"Pak, pak, melawan penjajah taruhan nyawa saja berani. Masa dengan bu Eki saja ciut nyali?", ejek Jampi yang masih meringis menggosok pundaknya yang panas.
" Hus, ibumu itu. Bisa runyam nanti urusannya. Baru pindah rumah, sudah tidur di teras nanti ceritanya", ujar pak Joni sembari celingukan mengamati sekitar. Mereka asyik bercengkerama hingga malam begitu larut.
Keesokan subuh, Jampi yang hendak berangkat sholat berjamaah, dikejutkan oleh sosok berjubah hitam yang berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Wajahnya tidak terlihat jelas. Hanya sedikit bagian bibir yang pucat, dagu lancip dan pipi tirus dengan senyum seramnya.
"Kamu, siapa dan ada perlu apa?", tanya Jampi yang telah meremang bulu kuduknya.
Tanpa sepatah kata pun, sosok itu langsung mencengkeram kedua pundak Jampi dan membawanya pergi. Nia yang mendengar suara Jampi sedang berbicara pun mencoba melihat ke arah pintu rumah.
Tiada seorang pun di sana. Hanya pintu yang terbuka lebar.
" Nggak biasanya mas Jampi membiarkan pintu rumah terbuka saat pergi sholat jamaah ke masjid", lirih Nia sembari melangkah ke pintu.
Ia mencari ke seluruh area yang terjangkau indera matanya. Memang sepi, hanya ada suara jangkrik dan sayup-sayup terdengar suara adzan subuh.
"Kok bulu kudukku merinding ya?", gumam Nia sembari menutup pintu dan mengambil air wudhu untuk segera sholat subuh.
Jampi yang berada dalam cengkeraman sosok hitam itu merasakan sakit luar biasa hingga pingsan. Tak seperti saat dibawa jin tua alas Kumitir, ia hanya merasakan pandangannya gelap dan tubuhnya ringan.
Tak lama, mata Jampi pun terbuka. Ia tengah terbaring di sebuah kasur, di ruangan besar minimalis. Hanya ada meja rias dan lemari pakaian dari kayu jati yang terukir burung cendrawasih yang mekar ekornya.
" Ugh, aku dimana ini, ada apa denganku?", gumam Jampi. Ia merasakan tubuhnya tak bisa bergerak. Berat sekali sekedar menggerakkan jemari. Hanya matanya yang bisa melihat hampir ke seluruh ruangan.
"Kepalaku pusing sekali. Siapa itu tadi ya?", pikir Jampi, mencoba menngingat apa yang sebenarnya terjadi. Pemuda itu mencoba untuk duduk.
Sekuat tenaga ia mencoba. Akhirnya ia bisa duduk dan mencari dengan seksama, di mana sosok hitam yang tadi mencengkeramnya.
Lama tidak menemukan siapapun, hening, hanya sepoi udara sejuk menerpa tubuhnya, pemuda itu pun beranjak dari kasur.
" Sepertinya tadi aku mau jamaah sholat subuh", gumam Jampi. Ia mencoba berjalan ke sekitar ruangan namun tidak mendapati satu pun pintu masuk atau keluar.
"Ini ruangan apa, kok nggak ada pintunya?", heran Jampi bagaimana ia bisa masuk ke sini.
" Ah sudah lah. Lebih baik aku bertayamum dan sholat subuh di sini", pikir Jampi. Ia mengundi arah kiblat, karena tak ada kompas atau petunjuk lain akan arah kiblat.
"Hentikan!", tiba-tiba terdengar pekikan suara perempuan yang nyaring terdengar jelas di telinga Jampi saat ia hendak takbir, memulai sholat subuh.
" Siapa itu?", tanya Jampi dengan suara lantang. Ia mencari ke seluruh ruangan, mencari asal suara perempuan tadi. Sayangnya, cukup lama ia mencari, tak ada satu sosok pun yang muncul di hadapannya.
"Apa aku ada di alam jin seperti alas Kumitir waktu itu atau di mana ya?", duga Jampi. Ia mengingat saat dibawa jin tua ke rumah pohon sawo di alas Kumitir. Mirip tapi tak sama.
" Mana ini yang punya ruangan. Nggak beres ini. Main culik saja nggak pakai izin", gumam Jampi.
Ia kembali ke posisi awal dan bersiap bertakbir.
"Allahu...", tiba-tiba gempa yang Jampi rasakan di ruangan ini. Pemuda itu pun membatalkan niatnya sholat.
" Eh, apa-apaan tadi. Ruangan apa juga ini, kenapa aku nggak bisa melihat atapnya?", lirih Jampi yang baru sadar bahwa ia tak bisa melihat atap ruangan ini. Hanya semacam kabut hitam pekat. Meski tembok ruangan setinggi 4 meter, atapnya jelas terlihat terdiri dari kabut hitam tak berbau.
"Masa bodoh lah!", ujar Jampi bertekad sholat subuh.
" Allahu akbar!", ucap Jampi lantang. Ia tak menggubris pekikan perempuan yang mencegahnya, juga gempa yang menerpanya. Ia memejamkan mata, fokus dengan sholat subuhnya.
Usai salam, ia membuka matanya. Nampak sesosok perempuan sangat cantik, berkulit kuning langsat, mulus tanpa cacat, tengah berdiri di hadapannya.
Jampi terperangah melihat kecantikan sempurna perempuan jawa di hadapannya. Ia pun mendongak, ingin melihat detail wajah perempuan itu, sampai lupa belum membaca wirid setelah sholat.
Perempuan berjarik hijau kecoklatan setumit dengan aksen emas, menggunakan selendang putih terawang, tersampir indah di kedua bahu, menjuntai hingga lututnya. Kedua tangannya merangkul anggun siku dari lengan berlawanan.
Perempuan bermahkota emas itu tersenyum cantik nan menawan, hampir membuat Jampi meneteskan liur karena mulutnya terbuka, terpukau dengan keindahan wanita yang belum pernah ia lihat sepanjang hayatnya.
Glek
Jampi berusaha mengendalikan diri dan nafsunya, menelan liurnya agar tidak bercecer di dagunya.
Tubuh Jampi tiba-tiba berdiri, seakan ada kekuatan yang mengangkatnya, terasa sangat ringan.
"Kamu..", belum sempat Jampi meneruskan bicaranya, sosok perempuan cantik itu menyela perkataannya.
" Aku adalah jodohmu, istrimu, pasangan abadimu, wahai rajaku", ucap perempuan itu tanpa menggerakkan bibir. Suaranya terdengar jelas di telinga Jampi, namun anehnya, ia tidak bisa melihat gerak bibir perempuan itu sama sekali.
Jampi semakin heran mendengar jawaban perempuan cantik dengan rambut hitam panjang, tergerai hingga ke pahanya. Selendang putih yang dikenakannya tidak mampu menutupi kemolekan tubuh perempuan setinggi 165cm ini.
"Aku, aku sudah beristri. Kami baru menikah..", lagi-lagi perempuan itu tak membiarkan Jampi menyelesaikan ucapannya.
" Ssst. Cukup! Dia hanya fatamorgana, mahluk fana, lemah tak berdaya. Lihat lah aku. Apa yang kurang dariku? Aku sempurna, luar biasa, berkuasa, dan aku lah jodohmu yang sebenarnya", ucap sosok itu.
"Namamu..", Jampi hendak menanyakan identitas perempuan cantik di hadapannya. Namun, telunjuk lentik nan mulus perempuan itu segera menempel di bibir Jampi, mengisyaratkan agar ia tak banyak bertanya.
" Siapapun namaku, itu tidak lah penting. Yang paling penting saat ini, kamu adalah suamiku, kekasihku, rajaku, belahan jiwaku. Tolong miliki aku dan lakukan apapun yang kamu mau kepadaku.
Hanya ada kita berdua di sini. Tak ada satu pun yang akan mengganggu bulan madu kita berdua", ujar perempuan itu sembari melepaskan telunjuk yang berasa manis di bibir Jampi.
"Tapi, kapan kita menikah?", Jampi tak kuasa menahan pertanyaan yang begitu saja terlontar dari mulutnya.
" Sejak kamu lahir, kamu adalah jodohku. Kita sudah ditakdirkan untuk bersama, saling melengkapi bersama. Aku dan kamu, kita akan berjaya bersama selamanya.
Takkan ada kematian yang datang memisahkan kita. Takkan ada kesusahan dan kekurangan harta. Hanya ada bahagia dan suka cita dalam seluruh kehidupan kita. Kamu adalah surgaku, turuti lah aku dan sempurnakan aku menjadi surgamu, wahai rajaku", rayu perempuan itu sembari meletakkan tangan kanannya yang beraroma melati ke pundak kiri Jampi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments