INTROSPEKSI
Perhatian untuk Pembaca:
Cerita "Introspeksi" mengangkat tema cinta remaja yang penuh dengan emosi kompleks, termasuk perselingkuhan, introspeksi diri, dan perubahan pribadi. Kisah ini mencerminkan tantangan dalam hubungan yang mungkin dihadapi oleh banyak orang di usia muda.
Kami mengajak pembaca untuk membaca dengan bijak dan penuh pengertian. Setiap karakter dalam cerita ini menjalani perjalanan emosional yang penuh dengan dilema dan keputusan sulit. Ingatlah bahwa ini adalah fiksi, dan setiap pengalaman serta perasaan yang digambarkan mungkin berbeda dari kenyataan yang Anda hadapi.
Jika Anda pernah atau sedang mengalami situasi serupa, cerita ini diharapkan dapat menjadi cermin atau refleksi, tetapi bukan panduan. Selalu pertimbangkan untuk mencari bantuan atau nasihat profesional jika Anda merasa perlu.
Selamat membaca dan semoga Anda mendapatkan pemahaman baru melalui kisah ini.
...***...
Di sebuah kampus ternama, Aldo duduk di bangku panjang yang menghadap ke lapangan hijau di depan gedung perkuliahan. Udara sore itu sejuk, dan bayangan pepohonan menari-nari tertiup angin. Aldo menatap ke arah gedung tempat Farin sedang mengikuti kelas terakhirnya hari ini. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan hampir pukul lima.
Dia menunggu dengan sabar, meskipun sesekali dia melirik ponselnya, melihat pesan-pesan yang masuk, terutama dari grup chat yang diisi oleh teman-teman kampusnya.
Namun, tak satu pun dari pesan itu yang menarik perhatiannya seperti pesan dari seseorang yang namanya tak dia cantumkan di kontak cukup dengan emoticon hati putih. Aldo menarik napas panjang, mengabaikan pesan tersebut dan kembali memasukkan ponsel ke dalam saku.
Tak lama kemudian, Farin keluar dari gedung dengan langkah cepat. Wajahnya terlihat cemas dan terburu-buru, jelas ada sesuatu yang mengganggunya.
"Farin, sini!" panggil Aldo sambil melambaikan tangan. Farin menghampirinya dengan senyum yang dipaksakan.
"Aldo, maaf banget. Aku nggak bisa ikut makan malam ini," kata Farin, mengatur napasnya yang sedikit tersengal.
"Tugas kuliahku banyak sekali, dan aku juga harus mengatur jadwal pertemuan dengan beberapa organisasi yang aku ikuti."
Aldo mengerutkan kening. "Farin, kamu serius? Ini kan makan malam sama Mama. Kapan lagi kamu bisa ketemu dia?"
Farin terdiam, matanya berkedip sejenak, memikirkan alasan yang baru saja ia ucapkan. Dia tahu Aldo benar, tetapi beban tugas yang menumpuk di pikirannya terus mengganggunya. Namun, dalam hati kecilnya, dia juga merasakan kekhawatiran yang lebih dalam tentang kekhawatiran akan hubungan mereka yang sepertinya semakin menjauh karena prioritas mereka yang berbeda.
"Aku tahu, Aldo... tapi aku benar-benar harus fokus sekarang. Aku sedang mengikuti beasiswa ini, dan integritasku dipertaruhkan."
Aldo mendesah, lalu menggenggam tangan Farin dengan lembut. "Farin, kamu selalu saja sibuk. Aku mengerti kamu punya banyak tanggung jawab, tapi kapan kita bisa punya waktu untuk satu sama lain? Lagi pula, Mama sudah sangat menantikan pertemuan ini. Tolong, sekali ini aja?"
Farin menatap mata Aldo, melihat ketulusan dan sedikit harapan di sana. Dia merasa bersalah karena telah membuat Aldo kecewa, namun ia juga terperangkap dalam ambisi pribadinya. Dia mengangguk pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa beberapa jam tak akan menghancurkan jadwalnya.
"Oke, Aldo. Aku ikut."
Aldo tersenyum lebar dan menggenggam tangannya lebih erat. "Terima kasih, sayang. Kamu nggak akan menyesal."
Mereka berjalan menuju salah satu restoran yang berada tak jauh dari kampus. Restoran itu adalah tempat yang nyaman dengan dekorasi minimalis namun elegan. Di meja yang telah dipesan oleh Aldo, terlihat Mama Aldo sedang menunggu dengan senyum lebar di wajahnya.
"Farin, sayang! Senang sekali bisa bertemu denganmu lagi," kata Mama Aldo, memeluk Farin dengan hangat.
Farin membalas pelukan itu dan tersenyum, meskipun hatinya masih terasa berat oleh beban tugas yang menunggunya. "Senang bisa bertemu dengan Mama juga."
Mereka duduk bersama, dan suasana makan malam pun berlangsung dengan hangat. Mama Aldo tak henti-hentinya memuji Farin atas prestasi dan kesibukannya di kampus.
"Kamu benar-benar hebat, Farin. Aku bangga sekali Aldo bisa mendapatkan gadis sepertimu. Kamu pantas mendapatkan semua yang terbaik."
Farin tersenyum, tapi pikirannya terus melayang ke tugas-tugas yang harus diselesaikannya malam ini. Namun, ia berusaha tetap ramah dan menunjukkan rasa terima kasihnya.
"Terima kasih, Ma. Aku hanya berusaha yang terbaik, seperti yang selalu Mama ajarkan ke Aldo juga."
Setelah mereka menikmati makanannya, Mama Aldo mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. "Farin, aku ada sedikit hadiah untukmu," katanya dengan senyum lembut.
Farin terlihat terkejut. "Oh, Mama, tidak perlu repot-repot. Aku hanya senang bisa makan malam bersama."
Mama Aldo tertawa kecil. "Nonsense, sayang. Aku ingin memberi sesuatu yang bisa mengingatkanmu tentang malam ini."
Dia Membuka kotak tersebut, menampilkan sebuah gelang perak dengan ukiran halus di permukaannya. Farin tertegun melihat hadiah itu.
"Mama, ini sangat indah. Terima kasih banyak."
Mama Aldo menaruh gelang itu di pergelangan tangan Farin. "Aku berharap ini akan menjadi simbol betapa pentingnya kamu dalam hidup Aldo. Aku tahu betapa keras kamu bekerja dan betapa banyak yang kamu lakukan untuk Aldo. Ini adalah cara kecilku untuk menghargai mu."
Farin merasa terharu dan tak bisa menyembunyikan rasa syukurnya. "Aku sangat menghargai ini, Mama. Terima kasih atas semua dukungannya."
Saat mereka selesai dengan dessert dan kopi, Mama Aldo memeriksa jam tangannya. "Maaf, aku harus segera pergi. Aku punya penerbangan yang tidak bisa kutinggalkan."
Farin dan Aldo berdiri. "Aku harap penerbanganmu lancar, Mama. Terima kasih sudah mengundangku."
"Terima kasih juga sudah datang," jawab Mama Aldo, memeluk Farin sekali lagi.
"Ingat, jaga diri baik-baik dan teruslah menjadi pribadi yang hebat. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."
Farin mengangguk, dan Aldo memeluk mamanya sebelum akhirnya mereka berpisah. Sebelum pergi, Kak Yuri, kakak Aldo, menyempatkan diri untuk bergurau.
"Farin, jaga adikku baik-baik, ya. Kalau dia nakal, pukul saja. Dan Aldo, kamu juga, jangan lupakan Farin. Dia adalah harta yang berharga."
Aldo hanya tersenyum, sementara Farin merasakan sedikit keraguan dalam hatinya. Apakah dia benar-benar merupakan "harta yang berharga" bagi Aldo? Atau mungkin, hanya sekadar sosok yang mulai dia abaikan?
Setelah perpisahan yang hangat, Farin dan Aldo kembali ke meja mereka di restoran. Aldo mendadak merasa ingin ke toilet dan menitipkan barang-barangnya kepada Farin, termasuk ponselnya.
"Jaga ini sebentar, ya," kata Aldo sambil menyerahkan ponsel dan tasnya.
Farin mengangguk, menatap ponsel Aldo yang diletakkan di atas meja. Ia tidak berniat untuk memeriksa ponsel tersebut, tetapi tiba-tiba saja ponsel itu berdering, memunculkan notifikasi pesan yang tak henti-hentinya.
Awalnya, Farin tak merasa penasaran. Namun, ketika notifikasi itu terus-menerus muncul, ia tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia meraih ponsel tersebut dan membuka pesan yang masuk.
Pesan-pesan itu berasal dari kontak yang hanya ditandai dengan emoticon hati putih. Farin membuka salah satu pesan dan terkejut melihat isinya sebuah kata-kata mesra dan dukungan penuh kasih dari seseorang yang jelas bukan dirinya. Foto-foto Aldo dengan ekspresi penuh kasih sayang, disertai dengan emoticon kiss, membuat hati Farin hancur.
Seluruh dunia Farin seolah runtuh dalam sekejap. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang tiba-tiba memenuhi benaknya. Siapa perempuan ini? Sejak kapan Aldo berhubungan dengan orang lain di belakangnya? Apakah semua ini berarti dia tidak cukup bagi Aldo?
Air mata hampir saja menggenang di matanya, tetapi dia segera menahannya. Suara Aldo yang memanggil namanya dari belakang membuatnya terkejut. Farin buru-buru mengembalikan ponsel itu ke posisi semula dan berusaha menampilkan senyum yang tidak menyiratkan apa pun.
"Farin, kamu kenapa? Ada yang salah?" tanya Aldo, sedikit khawatir.
Farin menggeleng, "Nggak, nggak ada apa-apa. Cuma lagi mikirin tugas-tugas yang menumpuk."
Aldo tersenyum lega dan meraih ponselnya tanpa curiga. Mereka kemudian meninggalkan restoran, menuju jalan pulang dengan suasana yang terasa berat bagi Farin. Meski dia masih bersikap baik, pikirannya tak berhenti berputar.
Saat sampai di apartemennya, Farin segera meraih laptopnya dan mulai fokus mengerjakan tugas-tugas kuliahnya dengan cepat. Dia mencoba melupakan apa yang baru saja dilihatnya, melampiaskan segala emosinya pada pekerjaan. Namun, semakin dia berusaha melupakan, semakin kuat rasa sakit itu menyerangnya.
Dalam kesunyian malam, Farin berjuang dengan dirinya sendiri. Pikirannya terus-menerus bertanya-tanya apakah hubungannya dengan Aldo masih bisa diperbaiki, atau apakah ini pertanda bahwa dia harus melepaskan sesuatu yang sudah lama tidak lagi memberikan kebahagiaan. Di antara deadline tugas dan ambisinya untuk meraih beasiswa, Farin tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia hadapi kebenaran tentang perasaan Aldo dan arah hubungan mereka.
Malam itu, meskipun tugas-tugas kuliahnya selesai dengan sempurna, hati Farin masih belum menemukan jawabannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Susi Ana
semangat
2024-11-06
0
sabana
hadir @ᥫ᭡fa
2024-10-03
0
Haneulla
keren kak,, baru mampir kesini,, salam kenal kak.. 😊🙏
saling follow boleh kak🙏😊
2024-09-16
3