Bagian 3: A Wavering Heart, part 1

Perjuangan untuk memasuki perguruan tinggi memang sangat berat, namun akhirnya Savier, untuk pertama kalinya, berhasil menginjakkan kakinya di salah satu universitas termahsyur di negeri ini. Harus ia akui suasana di sini sangat kondusif dan mampu membuatnya merasa bangga akan pencapaiannya, hal ini membuatnya teringat akan perjuangannya mengisi soal-soal tes masuk perguruan tinggi yang tergolong susah itu. Rasanya masih sulit baginya untuk mempercayai hal ini, namun inilah kenyataannya. Savier sama sekali tidak sedang bermimpi, saat ini dia benar-benar sedang berada di salah satu universitas termahsyur di negeri ini.

Savier menghabiskan hari dengan bersepeda mengelilingi kampus yang cukup luas ini, namun demikian, area kampus yang cukup luas membuat Savier hanya mampu mengunjungi beberapa tempat saja dalam waktu seharian ini. Dari beberapa tempat yang dikunjunginya, perpustakaan pusat adalah salah satunya. Mengunjungi perpustakaan tersebut kembali membuat Savier teringat akan kenangan-kenangan berharga yang ia miliki bersama dengan Shona di perpustakaan sekolah menengah pertama dulu. Perasaan nostalgia itu sungguh menghangatkan hati. Kira-kira apa kabar ya Shona sekarang?

Eh, kenapa pula ia harus memikirkan gadis itu, setelah semuanya? Savier tidak harus memikirkan gadis itu, ia tidak perlu memikirkan apa pun yang berhubungan dengan gadis pengingkar janji itu, ia sama sekali tidak harus dan tidak boleh memikirkan dia. Ya, aku harus melupakan semua kenangan itu... sama sekali tak ada gunanya mengingat itu semua. Savier selalu meyakinkan dirinya untuk itu sejak waktu itu, terlebih setelah Gabriel memperlihatkannya sebuah foto yang memperlihatkan Shona sedang makan malam berdua dengan lelaki yang tak ia kenal itu. Namun, seberapa kuat pun ia mencoba melupakan, Savier sama sekali tidak bisa menghapus senyum indah itu dari dalam pikirannya. Seolah-olah Tuhan menginginkan agar dirinya tetap mengingat gadis itu: sampai-sampai membuat gadis itu menghantuinya di alam mimpi. Seolah-olah Shona adalah gadis yang telah ditetapkan langit untuk mendampingi hidupnya, apakah memang benar begitu?

Tentu saja itu tak mungkin! Savier tidak akan mempercayai hal konyol seperti itu. Memang benar perkara jodoh dan sebagainya telah digariskan, akan tetapi, semua itu pada dasarnya tetaplah pilihan manusia itu sendiri. Lagipula, jika memang Shona itu digariskan untuknya, lalu mengapa gadis itu sampai mencampakkan janji yang mereka ucapkan sewaktu kelas satu sekolah menengah pertama dulu? Tidak masuk akal; tidak bisa diterima. Savier tidak akan melupakan apa yang ia lihat waktu itu. Akan tetapi, meskipun ia tidak suka, Savier sama sekali tidak bisa mencampakkan shuriken kertas yang senantiasa mengisi saku bajunya begitu saja. Ia tidak ingin mengakui hal ini, tapi, sekuat apa pun ia menolak, Savier sama sekali tidak bisa menghilangkan kenyataan kalau dirinya sedikit berharap kalau apa yang dilihatnya sama sekali tidak sesuai dengan apa yang ia pikirkan.

Savier menghela napas lelah dan melanjutkan kayuhannya terhadap pedal sepeda, membuat kendaraan angin beroda dua itu melaju kencang keluar dari pekarangan kampus yang luas. Tidak ada gunanya memikirkan hal itu, batin Savier, ekspresinya sudah kembali mendatar. Sejalan dengan itu, kayuhan sepeda Savier semakin mengencang; hari sudah semakin sore, ia harus segera kembali ke tempat kos-nya.

Kos Savier terletak tak terlalu jauh dari fakultas tempatnya kuliah. Jika berjalan kaki, itu hanya akan memakan waktu kurang lebih lima belas menit. Kalau naik sepeda seperti ini, jika ia mengebut, maka ia akan bisa sampai ke tempat kos dalam waktu kurang dari lima menit.

Savier tak terkejut begitu lensa matanya menangkap sosok Gabriel berdiri di depan jalan yang berhadapan langsung dengan tempatnya ngekos. Kosnya dan kos Gabriel memang memiliki pemilik yang sama, kosnya dikhususkan untuk putra dan kos tempat Gabriel tinggal dikhususkan untuk putri, dan keduanya terletak berdekatan. Mengapa ia bisa sampai ngekos berdekatan dengan kosnya Gabriel? Itu dikarenakan Gabriel juga berkuliah di universitas yang sama dengannya dan Gabriel jugalah yang mencarikan kos tersebut untuknya. Karena itu, tidak ada alasan bagi Savier untuk terkejut.

“Gabriel,” sapa Savier seraya menghentikan laju sepedanya di depan Gabriel.

“Ah, Vier, tepat sekali kau datang. Ayo antar aku ke toko olahraga, aku ingin membeli sebuah sepeda agar memudahkan perjalanan ke kampus.”

Savier mengerjapkan matanya dua kali. “Sepeda? Nggak sepeda motor?”

“Memangnya ada sepeda motor di toko olahraga?” tanya Gabriel dengan sebelah alis terangkat.

“Er, bukan itu maksudku, aku hanya heran mengapa kau lebih memilih membeli sepeda.”

“Oh, saat ini aku terlalu malas mengurus SIM. Lagipula, jika naik sepeda maka kita akan bisa pergi bareng, kan?”

“Oh.” Savier tidak memberi respon lebih mendengar ucapan Gabriel itu, ia sudah terbiasa mendengar candaan Gabriel itu. “Ke sananya naik apa, jalan?”

“Tentu saja tidak!” seru Gabriel. “Kau akan memboncengku ke sana.”

Savier mengernyitkan keningnya. “Kau yakin?” tanyanya sembari memandang jok sepedanya kemudian memandang Gabriel, lalu kembali ke jok sepedanya, kemudian kembali lagi memandang Gabriel. “Kau yakin?” tanyanya ulang.

“Tentu saja.”

Savier memandang Gabriel tepat di kedua iris hitam indah gadis berkacamata itu. Gabriel tak mau kalah, ia pun membalas memandang Savier tepat di matanya, seolah-olah mengatakan kalau dirinya sangat yakin dengan keputusannya. Melihat kesungguhan yang terpancar di mata lentik Gabriel, Savier hanya bisa menghela napas sembari menunjuk ke arah jok sepedanya. “Ayo, naiklah,” ucap Savier dengan pelan.

Gabriel tersenyum sumringah dan langsung menduduki jok sepeda Savier secara menyamping. “Em, boleh aku berpegangan pada pinggangmu?” tanya Gabriel iseng.

“Hmph,” dengus Savier sambil mulai mengayuh pedal sepedanya. “Kau ini ngomong apa, tentu saja tidak boleh.”

Senyum Gabriel tak luntur. “Bagaimana kalau aku jatuh?”

“Gab….”

“Hm?”

“Ck, fine.”

Senyum Gabriel melebar. Ia menggerakkan masing-masing tangannya ke kanan dan kiri pinggang Savier, ia mencengkram jaket yang dipakai Savier itu dengan erat. Savier tak berkomentar apa pun, ia langsung mengayuh pedal sepedanya begitu ia merasakan cengkraman tangan Gabriel di jaketnya.

Sepeda itu melaju melewati jalan kecil sebelum kemudian menembus memasuki jalan raya setelah lebih dari setengah menit berjalan.

“Hei, Vier…,” panggil Gabriel.

“Hm?”

“Bagaimana kabar kekasihmu itu?”

Kening Savier berkerut mendengar pertanyaan yang tak ingin ia dengar itu. “Dia bukan kekasihku,” gumam Savier datar, “aku tidak ingat kalau aku pernah punya kekasih.”

“Oh, begitu, ya….”

Savier tidak merespon gumaman pelan Gabriel, pupilnya memandang lurus ke depan sedangkan kakinya dengan harmonis mengayuh pedal sepeda.

Gabriel tersenyum simpul, genggaman tangannya di kedua sisi jaket Savier mengerat. “Em, Vier, apa menurutmu sebaiknya aku tidak perlu membeli sepeda?” tanyanya setengah serius.

“Hm, kau berubah pikiran?”

“Tidak, hanya saja aku berpikiran: bukankah lebih baik seperti ini seterusnya?”

“Seperti ini, maksudmu?”

“Hehehe, kau akan memboncengku saat pergi dan pulang kampus, bukankah itu lebih efektif?”

“Lebih efektif dari hongkong!” dengus Savier. “Aku tidak pernah mendaftar jadi pelayanmu, jadi tolong cari orang lain saja untuk kau pekerjakan, ya, Nona Gabriel.”

“Hahahaha, kalau kau bisa berkata seperti itu maka artinya kau sudah baik-baik saja.”

Savier mengernyitkan keningnya mendengar respon Gabriel. “Aku tidak mengerti perkataanmu, dari tadi aku memang baik-baik saja.”

“Tadi perasaanmu sempat memburuk. Aku sudah lama mengenalmu, jadi aku tahu jika kau sedang senang, sedih, atau pun kesal.”

“…”

“Maaf karena menanyakannya, tapi..., mendengar kau mengatakan itu membuatku senang.”

“…”

“Em..., boleh aku memelukmu?”

“Gab.”

“Hm?”

“Tidak, bukan apa-apa, aku hanya akan menaikkan kecepatanku mengayuh pedal sepeda, itu saja.”

“Um,” angguk Gabriel, senyum di bibirnya terlukis indah, kedua tangannya dengan lembut melingkari tubuh tegap Savier, dan sepeda tersebut terus melaju menuju ke tempat tujuan mereka, dalam hening.

Butuh waktu lima belas menit lebih bagi mereka untuk sampai ke tempat tujuan: sebuah gedung dua lantai yang cukup populer di kota ini. Dan keduanya langsung memasuki toko tersebut setelah memastikan sepeda hitam Savier terparkir secara aman.

Mereka tak menghabiskan banyak waktu di dalam toko. Gabriel dan Savier langsung keluar dari sana sekitar sepuluh menit setelah masuk, dan keduanya langsung menuju ke tempat parkir di mana sepeda Savier diparkirkan. Sepeda yang dibeli Gabriel sama dengan sepeda yang dimiliki Savier, yang berbeda hanyalah warnanya saja. Sepeda kota Savier berwarna hitam, sedang sepeda kota Gabriel berwarna biru muda.

“Aku akan mentraktirmu es krim karena telah memboncengi dan menemaniku membeli sepeda. Bagaimana, kau mau?” usul Gabriel sembari menaiki sepeda barunya.

Savier menaiki sepeda miliknya dan memandang geli pada Gabriel. “Lucu sekali, Gab.”

“Eh, kau nggak mau?”

“Belikan aku es krim coklat.” Savier langsung mengayuh pedal sepedanya seusai mengatakan itu. Di belakangnya, Gabriel tersenyum geli lalu mengayuh sepedanya menyusul Savier. Mereka bersepeda beriringan dalam tempo yang sedang, menyusuri jalan kota sembari menenggelamkan diri mereka dalam hembusan angin lembut.

Kedua sepeda mereka melaju dengan sama cepatnya. Gabriel yang sudah berada di depan Savier membelokkan sepedanya ke arah supermarket pertama yang dia jumpai, membuat Savier ikut membelokkan sepedanya menyusul perempuan berkacamata itu.

“Tunggu di bangku sana, ya!” perintah Gabriel seraya berlalu memasuki supermarket setelah memarkirkan sepedanya di depan toko.

“Sure.” Savier menyagakkan sepedanya di samping sepeda Gabriel, kemudian ia memacu kakinya menuju bangku coklat panjang yang terletak di depan supermarket—bangku yang dimaksudkan Gabriel. Seperti yang diinstruksikan Gabriel, Savier mendudukkan dirinya di bangku itu, menanti sang gadis untuk keluar. Dan gadis berkacamata itu keluar tak lama kemudian, dengan sebuah plastik putih tertenteng di tangan kanannya.

“Nggak lama, 'kan?” tanya Gabriel sembari mendudukkan dirinya di samping Savier.

“Nggak.”

“Um, ini untukmu.”

Savier menerima es krim yang disodorkan Gabriel padanya. “Kau sungguh membeli es krim coklat,” komentarnya.

“Eh, bukannya kau tadi maunya yang coklat?”

Savier tersenyum kecil mendengar respon Gabriel. “Bukan begitu,” ujarnya, “aku hanya berasumsi kalau kau akan membelikan yang lain untuk sekedar membuatku kesal.”

“Ahh…, apa aku seburuk itu di matamu? Kukira selama ini kita adalah teman yang baik, tapi ternyata hanya aku saja yang beranggapan demikian.”

Savier mengernyitkan keningnya mendengar ucapan menusuk Gabriel. “Gab, aku-“

“Aku tahu,” potong Gabriel dengan senyum geli di bibirnya, “kau hanya bercanda, kan? Aku pun hanya bercanda, jadi tidak perlu khawatir.”

“Gab.”

“Hm?” respon Gabriel sekenanya lalu memasukkan es krimnya ke mulutnya.

Savier pun memakan es krim pemberian Gabriel. “Aku hanya ingin mengatakan kalau tadi aku serius,” ucapnya beberapa saat kemudian.

“Sungguh?” respon Gabriel tak percaya.

Savier hanya tersenyum kecil sebagai respon atas pertanyaan retorikal Gabriel, Gabriel pun ikut tersenyum melihat Savier tersenyum. Keheningan kemudian menyelimuti mereka berdua, keduanya duduk dengan tenang menikmati es krim mereka masing-masing, mereka konten duduk tanpa suara. Keheningan itu bertahan agak lama, barulah setelah es krimnya habis Gabriel memecah keheningan tersebut.

“Apa kau sudah siap memulai kehidupan sebagai mahasiswa, Vier?” tanyanya pelan.

“Tentu saja; tidak ada hal yang perlu kukhawatirkan sebagai mahasiswa. Mengapa bertanya seperti itu, kau belum siap hidup sendiri seperti ini?”

“Em, sebenarnya aku tidak hidup sendiri; teman sebelah kamarku adalah pelayan yang bekerja di rumahku, ayahku memaksa untuk membiarkannya membantu keperluanku selama kuliah.”

“Oh, apa kau ingin hidup sendiri?”

“Nggak juga,” geleng Gabriel. “Keberadaannya sangat membantuku, dan karena dia sudah bekerja mengurusku sejak dulu, aku bisa merasa nyaman berada di tempat yang jauh dari keluarga. Aku tadi hanya sekadar bertanya saja, siapa tahu kalau kau sudah merindukan tempat tinggalmu, 'kan?”

“Lucu sekali, Gab,” dengus Savier.

Gabriel hanya tersenyum simpul mendengar responnya. “Kalau begitu, ayo pulang, besok adalah hari pertama ke kampus, 'kan?”

“Kau benar, ayo pulang.”

Episodes
1 Bagian 0: Prolog
2 Bagian 1: In between Us, part 1
3 Bagian 1: In between Us, part 2
4 Bagian 1: In between Us, part 3
5 Bagian 1: In between Us, part 4
6 Bagian 1: In between Us, part 5
7 Bagian 1: In between Us, part 6
8 Bagian 1: In between Us, part 7
9 Bagian 1: In between Us, part 8
10 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 1
11 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 2
12 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 3
13 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 4
14 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 5
15 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 6
16 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 7
17 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 8
18 Bagian 3: A Wavering Heart, part 1
19 Bagian 3: A Wavering Heart, part 2
20 Bagian 3: A Wavering Heart, part 3
21 Bagian 3: A Wavering Heart, part 4
22 Bagian 3: A Wavering Heart, part 5
23 Bagian 4: A Real Promise, part 1
24 Bagian 4: A Real Promise, part 2
25 Bagian 4: A Real Promise, part 3
26 Bagian 4: A Real Promise, part 4
27 Bagian 4: A Real Promise, part 5
28 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 1
29 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 2
30 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 3
31 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 4
32 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 5
33 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 6
34 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 7
35 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 8
36 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 9
37 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 10
38 Bagian 6: Epilog
Episodes

Updated 38 Episodes

1
Bagian 0: Prolog
2
Bagian 1: In between Us, part 1
3
Bagian 1: In between Us, part 2
4
Bagian 1: In between Us, part 3
5
Bagian 1: In between Us, part 4
6
Bagian 1: In between Us, part 5
7
Bagian 1: In between Us, part 6
8
Bagian 1: In between Us, part 7
9
Bagian 1: In between Us, part 8
10
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 1
11
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 2
12
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 3
13
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 4
14
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 5
15
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 6
16
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 7
17
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 8
18
Bagian 3: A Wavering Heart, part 1
19
Bagian 3: A Wavering Heart, part 2
20
Bagian 3: A Wavering Heart, part 3
21
Bagian 3: A Wavering Heart, part 4
22
Bagian 3: A Wavering Heart, part 5
23
Bagian 4: A Real Promise, part 1
24
Bagian 4: A Real Promise, part 2
25
Bagian 4: A Real Promise, part 3
26
Bagian 4: A Real Promise, part 4
27
Bagian 4: A Real Promise, part 5
28
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 1
29
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 2
30
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 3
31
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 4
32
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 5
33
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 6
34
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 7
35
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 8
36
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 9
37
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 10
38
Bagian 6: Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!