Mendapatkan pendidikan yang memadai adalah hak setiap insan, namun nyatanya tak semua dari mereka bisa mendapatkan kesempatan itu. Beruntung bagi Savier, ia adalah salah satu dari mereka-mereka yang bernasib baik karena bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang selanjutnya, sekolah menengah atas.
Sekolah menengah atas yang berhasil dimasuki Savier terletak tak terlalu jauh dari tempatnya tinggal. Itu adalah boarding-school, sekolah swasta yang baru didirikan sekitar tujuh tahun yang lalu. Meskipun sekolah itu relatif baru, sekolah tersebut saat ini sudah menjadi sekolah terbaik se-kota tempatnya tinggal, karena itu pula Savier memutuskan untuk memasuki sekolah tersebut. Harus ia akui, tes untuk masuk ke sekolah itu tidaklah mudah, namun meskipun tanpa belajar dirinya tetap bisa mendapatkan hasil yang baik yang membuatnya diterima menjadi siswa baru di sekolah berkelas tersebut. Ia berhasil mendapatkan peringkat ke-6 dari semua peserta tes tertulis yang ada. Mulanya, hanya peringkat satu sampai lima saja yang dibebaskan dari biaya sekolah. Akan tetapi, karena perbedaan nilainya dengan nilai si peringkat lima itu hanya satu poin, pihak sekolah mengatakan kalau salah seorang donatur sekolah memutuskan untuk membayarkan semua biaya sekolahnya selama tiga tahun penuh. “Sayang sekali jika kamu bersekolah di tempat lain hanya karena masalah uang,” begitu kata donator yang namanya dirahasiakan oleh pihak sekolah itu. Awalnya Savier merasa tidak enak hati untuk menerima hal itu, tapi setelah mempertimbangkan baik-baik, akhirnya ia memutuskan untuk menerima kebaikan hati donator tersebut.
Savier menyeret koper besarnya dan melangkah memasuki gerbang utama kompleks sekolah dengan mantap. Berdasarkan peta sekolah, asrama siswa kelas satu berada tak terlalu jauh dari gerbang masuk, ia hanya perlu berjalan sekitar seratus meter ke utara lalu berbelok ke arah timur laut, asrama siswa terletak tepat di ujung jalan itu. Normalnya ia akan bertanya kepada satpam yang berjaga di pos untuk memastikan kebenarannya, namun Savier yakin pada kemampuannya untuk menemukan gedung asrama tersebut. Karenanya, setelah memberikan surat keterangan kepada satpam, ia langsung melangkahkan kakinya ke arah utara dengan langkah yang terbilang cepat.
Hanya butuh tiga menit lebih bagi Savier untuk tiba di bundaran jalan, tanpa ragu Savier langsung berbelok mengambil jalan ke arah timur laut. Benar saja, sekitar satu menit kemudian Savier dapat melihat sebuah bangunan tiga lantai yang berdiri megah di sudut jalan sana. Bukan Savier siswa baru yang pertama kali tiba di asrama siswa kelas satu, beberapa orang lainnya sudah berada di sana menunggu gerbang asrama dibuka.
Penantian mereka tak sampai sepuluh menit; gerbang asrama langsung terbuka dan mereka dipersilakan masuk kira-kira enam atau tujuh menit setelah Savier ikut menunggu. Kemudian, setelah memasuki pekarangan asrama, mereka diantar menuju ke tempat administrasi guna melihat di kamar mana mereka akan ditempatkan. Di sini pun Savier tak menunggu lama, dua menit kemudian ia langsung diantar ke lantai tiga kamar paling ujung, kamar 307.
“Mulai hari ini hingga semester baru, kau akan menempati kamar ini bersama dengan ketiga siswa lainnya.”
Savier mengangguk dan mengucapkan sepatah kata terima kasih pada petugas osis yang baru saja mengantarnya, kemudian ia langsung melangkah memasuki kamar yang akan ditempatinya selama satu semester ke depan. Savier langsung membuka kopernya dan menyusun rapi pakaiannya ke dalam lemari di pojok kanan ruangan dengan luas 5 x 5 meter ini. Savier harus mengakui kalau ia sangat beruntung bisa mendapatkan kamar yang dekat dengan jendela ini, apalagi dengan balkon luar yang memiliki luas yang cukup untuk digunakan kala malam cerah dan berbintang. Ini adalah posisi kamar yang sempurna, harapan satu-satunya Savier saat ini adalah semoga rekan sekamarnya bukanlah orang yang menyebalkan.
Semuanya baru lengkap ketika mentari terbenam ke belahan dunia lainnya. Ketiga rekan sekamar Savier, meski satu dari mereka sedikit eksentrik, bukanlah orang-orang yang menyebalkan. Mendapatkan rekan sekamar yang nyaman adalah kunci kenyamanan kamar, karenanya Savier sangat senang karena Tuhan telah mengabulkan keinginan egoisnya. Ketiga siswa itu bernama Fikri Aldriansyah, Reza Bagaswara, dan si eksentrik Hari Faisal. Mereka bertiga dan dirinya cepat akrab satu sama lain, dan ternyata si Fikri dan Hari berasal dari luar kota yang sama.
