Volume mendekati nol dan massa tak berhingga adalah titik awal dari terlahirnya semesta, itu adalah titik di mana waktu bermula. Sebelum itu, tak dikenal istilah waktu dan ruang, sama sekali tak ada waktu dan ruang. Jadi, apa yang ada di sekitar titik bervolume mendekati nol dan bermassa tak berhingga itu? Selain itu, jika waktu dan ruang memang tidak ada, lantas di mana titik awal terlahirnya semesta itu berada? Tidak ada jawaban yang benar-benar pasti akan pertanyaan itu, semuanya masih dalam teka-teki dan asumsi-asumsi liar. Bahkan jika jawaban itu ada, itu hanya akan memberikan pertanyaan yang baru lagi. Akan tetapi, itu sama sekali bukanlah hal yang buruk; itu adalah arti dari menjadi seorang ilmuan: menemukan jawaban dari setiap pertanyaan-pertanyaan.
Namun, meskipun terlihat keren dan menyenangkan, menjadi ilmuan bukanlah keinginan Savier. Sejujurnya, bahkan hingga semester terakhir di sekolah menengah atas ini, Savier sama sekali belum menemukan apa yang diinginkannya ke depannya. Ia tahu ini akan menjadi masalah mengingat ia harus memilih jurusan dan perguruan tinggi untuk melanjutkan pendidikannya; kalau ia salah memilih maka ia akan menyesalinya seumur hidup. Namun tetap saja, Savier sama sekali tidak punya bayangan untuk menjadi apa ke depannya. Sekolah, kuliah, bekerja dengan penghasilan yang baik, menikah, punya anak, dan hidup bahagia di hari tua. Mengapa coba ia harus mengikuti semua hal yang sudah menjadi suatu hal yang normal di kehidupan bermasyarakat ini? Tak semua orang sama; setiap orang tidak perlu mengikuti orang lain hanya agar terlihat “normal”. Seseorang harus benar-benar melakukan sesuatu murni karena ia ingin melakukan itu, karena kalau tidak, maka itu sama sekali tidak akan meninggalkan makna di dalam diri seseorang. Seseorang tidak akan mampu menjalani hal tersebut secara total; hatinya akan senantiasa menolak hal yang tak ia inginkan.
Savier menghela napas pelan dan menutup buku yang sedang dibacanya, kemudian ia mengarahkan pandangannya ke luar jendela bus yang sedang dinaikinya. Saat ini ia dan semua siswa sekelasnya dan kelas sebelah kelasnya sedang dalam perjalanan ke tempat try-out ujian masuk perguruan tinggi negeri. Ini adalah try-out-nya yang ke-5 kalinya. Dalam empat try-out sebelumnya, Savier menjatuhkan pilihan utamanya pada teknik informatika, bukan karena ia tertarik, hanya saja itu adalah saran bu Hellish. Dan karena ia sama sekali tidak tahu mau memilih apa, jadilah ia mengikuti saran guru yang telah menjadi wali kelasnya selama tiga tahun berturut-turut itu. Toh, ini hanya sekadar tes uji coba, lulus passing grade atau tidak sama sekali tidak akan menjadi masalah. Dan dalam empat tes yang telah dijalaninya itu, hanya tes pertama yang gagal melewati passing grade, yang lainnya sedikit berada di atas passing grade. Itu adalah hal yang bagus, bukan?
Akan tetapi, itu semua sama sekali tidak membuat Savier senang. Mungkin jika pilihan itu adalah murni pilihan yang dirinya sendiri inginkan maka ia akan sangat senang, namun kenyataannya tidak demikian. Apa coba yang harus disenangkan dari sesuatu yang dilakukan dengan tanpa minat dan secara asal? Tidak ada; hal yang seperti itu sama sekali tidak patut untuk disenangi. Seharusnya ia tidak perlu repot-repot untuk mengikuti tes-tes ini; berdiskusi dengan guru counseling tentang masalah yang dialaminya mungkin akan lebih berguna bagi Savier daripada mengikuti tes ini. Atau, ia bisa sedikit terbuka dengan bu Hellish dan meminta saran dari wali kelasnya selama tiga tahun berturut-turut itu?
“Yo, guys, kita akhirnya sampai di tempat try-out. Silakan turun dari bus dengan perlahan, setelah ini bus akan kembali ke sekolah dan akan menjemput kalian lagi nanti di tempat ini sekitar pukul empat sore. Dimohon agar sudah berada di sekitar sini pukul empat nanti, bus hanya akan menunggu maksimal selama lima belas menit, lebih dari itu maka kalian akan ditinggal dan harus pulang sendiri.”
Ah, sudah sampai ternyata, tampaknya ia terlalu fokus dengan isi pikirannya hingga baru tahu kalau bus sudah sampai ke tempat tujuan ketika suara itu menginvasi indera pendengarannya. Savier menghela napas pelan dan mengarahkan pandangannya ke pintu depan bus. Melihat siswa-siswi yang berebutan keluar duluan bak orang kebelet ke kamar mandi, Savier mengernyitkan keningnya dan membatin, mengapa coba mereka berdesak-desakan seperti itu? Tidak bisakah mereka sabar dan mengantre dengan tenang dan tidak terburu-buru? Kadang ia sangat heran dengan orang-orang kebanyakan, jika mereka ingin mendapatkan tempat terbaik atau menjadi yang pertama maka mengapa tidak datang lebih awal dibandingkan yang lainnya? Jika siswa-siswi ini ingin turun duluan maka mengapa tidak duduk di kursi dekat pintu keluar?
Haa... mungkin jika orang-orang di dunia fana ini sedikit saja berhenti untuk menjadi egois maka mungkin tidak akan pernah ada perang dan segala jenis pertumpahan darah di dunia ini. Ah, tapi, itu sangat tak mungkin; menjadi egois adalah sifat dasar manusia. Savier menggelengkan kepalanya pelan berusaha mengusir pikiran-pikiran gelap yang mencoba menguasainya, kemudian ia langsung berdiri dari kursi tempat duduknya dan beranjak ke pintu bus begitu tak ada lagi siswa/i yang berdesak-desakan di sana.
Namun ternyata, bukan dirinya pelajar terakhir yang turun, predikat sakral tersebut jatuh pada Raphiela Gabriel yang turun tepat setelah Savier turun dari bus.
“Hm… ada apa melihatku seperti itu?” tanya Gabriel tepat setelah ia turun dari bus dan berdiri di sisi kiri Savier. “Kau ingin bilang kalau aku cantik dan kau terpesona padaku sampai terdiam seperti itu, begitu?”
Savier tak merespon, ia pun tak tahu harus merespon apa. Bahkan hingga saat ini, selama dua tiga per empat tahun lebih, gadis ini selalu saja seperti itu. Jika itu pada semua orang maka Savier akan terbiasa, namun tidak begitu, gadis berkacamata ini hanya berlaku seperti itu pada dirinya seorang. Tentu sempat terlintas di benak Savier kalau gadis ini menyukainya, tapi setelah mempertimbangkan lagi latar belakang gadis ini, rasanya itu sesuatu yang sangat tidak mungkin. Mungkin gadis ini memiliki kebencian padanya? Entahlah. Savier tidak tahu, dan ia sama sekali tak berminat untuk tahu. Karenanya, ia hanya melangkahkan kakinya mengikuti siswa-siswi lainnya yang hendak menuju ke ruang tempat tes diadakan tanpa mengatakan apa pun.
“Ada apa, Savier?” Gabriel tak menyerah, dia menyamakan langkah kakinya dengan dirinya dan berjalan beriringan memasuki gedung tempat tes diadakan. “Akhir-akhir ini kurasa kau jadi lebih sensitif dari biasanya? Ada apa, hm? Ayolah cerita, siapa tahu kakak ini bisa meringankan masalahmu, lho!”
Savier menghentikan langkah kakinya dan memandang Gabriel dengan kening berkerut. “Kau hanya dua bulan lebih tua dariku, Gab, berhenti berbicara seperti itu.” Savier tidak menunggu respon Gabriel, ia kembali melanjutkan langkah kakinya, kali ini ia berjalan dengan langkah yang lebih cepat dari sebelumnya.
“Oya~? Em, tapi tetap saja aku lebih tua, Vier.” Gabriel pun mempercepat langkah kakinya menyamai langkah kaki Savier. “Kau di ruang mana, Vier?” tanya Gabriel lagi, dia sama sekali tidak melanjutkan pertanyaannya yang tadi karena Gabriel mengerti, jika Savier tidak ingin membahasnya maka ia tidak perlu memaksa siswa tersebut untuk membahasnya.
Savier menghela napas lega karena Gabriel tak lagi persisten dalam mengetahui masalah yang melandanya. Meskipun Gabriel terkadang sangat keras kepala dalam mencampuri urusannya, gadis berkacamata itu tahu kapan harus berhenti dan kapan dia bisa bersikeras. Savier sudah mengenalnya selama dua tiga per empat tahun lebih, tentu saja ia sudah sedikit banyaknya paham dengan pola pikir Gabriel. Selaras dengan itu, gadis itu pun sudah paham banyak tentangnya. Jika dipikir-pikir lagi, rasanya di sekolahnya itu, yang paling dekat dengan dirinya hanya Gabriel seorang saja, yang lain hanya sebatas teman sekelas dan seasrama saja. Savier baru sadar akan hal ini; ia lebih dekat dengan Gabriel dibandingkan dengan Shona sendiri. Ia jadi mengernyitkan keningnya menyadari hal itu, apa ia telah melakukan kesalahan?
Entahlah, Savier tidak ingin memikirkan itu. Lagipula, tidak peduli sedekat apa ia dengan Gabriel, Savier tidak akan jatuh hati pada gadis berkacamata yang berjalan di sampingnya ini—setidaknya ia ingin mempercayai dirinya sendiri. Savier meyakini dirinya sebagai tipikal yang punya pendirian, karena itu, ia yakin kalau hatinya tidak akan berubah selama ia tidak ingin mengubahnya. Selama ia masih memiliki kendali atas dirinya, Savier yakin perasaannya pada Shona tidak akan pernah berubah.
“Vier?”
Savier menghela napas pelan. “Tidak apa, tidak perlu khawatir. Oh ya, tentang ruangan tempat aku akan ditempatkan untuk mengikuti tes, aku rasa kau sudah tahu kalau itu sama denganmu, karena kalau tidak maka kau tidak akan mungkin mengikutiku sampai ke sebelah sini.”
Gabriel tersenyum kecil mendengar respon Savier. “Yap,” responnya cepat. “Tempat dudukku tepat di sebelahmu.”
Savier menghela napas pelan, kemudian ia mengernyitkan keningnya sedikit. Rasanya ia sudah terlalu banyak menghela napas hari ini, kenapa coba? Entahlah, memikirkan hal ini kembali membuatnya ingin menghela napas, namun dengan sekuat tenaga Savier menahan dirinya agar tidak menghela napas. “Aku tidak tahu bagaimana kita bisa duduk berdekatan,” ucap Savier sembari memasuki ruang ujian. “Ah, sudahlah,” lanjutnya lagi, “aku juga sama sekali tak tertarik untuk tahu.”
“Oh, baguslah kalau begitu.” Hanya itu respon Gabriel, Savier mengernyitkan keningnya mendengar itu, padahal tadi ia sedikit berharap kalau gadis itu akan memberi respon lain. Namun demikian, Savier tak lagi berkomentar, ia langsung memacu langkahnya menuju ke kursi yang telah disediakan oleh panitia penyelenggara tes ini. Selaras dengan Savier, Gabriel pun langsung mengklaim kursi miliknya yang terletak tepat di sebelah kiri Savier.
“Vier, ini tes uji coba kita yang terakhir,” ucap Gabriel tiba-tiba dengan ekspresi yang serius.
Savier menolehkan wajahnya menatap wajah serius Gabriel. Apa yang dikatakan gadis berkacamata itu memang benar adanya, ini adalah tes ujicoba mereka yang terakhir sebelum akhirnya mereka harus menjalani tes ujian masuk perguruan tinggi yang akan diadakan sebulan lagi. Artinya, tidak akan ada lagi tes uji coba setelah ini, dan jika ia tidak serius dalam memilih prodi yang ingin dimasukinya maka ia tidak akan punya kesempatan lagi untuk tahu kesiapannya dalam mengikuti tes sebulan lagi. Sepertinya ia harus benar-benar menganggap tes kali ini sebagai tes sungguhan. Tapi, universitas mana dan prodi apa yang harus ia pilih?
“Ah... kau benar, ini adalah tes uji coba terakhir kita,” respon Savier pada akhirnya. “Ada apa dengan itu, Gabriel? Tak biasanya kau memasang wajah serius seperti itu, biasanya kan kalau berbicara denganku kau selalu memasang wajah yang sedikit angkuh dan arogan.”
