Tak terasa hari semakin sore, Savier dan Gabriel memutuskan untuk kembali ke tempat tes diadakan. Setibanya di sana, mereka tak melihat keramaian seperti sewaktu mereka meninggalkan tempat itu tadi. Merasa penasaran, Savier memutuskan untuk menanyakannya pada seorang panitia yang berada di dekat pintu masuk gedung.
“Oh, semuanya saat ini sudah berada di ruang umum mengikuti seminar sekaligus nanti akan diumumkan sepuluh besar peserta yang mendapat skor tertinggi,” kata panitia tersebut. “Sebaiknya kalian juga bergegas ke sana.”
Tanpa perlu diberitahu dua kali, Gabriel dan Savier pun memutuskan untuk pergi ke ruang umum yang terletak di lantai satu. Seperti yang sudah mereka bayangkan, ruangan itu ramai dipenuhi oleh peserta tes uji coba. Mereka tak menemukan kursi yang kosong selain beberapa kursi di barisan paling belakang. Tak punya pilihan lain, keduanya langsung melangkahkan kaki mereka untuk duduk di sana.
“Permisi, apa kedua kursi ini kosong?” tanya Gabriel pada seorang wanita yang duduk tepat di sebelah kedua kursi kosong itu.
“Kosong,” respon wanita itu sambil tersenyum ke arah Gabriel.
“…!”
“…!”
Savier tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan Shona di sini. Selain itu, ini adalah kali pertama mereka bertemu sejak hari perpisahan sekolah menengah pertama dulu.
“Shona.” Hanya itu kata yang keluar dari mulutnya, dan itu pun dikeluarkan dalam nada yang agak datar lantaran Savier melihat tangan kanan Shona berada di atas tangan kiri seorang pemuda yang duduk di kanan Shona.
Shona langsung menarik tangannya dari atas tangan lelaki di sebelahnya. “Sa-Savier...,” ucapnya terkejut. Lelaki di sebelahnya ini adalah sepupunya, ia secara refleks tadi melepaskan tangannya dari tangan sepupunya yang terluka, ia sungguh berharap semoga Savier tidak salah sangka.
“Hmph,” respon Savier sambil duduk di samping Gabriel yang sudah mendudukkan dirinya di samping Shona.
Tak ada interaksi lanjutan yang terjadi di antara mereka. Malahan, sama sekali tak ada rasa nostalgia yang menyelimuti mereka, justru rasa canggunglah yang mengelilingi keduanya. Bukan canggung sebenarnya, Savier saat ini sedang diliputi amarah. Ia tidak salah lihat, Shona tadi berpegangan tangan dengan pemuda di kanannya. Mengingatnya membuat darah Savier serasa mendidih. Ada rasa sakit di relung dadanya, rasa sakit yang tak terlalu Savier pahami; perasaan yang membuatnya ingin menghajar pemuda itu dan meminta penjelasan pada Shona bergemuruh dalam hatinya.
Savier mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Ia sebisanya berusaha menenangkan dirinya dari amarah yang mencoba mengambil alih dirinya. Savier tidak pernah semarah ini, ia tidak pernah merasa seperti ingin memecahkan kepala seseorang seperti ini. Savier menggeretakkan gigi-giginya. Ia benar-benar naik pitam. Perasaan yang telah ia jaga selama ini, janji yang telah ia pegang dengan erat, komitmen yang ia pertahankan…, bagaimana bisa Shona mencampakkannya begitu saja seperti itu?
Savier tak habis pikir dengan kenyataan ini. Apakah Shona dulu hanya mempermainkannya saja? Padahal ia sudah percaya pada gadis itu. Padahal ia sudah menaruh harapannya pada gadis yang beberapa bulan lebih muda darinya itu. Padahal ia telah berupaya untuk menantikan masa depan, pada hari ketika janji itu terwujud. Padahal ia sudah memegang shuriken kertas itu erat-erat…, tapi bagaimana bisa gadis itu menghianatinya seperti ini?
Menyebalkan. Sangat menyebalkan. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Nyatanya mereka memang tak memiliki hubungan apa-apa selain janji semu itu, jadi mengapa ia sampai kaget dengan kenyataan ini? Ini adalah sesuatu yang wajar. Mengkhianati dan dikhianati adalah hal yang sangat wajar; ia tak perlu terkejut, seharusnya begitu. Tapi, tetap saja, ini benar-benar menyakitkan….
“Vier.”
Mata Savier sedikit melebar, secara refleks ia menolehkan pandangannya pada Gabriel. “Ah, em, tidak apa-apa, Gab.”
“Oh, baguslah.”
Savier menghela napas pelan dan mengarahkan pandangannya ke depan. Ia sangat bersyukur karena Gabriel duduk di antara dirinya dan Shona, karena kalau tidak maka ia tak yakin kalau dirinya akan sanggup untuk tetap bertahan di ruangan ini.
“Hei, kau kenal Savier?” tanya Gabriel pada Shona.
Shona memaksakan senyumnya untuk muncul, irisnya mencoba untuk mencuri pandang pada Savier namun sosok wanita berkacamata ini menghalangi pandangannya. Tidak salah lagi, gadis berkacamata yang baru saja bertanya padanya adalah gadis yang sama dengan gadis yang ada di video yang dikirimkan padanya sekitar dua tahun lalu. Benar-benar tak salah lagi, Savier telah menyatakan perasaannya pada gadis ini, itu juga menunjukkan mengapa mereka berada di sini berdua. Apa mereka berdua telah menjalani hubungan kekasih? Lantas bagaimana dengan janji yang ia ucapkan bersama Savier dulu? Apa dia telah melupakannya?
…Dan semudah itu?
Shona sudah meyakinkan dirinya kalau video yang dikirimkan oleh seseorang yang ia tak kenal itu hanyalah akting atau sandiwara belaka. Ia sudah meyakinkan dirinya untuk percaya pada Savier, percaya pada komitmen yang mereka bangun. Namun melihat kenyataan di sampingnya ini, jujur saja Shona merasa terkhianati, dan rasanya itu sungguh menyakitkan dan menyesakkan dada.
“Hei, kau tak menjawab pertanyaanku.”
Gezz! Wanita ini...! Kemungkinan besar dialah yang mengirimkan video itu. Shona benar-benar tidak menyukai wanita berkacamata di sampingnya ini. Padahal ini baru pertama kalinya ia bertemu langsung dengan gadis ini, tapi tetap saja instingnya mengatakan kalau ia tidak akan bisa bertatap muka lama-lama dengan gadis ini tanpa membuatnya emosi. Lihat saja bagaimana wanita ini memasang senyum palsunya, dia kira aku tak tahu apa?! Tapi, mengapa wanita ini sampai memasang senyum palsu seperti itu? Apa dia juga tidak menyukaiku? Hmph, menyebalkan.
“Er, em, ya…, kami teman sekelas waktu sekolah menengah pertama dulu.”
Jika Gabriel terkejut melihat senyum Shona yang juga palsu, ia tidak menunjukkannya di wajah cantiknya—ia masih memasang senyum lembut di bibirnya. “Oh, ya? Kalau begitu kamu pasti tahu bagaimana dulu Savier di sekolah, bisa cerita nggak?” Raut penasaran terlukis jelas di wajah Gabriel, siapa pun pasti akan berasumsi kalau gadis berkacamata ini benar-benar penasaran. Tapi tidak dengan Shona. Mungkin ini insting keperempuanannya, tapi ia sungguh merasa kalau wanita ini hanya ingin membuatnya bertambah kesal. Namun untungnya bagi Shona, perhatian Gabriel teralihkan oleh pembawa acara seminar yang baru saja mengumumkan kalau Gabriel menempati peringkat pertama dalam tes uji coba masuk perguruan tinggi negeri ini.
“Ah, sayang sekali percakapan kita terganggu, tapi aku berharap kapan-kapan kita bisa bertemu lagi untuk berbagi cerita.”
“Ah, um.”
Dengan senyum lebar di bibir, Gabriel berdiri dari kursinya dan berjalan ke depan ruangan.
Shona menghela napas lega melihat wanita itu pergi, kemudian ia langsung menolehkan pandangannya menghadap Savier. Akan tetapi, sosok yang sangat ingin ia temui kini sudah tak lagi duduk di sana. Shona menolehkan wajahnya ke arah pintu ruangan, kedua irisnya masih dapat melihat sosok Savier yang keluar ruangan. Mungkin itu adalah klu dari Savier untuk bertemu dengannya, apa sebaiknya ia pergi menyusulnya? Tentu saja aku harus menyusulnya!
Memantapkan niatnya, Shona memutuskan untuk menyusul Savier. Namun sebelum Shona sempat beraksi, suara sepupunya menghalangi dirinya dari berdiri.
“Shona, sebaiknya kita bergegas pulang, mamaku menyuruhku pulang sekarang.”
“Seriusan?” tanya Shona merasa terkejut, niatnya untuk menyusul Savier langsung menghilang seketika. Itu bukan tanpa alasan; ia dibolehkan ibunya untuk mengikuti tes ini karena ia bisa meyakinkan sepupunya untuk ikut serta dalam tes ini, karenanya Shona tak ingin merepotkan sepupunya lebih jauh lagi demi memuaskan ego kecilnya.
“Seriusan.”
“Ha…, ya sudah, ayo pulang.” Dan dengan begitu, Shona dan sepupunya bergegas meninggalkan ruang umum ini.
Gabriel kembali dari panggung bersamaan dengan saat Shona dan sepupunya keluar dari ruangan, sebuah piala dan tas samping kecil yang berisikan hadiah lainnya tersemat di tangan kirinya. Ia tak kembali ke kursi yang ia duduki sebelumnya, Gabriel langsung memacukan kakinya keluar dari ruangan besar ini. Hm… kira-kira ke mana Savier pergi? Mungkin dia sudah kembali ke tempat bus akan menunggu? Menganggukkan kepalanya, Gabriel langsung memacukan kakinya ke tempat yang ia yakini di mana Savier berada.
Tak membutuhkan waktu yang lama bagi Gabriel untuk ke sana, dan benar saja, Savier sudah berada di sana seorang diri, dan Gabriel tanpa membuang banyak waktu langsung menghampiri teman sekelasnya itu.
“Kenapa, merasa kesal karena nggak menang?” Gabriel mendudukkan dirinya di sisi kiri Savier sambil menyungingkan senyum penuh kemenangan miliknya.
“Ck, aku sama sekali tak punya niat untuk menang…, tapi Gab, kau hebat seperti biasanya.”
Senyum Gabriel semakin berkembang begitu irisnya melihat senyum kecil di bibir Savier. Meskipun ia tadi hanya bercanda, dan ia tahu kalau Savier tahu kalau ia tadi bercanda, Gabriel merasa senang mendengar ucapan Savier dan melihat senyumnya. Gabriel mengambil dua botol minum dari tasnya, dengan senyum lembut ia menempelkan satu botol ke pipi Savier. “Aku terima pujianmu,” ucapnya pongah.
Savier mengernyitkan keningnya mendengar suara pongah Gabriel, namun ia tetap menerima botol minum yang disodorkan gadis berkacamata di sampingnya ini. “Thanks,” bisiknya pelan.
“Don’t mind.”
Savier membuka botol minum yang diterimanya dari Gabriel dan membiarkan cairan dingin itu memasuki rongga mulutnya. Dan bersamaan dengan itu, pupilnya menangkap sosok Shona dan pria yang tak ia kenal itu keluar dari gerbang menaiki sepeda motor, dan seketika mood-nya kembali memburuk.
Gabriel tak melewatkan kesempatan itu, dengan entengnya ia membuka mulutnya. “Kau terlihat kesal, apa ada masalah?”
“Tidak ada apa-apa,” respon Savier cepat sembari meletakkan minumannya di sisi kanannya.
“Oh.”
Savier tahu kalau itu hanya dibuat-buat oleh Gabriel, tapi ia tak bisa menahan dirinya untuk tidak menoleh ke arah Gabriel begitu nada kecewa itu keluar dari mulut mungil teman dekatnya itu, ah…, ia kini mengakui kalau Gabriel adalah teman dekatnya.
Karenanya, ia tak bisa menghalangi mulutnya dari berkata, “Benar-benar tidak ada apa-apa, hanya sedikit teringat akan masa lalu saja.”
“Hoho..., masa lalu yang seperti apa, hm?”
Oke, Savier menyesal karena sebelumnya telah merespon akting Gabriel. Seharusnya ia bisa menghindari hal ini, tapi meskipun ia tahu, entah kenapa ia tetap merespon sandiwara Gabriel tadi. Ah…, mengapa ia tidak mencoba mengerjai Gabriel balik? Hm, definitely! Dengan senyum kecil Savier memutuskan, ia akan mengerjai Gabriel. “Bagaimana kalau aku bilang masa lalu saat pertama kali kita bertemu, hm?”
Mata Gabriel melebar, mulutnya sedikit terbuka, jelas sekali kalau ia sangat terkejut mendengar perkataan pria di sampingnya ini. “K-Kau i-ingat… meski sudah selama itu…?”
“Selama itu..? Aku kira tak terlalu lama kok.”
Ekspresi terkejut Gabriel langsung menghilang dan digantikan dengan ekspredi datarnya. Savier tidak bisa menebak apa yang ada di pikiran Gabriel saat ini, tapi yang pasti ia bisa menebak kalau itu tidak membuat gadis itu senang. Sebaliknya, meskipun ekspresinya datar, Savier bisa melihat raut kekecewaan di wajah cantik gadis itu. Namun ekspresi datar Gabriel hanya bertahan selama dua detik saja, senyum mengejek kembali menghiasi bibirnya.
“Oho~… kau pasti sangat terkesima denganku hingga bisa mengingatnya, kan?”
“Ya,” respon Savier sambil tersenyum lembut, “kau benar-benar sangat mempesona.”
“…”
“…?”
Dengan cepat Gabriel memalingkan wajahnya membelakangi Savier, Savier tidak tahu mengapa Gabriel tiba-tiba bereaksi seperti itu, tapi…, ia harus mengakui kalau itu terlihat imut di matanya. Dan tentu saja, ia tak akan memberitahu Gabriel tentang apa yang ia pikirkan saat ini.
“Hehehe…,” Gabriel kembali menolehkan wajahnya menghadap Savier, “aku sangat tahu kalau aku itu mempesona, aku senang kau mengakuinya, Vier.”
Savier tidak tahu harus berkata apa. Ia sama sekali tidak bermaksud untuk sungguh-sungguh memuji Gabriel; yang ia inginkan hanyalah membalas perlakuan Gabriel yang suka mempermainkannya, namun yang terjadi justru hal yang tak ia inginkan. Tapi…, melihat senyum indah bersemi di wajah cantik Gabriel tidak buruk juga. Ah, apa yang kupikirkan?!
“Vier…?”
“Ah….” Savier tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum. “Kau benar-benar sangat mempesona, terutama kepribadianmu itu.”
“Ahahaha, kau membuatku tersipu,” serunya sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Ah.. this girl….
Savier hanya bisa menggelengkan kepalanya menanggapi reaksi Gabriel. Ia tidak tahu apakah itu hanya senda gurau atau reaksi yang sebenarnya, tapi yang pasti melihatnya membuat perasaannya lebih baik. Savier merasa kekesalan yang ia rasakan sudah menghilang begitu saja; senyum itu…. entah kenapa itu terlihat lebih indah dari senyum indah Shona dulu. Savier tahu pemikirannya ini salah, tapi ia tak dapat mengabaikannya seperti biasanya.
“Gab….”
“Hm?”
“Ahh... tidak, bukan apa-apa. Em, bus sudah datang, ayo ke sana, aku ingin duduk di kursi paling belakang.”
“Hoho, kau ingin aku duduk di sampingmu, begitu?”
“Kau tidak mau?”
Gabriel tidak menjawab pertanyaan simpel Savier, ia tidak perlu menjawab; senyum kecil di bibir dan tubuh yang sudah berdiri dari tempatnya duduk sudah cukup sebagai jawaban atas pertanyan itu.
***
Seminggu telah berlalu sejak tes uji coba masuk perguruan tinggi negeri itu diadakan, namun Savier masih tak bisa menghilangkan pikirannya dari kejadian di hari itu. Ia tak terlalu mengerti dengan apa yang dirasakannya saat ini, yang ia tahu adalah ia sangat membenci apa yang dilihatnya di hari itu. Mungkinkah Shona mengkhianati janji mereka? Savier tidak ingin percaya, namun kenyataan yang dilihatnya mengatakan demikian. Savier menghela napas lelah, ia kemudian memandang datar shuriken kertas di telapak tangan kirinya. Apa Shona hanya mempermainkannya? Apa semua kata-kata yang gadis itu ucapkan dulu hanyalah omong kosong belaka?
Mungkin sebaiknya ia membuang kertas ini saja, dengan begitu ia tak harus merasakan ketidaknyamanan ini.
Mengernyitkan keningnya, Savier meremas shuriken kertas itu dengan sangat kuat hingga lusuh. Ia mengangkat tangannya hendak membuang kertas yang sudah lusuh itu ke tong sampah yang terletak beberapa meter di sisi kirinya, namun entah kenapa ia susah untuk melemparkan kertas itu. Savier merasa enggan untuk membuangnya, barangkali saja ini karena ia sudah terlanjur menganggap shuriken kertas ini sebagai barang yang berharga baginya. Membuang sesuatu yang berharga bagi kita bukanlah sesuatu yang mudah, jadi itu mungkin saja.
Savier menghela napas lelah dan kembali menurunkan tangannya. Ia membuka telapak tangannya dan memandang kertas yang sudah lusuh itu dengan datar. Mungkin sebaiknya ia menyimpan ini saja sebagai peringatan agar ia tak lagi membiarkan dirinya dipermainkan seperti ini? Ah…. mungkin seperti itu memang lebih baik, ya kan?
Tentu saja tidak!
Savier langsung meremas kembali kertas itu hingga tak berbentuk, kemudian ia benar-benar mencampakkannya begitu saja ke dalam tong sampah. Melihat benda itu masuk mulus ke dalam tong sampah membuat senyum kecil berkembang di bibir Savier, melihat benda itu masuk ke tong sampah membuatnya merasa lebih baik. Tapi… mengapa ia merasa kalau itu salah? Mengapa? Perasaan bersalah itu memaksa dirinya untuk kembali memungut kertas yang sudah sangat lusuh itu. Ia memandangnya secara intens, sebelum kemudian ia masukkan kertas itu ke dalam saku jaketnya, dengan enggan.
Savier tahu kalau ia sangat kekanakan saat ini; seharusnya ia tak langsung memutuskan hanya dari apa yang dilihatnya dihari itu, seharusnya ia mengklarifikasikan hal itu dengan Shona agar tidak terjadi kesalahpahaman. Tapi, bagaimana kalau semua itu benar…, bagaimana kalau Shona benar-benar mempermainkannya? Savier tak mau mendengar kata-kata menyakitkan itu keluar dari mulut Shona, terserah jika ia terlihat seperti orang bodoh atau pengecut. Savier tidak memiliki keberanian untuk menanyakan kebenarannya.
“Haaa…”
Memikirkan itu membuatnya terus berlarut-larut dalam ketidakpastian dan keraguan seperti ini, sebaiknya ia melupakan sejenak tentang semua hal ini dan fokus mempersiapkan diri untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments