Bagian 1: In between Us, part 1

Tak selamanya perpustakaan adalah tempat yang ramai, apalagi di sekolah menengah pertama seperti ini. Beda tingkat pendidikan, beda pula kondisi perpustakaan di institusi pendidikan tersebut. Sekolah dasar cenderung memiliki perpustakaan yang kecil dan sederhana, buku yang mengisinya pun tak terlalu beragam dan tak banyak. Bisa dibilang kalau perpustakaan sekolah menengah pertama umumnya jauh lebih baik dari perpustakaan sekolah dasar.

Mengikuti asumsi tersebut, jelas sekolah menengah atas lebih unggul dari sekolah menengah pertama, dan tentu saja perpustakaan di institusi perkuliahan akan membuat perpustakaan-perpustakaan di sekolah-sekolah bagaikan danau di tengah-tengah lautan, terlampau besar perbedaannya.

Sebagaimana halnya perpustakaan di sekolah menengah pertama umumnya, begitu pula kondisi perpustakaan di sekolah menengah pertama tempat Savier melanjutkan pendidikannya: sederhana dan minimalis. Kendati begitu, Savier sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.

Pukul 09.45 adalah waktu istirahat di sekolah Savier. Kantin menjadi tempat terfavorit mayoritas pelajar, tetapi Savier kurang suka untuk mengunjungi tempat tersebut di menit-menit awal waktu istirahat. Hal itu lantaran dirinya tidak suka berhimpit-himpitan dengan siswa-siswi lainnya untuk memburu makanan-makanan laris di kantin sekolah. Savier sangat tidak suka suasana yang seperti itu, jadilah ia menghabiskan sepuluh menit pertama istirahat di perpustakaan sekolah, yang secara ajaibnya terletak tepat di depan kelasnya.

Perpustakaan di sekolahnya ini hanya terdiri atas satu ruangan kelas yang luasnya sama dengan luas ruang kelasnya. Terlalu jauh perbedaannya dengan perpustakaan yang dibayangkannya. Meskipun begitu, ia tetap menyukai perpustakaan ini. Karena pelajar lainnya sangat sedikit yang tertarik menghabiskan waktu di ruang yang hanya memiliki satu meja kosong dengan empat kursi yang mengelilinginya ini, hal itu menciptakan suasana sepi, aman, dan minim akan suara yang tak penting: suasana yang sempurna bagi Savier untuk membaca.

Setidaknya, begitulah suasana yang menyambutnya setiap kali ia melewati pintu bercat biru perpustakaan.

Namun, kali ini berbeda. Ada seseorang yang duduk di salah satu kursi itu. Dia seorang siswi. Savier merasa pernah melihatnya, tapi ia tidak tahu namanya dan tak ingat di mana ia pernah melihatnya. Mungkin hanya perasaannya saja?

Savier menghendikkan bahu dan bergegas duduk berhadapan dengan siswi kelas satu sepertinya itu, tentu saja setelah terlebih dahulu mengambil satu buku untuk dibaca.

Tak ada pertukaran kata antara keduanya; mereka sibuk dengan buku yang mereka baca, seolah-olah tak ada siapa pun di meja ini selain diri mereka sendiri.

Tak terasa sembilan menit telah berlalu sejak Savier duduk di kursi ini, ia harus segera ke kantin untuk mengisi perutnya yang kosong sedari pagi.

Memang, ia hampir tidak pernah sarapan. Bukan hanya dirinya, bahkan seluruh anggota keluarganya pun begitu; mereka hampir tak pernah makan pagi..., mungkin itu adalah dampak dari tidak memiliki orang tua yang lengkap. Ibunya telah wafat sejak ia berumur dua tahun. Bahkan Savier tak ingat akan rupa ibunya. Hingga kini pun ia tak tahu wajah ibunya seperti apa, dan tentu saja ia tak pernah bertanya.

Savier menghela napas pelan dan beranjak dari kursi, kemudian meletakkan buku yang dibacanya tadi ke tempatnya semula dan berlalu ke luar perpustakaan.

Meskipun sudah memasuki menit-menit akhir waktu istirahat, kantin masih tetap saja ramai, tapi setidaknya tak seramai menit-menit awal waktu istirahat. Dan ke sanalah Savier beranjak. Ia memasuki salah satu dari tiga kantin yang ada—tentu saja kantin yang dimasukinya adalah yang terdekat. Mendatangi kantin yang lebih jauh akan memakan waktu lebih, meskipun itu hanya belasan detik saja.

Savier langsung bergegas meninggalkan kantin seusai membayar makanan yang ia beli. Tak banyak, hanya dua ribu rupiah untuk sepotong roti coklat dan sebotol teh gelas. Itu sudah cukup. Savier tak makan banyak, toh, ia juga akan makan setelah pulang sekolah nanti.

Lagipula, ia harus berhemat: uang sakunya hanya lima ribu dalam sehari, jika ia bisa menyimpan tiga ribu per hari maka dalam enam hari ia akan bisa mengumpulkan uang sebanyak delapan belas ribu. Dalam sebulan, uang simpanannya akan mencapai tujuh puluh ribu lebih. Uang segitu bisa ia gunakan untuk membeli sebuah buku. Jadi, ia tak harus meminta uang lebih untuk membeli buku.

Savier tiba di kelasnya semenit kemudian.

Kelasnya adalah kelas unggulan, karena itu interiornya sedikit lebih elok dibandingkan kelas lainnya. Pun fasilitas di kelasnya lebih baik daripada kelas-kelas lainnya. Terdapat sebuah komputer, televisi, dvd-player, dan juga terdapat dua buah AC di kelas ini. Harus ia akui, berada di ruangan ini sangat nyaman untuk belajar. Kendati begitu, Savier sebenarnya baru pindah ke kelas ini dua hari yang lalu, karenanya pula ia belum cukup akrab dengan siswa/i lainnya.

Oleh sebab itu, Savier langsung menduduki kursinya begitu ia memasuki kelas. Kursinya terletak di barisan paling belakang, posisi duduk yang tak terlalu ia sukai.

“Savier, habis dari kantin?”

Oh, siswa yang baru saja menanyainya adalah teman semeja Savier. Namanya Hanafi. Dia lelaki yang dua centi lebih pendek darinya, ramah, dan sangat menggemari sepak bola. Savier pun sedikit menggemari sepak bola, karena itu ia bisa dengan mudah akrab dengan siswa di sampingnya ini.

“Ya, aku baru dari sana,” jawab Savier sembari memulai acara makannya. Ia tak perlu menawari teman semejanya ini, karena dia juga sedang menikmati makanannya sendiri.

“Eh, tadi aku sekilas melihatmu dengan Shona di perpus, kau yang mengajaknya ke sana?”

Savier menaikkan sebelah alis matanya mendengar pertanyaan Hanafi. “Shona?” tanyanya sedikit penasaran.

“Iya, cewek yang duduk di sebelah Alena itu,” respon Hanafi, tangannya menunjuk ke meja paling depan dan paling kanan.

Savier membawa matanya mengikuti arah yang ditunjuk Hanafi. Lensa matanya menangkap seorang siswi berbalutkan seragam perempuan standar—baju putih lengan pendek, rok biru pendek selutut, dan lengkap dengan dasi biru rapi melingkari kerah bajunya. Siswi tersebut memiliki warna kulit kecoklatan, wajahnya tergolong “manis” daripada cantik. Savier akhirnya tahu mengapa ia merasa pernah melihat siswi di perpus tadi, ternyata dia adalah teman sekelasnya, yang belum ia kenal.

“Oh,” respon Savier setelah diam sesaat, “aku tidak mengajaknya, itu hanya suatu kebetulan semata.”

“Oh, begitu.”

Savier mengangguk lalu melanjutkan acara makannya. Dan tak lama setelah ia makan, bel yang menandakan waktu istirahat telah berakhir pun berbunyi. Savier membuang sampahnya ke tong sampah di belakang kelas—tak jauh dari tempatnya duduk, kemudian ia kembali ke tempat duduknya dan mulai mempersiapkan dirinya untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.

Hari-hari terus berlalu, dan entah kenapa, Savier mendapati dirinya selalu menghabiskan sebagian besar waktu istirahatnya di perpustakaan berdua dengan siswi bernama Shona Wilona itu. Kadang ia yang datang duluan, kadangpula gadis itu yang datang duluan. Jika ia ingat-ingat, sejak pertama kali mendapati gadis itu di perpustakaan, ia dan gadis itu tidak pernah sekali pun absen dari menghabiskan sebagian besar waktu istirahat di perpus. Uniknya, tak sekali pun mereka pernah bertegur sapa, baik ketika di kelas maupun di perpustakaan. Savier tidak tahu mengapa, rasanya ia tidak bisa memulai pembicaraan dengan siswi itu tanpa ada alasan penting.

Namun, hari ini berbeda dari hari-hari sebelumnya. Savier dan semua penghuni kelas diharuskan membayar uang buku, dan uang itu diamanahkan untuk dikumpulkan kepada bendahara kelas yang kemudian akan memberikan uang itu kepada guru yang bertugas. Masalahnya adalah, yang menjadi bendahara kelas adalah Shona, satu-satunya siswi yang belum pernah berbicara dengan dirinya. Tentu hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi Savier, ini akan menjadi interaksi pertamanya dengan siswi itu. Dengan langkah mantap Savier mendatangi tempat Shona duduk.

“Siapa?” tanya siswi itu tanpa melihat ke arah Savier, suaranya sama sekali tidak lembut, namun Savier bukan tidak menyukainya.

“Mustafa Savier,” jawabnya sembari menyerahkan uang kepada sang bendahara.

Siswi itu mengangguk dan langsung menuliskan namanya di lembar catatannya. Dia lalu menerima uangnya dan mengambil kembalian dari uang tersebut. “Ini kembaliannya,” ucapnya pelan, dia masih tidak melihat ke arah Savier.

Savier mengangguk. “Terima kasih,” ucap Savier pelan lalu berbalik arah dan kembali ke tempat duduknya, ia sama sekali tidak mendengar respon apa pun dari siswi itu.

Savier menghela napas. Sudahlah, tidak penting juga.

Waktu terus berlalu, dan ujian akhir semester pun akhirnya tiba.

Namun begitu , Savier tidak melakukan persiapan apa pun untuk menghadapi ujian. Lagipula, ia sudah belajar di kelas selama kurang dari enam bulan ini, masak sih ia harus belajar lagi ketika akan menghadapi ujian?

Tidak, Savier tidak akan belajar untuk ujian. Karena, jika itu ia lakukan maka itu sama saja artinya dengan mengatakan kalau waktu yang dihabiskannya di kelas selama kurang leih enam bulan ini sama sekali tak berpengaruh apa-apa. Savier yakin kalau dirinya akan mampu menjawab sebagian besar soal-soal yang diberikan tanpa harus belajar lagi.

Lagipula, Savier bukan termasuk siswa yang rajin dalam hal “belajar”, tapi entah kenapa banyak yang berpikir kalau dia itu anak yang rajin. Terus terang saja, ia tidak pernah membuka buku pelajaran di rumah kecuali jika ia memiliki pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Savier lebih memilih untuk membaca buku-buku cerita atau buku lain yang menarik perhatiannya daripada menjatuhkan pandangannya pada buku pelajaran.

Hari pembagian rapor pun tiba.

Savier mendapat peringkat empat, satu tempat di bawah siswi itu. Savier tidak kecewa dengan hasil tersebut, hasil itu memang sesuai dengan perkiraannya: ia tidak akan berada di luar sepuluh besar, tetapi tak cukup untuk menjadi tiga besar. Ia jadi berpikir, apa jadinya kalau ia bersungguh-sungguh dalam belajar? Eh, sepertinya tak mungkin. Savier tak akan melakukan hal yang tak disukainya, jika ia terpaksa maka ia hanya akan melakukan hal itu dengan setengah hati.

Seusai pembagian rapor, maka hari-hari sekolah pun mencapai masa jedanya, dan hari-hari liburan pun mulai berdatangan.

Namun, bagi Savier, hari libur dan hari lainnya sama sekali tak jauh perbedaannya. Jika pada hari sekolah ia harus pergi pagi pulang siang terkadang sore, maka pada hari libur ia berada di rumah dari pagi hingga pagi lagi. Tidak pergi liburan? Nah, tak ada hal yang bernama “liburan” di keluarga Savier. Jangankan itu, makan bersama pun hampir tak pernah.

Keluarganya termasuk dalam keluarga yang tak terlihat seperti keluarga. Keluarganya Savier adalah individual yang self-centered, setiap orang mengurus sendiri masalah mereka, “family time” tidak pernah ada dalam keluarga ini. Terlebih lagi ayahnya, tidak sekali pun dia pernah bertanya begaimana sekolahnya. Tapi setidaknya Savier bersyukur karena keluarganya bukanlah keluarga yang bisa dikategorikan sebagai keluarga yang “broken home”, masih banyak orang yang memiliki keluarga yang lebih parah darinya.

Anggota keluarga yang paling dekat dengannya adalah kakak termuda Savier, namanya Erina Marianna. Kakaknya ini bisa dibilang adalah anggota keluarganya yang paling pengertian. Savier tidak ingin mengakui hal ini, tapi jika ditanya siapa anggota keluarga yang paling ia pedulikan maka jawabannya adalah kakaknya itu. Hanya saja, Savier tidak suka mengekspresikan perasaan dan kepeduliannya itu, tapi ia selalu mendengarkan dan mempertimbangkan perkataan kakaknya tersebut.

Setelah kakaknya itu, Savier sedikit dekat dengan abang tertuanya. Sebenarnya tidak bisa dibilang dekat juga, sih. Hanya saja, dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya, Savier lebih dekat dengan abangnya itu dibandingkan dengan yang lainnya. Sisanya, Savier hanya bisa mengatakan kalau kebersamaan mereka hanya karena ada ikatan darah yang mengikat mereka, tak lebih dari itu. Kendati demikian, Savier benar-benar tak mempermasalahkan itu.

Hari-hari libur itu, sebanyak dua minggu, benar-benar dihabiskan Savier di rumah tempat ayahnya mengontrak. Hanya sesekali ia keluar rumah membeli sesuatu atau ke warnet (warung internet) jika perlu mencari sesuatu di dunia maya. Selebihnya, ia menggunakan waktu kosong itu untuk membaca, baik itu buku-buku yang ia miliki atau pun cerita-cerita fiksi dari internet melalui mobile-phone-nya.

Tak terasa dua minggu pun telah terlewatkan.

Esok adalah hari dimulainya semester genap. Jujur saja, Savier belum mempersiapkan apa pun untuk hari esok. Itu pula alasannya mengapa kini kakaknya memandangnya dengan penuh tanya. “Perlu dibeli apa, Dik?” begitu tanyanya. Savier hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan, “Nggak perlu apa-apa, Kak Erina,” jawabnya singkat.

“Oh, ya udah.”

Savier sebisa mungkin tak ingin merepotkan kakaknya, terkecuali jika situasi cukup genting. Karenanya ia memberikan jawaban itu. Lagipula, jika memang memerlukan sesuatu maka ia bisa membeli keperluannya sendiri.

Terpopuler

Comments

John Singgih

John Singgih

keluarga, yang entahlah ...

2022-09-11

0

Cam

Cam

😑

2022-02-01

0

Cam

Cam

👍🏼

2022-02-01

0

lihat semua
Episodes
1 Bagian 0: Prolog
2 Bagian 1: In between Us, part 1
3 Bagian 1: In between Us, part 2
4 Bagian 1: In between Us, part 3
5 Bagian 1: In between Us, part 4
6 Bagian 1: In between Us, part 5
7 Bagian 1: In between Us, part 6
8 Bagian 1: In between Us, part 7
9 Bagian 1: In between Us, part 8
10 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 1
11 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 2
12 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 3
13 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 4
14 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 5
15 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 6
16 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 7
17 Bagian 2: Sense of Betrayal, part 8
18 Bagian 3: A Wavering Heart, part 1
19 Bagian 3: A Wavering Heart, part 2
20 Bagian 3: A Wavering Heart, part 3
21 Bagian 3: A Wavering Heart, part 4
22 Bagian 3: A Wavering Heart, part 5
23 Bagian 4: A Real Promise, part 1
24 Bagian 4: A Real Promise, part 2
25 Bagian 4: A Real Promise, part 3
26 Bagian 4: A Real Promise, part 4
27 Bagian 4: A Real Promise, part 5
28 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 1
29 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 2
30 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 3
31 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 4
32 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 5
33 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 6
34 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 7
35 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 8
36 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 9
37 Bagian 5: The Truth and Marriage, part 10
38 Bagian 6: Epilog
Episodes

Updated 38 Episodes

1
Bagian 0: Prolog
2
Bagian 1: In between Us, part 1
3
Bagian 1: In between Us, part 2
4
Bagian 1: In between Us, part 3
5
Bagian 1: In between Us, part 4
6
Bagian 1: In between Us, part 5
7
Bagian 1: In between Us, part 6
8
Bagian 1: In between Us, part 7
9
Bagian 1: In between Us, part 8
10
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 1
11
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 2
12
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 3
13
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 4
14
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 5
15
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 6
16
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 7
17
Bagian 2: Sense of Betrayal, part 8
18
Bagian 3: A Wavering Heart, part 1
19
Bagian 3: A Wavering Heart, part 2
20
Bagian 3: A Wavering Heart, part 3
21
Bagian 3: A Wavering Heart, part 4
22
Bagian 3: A Wavering Heart, part 5
23
Bagian 4: A Real Promise, part 1
24
Bagian 4: A Real Promise, part 2
25
Bagian 4: A Real Promise, part 3
26
Bagian 4: A Real Promise, part 4
27
Bagian 4: A Real Promise, part 5
28
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 1
29
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 2
30
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 3
31
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 4
32
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 5
33
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 6
34
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 7
35
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 8
36
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 9
37
Bagian 5: The Truth and Marriage, part 10
38
Bagian 6: Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!