Pagi menjelang siang hari, dua jam sebelum jam normal pulang sekolah. Ketika itu hari sedang hujan deras, dan kelas tambahan yang memang disediakan untuk kelas khusus juga akan ditiadakan karena guru-guru akan melakukan rapat penting. Seluruh kelas diperbolehkan pulang lebih cepat dari biasanya. Kebanyakan siswa-siswi nekat menerobos hujan lantaran mereka ingin sampai di rumah lebih cepat.
Ada yang menggunakan tas untuk menutupi kepala. Ada yang menggunakan plastik yang mereka dapat entah dari mana. Ada pula yang nekat menyongsong hujan begitu saja. Pun ada beberapa pelajar yang secara ajaib membawa payung ke sekolah.
Savier dan sedikit banyak pelajar lainnya lebih memilih menunggu hujan reda. Ada yang menunggu di kelas, ada yang menunggu di bangku-bangku depan kelas, ada pula yang menunggu di tempat nongkrong petugas kebersihan sekolah. Savier sendiri lebih memilih menunggu di dalam perpus, tetapi ia tak sendiri—secara tidak mengejutkan Shona juga sudah menunggu di dalamnya.
Normalnya jika guru perpus tidak di tempat maka pelajar tidak diizinkan untuk masuk, tetapi karena Savier dan Shona adalah pengunjung tetap perpustakaan, guru perpus mengizinkan mereka memasuki perpus selagi beliau ikut rapat. Jika keduanya berniat pulang sedangkan beliau belum kembali, guru perpus meminta mereka untuk mengunci pintu perpus dan membawa kuncinya ke petugas kebersihan sekolah. “Sekaligus menjaga perpus,” begitu kata guru perpus sebelum beliau meninggalkan keduanya di dalam ruangan yang dipenuhi buku-buku itu.
Savier mendudukkan dirinya di tempat biasanya duduk—kursi yang berhadapan langsung dengan pintu. Dan Shona seperti biasa duduk tepat di kursi di hadapan Savier. Kali ini Savier mengambil buku yang lumayan tebal untuk dibacanya, sebenarnya ia tak sengaja mengambil itu.
“Konstantinopel” adalah judul buku tersebut—buku yang ia ambil secara acak. Savier tidak tahu buku apa yang dibaca Shona, tapi dari sampulnya sepertinya itu buku yang berhubungan dengan pelajaran IPS.
Tentu ia mengerti mengapa Shona memilih membaca buku pelajaran, Shona sudah pernah mengatakan kalau dia lebih suka menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk membaca buku pelajaran daripada buku lainnya. Shona suka belajar, sedang Savier hanya suka membaca saja; mereka sedikit berbeda dalam hal itu.
“Hei, Vier,” panggil Shona, tetapi matanya tak sedikit pun berpaling dari buku yang dibacanya.
Savier tidak tahu apa yang ingin dibicarakan Shona. Ia juga tak berniat untuk merespon. Namun, entah kenapa ia merasa kalau Shona akan membicarakan hal yang penting.
“Hm, apa?” respon Savier pada akhirnya, matanya pun tak beranjak dari buku yang dibacanya.
“Aku menyukaimu.”
Dunia Savier serasa berhenti berputar begitu dua patah kata itu meninggalkan mulut Shona.
Itu hanya kata sederhana yang terdiri atas dua patah kata, tetapi efeknya sangatlah besar dan signifikan. Savier tidak mengerti mengapa ini sering terjadi ketika ia mendengar itu keluar dari mulut Shona – gadis ini selalu saja menjadi yang pertama yang membuatnya merasakan berbagai gejolak emosi, dan ini adalah yang terparah.
Namun, tentu saja, Savier dengan cepat mengontrol dirinya kembali dari rasa terkejut begitu sadar kalau ini mungkin adalah kejahilan Shona yang ingin mempermainkannya.
Akan tetapi, pada kenyataannya Shona tak pernah mempermainkannya dengan setiap perkataan manis gadis itu, karena itu Savier menjadi sedikit sangsi.
“Seriusan, aku mengatakan yang sebenarnya kalau aku menyukaimu.”
Entah bagaimana, perkataan Shona selalu mampu untuk meyakinkan dirinya.
Namun, Savier tak akan lengah begitu saja meski suara itu meyakinkan. Kendati ia tahu kalau Shona terlihat bersungguh-sungguh, tetap saja ada yang tidak menyamankan dirinya. Savier sedikit menurunkan posisi bukunya dan mencoba mencuri pandang pada wajah Shona, tetapi Shona menghalangi pandangannya dengan buku yang dibacanya. Tampaknya dia benar-benar sangat serius; jantung Savier jadi berpacu dua kali lebih cepat dari normalnya.
“Emm…, aku juga,” respon Savier pada akhirnya, bukunya ia angkat kembali untuk menutupi wajahnya. “Aku juga menyukaimu.”
“Serius? Kau memberi jawaban itu bukan karena kau mengasihaniku, kan?”
Savier mendekatkan buku yang dipegangnya hingga buku itu sepenuhnya menempeli wajahnya. Ini sangat membuatnya malu, tapi ia harus tetap mengakuinya, Savier tak mau membuat Shona kecewa.
“Aku serius,” jawab Savier dengan volume yang terlampau pelan, tetapi masih cukup kuat untuk didengar Shona.
“Aku senang mendengarnya..., kupikir kau terganggu dengan keberadaanku di sini dan sama sekali tidak tertarik padaku.”
Savier bisa mendengar nada lega yang terselip dalam suara pelan Shona.
Merasa penasaran, ia menjauhkan buku dari wajahnya perlahan-lahan, lensa matanya langsung tertuju pada Shona yang masih setia menutupi wajahnya dengan buku.
Melihatnya Savier jadi mengerti, Shona sudah mengerahkan semua keberanian yang ia miliki untuk mengungkapkan isi hatinya. Gadis yang sungguh pemberani, dan harus ia akui kalau dirinya sudah tertarik pada gadis ini sejak melihatnya bersikukuh berdiri melawan supremasi Morian. Normalnya memang dirinya yang seharusnya menyatakan perasaannya, bukan Shona, tetapi Savier tidak tertarik untuk melakukannya. Namun, karena Shona sudah mengatakannya, ia rasa ia tak perlu lagi menyembunyikannya.
“Aku sama sekali tidak pernah terganggu dengan kehadiranmu,” jujur Savier. “Sebaliknya, aku selalu menantikan waktu istirahat tiba agar bisa membaca dengan tenang di dekatmu. Mengatakan ini membuatku sedikit malu, tapi aku ingin kau tahu kalau sebenarnya aku sudah tertarik padamu sejak lama.”
“Benarkah, ‘sejak lama’ kapan?” tanya Shona. Dia menurunkan bukunya perlahan-lahan, membuat wajah manisnya dengan ekspresi penasaran terlihat Savier.
“Rahasia,” ucap Savier sambil tersenyum kecil.
“Is, sok-sokan pake rahasia-rahasian.”
Savier tersenyum kecil melihat reaksi Shona, hal itu membuat gadis berambut hitam yang diikat dengan model ekor kuda itu ikut tersenyum. Keduanya saling tersenyum, tatapan mereka melembut, keduanya tak berniat untuk memutus kontak mata mereka. Setengah menit berlalu, tetapi keduanya masih setia menatap satu sama lain dalam diam. Siapa pun akan dapat melihatnya, rasa kasih yang terpancarkan dari sorotan mata mereka.
“Jadi?” tanya Shona pada akhirnya seraya memutus kontak mata, membuat keheningan yang menyelimuti keduanya menghilang seketika, membuat momen yang sudah terbentuk menjadi sirna.
“Jadi apa?” tanya balik Savier.
“Er, hubungan kita….”
“Oh….”
“Oh…?”
“Kita teman, kan?”
Shona mengangguk.
“Kalau begitu tak ada yang perlu dipermasalahkan.”
“Kau tahu,” tutur Shona, “mereka yang sudah saling mengungkapkan perasaan mereka biasanya menyebut satu sama lain sebagai kekasih.”
“Aku tahu itu,” komentar Savier dengan raut seriusnya. “Tapi, Shona, istilah kekasih itu hanya diperbolehkan setelah menikah; islam melarang yang namanya ‘pacaran’, terlebih lagi kita masih sangat muda, apa kau pikir mengikuti tren yang berkembang adalah hal yang baik?”
“Lalu, buat apa aku mengungkapkan perasaanku?”
“Obat bagi dua insan yang saling mencinta adalah pernikahan, apa kau siap menikah? Aku sendiri tak siap; kita masih anak-anak yang baru menginjak usia remaja. Dan untuk apa kau mengungkapkan perasaanmu, tentu saja itu untuk membuat dirimu menjadi lebih baik dan tak terbebani, bukan begitu? Lagipula, dengan mengetahui kalau kita saling menyukai satu sama lain artinya kita nggak perlu repot-repot lagi memikirkan tentang hal ini, ya 'kan?”
Shona terdiam sesaat menyesapi setiap perkataan Savier, keningnya sedikit berkerut dan sorot matanya sedikit mengawang. “Kurasa apa yang kau katakan memang benar; kita masihlah anak-anak yang baru menginjak usia remaja, terlalu awal bagi kita untuk membicarakan tentang cinta dan semacamnya. Dan kau juga benar, mengutarakan perasaanku memang membuatku merasa lebih baik, terlebih lagi karena kau juga merasakan hal yang sama denganku.”
Savier tersenyum senang karena Shona mengerti akan maksud dirinya. “Karena itu,” ucap Savier, “tidak apa kan jika kita hanya berstatus sebagai teman semata? Jika kita memang ditakdirkan bersama, suatu saat kita akan bersama jua, tapi tentu saja kita juga harus berusaha untuk itu. Tapi jika takdir berkata lain, tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya, kita hanya bisa pasrah dan menerima.”
Bibir Shona melengkung membentuk senyuman yang amat manis—di mata Savier. “Kau tahu Savier, saat ini kau terlihat sangat dewasa…, mungkin itu adalah apa yang membedakan antara orang-orang pendiam dengan yang tidak: mereka yang pendiam cenderung lebih dewasa.”
“Eh, itu hanya perasaanmu saja, aku jauh dari apa yang kau pikirkan.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
John Singgih
😍😍😍 wah shona bertindak lebih dulu
2022-09-11
0
John Singgih
i pada kata Islam menurutku pakai huruf besar aja deh brow
2022-09-11
0
Teguh Subiakto
menarik
2020-11-16
0