"Jampi! Mau sampai kapan kamu begini nak? Ibu saja sudah jadi pegawai tetap di usiamu ini. Bahkan sudah punya 2 anak loh. Kok kamu masih saja pengangguran! Ibu malu sama teman-teman ibu, tetangga juga menanyakan perihal kamu. Tapi ibu hanya bisa mengalihkan pembicaraan", tegur bu Eki, perempuan paruh baya yang hampir pensiun dan lelah menunggu anaknya sukses ataupun berkeluarga.
Jampi, pemuda lulusan sarjana, ipk 2 koma, selesai pun hampir drop out dari kampusnya. Ia hanya bisa diam, karena semua yang dikatakan ibunya adalah kebenaran yang pahit dan harus dia terima.
" Kenapa diam? Ayo jawab nak, ibu harus bagaimana coba?" tanya bu Eki melihat Jampi hanya diam dengan tatapan kosong.
Wajah Jampi nampak putih pucat. Ia duduk sendiri di kasurnya, di ruangan yang tertutup rapat, berbalut selimut. Bahkan ia tak berani membuka lebar-lebar jendelanya karena takut masuk angin. Bu Eki yang kesal dengan heningnya Jampi pun beranjak dan membuka sedikit jendela kamar sebesar 2 x 3 meter ini.
"Gini loh, kamar kok lembab. Nanti yang ada kamu tambah sakit!", tegur bu Eki. Perempuan ini sudah tahu kondisi putranya.
Meski kesal, ia tak berani terlalu menekan mental putranya. Ia hanya bermaksud agar putranya semangat untuk pulih dan menjalani aktivitas pemuda seusianya.
Selepas itu, bu Eki meninggalkan Jampi sendiri. Ia tahu bahwa putranya sangat cerdas, bahkan ia sangat sering juara kelas saat sekolah dasar hingga menengah. Saat kuliah di awal semester, Jampi berhasil meraih beasiswa presetasi.
Namun, sejak semester ke lima lah, bu Eki mulai marah-marah karena Jampi hanya mampu meraih ipk 2,4. Terlebih, Jampi terlalu pendiam. Jangan kan bercerita kepada orang tua, teman saja, hanya 2 orang pria yang dekat dengan anaknya, itu pun tak tahu apa yang dialami Jampi.
" Bu, aku tahu aku ini tidak berguna. Aku juga tak tahu bagaimana mengakhiri semua ini. Huh", desah Jampi sendiri. Pemuda berkaki dingin itu pun membenamkan kedua kakinya yang serasa membeku ke dalam selimut.
Hanya 5 menit saja ia kuat duduk bersandar. Selebihnya, ia hanya bisa tiduran. Hari demi hari, selama 2 tahun, Jampi tidak bisa tidur nyenyak. Hampir setiap malam, ia merasakan kedinginan ekstrim hingga menggigil. Bahkan ia harus tidur dengan posisi duduk agar tubuhnya sedikit hangat dan kepalanya terasa teraliri oksigen. Selang beberapa menit pun, ia harus segera berbaring. Rasa kantuk begitu menyiksa namun keberanian untuk tidur pun sirna. Jampi akan kehabisan nafas dan memaksanya bangun jika tidur selama lebih dari 30 menit di posisi yang sama. Perutnya senantiasa kembung dan begah. Makan tidak nyaman, tidur pun tak bisa ia lakukan karena perutnya keroncongan.
Pagi itu,
"Nak, apa yang kamu rasakan?", tanya bu Eki yang melihat Jampi kram dan pucat. Tangan pemuda itu menunjukkan gejala penyakit gerd, terasa suhu tubuhnya begitu dingin.
Bibir Jampi pun nampak sedikit membiru, tanda bahwa pria ini kekurangan oksigen. Sembari membaluri minyak kayu putih ke tubuh anaknya, bu Eki sedikit mengelus lengan dan kepala Jampi. Ia memandang mata putranya yang masih kosong namun bibirnya memaksakan senyum.
Bu Eki tahu, putranya ini begitu baik hati dan murah senyum. Bahkan di saat separah ini, ia masih berusaha tersenyum di hadapan ibunya.
" Nggak apa-apa kok bu. Ini sudah membaik daripada semalam", jawab Jampi agar ibunya tidak terlalu khawatir. Meski sakit-sakitan, Jampi yang merasa menjadi beban orang tua, tidak ingin menambah beban pikiran ibunya.
"Ya sudah, ini segera sarapan", kata bu Eki sembari menyodorkan semangkuk labu kukus. Jampi hanya tersenyum dan mengangguk sembari menyantap labu itu sedikit demi sedikit. Hanya 5 sendok, ia harus berhenti makan atau perutnya akan sangat begah bahkan muntah. Jampi hanya bisa makan sedikit demi sedikit saja namun tidak boleh berjarak lebih dari 1 jam atau gejala gerd nya akan kambuh.
Saat hendak buang air pun, itu berat baginya.
" Ya Allah", lirih Jampi yang beranjak ke kamar mandi. Ia tidak ingin dipasang kateter dan membebani orang di sekitarnya. Karenanya, ia paksakan diri berjalan ke kamar mandi meski nafasnya terengah-engah. Di dalam kamar mandi, pemuda itu berusaha secepat mungkin menuntaskan hajatnya.
"Aku harus segera tuntas nih", lirih Jampi bergegas membersihkan diri, kemudian mencuci pakaiannya sendiri, dan mandi air hangat. Meski di bawah shower air hangat, Jampi masih merasa kedinginan dan bahkan semakin susah bernafas jika berlama-lama di dalam kamar mandi.
Deg dag deg dug
Jantung Jampi berdegup kencang. Semakin susah bernafas, ia semakin panik karena belum berbilas setelah meratakan sabun mandi sambil menggosok gigi. Segera, Jampi melangkahkan kaki sembari menata nafas agar tidak pingsan.
Jarak kamar mandi dan kamar tidurnya hanya 7 meter, namun itu terasa 100 meter lebih bagi Jampi.
Bugh
Pemuda itu merebahkan tubuhnya segera.
" Alhamdulillah", lirih Jampi setelah meluruskan tubuhnya ke kasur. Ia harus menata nafas agar tidak terus terengah-engah. Meski begitu, butuh 4 jam penuh agar energinya pulih kembali, hanya untuk mandi dan cuci baju.
Di kesehariannya, pemuda itu membuka layanan servis komputer. Sekedar agar ia tak disebut pengangguran.
Hari itu, Jampi dibangunkan ibunya.
" Jampi, ini ada orang yang mau memperbaiki komputer", ucap bu Eki sembari menyodorkan sebuah laptop hitam ke sisi Jampi. Ia tahu putranya bisa memperbaiki laptop meski hanya servis ringan saja. Nampak wajah Jampi bahagia dan susah bersamaan.
Ibunya tahu bahwa putranya sedang sakit, namun ia tak ingin putranya terlarut dalam kondisinya. Ia berharap, dengan banyak gerak, Jampi akan segera sehat.
"Baik bu", jawab Jampi pelan. Setelah mencoba memperbaiki kerusakan sederhana di laptop itu selama 3 jam penuh, tentu Jampi hanya bisa melakukannya sembari tiduran atau duduk sebentar, ia berhasil mendapat sedikit upah jerih payahnya.
" Alhamdulillah ", ucap Jampi sembari menyimpan lembaran 50 ribu itu. Ia merasa bahagia sejenak, namun kemudian tatapannya kosong. Karena yang ia butuhkan sekarang adalah kesehatan, bukan uang atau sanjungan.
" Untuk apa sebenarnya aku hidup? Kondisiku benar-benar menyusahkanku bahkan ibuku pun lelah mengobatkanku", lirih Jampi. Ia tahu sebenarnya tak ada orang tua normal yang tega menelantarkan anaknya. Ia sadar bahwa ini hanya cara ibunya agar ia mau berjuang lebih keras untuk bisa sembuh.
Satu ketika, hari selasa, pukul 10 pagi, Jampi yang kesulitan bernafas dan tubuhnya sangat kedinginan pun mencoba bangkit dari kasurnya. Ia memaksakan diri untuk melangkah ke sofa merah di ruang tamu.
Bugh
Jampi duduk bersandar dengan lemas. Ia melihat ayah, ibu, adik, dan kakaknya di ruang tamu. Mereka sibuk dengan aktivitasnya sendiri.
Huft huft huft
Nafas Jampi terengah, keringat dingin sebesar beberapa biji beras menggantung di dahinya. Ia berjuang keras menahan sakit, melawan rasa dingin, dan sulitnya bernafas. Mulutnya begitu kaku untuk berucap. Hanya sedikit terbuka dan ia putuskan untuk menutup rapat, menghemat tenaga.
"Aku, aku, ugh, tolong aku", batin Jampi yang ingin meminta bantuan keluarganya agar diantar ke rumah sakit terdekat.
" Ugh, percuma juga aku ke rumah sakit. Sepertinya aku akan mati sekarang", batin Jampi yang merasa sia-sia jika meminta bantuan keluarganya. Toh mereka hanya bisa panik. Jika pun di antar ke rumah sakit berjarak 1km, belum tentu dia bisa bertahan sampai tindak darurat petugas medis diberikan.
Putus asa! Itu yang ada dalam benak Jampi. Saat pandangannya mulai menggelap.
Brush
Ibu jari Jampi tiba-tiba terbimbing untuk menyentuh titik tengah toraknya. Rasa hangat begitu kuat menguar, melibas semua hawa dingin yang ia rasakan. Nafasnya berangsur normal, pandangannya pun kembali jernih.
Sebelum itu, di tengah keputus asaannya, ia meminta kepada Tuhan untuk memberinya kesempatan ke dua.
Woosh,
Sebuah kemampuan penyembuhan tiba-tiba muncul di jarinya, jemari petir. Secara ajaib, ia berangsur pulih. Bahkan dalam benaknya, pemuda itu dituntun untuk membuat kasur ajaib yang bisa menyembuhkan keropos tulang dan katarak.
"Ya Rabb, tolong lah aku. Tolong aku", pinta Jampi dalam dada dalam keputus-asaannya. Pandangannya yang sudah hampir sepenuhnya menggelap, kesadarannya hampir saja menghilang bersamaan nafasnya yang semakin melemah.
Bzzzz
Jampi merasa harus menggerakkan ibu jarinya ke tengah toraknya. Tanpa pikir panjang, ia ikuti petunjuk itu, berharap itu bantuan dari Tuhan.
Wush
Rasa hangat begitu kuat membabat semua rasa lelah dan penat. Kekuatan luar biasa ia rasakan tumbuh di pusat toraknya, menyebar ke jantung, paru-paru, ruas tulang belakang, menjalar ke kedua lengan, perut, kaki, hingga kepala.
" Alhamdulillah ", hanya itu yang terucap di hati Jampi. Ia tersenyum bahagia, takjub, dan agak tidak percaya dengan apa yang tengah terjadi dalam dirinya.
Tak ada yang lebih penting baginya saat ini selain bisa bernafas lega. Setelah kondisinya membaik, ia merasa harus melakukan sesuatu ke kasurnya. Maka ia berjalan segera ke kamar tidurnya.
" Uh", dengus Jampi karena terlalu bersemangat hingga lupa bahwa tubuhnya perlu waktu menyesuaikan diri. Masih ada rasa lelah dan lemas meski hanya sedikit saja.
"Bismillah", ucap Jampi sembari duduk di samping kasurnya. Jemarinya menyentuh permukaan kasur. Bibirnya membaca beberapa surah yang entah bagaimana muncul dalam ingatannya. Huff Jampi meniup permukaan kasur hingga tiga tarikan nafas. Samar-samar ia melihat cahaya putih memasuki kasurnya itu.
Tak menunggu lama, Jampi merebahkan dirinya ke kasur yang baru ia tiup, penasaran apa yang akan terjadi.
Tunggg
Terasa energi yang begitu besar membalut seluruh tubuhnya. Hangat, nyaman, sedikit perih dan aneh. Tulang dan ototnya bergerak sendiri, kembali ke posisi yang seharusnya. Meski perlahan, tapi pasti.
Jampi bisa merasakan hasilnya. Hmm Jampi benar-benar bersyukur atas karunia luar biasa yang diberikan Tuhan kepadanya.
" Ya Tuhan ku, terima kasih atas rahmat dan karuniaMu kepadaku", lirih Jampi sembari memejamkan mata. Senyum puas merekah di wajahnya yang kini nampak merona. Hari itu pun berlalu.
Jampi yang begitu berbahagia, tak berani bercerita tentang apa yang dialaminya, khawatir dikira sudah gila.
"Siapa juga yang akan percaya jika aku cerita, pengangguran jomblo dan sakit-sakitan, tiba-tiba punya kemampuan yang menakjubkan. Pasti mereka menganggapnya bualan dan angan-angan", batin Jampi, bertekad menyimpan kemampuannya sendiri. Ia tahu bahwa kemampuan seperti ini hanya ada dalam mimpi. Apalagi ia tidak pernah belajar apapun terkait teknik pengobatan seperti ini.
Sepekan telah berlalu. Kini kondisi Jampi sudah sangat sehat meski hanya dia yang tahu.
Satu ketika, bu Eki meminta pendapat Jampi.
" Nak, nenekmu itu mengeluh sakit punggung. Matanya juga katarak. Apa ya yang bisa kita lakukan untuk menolongnya?", tanya bu Eki, terlihat bingung karena terus dimintai tolong neneknya Jampi.
Pemuda itu diam sejenak. Ia juga tak tahu harus bagaimana mengatasi masalah ini.
"Bu, bagaimana kalau nenek setelah sholat subuh, baca wirid di kasur ini, 30 menit saja?", jawab Jampi yang entah bagaimana, merasa ingin mengucapkan kalimat itu. Bu Eki yang semula iseng saja, kini menoleh dan menatap mata Jampi.
" Tiduran saja di kasurmu ini?", tanya bu Eki yang heran dengan ide putranya ini. Jampi hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban karena memang tak tahu alasan di balik apa yang ia ucapkan tadi. Bu Eki pun beranjak pergi setelah mendapati jawaban putranya hanya anggukan. Meski heran dengan perkataan putranya, ia mencoba bersangka baik.
Keesokan harinya, Ia menuntun neneknya Jampi ke kasur. Selang beberapa menit, mbah Surti, neneknya Jampi memanggil bu Eki dengan nada khawatir.
"Ek, kok kakiku rasanya ditarik seorang pria berbaju putih ya?", heran mbah Surti. Meski matanya katarak, bahkan sepenuhnya tertutup warna putih seperti putih telur, mbah Surti diketahui peka terhadap sinyal astral karena terbiasa dengan hal seperti itu sejak kecil.
" Ah masa sih nek?", tanya bu Eki heran. Ia melihat jelas tidak ada sosok apapun di dekat mbah Surti. Bahkan Jampi juga duduk di sofa ruang tamu, menunggu terapi mbah Surti selesai.
"Iya Ek, aku merasakan benar. Kakiku dipijat, punggungku rasanya hangat, kepalaku juga nyaman sekali sampai mengantuk rasanya. Tapi, aku segera terbangun karena melihat sekelebat sosok berbaju putih di kakiku", jelas mbah Surti. Bu Eki yang keheranan pun melihat ke arah Jampi dengan raut penuh tanya.
Jampi sendiri malah hanya mengedikkan bahu karena memang tak tahu apa yang dialami neneknya.
" Ya sudah lah nek, kalau itu nyaman, biarkan saja. Toh itu yang ibu minta kan?", ucap bu Eki untuk menenangkan mbah Surti.
"Oh, begitu. Ya iya sih. Ya sudah, tak teruskan saja ya Ek", jawab mbah Surti yang tidak mendapat jawaban dari pertanyaannya, namun merasakan perubahan positif dan solutif untuk keluhannya di usianya yang hampir 80 tahun ini.
Tanpa terasa, tujuh hari telah berlalu. Mbah Surti yang teratur terapi di kasur Jampi pun kini nampak lebih sehat.
" Wah, sudah sehat sekarang nek?", tanya Jampi yang penasaran, bagaimana hasil yang sebenarnya dirasakan mbah Surti.
"Iya cu, punggungku sudah ngga terasa terlalu sakit. Aku juga ngga lihat kabut hitam lagi setebal dulu", jawab mbah Surti yang kini mampu berdiri selama 30 menit meski bersandar tembok.
" Iya loh bu, lihat mata nenek", bisik Jampi kepada ibunya. Bu Eki yang penasaran pun mendekati mbah Surti dan memperhatikan bola mata mbah Surti dengan seksama. Ia melihat dua lubang membentuk angka delapan di masing-masing permukaan mata mbah Surti.
"Wah, iya loh bu. Lapisan putih-putih di bola mata itu kini berlubang", ucap bu Eki bahagia.
" Oh, iya kah? Pantesan sekarang aku bisa melihat itu", sahut mbah Surti sembari menunjuk toples makanan di seberang jalan.
"Itu, ada enam toples kan, yang tengah warnanya merah?", mbah Surti mencoba memverifikasi penglihatannya yang semula seperti tertutup kabut putih dan bahkan hitam pekat di saat tertentu.
Jampi dan bu Eki pun menoleh ke arah telunjuk mbah Surti. Mereka awalnya tidak percaya dan mencoba memfokuskan pandangan ke toko seberang rumah berjarak 17 meter.
Jampi dan bu Eki saling pandang, merasa heran. Jumlah toples dan warna merah di toples tengah semuanya benar.
" Kok bisa?", batin Jampi yang merasa heran. Ia yang berusia 30 tahun dan minus 1,5 saja harus memicingkan mata untuk melihat jarak sejauh itu. Namun mbah Surti melihat seolah itu hanya berjarak 2 meter saja.
"Iya nek, benar", ucap Jampi kepada mbah Surti yang menunggu respon mereka sedari tadi.
" Oh ya? Alhamdulillah", ucap mbah Surti begitu bahagia. Ia hanya fokus pada kenyamanan tulang punggung dan matanya. Ia pun tidak menyadari bahwa Jampi sebenarnya tengah menghitung berapa lama ia sanggup berdiri meski bersandar di dinding.
Keberhasilan Jampi mengobati mbah Surti pun tersebar ke lingkungan sekitar mereka. Nama Jampi yang sejak semula menjadi bahan ghibah pun, kini semakin ramai menjadi buah bibir.
"Bu Eki, apa benar Jampi sekarang bisa perdukunan?", tanya Erni, tetangga di kiri rumah Jampi.
" Dukun? Kata siapa Er?", heran bu Eki. Ia merasa hanya menceritakan bahwa mbah Surti sudah membaik hanya dengan wiridan di kasur milik Jampi.
"Ya, bu Eki tahu sendiri. Jampi kan sekolah di mana, bukan sarjana kesehatan kok bisa menyembuhkan orang. Itu kan praktik perdukunan namanya", sahut Erni kemudian berbisik ke telinga Nurul, teman rumpi satu geng di lingkungan mereka.
" Halah, mana ada. Kalau dukun, ya bawa-bawa kemenyan, bawa sajen, minimal makan bunga di malam jumat kliwon terapinya", sanggah bu Eki, tak terima putranya dikatakan sebagai dukun.
"Kok sewot sih bu. Kan kami cuma tanya. Kalau sewot begitu, jangan-jangan memang dukun", Erni masih kekeh dan mencari celah perdebatan.
" Halah, terserah kamu lah Er. Sudah kuberitahu apa yang terjadi. Perkara percaya atau nggak itu urusanmu sendiri. Toh anakku tidak mengganggu lingkungan juga", ucap bu Eki sembari berlalu, menutup gerbang pintu rumahnya. Meski bu Eki sudah pergi, ia masih mendengar sayup-sayup obrolan tetangga mengenai Jampi.
" Uh, tahu begini, aku ngga bakal cerita sama geng julid itu", dengus bu Eki sembari menepuk bibirnya. Ia hanya ingin agar putranya tidak lagi menjadi bahan ghibahan, menunjukkan bahwa putranya itu anak yang berguna bahkan spesial.
"Kenapa bu? Kok cemberut? Tadi habis beli jamu ke depan kan?", tanya Jampi penasaran melihat air muka ibunya yang tengah duduk di ruang makan.
" Heh, maafin ibu ya nak. Kamu malah jadi bulan-bulanan geng julid itu", jawaban bu Eki semakin membuat alis Jampi mengerut.
" Itu loh, mereka menganggapmu sekarang berprofesi sebagai dukun. Heh, ibu juga yang salah. Kenapa harus menceritakan keberhasilanmu mengobati nenekmu itu. Mereka sih, mulutnya nggak bisa bagus kalau bicara. Nyinyir saja bawaannya", kesal bu Eki.
"O, itu toh. Ya biarkan saja lah bu. Kan masih mulutnya yang nyinyir, bukan rektumnya. Coba kalau rektumnya yang ngomong, kan heboh sekampung", jawab Jampi, berusaha menenangkan hati ibunya. Ia tahu maksud baik ibunya dan paham dengan kebiasaan tetangga yang selalu mencari celah buruk keluarga.
" Bisa saja kamu. Rektum bicara ya di akhirat sana", ujar bu Eki sembari tertawa kecil mendengar candaan Jampi. Mereka pun berbincang ringan sembari menikmati kunir asem dan beras kencur di meja makan.
"Oh ya nak, kapan kamu menikah? Kan sudah sehat sekarang", celetuk bu Eki tiba-tiba, hampir membuat Jampi menyemburkan jamu yang ada di mulutnya.
" Engh, ibu nih, kebiasaan. Tunggu aku telan dulu nih jamunya, baru bahas yang unik-unik", elak Jampi, enggan langsung menanggapi pertanyaan ibunya.
"Halah, kan sudah biasa ibu tanyakan ini. Segera kerja, apa saja yang penting halal, cari pacar sana, masa cuma temen cowok doang yang main ke rumah. Risih dinyinyirin tetangga. Anak ibu kan ganteng, masa disangka homo cuma karena kamu hanya punya temen cowok yang datang ke rumah", jelas bu Eki, ingin segera mendapat menantu.
Jampi tidak segera menjawab sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bingung, apa yang harus dikatakan. Pekerjaan itu tidak sulit, bahkan lowongan kuli pun banyak. Ia juga cepat belajar, tidak sulit menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan. Tapi, lain halnya dengan mencari jodoh, bukan hal mudah.
" E, malah garuk-garuk cengengesan. Pokoknya, kalau kamu nggak segera punya calon, ibu carikan kenalan ibu. Banyak itu anak temen ibu yang nungguin kamu, tetangga juga ada, tinggal pilh satu, pacarin, ijab qabul, udah, tinggal buatin cucu buat ibu", jawab bu Eki cepat dan bersemangat.
Maklum, di usianya yang telah lanjut, ia ingin segera menimang cucu. Lebih penting, ia ingin putranya segera berumah tangga, punya peran yang lebih besar sebagai pemimpin.
"Iya bu, ibu tenang saja. Aku akan berusaha secepatnya. Tapi, jangan tergesa-gesa. Salah nikah nanti malah bahaya. Banyak tuh yang nikah asal asalan, belum setahun sudah pisahan", ucap Jampi agar ibunya tidak terlalu mendesaknya menikah dan memberi cucu.
" Ya harus, cepet lah. Ibu ini nggak tahu usianya sampai berapa. Kamu jangan lama-lama, udah 30 tahun, bujang, nanti berkarat itu, baru tahu rasa kamu. Bapakmu saja umur 25 sudah nikah, padahal kerjaan serabutan begitu. Mana dapatnya bidadari kaya ibu lagi", tutur bu Eki dengan percaya diri.
"Iya, ibuku yang cantik jelita, tiada duanya, tidak lapuk dimakan usia, cantik selamanya sampai menjadi ratu bidadari surga. Aduh!", jawab Jampi, membuat bu Eki memberi tamparan di pundak Jampi nampak menyakitkan.
Bu Eki dulu adalah pelatih pencak silat, tentu tenaganya tidak ringan meski telah menua dibanding perempuan seusianya.
" Udah, ibu tunggu. Dalam satu bulan, tidak ada progres, siap siap saja", ancam bu Eki sembari pergi meninggalkan Jampi yang masih meringis mengelus pundaknya yang terasa kebas.
"Huf, ibu ini makannya apa. Tangannya kecil dan halus, tapi tamparannya", lirih Jampi yang meringis, mengintip pundaknya di balik kain, telah memerah.
Ia hanya menggelengkan kepala dan terus mengelus pundaknya. Hari berlalu, Jampi yang mencari pekerjaan pun berhasil mendapat pekerjaan sebagai penjaga konter sekaligus teknisi.
" Alhamdulillah. Semoga ini menjadi awal yang baik", ucap Jampi yang mendapatkan pekerjaan pertamanya setelah lama melamar pekerjaan ke mana-mana.
Jampi adalah sosok pendiam, namun saat tertentu, ia akan menjadi obor dan tombak melawan ketidakbenaran. Banyak perusahaan yang menolaknya karena karakternya itu, tentu perusahaan butuh kestabilan daripada karyawan yang mudah beradaptasi namun suatu ketika mengacau ketenangan.
Pagi itu, Jampi masuk ke ruangan teknisi untuk pertama kali.
"Kamu anak baru ya?", tanya seorang senior kepada Jampi yang baru masuk di hari pertama kerja.
" O, iya mas", singkat Jampi, tidak terbiasa basa basi.
"Eh, dengar-dengar, kamu ijazahnya sarjana. Apa nggak sayang, sekolah tinggi cuma kerja begini?", tanya senior itu menelisik.
" Oh, biasa mas. Cuma kertas saja kok. Yang penting kerjanya halal, saya mampu, dan membuka pintu rezeki", jawab Jampi santai sembari menata barang di etalase berisi stok part pengganti dan peralatan teknis.
"O, gitu toh. Oh ya, aku Tino. Kamu siapa?", tanya senior tadi.
" Jampi mas", jawab pemuda itu pendek saja.
"Jampi? Jamu?", kekeh Tino mendengar nama pemuda di hadapannya sembari memegangi perutnya.
" Iya mas, kenapa memangnya?", heran Jampi melihat seniornya semakin terpingkal-pingkal dan menepuk pahanya berulang kali.
"Uh, uh, nggak apa-apa, nggak apa-apa, uh", sahut Tino sembari menghapus air mata yang keluar karena terlalu keras tertawa.
" Maaf ya, kepo. Maksudnya namamu Jampi itu apa?", tanya Tino yang terlihat mengulum senyum, mencoba menahan tawa.
Jampi pun mengobrol ringan, memperkenalkan diri, menjalin hubungan rekan kerja, sembari menambah wawasan tentang lingkungan kerjanya.
Hari itu pun berlalu. Dengan cepat, Jampi mempelajari dasar-dasar menjadi teknisi elektronik ponsel dan laptop lebih dalam, karena dia sudah terbiasa memperbaiki laptop. Bahkan, seniornya pun terkejut melihat progres Jampi yang begitu mengagumkan.
Ia tak heran, kenapa pemuda ini bisa begitu cerdas. Jelas gelar sarjananya bukan sekedar gelar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!