Savier mengernyitkan keningnya memandang siswi yang duduk tepat di depannya. Siswi tersebut mengenakan seragam siswi standar (rok abu-abu selutut, kemeja putih lengan pendek, dan dasi abu-abu—dia juga menganakan legging hitam), rambut hitam panjangnya dia ikat dengan model ekor kuda, dan ada kacamata dengan lengan besi bercat merah membingkai mata indahnya. Meskipun dia amat sangat cantik dengan kulit putih mulus layaknya boneka, Savier tetap tak akan terpengaruh, terlebih ketika bu Hellish sedang memandangi seisi kelas. “Diamlah,” desis Savier, “akan merepotkan kalau guru melihat ke sini.”
“Kau yang duduk di kolom pertama barisan terakhir!”
Astaga!
“Iya, bu?” respon Savier dengan senyum yang ia paksakan.
“Maju.”
Oh, Tuhan! Kendati ia sangat amat enggan, namun Savier tetap mempertahankan senyum terpaksanya dan bergegas mengikuti titah sang guru.
“Berdiri di samping saya dan menghadap ke depan.”
Savier menuruti perintah sang guru tanpa komentar, ia berdiri dengan tenang di samping bu Hellish, memandang ke arah siswa-siswi lainnya. Harus ia akui kalau dirinya sama sekali tak menyukai berdiri di depan mereka seperti ini, bukannya malu atau apa, Savier hanya tidak suka menjadi pusat perhatian.
“Perkenalkan dirimu: sebutkan nama, pelajaran favorit, dan cita-citamu.”
Savier sedikit bernapas lega begitu mendengar instruksi bu Hellish barusan. Ia sempat berpikir kalau dirinya akan menjadi sasaran kemarahan pertama sang guru di awal semester ini, namun tampaknya itu hanya asumsinya saja, bu Hellish hanya menginginkannya untuk memperkenalkan diri. Dan itulah apa yang akan ia lakukan. “Perkenalkan,” mulai Savier. “Nama saya Mustafa Savier, pelajaran favorit: Matematika dan Fisika, cita-cita, em, menjadi ilmuan.” Savier tidak benar-benar ingin menjadi ilmuan, ia hanya mengatakan itu secara asal lantaran dirinya tidak memiliki sesuatu yang benar-benar ingin ia lakukan.
“Mengapa ilmuan?” tanya bu Hellish.
Karena bukan sastrawan! Tentu saja ia tidak bisa memberikan itu sebagai jawaban, bisa-bisa ia akan menerima nasihat penuh cinta bu Hellish jika nekat menjawab seperti itu. Karenanya, dan dengan senyum terpaksa, Savier menjawab dengan pertanyaan yang retorikal: “Bukankah ilmuan itu keren?”
Bu Hellish hanya mengangguk mendengar responnya dan mengizinkan Savier untuk kembali ke kursinya. Bu Hellish sama sekali tak terlihat meragukan responnya. Savier pun langsung beranjak kembali ke kursinya tanpa sedikit pun melirik ke arah bu Hellish. Meskipun menjadi ilmuan hanya ucapan asal, tapi Savier tidak berbohong; ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan bu Hellish, ia hanya menanyakan sebuah pertanyaan yang sederhana. Terserah jika orang lain berpikiran kalau itu adalah alasannya menjadi ilmuan, itu terserah mereka mau berasumsi seperti apa, yang penting ia tidak berbohong.
“Kamu, yang duduk di depan Mustafa Savier, maju.”
Savier berpapasan dengan siswi yang tadi mengusiknya sewaktu akan kembali ke tempat duduknya. Siswi tersebut tersenyum simpul padanya, Savier hanya mengernyitkan keningnya memandang datar wanita itu kemudian langsung bergegas ke kursinya untuk duduk. Siswi tersebut langsung berdiri tepat di tempatnya berdiri sebelumnya, dia memandang seisi kelas dengan senyum kecil di bibirnya. Harus ia akui kalau kecantikan gadis itu bertambah ke level maksimum dengan senyum menawan itu di bibirnya, kendati demikian, senyum Shona adalah yang terbaik di mata Savier.
“Nama saya Raphiela Gabriel, biasa dipanggil Raphiel atau Gabriel. Saya menyenangi pelajaran Biologi dan Bahasa Inggris. Sama seperti Savier tadi, saya pun bercita-cita menjadi ilmuan. Salam kenal semuanya~!”
Savier kembali mengernyitkan keningnya mendengar cara siswi bernama Raphiela Gabriel itu dalam menyebutkan namanya, dia berbicara seolah-olah mereka adalah teman dekat saja.
“Mengapa menjadi ilmuan?” tanya bu Hellish.
Gabriel menolehkan pandangannya memandang bu Hellish, “Karena saya tak mau jadi dokter,” jawabnya santai.
“Mengapa tak ingin menjadi dokter?” tanya bu Hellish lagi.
Dengan senyum kecil Gabriel menjawab: “Karena saya ingin menjadi ilmuan.”
Bu Hellish memandang datar siswi tersebut, sorotan matanya jelas sekali menandakan kalau itu bukanlah jawaban yang ingin beliau dengar, namun Gabriel hanya tersenyum simpul memandang wajah datar bu Hellish. Seisi kelas tersenyum lucu mendengar jawaban Gabriel, tak terkecuali Savier. Harus ia akui, gadis itu sangat berani; pantas saja dia berani menegurnya meskipun bu Hellish berada di dalam kelas.
“Baiklah, kau boleh duduk.” Respon bu Hellish pada akhirnya. “Selanjutnya,” lanjut bu Hellish lagi.
Bertepatan dengan berdirinya siswi yang duduk di depan Gabriel, saat itu pula Gabriel kembali melangkah ke tempat duduknya. Gadis itu membetulkan posisi kacamatanya dan memberi Savier senyum penuh kemenangan, “Kau suka jawabanku?” tanyanya dengan nada angkuh sembari mendudukkan dirinya di tempat duduknya. Savier mengernyitkan keningnya, entah kenapa ia menjadi kesal melihat senyum penuh kemenangan dan pertanyaan angkuh wanita itu. Tentu saja ia mengerti apa maksud dari sikap Gabriel, itu adalah bentuk ejekan gadis itu atas jawaban yang ia berikan sewaktu memperkenalkan diri tadi.
“Hmph!” dengus Savier, namun ia tidak memberi komentar apa pun.
Sesi perkenalan terus berlanjut hingga setengah jam ke depan. Yang membuat lama bukannya sesi pengenalan siswa-siswi, melainkan ceramah penuh cinta bu Hellish pada siswa-siswi yang cita-citanya tidak jelas di mata bu Hellish. Namun Savier harus mengakui, ia lebih senang mendengar cerimah penuh cinta bu Hellish dibandingkan mendengar ocehan tak jelas kepala sekolah tadi pagi. Meskipun tegas dan dingin, ucapan bu Hellish jauh lebih berisi dibandingkan ocehan kepala sekolah.
“Sebelum bel istirahat berbunyi, ibu ingin membentuk struktur kelas. Normalnya, kalian sendiri yang akan memilih siapa yang akan menjadi pengurus kelas, namun untuk seminggu ke depan, ibu akan memilih aparatur kelas. Dengarkan baik-baik. Ketua kelas: Mustafa Savier, wakil ketua: Raphiela Gabriel, sekretaris: Elmira Rahayu, bendahara: Emi Amaya. Kalian berempat nanti temui ibu di ruang bahasa seusai jam sekolah.” Bu Hellish langsung beranjak keluar kelas tepat setelah beliau mengatakan itu, dia sama sekali tidak menunggu respon para siswa dan siswi.
Savier terdiam mematung dengan ekspresi ngeri di wajahnya, matanya memandang tajam pada bu Hellish yang sudah berlalu, berharap agar beliau segera kembali dan mengurungkan keputusannya tersebut. Namun nihil, bahkan setelah lima menit berlalu, bu Hellish tak terlihat sama sekali. Ini tahun terburuk! Seru Savier dalam batinnya, ia pasrah menerima nasib sial yang telah dijatuhkan padanya. Lagipula, meskipun ia sangat amat keberatan, Savier sama sekali tak mau mencoba untuk mempersuasi bu Hellish untuk mengubah keputusannya, bisa-bisa ia malah terkena ceramah panjang karenanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments