Sudah lebih dari satu bulan sejak Savier dan Shona saling mengakui perasaan mereka satu sama lain. Sejak saat itu, setiap waktu istirahat selalu dihabiskan keduanya dengan saling bertukar cerita di dalam perpustakaan. Namun, selain di perpustakaan, keduanya sama sekali tak pernah berbicara satu sama lain walaupun itu hanya sekadar bertegur sapa saja, kecuali kalau itu dalam keadaan yang benar-benar mengharuskan mereka saling berbicara.
Selama di kelas, keduanya bertingkah seolah-olah mereka tidak akrab sama sekali. Kendati begitu, gosip tentang mereka yang saling menyukai satu sama lain masihlah kental, tampaknya seluruh penghuni kelas menilai kalau Shona dan Savier memang cocok satu sama lain. Karenanya, mereka tak luput dari keisengan para siswa-siswi sekelas.
Tentu saja yang menjadi korban keisengan teman-teman sekelas bukan Savier dan Shona saja, bahkan ada dua anak yang menerima bulian dengan tingkatan yang jauh lebih tinggi dari yang diterima Shona dan Savier. Namun itu adalah hal yang wajar, tak ada yang tidak tahu kalau kedua pelajar itu menjalin hubungan yang spesial; sudah menjadi hukum kelas untuk menggoda keduanya di setiap kesempatan yang ada.
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini pun Savier menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan. Itu sudah menjadi rutinitas yang wajib baginya, seolah jika ia tidak datang sekali saja maka ada yang akan hilang dari dirinya.
Namun, meskipun ia saat ini sudah menduduki tempat yang biasa ia duduki, perasaan yang mengatakan kalau ada hal yang kurang tetap merasuki dirinya. Savier sangat tahu mengapa ia merasakan perasaan yang tidak puas ini, hal itu dikarenakan keabsenan sosok siswi yang selalu menemaninya membaca di ruang berbentuk kubus ini. Shona tidak masuk sekolah, dan Savier merasa sedikir khawatir. Ia berharap semoga tidak ada hal buruk yang menimpa “teman”-nya itu.
Hari itu, untuk pertama kalinya sejak ia mengunjungi perpus, Savier merasa tidak nyaman berada di perpustakaan.
Keesokan harinya, Shona masih belum datang ke sekolah, Savier benar-benar merasa khawatir. Berbagai pertanyaan menyeruak memasuki pikirannya. Apa yang terjadi pada Shona, mengapa dia tak datang ke sekolah? Apa dia pulang ke kampung halamannya seperti saat itu? Atau, apa dia sakit? Kalau memang sakit, sakit apa?
Savier sangat ingin sekali tahu tentang kabar Shona, tetapi tak mungkin baginya menanyakan hal itu kepada siswi-siswi yang akrab dengan Shona di kelas. Itu akan menimbulkan gosip yang tak menyenangkan. Pun Savier tak tahu tempat tinggal Shona—jika pun tahu, tak mungkin ia akan datang ke sana tanpa alasan yang “normal”, kan?
Hari itu, untuk pertama kalinya, selama sehari penuh Savier merasa tidak tertarik dengan pelajaran di kelas, bahkan ketika jam pelajaran Matematika sekalipun.
Hari selanjutnya pun sama, Shona kembali absen.
Hari berikutnya juga sama, Shona sama sekali tak datang ke sekolah, Savier menjadi benar-benar resah. Ia ingin mendengar suara Shona. Ia ingin melihat senyum manis gadis itu yang mengiringi pembicaraan mereka. Ia ingin melihat raut serius yang terekspresi di wajah manis gadis itu kala mendengarnya bercerita. Ia ingin melihat iris hitam yang selalu membuatnya terhisap ke dalamnya setiap kali mereka beradu tatap. Savier ingin melihat gadis itu – ia ingin bertemu dengannya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Savier merindu.
Keesokan harinya, Savier memulai hari dengan sebuah harapan: semoga ia bisa melihat sosok Shona di dalam ruang kelas yang sudah ia tempati selama ini – semoga ia menemukan sosok Shona di antara siswa-siswi kelas VII-1.
Harapan Savier benar-benar terwujudkan.
Tepat ketika ia memasuki ruang kelas, matanya langsung tertuju pada sosok Shona yang berdiri memandangnya di pojok kelas dengan sapu di tangan. Shona tersenyum lembut padanya—senyum manis yang amat ia rindukan, dan Savier membalas senyum lembut itu dengan senyumnya. Kendati demikian, tak ada pertukaran kata di antara keduanya; Shona melanjutkan tugas piketnya, sementara Savier langsung beranjak ke luar kelas seusai menaruh tas di mejanya.
Savier akan sabar menunggu hingga waktu istirahat tiba, barulah saat itu ia akan bisa menanyai “teman”-nya itu secara lebih leluasa.
Bel yang menandakan waktunya beristirahat akhirnya berbunyi, Savier tak membuang banyak waktu dan langsung bergegas keluar kelas menuju perpustakaan. Ia mengambil asal sebuah buku bacaan dan langsung menduduki tempat favoritnya. Dengan sabar ia menunggui kedatangan Shona.
Akan tetapi, setelah tiga menit lebih menunggu, Shona tak kunjung menampakkan dirinya di perpus. Kendati begitu, Savier tetap setia menunggu gadis itu sembari membaca buku yang diambilnya secara asal itu. Dan tanpa sadar, bel yang menandakan waktu istirahat berakhir pun berbunyi, dan Shona sama sekali tidak mengunjungi perpustakaan.
Dengan berat hati Savier mengembalikan buku bacaannya ke tempat semula, kemudian dengan ekspresi datar ia kembali memasuki kelasnya.
Savier mendudukkan diri di kursinya dan melontarkan pandangannya pada Shona yang sedang berbicara dengan Alena. Seolah menyadari pandangan Savier, Shona pun mengarahkan irisnya memandang dirinya. Pandangan mereka kembali bertemu, tetapi kontak mata itu hanya berlangsung selama beberapa detik saja karena Shona langsung menolehkan pandangannya kembali pada Alena.
Savier mengernyitkan keningnya, kemudian ia menghela napas pelan dan mengeluarkan buku pelajarannya dari dalam tas. Sudahlah, masih ada hari esok.
“Vier, besok pagi mau ikut main futsal, nggak?” tanya Hanafi.
“Besok pagi? Kau nggak ke sekolah rupanya?” tanya balik Savier.
“Eh, besok kan hari libur nasional, kau lupa atau nggak lihat kalender?”
Mata Savier langsung melebar sempurna begitu perkataan Hanafi meresap memasuki otaknya—bagaikan seseorang yang diberitahu kalau selama ini wanita yang dia sukai ternyata adalah lelaki, syok, begitulah yang ia rasakan saat ini. Tidak ada hari esok! Jika Savier sampai melewatkan kesempatan hari ini maka ia baru akan bertemu lagi dengan Shona pada hari Senin.
“Jadi gimana, ikut nggak?”
Savier menggelengkan kepalanya pelan, “Nggaklah, Naf, mungkin lain kali,” ucapnya singkat.
“Oh, oke.”
Savier melirik sekilas ke arah Hanafi yang mulai berkutat dengan buku pelarajannya. Melihat tak ada tanda-tanda kekecewaan dari teman semejanya, Savier kembali memfokuskan pandangannya pada buku pelajarannya. Namun begitu, pikiran Savier saat ini bukan tertuju pada tulisan-tulisan di buku. Pikirannya sibuk merancang strategi-strategi jitu untuk dapat berbicara dengan Shona tanpa mengundang perhatian pelajar lainnya. Bahkan guru masuk pun tak disadari Savier, barulah ketika sang guru berbicara Savier tersadar dari alam pikirannya.
“Hari ini ibu ingin kalian membentuk kelompok yang terdiri atas lima orang. Agar adil, yang akan memilihkan anggota-anggota kelompoknya adalah ibu sendiri.”
Tanpa menunggu persetujuan para murid, sang guru langsung menuliskan kelompok-kelompok dari A sampai E di papan tulis. Savier mendengarkan setiap perkataan sang guru dengan tenang, dalam hati ia harap-harap cemas menyemogakan agar ia sekelompok dengan Shona. Kendati Savier mendengarkan perkataan sang guru dengan cermat, ia sama sekali tak melepaskan pandangannya dari papan tulis. Hingga kelompok C selesai ditulis semua anggotanya, namanya dan Shona masih belum termuat di kelompok mana pun. Harapan Savier semakin besar, lilin yang menghangatkan hatinya kian membara.
Namun, dalam sekejap, lilin itu langsung padam tak berbekas begitu namanya tertulis di kelompok D. Tak ada nama Shona di dalam kelompok itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Gibran Santuyy
bukan genre comedy namun bisa buat tertawa sendiri
2021-04-11
1