Ekspresi serius Gabriel menghilang seketika. “Oh, apa iya begitu? Mungkin hanya perasaanmu saja,” respon Gabriel diiringi senyum yang sangat familiar di mata Savier, namun seketika ekspresi Gabriel kembali menjadi serius seperti tadi. “Kembali ke yang tadi, ini adalah tes uji coba kita yang terakhir, karena itu, aku ingin mengatakan padamu kalau..., ah, lupakan saja, itu bukan sesuatu yang penting. Oh ya, kau akan melanjutkan ke mana, prodi apa?”
Savier mengernyitkan keningnya mendengar penuturan Gabriel, tak biasanya Gabriel merasa ragu untuk mengatakan sesuatu seperti itu. Apa sebenarnya yang ingin gadis berkacamata ini tanyakan? Ah, kenapa pula ia harus memikirkan itu? Bisa saja ini hanya salah satu trik Gabriel untuk memanipulasi dan membuatnya mengikuti alur pembicaraan yang diinginkan Gabriel. Mempertimbangkan hal itu, Savier punya tiga pilihan untuk merespon perkataan-perkataan Gabriel: yang pertama, meminta Gabriel untuk menjelaskan maksudnya lebih lanjut; yang kedua, menghiraukan penuturan Gabriel yang ragu itu dan fokus menjawab pertanyaannya saja; dan yang ketiga, menghiraukan semua perkataan Gabriel. Normalnya Savier dengan tanpa ragu akan menghiraukan perkataan Gabriel itu, namun entah kenapa kali ini ia ingin tahu apa yang membuat gadis yang manipulatif ini ragu. Tapi, tentu saja, bisa jadi itu adalah apa yang Gabriel inginkan, karena itu, pilihan yang paling pas adalah menerapkan pilihan kedua.
“Aku masih belum memutuskan, kalau kau sendiri?”
“Aku juga belum.”
Savier menaikkan sebelah alisnya mendengar respon singkat Gabriel. “Aneh mendengar itu darimu, Gab, tidak seperti dirimu saja.”
“Er..., sebenarnya aku sudah memutuskan untuk mengambil jurusan psikologi, hanya saja aku belum memutuskan untuk melanjutkannya di universitas yang mana.”
“Oh, begitu, ya.”
“Yap, begitu.”
Savier memandang wajah cantik Gabriel yang juga memandang dirinya. Mereka diam memandang satu sama lain selama beberapa saat, sebelum akhirnya Savier menghela napas pelan dan mengembalikan pandangannya ke depan, pada beberapa orang yang sedang berdiskusi sembari membawa serta lembar-lembar soal tes di kedua tangan-tangan mereka. Savier melirikkan ekor matanya mencoba melihat Gabriel secara diam-diam, jujur saja ia masih penasaran dengan apa yang gadis berambut hitam panjang itu ingin katakan. Dan sejenak Savier tertegun, ini adalah pertama kalinya ia melihat ekspresi sendu di wajah Gabriel. Secara refleks Savier menolehkan wajahnya memandang wajah sendu Gabriel, ingin ia bertanya tentang apa yang membuat gadis itu memasang ekspresi sendu seperti itu. Tapi tak bisa. Savier tak bisa membawa dirinya untuk bertanya, ia hanya diam memandang ekspresi sendu gadis itu untuk beberapa detik sebelum akhirnya mengembalikan pandangannya ke depan. Mungkin itu hanya trik Gabriel saja, batin Savier sembari merilekskan tubuhnya, lalu ia langsung menerima kertas soal dan kertas jawaban yang diberikan panitia. Mungkin itu hanya trik Gabriel saja, batin Savier lagi sembari memfokuskan pikiran dan pandangannya pada lembar soal yang masih tertutup.
“Tes akan kita mulai lima menit lagi. Waktu tes adalah dua jam tiga puluh menit dan sepuluh menit tambahan untuk pengisian biodata, jadi total dua jam empat puluh menit. Selama tes berlangsung, peserta tidak diizinkan untu permisi ke kamar mandi, jika benar-benar terpaksa maka peserta akan diizinkan untuk permisi namun peserta tersebut tidak akan diizinkan untuk masuk selama sepuluh menit, barulah setelah menjalani masa tunggu di luar ruangan mereka akan diizinkan untuk kembali mengikuti tes. Oleh sebab itu, sangat dianjurkan bagi para peserta untuk pergi ke kamar mandi sebelum tes dimulai.”
Tepat lima menit setelah panitia mengucapkan kata-kata itu, tes pun akhirnya dimulai. Savier tak membuang banyak waktu dan langsung saja mengisi biodatanya di lembar jawaban komputer miliknya. Dari semuanya, mungkin yang paling Savier benci adalah proses pengisian biodata ini. Karena memang, membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mengisi biodata, sangat berbeda sekali dengan ujian-ujian selama di sekolah. Setelah selesai mengisi dan menghitamkan namanya, pandangan Savier beralih pada kolom prodi yang ingin ia ambil. Sejenak gerak tangan Savier terhenti, prodi apa yang harus ia pilih?
Cukup lama Savier terdiam memandangi kolom-kolom pengisian prodi tersebut, bahkan setelah lima menit berlalu ia masih diam bergeming. Mengernyitkan keningnya, akhirnya Savier memutuskan untuk mengisi kolom tersebut pada lima belas menit terakhir waktu tes nanti, sekarang lebih baik ia fokuskan dirinya untuk mengerjakan soal-soal tes uji coba ini. Memantapkan pikirannya, Savier lekas membuka lembar soal dan langsung membaca soal pertama dengan teliti.
u + 2v + 3w + 4x + 5y + 6z \= 1
2u + 3v + 4w + 5x + 6y + z \= 2
3u + 4v + 5w + 6x + y + 2z \= 3
4u + 5v + 6 w + x + 2y + 3z \= 4
5u + 6v + w + 2x + 3y + 4z \= 5
6u + v + 2w + 3x + 4y + 5z \= 6
10u + 10v + 10w + 10x + 10y + 10z \= ?
Ini pertanyaan yang sangat mudah: cukup jumlahkan semuanya terus dekecilkan, lalu akan didapat u+v+w+x+y+z\=1. Selanjutnya tinggal dikalikan sepuluh lalu didapat jawaban 10, opsi C.
Savier terus melanjutkan menyelesaikan soal-soal yang diberikan dengan lancar. Ia mengabaikan soal yang tak bisa ia temukan penyelesaikannya setelah sekali membaca soal dan mengutamakan mengerjakan soal-soal yang penyelesaiannya ia temukan hanya dalam sekali membaca. Setelah soal-soal yang mudah ia selesaikan, barulah kemudian Savier beralih mengerjakan soal-soal yang sulit. Ia mengerjakan semua soal-soal itu dengan serius; ini adalah tes ujicoba terakhirnya, karena itu ia harus mengoptimalkan tes ini.
Saking seriusnya mengerjakan soal-soal, tak terasa bel yang menandakan waktu pengerjaan soal tinggal lima belas menit lagi pun berbunyi. Savier langsung menghentikan mengerjakan soal dan beralih ke lembar terakhir soal di mana nama-nama universitas serta prodinya terletak. Ia sudah menyelesaikan delapan puluh persen dari semua soal yang ada, ia bisa mengalokasikan sisa waktu untuk melengkapkan biodata miliknya.
Setelah mempertimbangkan berbagai hal dan dalam kepepet waktu, Savier akhirnya memutuskan untuk kembali memilih universitas dan prodi yang sama dengan yang disarankan bu Hellish. Ia masih belum memiliki pilihan final untuk melanjutkan studinya, tapi jika sampai batas akhir pendaftaran seleksi masuk perguruan tinggi tiba dan ia masih belum punya keputusan, maka Savier berniat untuk memilih universitas dan prodi yang disarankan bu Hellish.
Savier masih memiliki beberapa menit tersisa sebelum waktu tes berakhir, ia pun memutuskan untuk kembali melihat-lihat lembar soal dan mencoba mengerjakan soal-soal yang masih belum ia kerjakan. Dan hingga bel akhir yang menandakan waktu tes telah habis berbunyi, Savier hanya mampu menyelesaikan dua soal tambahan.
Savier dan Gabriel langsung keluar ruangan tes tepat setelah panitia mengizinkan mereka untuk pergi. Hasil tes akan segera keluar dalam dua jam. Saat ini jam menunjukkan pukul setengah dua siang, artinya pengumaman hasil tes akan diumumkan pada pukul setengah empat sore nanti. Artinya, mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus menunggu selama dua jam. Lagipula, bus yang akan menjemput mereka baru akan tiba jam empat sore nanti; pilihan satu-satunya adalah menunggu.
Tak membutuhkan banyak waktu bagi Gabriel dan Savier untuk tiba di tempat yang lainnya berkumpul. Seperti biasanya, teman-teman sekelasnya dan kelas sebelah kelasnya langsung saja berkumpul dan membahas soal-soal yang tadi mereka kerjakan. Jujur saja, Savier sama sekali tak tertarik untuk ikut membahas hal itu bersama mereka. Pun demikian dengan Gabriel, ia sama sekali tak berminat untuk membandingkan jawabannya dengan kunci jawaban dan pembahasan yang dibagikan secara gratis; Gabriel dan Savier sama-sama yakin dengan jawaban-jawaban mereka, keduanya sama-sama sudah memprediksi skor minimum yang pasti mereka peroleh.
“Tak jauh dari sini ada sebuah toko buku kecil, bagaimana kalau kita berkunjung ke sana, Vier?” usul Gabriel.
Normalnya, dan sudah seharusnya, Savier akan menolak ajakan Gabriel itu. Tetapi..., ia hanya membawa satu buku bacaan saja hari ini untuk dibaca ketika bosan, dan kali ini ia tak berniat untuk membaca buku tersebut. Oleh sebab itu, menerima ajakan Gabriel bukanlah hal yang buruk. “Hm, tentu saja,” jadilah ia berucap.
“Cool. Kalau begitu, ayo lekas ke sana!” seru Gabriel dengan semangat.
“Hm.”
Dengan “hm” dari Savier, kedua pelajar kelas tiga sekolah menengah atas itu langsung melesat pergi ke luar pekarangan gedung tempat tes diadakan. Gabriel yang memimpin jalan. Mereka berjalan dengan langkah yang pelan—atau lebih tepatnya Gabriel yang sengaja berjalan dengan tempo yang pelan—menyusuri trotoar jalan. Toko buku kecil yang sedang mereka tuju itu terletak puluhan meter di sebelah kiri gedung tempat tes diadakan. Dengan kecepatan jalan mereka saat ini, butuh waktu kurang lebih dua sampai tiga menit untuk keduanya tiba di sana. Savier sama sekali tidak keberatan, sedangkan Gabriel, gadis berkacamata ini memang menginginkan agar waktu jalan mereka selama mungkin.
“Apa kau pernah melewati jalan ini sebelumnya, Vier?” tanya Gabriel tiba-tiba.
“Hm, sepertinya belum.”
“Oh.”
Mereka terus berjalan dalam diam. Dan tak terasa kini keduanya telah tiba di depan toko buku kecil yang mereka tuju. Gabriel dan Savier sama sekali tak membuang banyak waktu dan langsung memasuki toko tersebut. Itu adalah sebuah bangunan satu lantai yang luasnya hampir sama dengan luas lapangan bola basket. Eksterior bangunan tersebut sama sekali tidak spesial, namun interiornya bahkan lebih berkelas daripada toko buku-toko buku yang pernah Savier kunjungi. Secara keseluruhan, tempat ini sangatlah indah: Savier sangat menyukainya.
Setelah menyerahkan tas mereka pada petugas toko, Gabriel dan Savier langsung memacu kaki mereka menuju ke rak di sudut ruangan di mana buku-buku umum terletak.
“Ini pertama kalinya aku pergi ke sini bersama dengan orang lain,” ucap Gabriel sembari meraih sebuah buku yang terletak di pinggir rak. “Bagaimana denganmu, apa kau selalu pergi ke toko buku sendiri atau kau sesekali pergi bersama dengan orang lain?”
“Hm, ini juga kali pertama bagiku pergi ke toko buku dengan orang lain.”
Gabriel tak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum. “Begitu, ya, entah kenapa mendengarnya membuatku senang.”
Savier tidak bertanya mengapa itu membuat Gabriel senang, ia pun tidak tertarik untuk tahu. Lagipula itu sama sekali bukan urusannya, semakin sedikit ia tahu semakin baik. Pandangan Savier tertuju pada sebuah buku, ia mengambil buku yang plastiknya sudah terbuka itu, ia langsung membuka buku tersebut dan berdiri agak ke pinggir rak agar tak menghalangi pengunjung lain. Gabriel berdiri di samping Savier. Sama seperti Savier, mata Gabriel pun kini sudah terfokus pada buku bacaan yang ia ambil; keheningan sontak menyelimuti mereka berdua.
Savier tidak membenci keheningan yang menyelimuti kebersamaannya dengan Gabriel ini, secara mengejutkan ia justru menyukainya. Tapi tentu saja ia tidak akan mengakui hal itu pada siapa pun; tidak ada yang perlu tahu kalau ia menyukai berada di dekat Gabriel seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments