Hari Senin akhirnya tiba kembali, Savier menjalani hari dengan penuh semangat. Meskipun pada dua hari terakhir ia selalu diselimuti depresi, hari ini ia benar-benar mengawali hari dengan tanpa beban; ia sudah mengerti dengan apa yang dirasakannya, pun ia telah memahami kalau tak ada yang bisa dilakukannya untuk menghilangkan hal itu.
Mungkin Shona sedang mempermainkainnya, atau mungkin dia punya alasan penting sehingga tak mendatangi perpus pada hari Jum’at lalu. Savier hanya perlu menanyakannya langsung pada Shona, mengasumsikan sendiri hanya akan menimbulkan kesalahpahaman dan hal sejenisnya.
Ketika waktu istirahat tiba, Savier tidak terburu-buru ke perpus. Ia baru pergi ke sana setelah membereskan bukunya, dan langkahnya pun dalam tempo lambat.
“Vier,” sapa Shona begitu Vier mendudukkan diri di tempat biasanya duduk. “Apa kabar?”
“Baik,” jawab Savier singkat, matanya menatap datar pada iris hitam Shona.
“Kau tak merindukanku?” Senyum kecil terpatri di wajah manis Shona, kepalanya sedikit dia miringkan ke kiri, membuat gadis manis itu terlihat imut.
“Merindukanmu? Apa aku punya alasan untuk itu?” respons Savier dengan intonasi yang masih datar. Ia sama sekali tak menunggu respons Shona. Karena memang baik dirinya maupun Shona sama-sama tahu kalau itu adalah pertanyaan retoris. “Hari Jum’at lalu, mengapa kau tak ke perpus?” tambahnya.
“Aku punya dua alasan: yang pertama adalah aku habis terkena cacar, karenanya aku tak ingin kau melihat wajahku dari dekat. Yang kedua, aku hanya ingin tahu apa kau merindukanku atau tidak.” Shona mengakhiri ucapannya dengan senyuman manis.
Senyum itu, ia yakin kalau ia akan terus mengingatnya—terlalu indah hingga terekam begitu kuat di memori Savier, sesuatu yang tak mungkin bisa ia lupakan begitu saja.
“Oh, aku pikir itu karena kau ingin mempermainkanku atau sudah bosan terhadap perpustakaan. Tapi syukurlah aku salah, aku senang mendengar alasanmu. Aku tak ingin berkomentar tentang alasan kedua, itu agak memalukan.”
Savier memalingkan wajah menghindarkan matanya dari menatap mata Shona, beberapa detik kemudian ia kembali membawa pandangannya pada iris hitam Shona. “Untuk alasanmu yang pertama, aku rasa kau tak perlu mempermasalahkan hal itu, Shona, perasaanku takkan luntur hanya dengan melihat flek-flek hitam di wajahmu.”
“Kau yakin?” tanya Shona dengan nada tak percaya. “Bagaimana kalau ada cewek cantik yang menyatakan perasaannya padamu? Bagaimana kalau bekas-bekas ini akan tetap ada selamanya? Bagaimana kalau wajahku jadi lebih buruk?”
Savier menghela napas pelan. “Shona,” ucap Savier seserius yang ia bisa. “Kalau aku mengutamakan kecantikan, maka aku akan lebih memilih untuk menyukai Alena daripada dirimu. Tapi aku tak memiliki rasa padanya, atau siapa pun; bahkan jika ada yang mengatakan perasaan mereka seperti yang kau bilang, aku tetap tak akan peduli, karena aku sudah melabuhkan hatiku padamu. Mungkin ini terdengar lebay atau melodramatik, tapi aku percaya pada yang namanya cinta pertama itu adalah cinta yang benar-benar tulus, karenanya aku ingin ini juga menjadi yang terakhir. Aku harap kau pun berpikir demikian. Kita memang tidak memiliki hubungan yang ‘spesial’, tapi aku ingin kita mempertahankan rasa ini hingga tiba masanya kita untuk menikah. Komitmen, Shona, ini adalah komitmen.”
“Komitmen…? Hm…, kalau begitu ayo buat perjanjian!”
“Perjanjian?”
“Yap, perjanjian.”
“Hm... apa isi perjanjian ini?”
Shona tersenyum. “Kita tidak boleh menjatuhkan hati pada yang lain, kita akan menyimpan rasa ini hingga masanya tiba. Bagaimanapun kondisi kita di masa depan, tidak peduli jika salah satu dari kita menjadi cacat atau terkena penyakit parah lainnya, kita akan tetap setia satu sama lain. Ini janji di antara kita: sepuluh tahun yang akan datang, kita akan menikah.”
“Bagaimana kalau salah satu dari kita meninggal duluan?”
Senyum Shona tak luntur. “Maka siapa pun yang masih hidup tak boleh menikah dengan yang lain. Ini bukan keterpaksaan, karena itu akan menjadi pengorbanan, agar kelak Tuhan berkenan menikahkan kita di surga-Nya. Karena aku juga percaya pada yang namanya cinta pertama itu adalah cinta yang benar-benar tulus, karenanya aku juga ingin ini menjadi yang pertama dan terakhir dengan tanpa pemberhentian satu pun.”
Senyum kecil berkembang di bibir Savier. “Oh…, kau yakin kau bisa menepati janji ini, Shona?”
“Hmph, tentu saja! Mungkin kau yang tak sanggup memenuhi janji ini, Vier. Tapi tak perlu khawatir, bahkan jika kau melarikan diri dari hidupku nanti, aku akan tetap mengejarmu dan memaksamu untuk memenuhi janji ini.”
“Baiklah kalau begitu, berikan aku dua lembar kertas.”
Shona mengangguk lalu memberikan dua lembar kertas yang disobek dari buku catatannya. Savier mengambil kedua kertas itu, kemudian masing-masing kertas itu ia sobek sehingga membentuk persegi sempurna. Lalu kertas persegi sempurna itu disobek Savier menjadi dua, ia kemudian menulis janji itu dan kata-kata penting lainnya di setiap kertas itu.
Selesai dengan itu, Savier melipat kertas-kertas itu dan membentuknya menjadi dua buah shuriken kertas. Satu shuriken ia masukkan ke saku bajunya, satunya lagi ia berikan ke Shona. “Ini adalah simbol janji kita, jangan sampai hilang.”
“Tentu saja!” seru Shona dengan raut bahagia sambil mendekatkan shuriken itu ke dadanya. “Aku pasti akan menjaga ini, tak akan kubiarkan ia hilang dan terlupakan. Kau pun juga, Vier, jangan sampai itu hilang!”
Savier tersenyum senang. “Tentu saja, aku akan membawa ini pada hari ketika aku melamarmu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments