya melihat tindakan Shona, dia sengaja menyapanya meskipun Alena masih duduk di sebelahnya, tampaknya memang tak ada alasan untuk berpura-pura tidak akrab dengan Shona. Karenanya, Savier memutuskan untuk bersikap seperti biasanya. “Hm, you look good, better than before. Apa yang membuatmu mengubah penampilan?”
“Agamaku juga Islam, tahu!”
Savier tersenyum kecil mendengar respon singkat dan jelas itu. “Aku suka jawaban itu, jawaban yang sangat sempurna.”
“Tentu saja,” respon Shona dengan senyum manisnya, terselip nada bangga dalam suaranya.
Savier hanya tersenyum kecil mendengar respon Shona, entah kenapa ia suka melihat gadis itu bersikap seperti itu; tak ada sedikit pun keraguan padanya, Savier benar-benar menyukai Shona.
Waktu memang berjalan dengan begitu cepat. Hari demi hari terus berlalu, minggu berganti minggu, dan bulan pun terus berganti bulan. tak terasa semester genap telah kembali datang. Hari itu hari Rabu di bulan Februari, pada saat jam istirahat, tiba-tiba datang seorang siswi dari kelas VIII lain memberikan secarik kertas yang berisikan pernyataan cinta pada Savier. Tentu saja Savier sangat tidak senang dengan itu, bahkan ia sama sekali tidak mengambil surat itu apalagi membaca isinya, teman-teman sekelasnyalah yang membaca surat itu di dalam kelas. Savier tahu itu adalah hal yang jahat, namun apa boleh buat, hanya karena seseorang ingin mengiriminya surat bukan berarti ia harus menerimanya, 'kan?
Yang menjadi alasan penolakan Savier bahkan hanya untuk menerima surat itu adalah Shona. Ia sama sekali tidak tertarik untuk berkenalan dengan wanita lainnya atau yang lebih parah mencoba menyukai mereka. Tidak, Savier sama sekali tidak tertarik, ia adalah seseorang yang berpegang teguh pada pendiriannya. Ia hanya menyukai Shona, titik. Yang lainnya sama sekali tidak penting; terserah jika ia jahat atau sebagainya, Savier sama sekali tidak peduli. Ia ingin mempercayai itu.
Namun, Shona peduli. Bukan, dia bukan peduli pada wanita yang telah mengiriminya surat, namun dia peduli pada hal yang terjadi. “Bagaimana kalau bukan itu saja surat yang akan datang padamu, bagaimana jika surat itu datang dari orang yang cantik, populer, dan pintar? Kau tahu, Vier, wajahmu terbilang tampan, kau pintar, kau juga baik, dan tentu saja kau peduli pada mereka yang mendatangimu…, kau terlalu mudah mengasihani orang lain, bagaimana kalau makin banyak yang tertarik padamu? Bisa-bisa karena kasihan nanti kau malah menerima mereka, hmph!”
Savier mengernyitkan keningnya mendengar secercah kekhawatiran Shona. Ia harus mengakui kalau dirinya susah untuk menolak menolong orang lain kalau ia bisa menolong, tapi sampai menerima mereka karena kasihan? Tak mungkin. “Aku tak mungkin beralih ke yang lain selama aku menyukaimu,” yakin Savier. “Dan selama aku bisa memilih maka aku yakin aku akan selalu memilih untuk menyukaimu. Tidak perlu khawatir, Shona, bahkan jika seorang bidadari turun ke dunia sekali pun, jika aku bisa memilih maka aku yakin aku akan tetap memilihmu—tentu saja itu selama kau masih menyukaiku.”
“Kau sangat pandai bermain kata, Vier,” respon Shona sambil bersedekap dada. “Awas aja kalau itu cuma bualan!”
Savier hanya tersenyum simpul. “Tentu,” responnya singkat.
Hari demi hari terus berlalu, minggu berganti minggu, dan bulan pun terus berganti bulan. Masa-masa kelas dua dilalui keduanya seperti halnya semester dua dulu, hanya saja mereka juga melakukan sedikit interaksi semasa di kelas. Tak terlalu signifikan memang, namun hal itu cukup membuat keduanya senang. Tak hanya itu, tahun kedua ini peringkat Savier bahkan menjadi lebih baik dari sebelumnya—meskipun ia sama sekali tak meningkatkan waktu belajarnya. Di semester ganjil dan genap, Savier mendapatkan peringkat dua di kedua semester tersebut. Sedangkan Shona, dia mendapat peringkat lima di kedua semester itu.
Shona sempat kesal dengan hasil tersebut, “Tak adil sekali, aku yang belajar serius dapat peringkat lima. Sedangkan kau yang tak serius malah dapat peringkat dua... kau curang, Vier!” serunya dengan wajah cemberut.
“Eh, mungkin nanti di kelas tiga peringkatmu akan lebih tinggi lagi,” respon Savier sekenanya.
Waktu kembali berlalu dengan cepatnya, waktu pembagian rapor semester ganjil kelas tiga pun akhirnya tiba. Savier kembali mendapatkan peringkat dua sedangkan Shona kembali mendapat peringkat lima. Tentu saja Shona hendak protes seperti semester sebelumnya, namun dia harus menunggu hingga datangnya semester genap untuk itu. Dan lagi, mengikuti libur semester, mereka harus kembali melewatkan dua minggu tanpa bersua. Namun tak satu pun dari mereka protes, karena, ketidakadaan pertemuan itu akan membuat kerinduan mereka memuncak.
Libur semester kali ini dijalani Savier dengan cara yang berbeda dengan libur-libur sebelumnya. Kali ini ia mencurahkan sebagian besar waktunya untuk mencaritahu sekolah menengah atas yang bagus untuk melanjutkan sekolahnya setelah lulus dari sekolah menengah nanti. Savier tidak tahu Shona akan melanjutkan sekolah di mana, pun ia tak ingin menanyakannya meskipun sangat ingin; Savier ingin takdir yang menentukan jalan mereka berdua, itu akan menjadi sangat indah jika mereka tiba-tiba bertemu di satu sekolah yang sama, lagi.
Dari beberapa sekolah yang menarik perhatiannya, Savier mengerucutkan jumlahnya menjadi tiga. Savier sama sekali tidak merundingkan itu dengan siapa pun, apalagi ayahnya, dia sama sekali tidak tahu menahu tentang perkembangan sekolahnya. Tapi Savier sama sekali tidak mempermasalahkannya, toh, ia juga terlalu malas untuk menjelaskan. Lagipula, sekolah yang akan dimasukinya adalah sekolah negeri dan hanya satu yang swasta yang menawarkan beasiswa, jadi ia tidak perlu mengkhawatirkan masalah uang sekolah. Dari ketiga sekolah itu, Savier akhirnya memilih sekolah yang letaknya paling dekat dengan tempat tinggalnya. Katanya ada tes akademik dan kesehatan yang harus dijalani untuk bisa memasuki sekolah itu, tapi Savier tidak terlalu memikirkan itu. Ini bukan arogansi atau sebagainya, tapi Savier benar-benar percaya diri kalau ia bisa setidaknya lulus tes akademik dan kesehatan tersebut.
Selain dari memilih sekolah yang ingin dimasukinya, libur Savier kembali dijalani seperti biasa, sama sekali tak bisa dikatakan kalau ia sedang liburan. Dan lagi, Savier sama sekali tidak mempermasalahkannya, ini benar-benar sudah biasa baginya.
***
Waktu yang telah berlalu tak pernah bisa diputar ulang. Kenangan-kenangan masa lalu, penyesalan-penyesalan yang masih mengganggu hati, dan hal-hal lainnya yang telah terjadi di masa lalu tak akan pernah bisa diulang kembali. Karenanya, manfaatkanlah waktu itu sebaik mungkin, karena jika kita menyia-nyiakannya maka menyesal pun akan percuma…, karena waktu yang telah berlalu tak akan pernah bisa diputar ulang.
Kata-kata itu akhir-akhir ini selalu mengganggu pikiran Savier. Terlebih lagi hari perpisahan kelas tiga akan tiba seminggu lagi, ini kembali mengingatkannya dengan percakapannya dengan Shona waktu itu. Hal yang paling menyakitkan dari sebuah pertemuan adalah perpisahan yang menantinya. Perpisahan itu pasti akan datang pada suatu waktu, baik cepat mau pun lambat, baik sementara mau pun untuk selamanya. Itu adalah sebuah kepastian: sebuah pertemuan akan selalu diakhiri dengan yang namanya perpisahan. Menyakitkan, menyedihkan, dan terasa begitu menyesakkan di dada. Namun begitulah adanya, perpisahan… mau tidak mau, suka tidak suka, harus tetap dijalani. Karena itu adalah bagian yang tak akan terpisahkan dari setiap kehidupan, sesuatu yang mutlak dan pasti terjadi—sebuah kepastian yang tak bisa disangkal, sebuah hukum dasar dalam kehidupan: tak ada yang bertahan selamanya.
Mungkin sebagian dari kita akan berpikir “lebih baik kita tak pernah bertemu jika pada akhirnya harus berpisah”. Pada dasarnya itu tak salah untuk berpikir demikian; kata-kata itu adalah penyimpulan dari keengganan kita untuk menjalani perpisahan itu, sebuah perkataan yang mengindikasikan betapa kita menginginkan sosok tersebut untuk berada di samping kita selalu; sebuah ketulusan. Namun, perpisahan itu tidak hanya membuat hati kita sesak, ia juga memberi kita pelajaran yang sangat berharga, agar kita bisa memanfaatkan momen-momen berharga yang kita punya dengan orang yang berharga bagi kita semaksimal mungkin sebelum waktu-waktu itu habis. Bukan itu saja, jika kita merenungkan sejenak akan kata perpisahan, maka kita akan bisa mengetahui banyaknya pelajaran yang diberikannya. Perpisahan membuat kita lebih kuat, perpisahan membuat kita lebih bersemangat untuk melangkah, dan perpisahan akan memberi kita alasan yang sangat solid untuk kita kembali. Dan ketika pertemuan kembali itu datang, maka pada saat itulah kita akan benar-benar menyadari betapa indahnya makna yang terselip dibalik kata perpisahan. Kendati demikian, itu tetap tak mengubah fakta kalau perpisahan itu sangatlah menyakitkan hati.
Seminggu itu pun berlalu dalam sekejap, hari perpisahan akhirnya tiba. Meskipun ini adalah hari perpisahan untuk anak kelas tiga sepertinya, meskipun mayoritas teman sekelasnya ikut serta dalam menampilkan sebuah penampilan, Savier masih tetap menjalani hari ini sebagai penonton yang duduk di depan ruang guru dengan sebuah buku di tangan.
Jarum jam terus berputar, waktu terus beranjak, dan hari semakin pendek. Savier menghela napas pelan dan menutup buku yang sedang dibacanya, kemudian matanya beralih memandang pada siswa-siswi lain dari seluruh kelas 3 yang masih bersemangat bernyanyi ria mengisi waktu-waktu terakhir kebersamaan mereka. Savier tidak menyukai bernari-nari dan bernyanyi ria seperti itu, karenanya ia dan beberapa teman yang berpikiran sama sepertinya duduk di bangku-bangku yang disediakan di depan ruang guru yang posisinya memungkinkan mereka untuk melihat panggung seni dengan cukup jelas.
Saat ini sudah jam dua sore. Acara perpisahan dan pentas seni akan selesai pada jam tiga sore, artinya hanya tinggal satu jam lagi waktu mereka untuk menjadi siswa-siswi sekolah ini. Setelah jam tiga lewat maka mereka tidak akan perlu lagi untuk datang ke sini, mereka akan benar-benar menjadi alumnus sekolah menengah pertama ini, yang artinya Savier dan Shona tidak akan bisa bertemu lagi di perpustakaan favorit mereka. Sampai waktu kapan, entahlah, tapi setidaknya tidak sampai waktu yang cukup lama.
Apa ia akan membiarkan hari ini begitu saja? Apa ia tak memiliki sedikit pun keberanian untuk mengucapkan sepatah kata perpisahan? Apa ia sepasif dan seapatis itu?
Tentu saja tidak.
Savier tidak akan membiarkan hari ini berlalu begitu saja. Ia harus melakukan sesuatu, apa pun itu, yang penting ia bisa berbicara dengan Shona. Meskipun mereka menyukai satu sama lain, dan meskipun mereka sering berbicara di perpus dan di kelas, Savier dan Shona sama sekali tidak bertindak layaknya mereka menyukai satu sama lain. Hubungan mereka memang murni pertemanan, pertemanan yang spesial; keduanya sama sekali tidak pernah bersentuhan barang sedikit pun—kecuali saat Shona tak sengaja menepuk pundaknya dulu, itu pun Savier secara refleks langsung menjauhkan diri darinya. Jadi, apa ia akan melanggar pantangan yang telah membatasi interaksi keduanya, apa ia akan melanggar norma dan agama?
Tentu saja tidak; yang Savier inginkan hanyalah mengucapkan sepatah kata perpisahan dan memberikan satu sama lain kata-kata penyemangat yang akan menemani mereka dalam menapaki jalan panjang yang akan terbentang di hadapan keduanya.
Sibuk dengan pikirannya sendiri, Savier tidak sadar kalau kursi di sisi kirinya yang tadinya kosong kini telah diduduki oleh seseorang.
“Hei.”
Savier sedikit terkejut, namun ia tidak memberikan reaksi terkejut yang seharusnya, ia hanya menoleh ke sumber suara dengan keningnya yang berkerut. Namun kerutan di kening itu langsung menghilang begitu senyum lembut merekah di bibir siswi yang telah menempati kursi kosong di sisi kirinya. “Shona,” respon Savier.
“Savier….”
Tak ada kata yang mengikuti; keheningan menyelimuti keduanya. Memang kenyataannya suara siswa-siswi yang berlalu lalang juga suara alunan musik yang bergema membuat suasana sekolah sangat jauh dari kata hening, namun bagi Shona dan Savier, diam tanpa kata mereka adalah keheningan yang sangat bermakna. Mereka sangat menikmatinya: duduk bersebelahan memandang lurus ke depan pada siswa-siswi yang berlalu lalang menikmati momen terakhir mereka sebagai siswa kelas menengah pertama, meskipun simpel, ini sungguh menghangatkan hati.
“Savier,” panggil Shona tiba-tiba, Savier menoleh ke kiri, ia mengarahkan matanya memandang Shona tepat di kedua iris hitam gadis itu. “Ayo kita perbarui janji kita di hari perpisahan ini!” serunya dengan senyum manis yang menghangatkan hati Savier. “Kita tidak boleh menjatuhkan hati pada yang lain, kita akan menyimpan rasa ini hingga masanya tiba. Bagaimana pun kondisi kita di masa depan, tidak peduli jika salah satu dari kita menjadi cacat atau terkena penyakit parah lainnya, kita akan tetap setia satu sama lain. Ini janji di antara kita: delapan tahun yang akan datang, kita akan menikah.”
Meskipun ini hari perpisahan, hari di mana keduanya mengambil jalan yang berbeda, Savier tetap tak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum. “Dengan senang hati,” jawabnya sambil mengeluarkan shuriken kertas yang menjadi simbol janji mereka dari saku bajunya. “Delapan tahun lagi…”
Shona tersenyum kecil, dia mengeluarkan shuriken kertasnya juga. “Delapan tahun lagi…” ucapnya dengan nada yang lembut, sangat lembut.
Itu adalah janji mereka, janji yang ingin mereka wujudkan delapan tahun lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments