Masa kelas satu telah berakhir sekitar dua minggu yang lalu, hari ini adalah hari dimulainya tahun ajaran baru. Ini adalah hari terbebasnya tugas Savier sebagai ketua kelas X-2, seharusnya begitu. Akan tetapi, tampaknya hal itu hanyalah asumsi semata, karena apa? Karena bu Hellish kembali menjadi wali kelas mereka di kelas XI-2, itulah mengapa Savier sedikit ragu mengenai terbebasnya dirinya dari tugas itu.
“Ibu rasa kita tidak perlu melakukan pemilihan aparatur kelas yang baru, ada yang tidak setuju dengan Ibu?”
“Tidak ada, Bu!”
Ada!
Tentu saja Savier tidak bisa meneriakkan kata itu. Bukannya ia takut, hanya saja ia sudah terlalu biasa dengan hal ini, satu semester saja sudah cukup untuk membuatnya nyaman dengan posisi ketua kelas, apalagi satu tahun penuh. Tapi, tentu saja, terbebas dari rasa tanggungjawab akan membuatnya merasa lebih baik dan lebih oke. Dan karena tidak ada satu pun siswa atau siswi yang protes, Savier dan Gabriel kembali melanjutkan tugas mereka sebagai ketua dan wakil ketua kelas XI-2 hingga tahun ajaran ini berakhir. Sama seperti tahun ajaran sebelumnya, Savier bertekad untuk menjalankan tugasnya sebagai ketua kelas dengan penuh tanggungjawab, sekalipun itu terpaksa.
“Mohon kerjasamanya untuk tahun ini juga, Ketua.”
Savier hanya mendengus pelan membalas ucapan Gabriel yang entah kenapa duduk tepat di sampingnya. Bukan, ia bukannya sengaja duduk di sebelah Gabriel, melainkan pihak gurulah yang menyusun tempat duduk sehingga membuatnya duduk bersebalahan dengan wakilnya itu. Ah, Savier bukannya membenci formasi duduk yang seperti ini, hanya rada aneh saja menurutnya. Tapi, jika harus memilih tempat duduk sendiri, Savier tidak akan memilih tempat duduk yang lain. Karena, meskipun sedikit menyebalkan, Gabriel adalah pelajar yang paling dekat dengannya.
“O ya, Ketua, untuk acara tahunan sekolah tahun ini, apa yang akan kelas kita persembahkan?”
Mendengar pertanyaan itu sedikit membuat kening Savier berkerut. Sekolahnya ini memang memiliki acara tahunan yang diadakan pada bulan November selama dua hari mulai dari hari ulang tahun sekolah hingga hari sesudahnya, mau tak mau ia harus mempersiapkan kelasnya untuk hal itu. Keputusan untuk menampilkan acara ditentukan oleh pertemuan seluruh ketua dan wakil ketua kelas dengan panitia festival, osis. Hal itu dilakukan agar tak ada kelas yang menampilkan hal yang sama dengan kelas lain.
Tahun lalu kelasnya menampilkan musikalisasi drama. Meskipun ia cukup puas dengan hasil tahun lalu, namun sebenarnya musikalisasi drama bukanlah pilihan mereka. Itu adalah pilihan yang diberikan kepada mereka karena mereka (dirinya) kurang dalam persiapan untuk memenangkan perebutan penampilan yang diberikan oleh pihak osis. Karena itu Savier mengerti apa yang ingin disampaikan Gabriel: untuk menghindarkan kesalahan tahun lalu, mereka harus bersungguh-sungguh untuk mempersiapkan kelas mereka untuk acara festival sekolah nanti.
“Er, sekarang masih pertengahan Juli, Gabriel. Kita masih punya empat bulan hingga hari festival sekolah tiba.” Savier beralasan.
“Benar, empat bulan. Namun karena empat bulanlah kita perlu memutuskannya sesegera mungkin, dengan begitu kita akan punya banyak waktu luang dan tidak akan kerepotan nantinya.”
Jika Gabriel sudah bersikeras seperti itu, apa pun yang akan ia katakan sama sekali tidak akan berguna, Gabriel akan memberi argumen yang solid untuk mematahkan argumennya. Pilihan yang terbaik adalah menganggukkan kepala dan tersenyum kecil lalu berkata, “Mungkin kau benar, Gab.”
“Tentu saja aku benar!” seru Gabriel dengan penuh semangat. “Kalau begitu nanti setelah jam sekolah selesai kita akan langsung ke perpus, okay?”
Savier hanya menganggukkan kepalanya merespon perkataan Gabriel, apa yang harus ia katakan di situasi seperti ini selain menganggukkan kepalanya menyetujui?
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, dan seperti yang sudah disepakati sebelumnya, Savier menemukan dirinya berada di perpustakaan bersama dengan Gabriel. Beberapa lembar kertas tertata rapi di meja yang memisahkan keduanya; Savier duduk di salah satu kursi sedangkan Gabriel berdiri di sebelah kursi kosong di hadapannya. Dari beberapa kursi yang mengelilingi meja persegi tersebut, hanya dua saja yang terisi. Savier sudah menanyakan tentang ketidakikutsertaan aparatur kelas lainnya kepada Gabriel, dan dengan senyum datar gadis berkacamata itu berkata: “Mereka ada urusan pribadi.”
Savier berniat bertanya lebih lanjut, namun karena Gabriel menekankan kata “pribadi”, ia tidak jadi menanyakan keingintahuannya karena ia sangat tidak ingin terlibat ke dalam urusan orang lain. Setiap orang punya masalah mereka sendiri, tidak pantas bagi orang lain untuk ikut campur dalam urusan mereka. Ini bukan novel klise dengan protagonis yang klise juga, ini dunia nyata, tidak ada orang bodoh yang mau membiarkan orang lain ikut campur dalam urusan pribadinya. Masalah pribadi harus diselesaikan secara pribadi pula, kecuali jika masalah itu memang ada hubungannya dengan orang lain—setidaknya itu adalah apa yang Savier yakini.
Tapi, mengapa pula cuma ada petugas perpus dan mereka berdua di ruangan yang biasanya ramai saat jam pulang sekolah ini? Savier kembali mengedarkan pandangannya menyusuri seisi ruangan yang tiga kali lebih besar dari ruang kelasnya ini. Tapi mau berapa kali pun ia mencari keberadaan orang lain, hanya ada seorang petugas perpus, Gabriel, dan dirinya saja di dalam ruangan yang dipenuhi buku-buku ini.
“Hm, ada apa, Vier?”
“Tidak ada apa-apa,” geleng Savier, “aku hanya sedikit penasaran, mengapa perpus hari ini sepi sekali?”
“Ah,” Gabriel mengedarkan pandangannya ke semua penjuru ruangan. “Kau benar,” ucapnya dengan senyum simpul di bibir. “Perpus hari ini sangat sepi sekali. Tapi aku rasa itu bukan masalah, kan? Lagipula ada Rihasa yang bertugas sebagai petugas perpus hari ini, aku rasa tak ada masalah.”
Savier mengernyitkan keningnya, ia selalu merasa ada yang aneh dengan cara Gabriel tersenyum. Ia ingin berkomentar, namun entah kenapa ia merasa kalau diam adalah pilihan yang lebih baik. “Hm, sepertinya begitu.”
Gabriel menepuk tangannya dengan pelan, “Aku senang kau berpikir demikian,” ujarnya riang.
Savier menganggukkan kepalanya dan menggesturkan tangannya menyuruh Gabriel untuk duduk; tidak ada kata yang harus ia ucapkan untuk gadis berkacamata yang seenaknya telah memutuskan untuk mengangkat kursi lalu meletakkan kursi itu di sebelah kanannya sebelum kemudian ia duduk di situ dengan senyum puas di bibir.
“Kalau begitu ayo langsung kita mulai diskusinya, apa yang ada di pikiranmu, hm?” Dan dengan itu, mereka memulai diskusi mereka tentang hal yang ingin kelas mereka tampilkan di acara festival sekolah kelak.
Tak terlalu jauh dari meja mereka, Rihasa memandang kedua pengunjung perpustakaan hari ini dengan tanpa ekspresi. Terlebih ketika ia melihat Gabriel yang bertingkah layaknya seorang gadis yang sedang kasmaran, wajah tanpa ekspresinya langsung berubah dengan adanya kernyitan di kening. Menyentakkan lidahnya, Rihasa mengalihkan pandangan matanya pada pintu perpus yang terbuat dari kaca buram. Meskipun ia tak bisa melihatnya, Rihasa tahu kalau dibalik pintu itu tertera kata “closed” yang menghalangi siswa-siswi lainnya dari memasuki perpus.
Rihasa mengembalikan pandangannya pada kedua pengunjung perpus, melihat mereka membuatnya tak bisa menahan diri untuk tidak mendesah pasrah. Ia tak habis pikir melihat Gabriel, mengapa dia sampai seobsesi itu pada Savier. Ia tahu Savier itu pintar dan wajahnya pun di atas lumayan, namun menurutnya masih ada beberapa siswa yang lebih oke daripada dia, tapi mengapa Gabriel hanya memfokuskan perhatiannya pada Savier? Gabriel bahkan sampai memaksanya menempelkan tulisan “closed” di balik pintu, Rihasa tidak mengerti, pun ia tak punya niat untuk mengerti.
Meskipun merasa bersalah karena memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi, Rihasa tidak merasa menyesal karena telah membantu Gabriel. Mengapa? Tentu saja karena Gabriel memberinya bayaran yang memuaskan setiap kali ia memenuhi permintaan teman sekamarnya itu. Selama ia juga diuntungkan, mengapa ia harus menyesal? Selain itu, Rihasa merasa terhibur melihat usaha licik Gabriel untuk membuat Savier menari di atas telapak tangannya. Itu sungguh menghibur, Rihasa sampai harus menggigit bibir bawahnya agar ia tak meledak dalam tawa.
Oh, Savier… kalau saja kau tahu kalau kau sedang berurusan dengan wanita yang mengerikan..., tapi sayangnya kau tidak akan tahu kalau Gabriel tak mau memberitahumu… ckckck. Rihasa sedikit merasa kasihan pada Savier, tapi ia sama sekali tak berniat untuk menghalangi Gabriel. Bukan saja itu akan menghilangkan keuntungannya, Rihasa juga tak ingin menjadi target bulian Gabriel seperti seorang siswi yang sudah dikeluarkan dari sekolah empat bulan lalu. Lagipula, itu adalah murni kesalahan Savier sendiri karena telah berani menarik perhatian Gabriel; apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai—setidaknya begitulah nasihat orang-orang dulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments