Ala bisa karena biasa. Perkataan itu memang benar adanya. Selama kurang lebih dua bulan ini Savier sudah menjalankan tugasnya sebagai ketua kelas, kini rasa terpaksa itu sudah menghilang entah kemana. Bahkan, ia harus mengakui kalau ia mulai menyenangi menjadi ketua kelas, terlebih jika wakilnya adalah gadis cerdas dan cekatan seperti Gabriel. Tapi tentu saja ia tidak akan mengakui itu di depan gadis berkacamata itu, ia tidak ingin melihat gadis itu tersenyum penuh kemenangan padanya. Ia tidak mengerti mengapa dia sering melakukan itu padanya, tapi tetap saja ia tidak pernah suka melihat senyum angkuh itu. Mungkin, itu adalah satu-satunya pengecualian untuk frasa “ala bisa karena biasa”.
“Ketua, kau tidak sedang melamun memikirkanku, kan?”
Itu adalah satu hal lagi yang tak Savier senangi dari wakilnya: gadis itu sangat suka untuk mengatakan hal-hal yang terdengar seperti ia menyukai gadis berkacamata itu. Savier sangat tidak suka mendengarnya, dan ia sama sekali tak bisa melarang siswi ini karena jika dia tahu dirinya tidak suka maka dia akan meningkatkan intensitasnya dalam membuatnya kesal. Namun, yang tak Savier mengerti adalah, mengapa hanya ia seorang yang menjadi target keusilan gadis ini? Tak mungkin Gabriel memiliki rasa yang spesial terhadap dirinya, 'kan? Secara, Gabriel berasal dari keluarga kaya, dia pintar dalam banyak bidang, dan yang paling penting dia sangat cantik dan berkepribadian baik—kalau keusilannya itu dikesampingkan.
“Hmph,” dengus Savier seraya menolehkan pandangannya pada sang siswi. “Jadi, ada apa memintaku ke kantin ini? Hanya karena ini malam Minggu—di mana kegiatan wajib belajar malam diliburkan—bukan berarti aku tidak sibuk. Kau tidak ingin mengajakku untuk menghadiri auditorium untuk menonton film pendek buatan anak-anak klub per-film-an, kan?”
“Eh, tentu saja tidak,” jawab Gabriel sambil mendudukkan diri di kursi di depan Savier duduk.
“Jadi?” desak Savier tidak sabaran.
“Aku ingin menantangmu bermain catur,” jujur Gabriel sembari mengeluarkan papan catur kecil dari dalam tasnya. “Kau kan ikut klub catur dan telah berhasil mengalahkan kakak kelas yang merupakan pemain catur terbaik di sekolah, jadi aku ingin tahu apa aku bisa mengalahkanmu. Aku harap kau tidak akan keberatan, tapi kalau kau takut kalah maka aku sih tidak akan keberata jika kau tidak mau meladeniku.”
Savier menghela napas pelan. “Baiklah,” respon Savier, “tapi kalau kau kalah maka kau harus berhenti mengusiliku seperti tadi.”
“Ee, aku terima persyaratan itu,” respon Gabriel dengan senyum kecil di bibirnya sembari menyusuni bidak-bidak catur. “Tapi bagaimana kalau kau kalah, Vier?”
Mata Savier sedikit melebar mendengar pertanyaan yang sederhana dan prediktabel itu. Tapi yang benar-benar mengejutkannya bukanlah perkataan itu, melainkan senyuman penuh kemenangan Gabriel yang terpatri di wajah jelita gadis itu. Gabriel itu sangat percaya diri dengan kemampuannya, itu berarti dia sudah merencanakan hal ini. Artinya, Savier kembali masuk ke dalam perangkap gadis berkacamata itu! Tidak, tidak, tidak; ia tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Savier percaya dengan kemampuannya dalam bermain catur; meskipun gadis itu sangat pintar, namun Savier sudah sangat berpengalaman memainkan catur. Lagipula, jika ia menang maka ia, untuk pertama kalinya, akan berhasil melenyapkan senyum pongah yang menghiasi bibir Gabriel itu.
“Jika aku ka-“
“Jika kau kalah maka kau harus mengucapkan satu kalimat yang aku ingin kau ucapkan nantinya.” Potong Gabriel.
“-lah... gezz...,” kesal Savier. “Baiklah, baiklah, jika aku kalah maka aku akan mengucapkan kalimat yang kau ingin aku ucapkan.”
Senyum lebar langsung terukir di wajah putih bersih Gabriel. “Deal, ya?”
“Deal.”
“Bagus, aku senang mendengarnya. Kau ingin putih atau hitam?”
“Putih.”
Gabriel mengangguk mendengar jawaban singkat Savier dan langsung mempersilakan Savier untuk memulai permainan. Savier tak membuang banyak waktu, ia langsung saja memajukan pionnya dari E2 ke E4. Gabriel merespon cepat, dengan sigap ia memindahkan pion dari C7 ke C5. Savier memajukan kuda yang di dekat rajanya, Gabriel memajukan pion di depan raja satu langkah. Keduanya saling merespon pergerakan masing-masing dengan cepat, membuat tempo permainan meninggi. Dan sudah seyogyanya, tempo permainan perlahan-lahan menurun begitu jumlah bidak yang tersusun semakin berkurang. Tiga menit sudah berlalu, Savier kehilangan tujuh bidaknya—lima pion, satu kuda, dan satu benteng—sementara Gabriel baru kehilangan lima: empat pion dan satu kuda.
“Ini terasa lebih mudah dari yang kuduga,” komentar Gabriel, wajahnya benar-benar menunjukkan kebosanan. “Aku jadi menduga, jangan-jangan kakak kelas yang kau kalahkan itu tak sehebat yang dielu-elukan.”
Savier menggeretakkan gigi-giginya menahan kesal, permainan Gabriel sangat agresif, efektif, dan penuh dengan kalkulasi. Ia berhasil ditekan gadis itu dengan mudah, sepertinya ia telah meremehkan Gabriel.
Menghela napas pelan, Savier memandang papan catur dengan fokus yang baru. Fokus, itu adalah salah satu hal terpenting dalam permainan catur: kehilangan fokus sedikit saja, permainan bisa menjadi berantakan. Savier menggerakkan kudanya, C4 ke A5. Pertahanan terbaik adalah dengan menyerang, dan Savier pun memutuskan untuk mengerahkan seluruh fokusnya untuk menyerang balik Gabriel.
“Hoho…, tak buruk.” Gabriel menggerakkan bidak ratunya mengincar bidak bentengnya yang tersisa, namun Savier tahu itu hanya umpan. Jika ia sampai memindahkan bidang bentengnya, maka itu akan membuka jalur bagi bidak menteri dan kuda Gabriel untuk mengancam bidak rajanya, lalu setelah itu Gabriel akan memanuver bidak ratunya untuk memaksa bidak rajanya untuk mundur. Karenanya, Savier mengabaikan bidak bentengnya di tempat, sebagai gantinya ia membawa pionnya maju satu langkah, melindungi sang bidak benteng. Gabriel sama sekali tak terkejut, ia dengan cekatan memainkan bidak menteri yang lainnya.
…Dan seketika mata Savier melebar.
Ia telah terjebak. Bidak ratu tadilah yang menjadi umpan, bukan incarannya terhadap bidak benteng Savier. Sekarang Savier bisa melihatnya dengan jelas, strategi Gabriel untuk men-skakmat-nya. Sejujurnya itu bisa dihindari, namun untuk itu Savier harus rela mengorbankan empat bidaknya—salah satunya adalah bidak ratu Savier. Sementara, Gabriel hanya akan mengorbankan tiga bidaknya: satu pion, satu bidak menteri, dan satu bidak benteng. Posisinya akan sangat memburuk. Tapi, jika ia tidak mengorbankan itu, maka ia akan kalah. Savier memicingkan matanya, mencoba mencari cara untuk membalas menyerang bidak raja Gabriel. Jalan itu ada, namun ia membutuhkan dua langkah lebih banyak dari langkah yang dibutuhkan Gabriel untuk men-skak bidak rajanya. Terpaksa, Savier tidak punya pilihan lain selain bertahan, mengurungkan niat sebelumnya untuk menyerang.
Tanpa ragu, Gabriel langsung memborbardir pertahanan Savier. Karena sama-sama mengerti akan jalannya serangan, tempo permainan kembali meninggi. “Kau ingin tahu apa yang aku ingin kau katakan setelah permainan ini berakhir?” tanya Gabriel seraya memakan bidak ratunya dengan bidak benteng gadis berkacamata itu. “Jangan percaya diri dulu, aku masih belum kalah!” seru Savier, ia tiada mau kalah.
“Ohh…, akan kita lihat bagaimana kau bisa menang.”
Permainan mereka berlanjut, tempo yang sempat meninggi, perlahan-lahan kembali turun. Kini Savier bermain dengan penuh hati-hati, satu langkah bahkan bisa memakan waktu setengah menit. Meski peluangnya menang sudah menurun drastis, Savier tidak menyerah, ia tetap bermain untuk menang. Sesekali ia mencoba menerapkan trik-trik yang telah ia hapal luar-dalam, namun Gabriel selalu bisa mementahkan trik-triknya dengan efektif. Langkah-langkah Gabriel sangat cepat dan efektif, seolah-olah semua gerak bidak-bidak gadis itu sudah dihapalnya bahkan sebelum permainan dimulai.
Empat belas menit telah terlewat, permainan masih berlanjut. Bidak Savier, termasuk raja, hanya tersisa lima. Sementara, Gabriel masih unggul dua. Meskipun gadis itu sudah kehilangan semua bidak benteng dan menterinya, dia masih memiliki bidak ratu yang membuatnya lebih unggul. Tempo permainan jadi melambat. Kendati selalu dalam tekanan, Savier sesekali menyerang bidak raja Gabriel. Menggunakan salah satu trik yang sudah dihapalnya, Savier hampir men-skakmat Gabriel, namun…
“Checkmate.”
…Ia terlebih dahulu mati langkah.
Mata Savier membelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya di atas papan catur. Bidak raja-nya sama sekali tidak memiliki jalan keluar dari sasaran bidak-bidak Gabriel. Ia telah keliru; ia sedari awal terlalu percaya diri dan terlalu meremehkan kemampuan Gabriel. Jika saja ia lebih berhati-hati dan tak terburu-buru maka hal seperti ini tidak akan terjadi; ia kalah satu langkah dari Gabriel, jika Gabriel tidak menyudutkannya dan membuat permainan berakhir maka sudah pasti Gabriel akan kalah dalam permainan ini. Ini sangat tidak bisa dipercaya, tapi ini benar-benar kenyataan; Gabriel telah mengalahkannya dalam permainan catur, permainan yang sangat ia sukai.
Savier menghela napas pasrah. “Baiklah, aku mengaku kalah,” ucapnya pelan. “Kau menang, Gabriel.”
Senyum penuh kemenangan Gabriel mengembang begitu saja, namun kali ini Savier sama sekali tidak punya gairah untuk merasa kesal melihatnya. Ia hanya menggerakkan tangannya mempersilakan sang pemenang untuk menyampaikan kata-kata apa yang dia ingin untuk dirinya katakan.
“’Aku mencintaimu, Gabriel.’ Aku ingin kau mengatakan itu dengan wajah bahagia, Savier.”
Mata Savier mengerjap beberapa kali dan mulutnya ternganga tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar keluar dari mulut Gabriel. “Maaf, sepertinya aku salah mendengar, bisa kau ulangi lagi dengan pelan-pelan dan jelas?” tanyanya memastikan.
Senyum Gabriel kian menjadi-jadi, dia memasukkan kedua tangannya ke saku roknya dan duduk bersandar pada kursi dengan wajah memandang diri Savier dengan angkuh. “Katakan dengan wajah bahagia, ‘Aku mencintaimu, Gabriel.’”
“Apa?! Itu tak mungkin untuk kulakukan!” seru Savier dengan intonasi yang meninggi, namun masih cukup pelan untuk didengar banyak orang. “Kau ingin orang-orang mengejek kita, hah? Lagian, apa gunanya coba mengatakan hal seperti itu, apa itu akan membuatmu terhibur, hah?”
Senyum Gabriel tidak luntur. “Bagaimana kalau iya? Tapi itu tidak penting, yang penting adalah apa kau mau menepati kesepakatan kita atau mengingkarinya, Savier? Aku tidak masalah dengan keduanya, tapi aku yakin kau bukan seorang yang suka mengingkari kesepakatan, 'kan? Oh, ayolah, ini hanya kata-kata, sama sekali tidak mengandung makna apa-apa di dalamnya. Atau, kau memang mencintaiku makanya kau malu untuk mengatakan itu, apa benar begitu?”
Savier tidak tahu harus merespon apa; ia tidak pernah berada dalam situasi yang sengit seperti ini sebelumnya. Savier menggeretakkan gigi-giginya dan mengernyitkan keningnya, gezzz... wanita ini!
“Ada apa, jangan bilang kalau apa yang kukatakan itu memang benar?” Gabriel mengeluarkan tangan kirinya dari saku roknya dan meletakkan sikunya di atas meja lalu mendaratkan pipi kirinya di atas telapak tangan kiri. “Ayolah, buktikan kalau asumsiku tidak benar…, kalau tidak maka rumor yang mengatakan kalau kau mencintaiku ini akan tersebar luas, lho.”
Savier menghela napas lelah dan ia benar-benar merasa pasrah. “Baiklah,”
ucapnya pelan. “Aku hanya akan mengatakan ini sekali dan tak akan mengulanginya lagi, dengarkan baik-baik.”
“Itu hanya berlaku jika kau mengatakannya sesuai dengan apa yang kukatakan tadi,” respon Gabriel enteng.
Savier hanya mendengus pelan mendengar respon Gabriel. Ia lalu menghirup napasnya dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan. Perlahan-lahan wajahnya menjadi lebih rileks, dan senyum kecil pun mulai terbentuk di bibirnya. “Aku mencintaimu, Gabriel.”
“...”
“…”
“O-oke, itu sudah cukup, kau mengatakannya sesuai dengan apa yang aku instruksikan tadi.”
Melihat ekspresi yang tak biasa di wajah Gabriel, Savier tak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum. “Hoho…, ada apa dengan ekspresimu? Jangan bilang kau tersentuh dengan perkataanku barusan, hm?”
Gabriel mengerjapkan kedua matanya, kemudian ekspresi arogan biasanya kembali menghiasi wajah jelitanya. “Kau sungguh berpikir begitu? Kau terlalu percaya diri, Savier. Tadi aku hanya sedikit kaget lantaran melihat hal yang tak biasa, tapi setelah kuperhatikan baik-baik, sepertinya itu hanya halusinasiku saja.”
Senyum Savier luntur begitu saja. Ia tidak bisa mempercayai wanita ini... gadis ini terlalu berbeda dengan gadis kebanyakan; gadis ini sangat pandai dalam mengolah kata dan membaca suasana. Harusnya ia tak terkejut seperti ini mengingat ia sudah mengenal baik gadis ini dan tahu kalau gadis ini suka menggeluti berbagai buku kejiwaan dan seni manipulasi perasaan. Tapi tetap saja, melepaskan diri dari usaha “terkaman”-nya sangatlah susah. Er, sebenarnya tidak susah jika ia bersifat tegas dan mengabaikan gadis ini, tapi…, Savier harus mengakui kalau meladeni siswi ini membuatnya merasa sedikit senang. Mungkin tak salah jika mengatakan kalau dirinya sudah menganggap gadis ini sebagai “teman”, bukan lagi sebatas “teman kelas” atau pun “kenalan” saja.
“Lupakan saja,” respon Savier pada akhirnya. “Kukira kita sama-sama mengerti kalau itu tadi tak lebih dari sekedar candaan, ah, sudahlah. Ayo bermain lagi, kali ini aku akan mengalahkanmu.”
“Ee, aku tak masalah untuk bermain satu kali lagi. Tapi, vier,” jeda Gabriel, membuat suasana sedikit dramatis. “Bagaimana jika kau kalah lagi, hm?” tanya Gabriel dengan senyum angkuhnya.
Sekarang Savier tak bisa begitu saja mengabaikan ucapan Gabriel itu, tidak setelah melihat kepiawaian gadis cantik berkacamata ini memainkan bidak-bidak caturnya. Kali ini Savier akan menganggap gadis ini sebagai lawan yang harus ia taklukkan saja, bukan seperti tadi, Savier akan benar-benar menganggap ini permainan catur resmi. Jika tidak begitu maka akan sulit baginya untuk menang, dan Savier juga tidak akan sedikit pun meremehkan gadis ini, tidak dalam hal apa pun lagi. Jika ada satu hal yang membuat Savier benar-benar mengagumi Gabriel, itu adalah kejeniusan dan ketotalitasan gadis ini dalam mewujudkan apa pun yang gadis ini rencanakan. Gabriel tak kenal rasa kalah dan putus asa, namun jika itu berkaitan dengan hal yang tak gadis itu minati, maka Gabriel sama sekali tidak akan peduli. Mungkin…, mungkin jika ia belum pernah bertemu dengan Shona maka ia akan sangat tertarik pada Gabriel, sayang sekali.
“Ha….” Hela napas Savier. “Kalau aku kalah lagi maka kita akan terus bermain catur tiap malam libur sampai aku bisa menang tiga kali berturut-turut. Kalau aku menang maka kita akan melakukan hal yang sama seperti jika aku kalah.”
“Eh, kau seolah-olah ingin selalu membuatku menemanimu bermain catur diwaktu senggang. Ada apa ini? Jangan-jangan….” Gabriel sengaja tidak melanjutkan perkataannya agar Savier bisa menarik kesimpulannya sendiri.
Savier hanya bisa pasrah mendengar kesimpulan yang sangat “Gabriel” sekali. “Bukan begitu,” ucapnya, “kau adalah orang pertama yang berhasil mengalahkanku dalam permainan catur sejak aku kelas tiga SD. Karena itu, aku harap kau tak keberatan untuk menjadi teman mainku. Ah, tapi itu jika kau tak keberatan, jika kau merasa keberatan maka aku tidak akan memaksa.”
Gabriel tersenyum kecil, mungkin ini adalah kali pertama Savier melihatnya tersenyum lembut seperti itu, dan jujur saja itu membuat jantungnya sedikit berpacu.
“Aku akan dengan senang hati menjadi teman bermain caturmu,” ucap Gabriel diiringi senyum lembut di bibirnya, namun senyum itu hanya bertahan sedetik saja dan digantikan senyum pongahnya seperti biasa. “Lagipula,” lanjut Gabriel, “melihatmu kalah sangat membuatku senang, aku akan dengan senang hati mengalahkanmu terus-menerus.”
“Hmph,” dengus Savier. “Aku tidak akan mungkin kalah terus menerus!” seru Savier sembari memajukan pion putihnya.
“Oke, aku terima semangat dan tantanganmu itu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments