Mentari terbit dengan penuh semangatnya, pertanda hari kemarin telah berlalu dan saatnya bagi setiap insan untuk menatap hari ini yang nyata dan penuh tantangan. Savier keluar dari rumahnya dan langsung bergegas ke pinggir jalan menunggu angkutan umum yang lewat. Tak selalu ia menaiki angkot untuk ke sekolah, terkadang ayahnya mengantarnya dengan sepeda motor jika beliau bangun pagi. Jika beliau tidak bangun pagi seperti hari ini, Savier tidak punya pilihan lain selain menggunakan jasa angkutan kota.
Perjalanan ke sekolah tak memakan waktu lama. Kurang lebih lima menit setelah ia menaiki angkot, Savier menemukan dirinya tiba di sekolah. Oh, ini hari Senin, untung saja ia tiba di sekolah lebih awal. Karena kalau tidak maka ia akan melewatkan tugasnya untuk membersihkan ruang kelas. Jika ada hal yang paling Savier tidak suka, maka itu adalah dihukum atau diceramahi karena melakukan kesalahan. Karena itu, Savier mempercepat langkah kakinya menuju ke ruang kelas.
Setibanya di sana, ia langsung mengambil sapu lantai dari lemari kelas dan kemudian menyapu lantai dengan lugas. Selagi ia bekerja, satu per satu teman kelasnya berdatangan, dan tentu saja teman piketnya pun berdatangan, lalu bersama-sama mereka membersihkan ruang kelas dan membuatnya sebersih mungkin untuk membuat kegiatan belajar mengajar menjadi nyaman.
Setelah upacara bendera, yang lamanya membuat Savier sedikit jengkel, akhirnya kelas pertama di hari pertama semester genap pun dimulai.
Itu adalah pelajaran Matematika, subjek pelajaran yang paling Savier favoritkan dari semua pelajaran yang ada. Ada alasan-alasan mengapa Savier lebih menyukai Matematika. Salah satunya adalah karena ia tidak harus repot-repot menghapal banyak teori atau pun penjelasan umum lainnya seperti di dalam pelajaran biologi dan pendidikan kewarganegaraan, salah satu alasan lainnya adalah menyelesaikan masalah-masalah Matematika terasa menantang dan menyenangkan. Oh, Savier juga menyukai pelajaran Fisika, tapi jika harus memilih maka Savier akan lebih memilih Matematika.
Waktu istirahat akhirnya tiba, tetapi Savier sama sekali tak beranjak dari tempatnya duduk—ia tidak bisa pergi ke perpus dikarenakan perpus masih belum dibuka. Pun Savier tak berniat ke kantin hari ini. Ia ingin menghabiskan seluruh waktu istirahat hari ini di kelas dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru matematika tadi.
“Kau kalau jalan hati-hati, lah!”
Aktivitas Savier langsung terhenti begitu suara yang familier baginya terdengar tepat beberapa langkah di sampingnya. Ia langsung menolehkan pandangannya ke arah sumber suara. Sosok Shona yang memandang tajam ke arah siswa bertubuh paling besar di kelas inilah yang menyambut pandangannya.
“Kau yang nggak lihat-lihat.”
“Kau udah jelas-jelas salah masih nggak mau ngaku salah, tahu diri dong!”
“Nggak usah sok keras, kalau kau laki-laki udah kutokok kepalamu.”
“Kau pikir aku takut, hah?!”
“Ck, terserahmulah.”
Savier memandang ke arah Shona yang masih memandang tajam Morian—siswa bertubuh besar yang berseteru dengannya tadi, meskipun Morian sudah beranjak ke tempat duduknya. Ia langsung kembali menolehkan pandangan pada buku pelajarannya ketika Shona tiba-tiba mendaratkan pandangan tajam pada dirinya. Savier tetap memfokuskan mata pada bukunya itu selama Shona terus memandangnya. Merasa sedikit jengah karena terus dipandangi, Savier kembali mengarahkan pandangannya pada Shona. Adu tatapan pun dimulai, baik Savier maupun Shona tak ada yang berniat untuk mengalah.
Satu menit, dua menit, dan sebelum menit ketiga sempat berlalu akhirnya Shona menghela napas pelan lalu kembali berjalan ke tempat duduknya, dengan senyum kecil terpatri di bibir tipisnya. Savier tidak mengerti mengapa dia tersenyum seperti itu, tapi harus ia akui kalau senyum itu, meski terlihat sekilas baginya, sangatlah indah.
Siswi yang menarik. Bukan saja senyumnya sangat manis, dia juga memiliki kepribadian yang menarik, dia gadis yang kuat. Savier menggelengkan kepalanya pelan, mengusir wajah gadis itu lengkap dengan senyum manisnya dari mendominasi pikirannya, kemudian kembali berkutat dengan buku pelajarannya.
Hari-hari pun berlalu, kini Savier sedang memainkan plastisin-plastisin yang ia bawa untuk pelajaran seni budaya nanti sehabis istirahat.
Hari ini ia tak singgah ke perpustakaan. Pun begitu dengan teman seperpusnya yang hingga saat ini belum pernah berbicara dengannya sejak interaksi singkatnya dulu sewaktu membayar uang buku. Mayoritas siswa/i pada sibuk dengan plastisin mereka – Savier dapat melihat dengan jelas raut wajah penuh semangat mereka dalam memainkan plastisin-plastisin, sama seperti dirinya.
Ternyata guru seni budaya tak bisa hadir.
Kelasnya kini kosong tanpa ada acara belajar-mengajar. Guru piket mengatakan pada mereka untuk belajar sendiri. Mereka boleh belajar sendiri atau melakukan apa pun asalkan tidak berisik. Karenanya, ia dan siswa/i lainnya mulai berkutat dengan aktivitas-aktivitas yang menarik bagi mereka.
Ada yang bermain tebak-tebakan, ada yang membaca buku, ada juga yang saling bercerita, dan ada pula yang lebih memilih melanjutkan acara mereka dalam membuat berbagai benda dari plastisin. Savier sendiri juga memilih untuk melanjutkan kegiatannya dalam memainkan plastisin. Dari plastisin-plastisin itu ia membuat setangkai bunga lalu meletakkannya di meja, kemudian ia membuat benda lainnya dengan plastisin yang masih banyak tersisa.
Tak terduga oleh Savier, seorang siswi bernama Tiana yang duduk tepat di depannya berbalik arah dan dia dengan tanpa izin langsung mengambil bunga plastisin buatan Savier. “Buat siapa bunga ini, Savier?” tanyanya sambil tersenyum.
Savier hanya merespon datar pertanyaan itu, “Bukan untuk siapa-siapa.”
Namun, siswi tersebut tak berhenti sampai di situ. “Seriusan bukan buat siapa-siapa?” tanyanya sambil berdiri.
Dan sebelum Savier sempat merespon, Tiana sudah beranjak dan meletakkan bunga itu tepat di meja Shona. “Shona, ini dari Savier,” kata Tiana, dengan senyum usil menghiasi bibirnya.
Seisi kelas menjadi hening seketika. Tiana tidak berkata dalam suara yang kecil, melainkan volume suaranya cukup besar untuk bisa terdengar oleh seisi kelas. Karenanya, pandangan mayoritas siswa/i langsung tertuju pada Savier dan Shona.
“Cieeee… cieee…,” ejek seisi kelas, membuat Savier dan Shona menjadi malu seketika.
Penderitaan Savier dan Shona tak berakhir sampai disitu, para siswa mulai bersuit-suitan ria dan para siswi mulai menggoda Shona.
Puas dengan itu, mereka kemudian mulai melakukan hal yang lebih membuat Savier dan Shona malu: mereka menyanyikan sebuah lagu romansa dan bergerak bolak-balik dari tempat duduknya Shona dan Savier.
Itu adalah lagu sahut-sahutan bertemakan cinta, dan jujur saja Savier belum pernah merasa semalu ini. Sepertinya Shona pun merasakan hal yang sama dengannya. Setelah beberapa lama dia bertahan di kursinya, akhirnya dia menyerah dan bergegas ke luar kelas untuk menghindari godaan dari teman-teman sekelas.
Tentu saja Savier tak melakukan apa pun untuk meringankan penderitaan Shona. Jika ia pergi menyusul siswi tersebut maka sudah pasti godaan yang dilontarkan temannya akan menjadi-jadi. Ia tak mencoba untuk mengklarifikasi masalah tersebut karena ia yakin tak ada satu pun dari mereka yang akan percaya, karena itu ia hanya bisa pasrah di dalam kelas dan menunggu sampai mereka puas menggoda dirinya dan Shona.
Jujur saja, Savier sama sekali tak bermaksud untuk membuat bunga mainan itu untuk Shona. Ia juga tidak tahu mengapa ia sampai membuat bunga dari plastisin seperti itu. Savier sama sekali tidak sengaja dalam melakukan itu— tangannya tadi seolah-olah bergerak sendiri untuk membuat bunga mainan itu. Tapi apa boleh buat, waktu yang telah berlalu tak bisa diputar ulang; hal ini sudah terjadi, mungkin ia hanya perlu meminta maaf pada Shona dan semuanya akan baik-baik saja, mungkin.
...Dan usaha Savier untuk meminta maaf pada Shona pun dimulai. Akan tetapi, ketika ia berniat untuk melakukannya, Savier kembali sadar bahwa jika ia mendekati Shona maka apa yang dituduhkan oleh teman-temannya akan terbukti benar. Savier tidak menginginkan hal itu terjadi, karenanya, ia diam dan menganggap hal itu tidak pernah terjadi.
Beberapa hari setelahnya, Shona tidak masuk sekolah. Entah kenapa Savier merasa sedikit khawatir, hanya sedikit. Dan entah kebetulan atau apa, seorang siswi menelpon Shona ketika waktu istirahat pada kelas sore. Dari yang ia dengar dari pembicaraan mereka, ternyata Shona tidak hadir karena dia dan keluarganya mengunjungi keluarga mereka yang tengah berbelasungkawa. Savier merasa sedikit lega karena mengetahui kalau siswi itu baik-baik saja, hanya sedikit saja.
“Savier, mau ngomong sama Shona?”
Savier sedikit tersentak mendengar pertanyaan yang mengejutkan dan tiba-tiba itu. Ia langsung menggelangkan kepalanya dengan cepat. Meskipun ia sedikit terkejut, Savier tetap mampu memasang ekspresi yang mengatakan “aku tak berminat” di wajahnya.
“Shona, Savier nggak mau katanya.”
Savier mengernyitkan keningnya mendengar celotehan Tiana—nama siswi yang menelpon Shona. Ia yakin Shona tak berniat untuk berbicara dengannya, itu hanya keusilan dia saja. Tapi, bagaimana kalau ternyata Shona benar-benar ingin berbicara dengannya? Nah, itu tak mungkin. Savier tidak percaya hal itu. Ia benar-benar tidak percaya kalau Shona benar-benar ingin berbicara padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
John Singgih
tanpa sadar benih-benih cinta pun mulai tumbuh
2022-09-11
0
Cam
👍🏻😲👍🏻
2022-02-01
0