Hari pertama sekolah akan dilaksanakan pada hari Senin yang akan datang, artinya mereka masih punya satu hari yang kosong. Meskipun pihak osis sekolah mengadakan beberapa kegiatan perkenalan area sekolah, para siswa-siswi masih memiliki cukup banyak waktu kosong yang tersisa. Dan Savier beserta ketiga temannya bersepakat untuk melihat-lihat gedung olahraga yang ada di sekolah ini ketika waktu kosong nanti.
***
Memang, hal yang paling menyebalkan dari sekolah adalah upacara bendera yang dilakukan setiap hari Seninnya. Sebenarnya Savier tidak terlalu mempermasalahkan upacara tersebut, yang benar-benar membuat semuanya menjadi menyebalkan adalah pembina upacara yang berceloteh panjang lebar di atas mimbar saat amanat pembina upacara dilaksanakan. Mereka berbicara tak cukup setengah jam, tidak bisakah mereka berbicara hanya dalam lima menit? Jika ia adalah pemilik sekolah maka sudah pasti Savier akan menjadikan itu sebagai aturan wajib yang harus dipenuhi pembina upacara, namun sayangnya ia hanyalah seorang siswa kelas satu sekolah menengah atas, tak kurang, tak lebih; mau tak mau ia harus mendengarkan pembicaraan yang jarang sekali berguna itu. Tiga puluh menit lebih Savier berdiri dengan kaki sedikit terbuka dan kedua tangan dalam posisi istirahat, semuanya hanya untuk mendengarkan celotehan kepala sekolah yang sangat basi. Savier merasa kalau kepala sekolah sewaktu ia di kelas menengah pertama dulu sedikit lebih baik dibandingkan kepala sekolah ini.
Penderitaan Savier dan siswa-siswi lainnya itu akhirnya telah berakhir dan kini upacara telah selesai dilaksanakan. Savier dan siswa-siswi lainnya langsung beranjak menuju ke gedung utama di mana kegiatan belajar mengajar diadakan. Savier menempati kelas X-2 bersama dengan kedua puluh empat pelajar lainnya. Kelasnya terletak di lantai satu, beberapa ruang dari kelas X-1 dan—entah kenapa—terletak tepat belasan meter dari depan perpustakaan sekolah. Dari dua puluh lima pelajar yang memenuhi ruang kelas X-2, delapan belas di antaranya adalah siswi. Hal ini berbanding terbalik dengan sewaktu ia masih di sekolah menengah pertama yang isi kelas didominasi siswa, namun ini rasanya lebih bagus: lebih sedikit siswa maka suasana kelas akan lebih kondusif, mungkin.
Kursi disusun dengan formasi 5 x 5, Savier mendapati tempat duduk kolom ke satu barisan terakhir. Di satu sisi, ini adalah tempat duduk yang sempurna. Namun di sisi lain, siswa-siswi yang menduduki kursi barisan terakhir kerap kali menjadi langganan sasaran pertanyaan guru-guru. Savier tidak masalah jika itu adalah pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, atau pun Bahasa Inggris; yang menjadi masalah adalah jika sewaktu pelajaran Bahasa Indonesia atau pun Seni Budaya ia yang menjadi sasaran guru. Itu merepotkan; Savier sangat tidak menyukai kedua pelajaran tersebut. Bukannya sulit atau apa, namun Savier sangat tidak suka ketika diharuskan maju ke depan membacakan puisi atau sejenisnya.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya wali kelas mereka datang juga. Beliau adalah seorang wanita berusia empat puluhan, dari ekspresi wajahnya beliau terlihat sebagai guru matematika atau ilmu sains lainnya. Bisa saja ia salah, namun sangat sedikit guru ilmu pasti yang memiliki wajah yang ceria.
“Selamat pagi, mulai hari ini hingga akhir semester saya akan menjadi wali kelas kalian. Panggil saya Ibu Hellish atau Ma'am Hellish, saya juga guru yang ditugaskan untuk mengajar Bahasa Indonesia untuk kelas X-2 dan XI-4. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik, baik ketika kelas Bahasa Indonesia mau pun sebagai wali kelas kalian.”
Ekspresi Savier menjadi datar sedatar-datarnya. Asumsinya benar-benar salah total. Belum cukup beliau memiliki nama “Hellish”, beliau juga adalah guru Bahasa Indonesia. Mungkin, beliau juga memiliki kepribadian yang serupa dengan guru Bahasa Inggris kelas satu sekolah menengah pertamanya. Ini akan merepotkan, bisa jadi ini adalah tahun terburuknya selama masa-masa sekolah.
“Hei, kau Savier, kan?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments