...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apa pun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Setelah sore mulai menjelang, langit yang sebelumnya biru cerah perlahan berubah menjadi jingga keemasan. Anak-anak yang bermain di halaman rumah Aldo satu per satu mulai berpamitan untuk pulang, membawa serta keceriaan yang mereka nikmati sepanjang hari. Farin, yang juga merasakan kebahagiaan dari pertemuan tersebut, mengemasi barang-barangnya dan bersiap untuk pulang.
Namun, saat ia hendak melangkah keluar dari rumah Aldo, sebuah suara yang familiar memanggilnya.
"Farin!"
Suara itu datang dari arah tangga, dan Farin segera mengenali siapa pemilik suara tersebut. Ia menoleh ke arah suara dan melihat kak Yura, kakak perempuan Aldo yang populer sebagai fotografer di mading sekolah, berdiri di anak tangga.
"Kak Yura?" Farin menyapa dengan sedikit terkejut, tidak menyangka akan bertemu dengan sosok yang selama ini ia kagumi di rumah Aldo.
"Iya, ini aku. Aku minta maaf tiba-tiba panggil kamu, tapi aku ada permintaan khusus nih," ujar kak Yura sambil berjalan turun dari tangga dan mendekati Farin.
"Aku ingin memotret kamu dan menulis kisahmu untuk dijadikan inspirasi di mading sekolah. Menurutku, prestasi kamu sangat luar biasa dan bisa menginspirasi banyak siswa lainnya."
Mendengar permintaan itu, Farin terkejut sekaligus merasa sangat terhormat. Dia selalu mengagumi hasil karya kak Yura di mading, dan sekarang, dia yang akan menjadi subjek dari karya tersebut.
"Serius, Kak? Tentu saja, aku mau! Ini kehormatan besar buat aku!" jawab Farin dengan antusias.
Kak Yura tersenyum senang melihat reaksi Farin.
"Aku tahu kamu pasti mau. Yuk, kita duduk sebentar di ruang tamu, ngobrol-ngobrol dulu sambil aku cari angle yang pas buat foto kamu."
Mereka berdua pun berjalan menuju ruang tamu dan duduk di sofa yang empuk. Kak Yura mulai bertanya tentang pengalaman Farin selama di sekolah, prestasi yang ia raih, serta motivasi di balik semangat belajarnya.
Farin dengan semangat menceritakan perjalanan hidupnya, bagaimana ia selalu berusaha keras demi keluarganya, dan betapa pentingnya pendidikan baginya.
“Menurutku, kamu benar-benar sosok yang tangguh, Farin. Tidak semua orang punya tekad sekuat kamu,” puji kak Yura sambil mengarahkan kameranya ke Farin.
Farin tersenyum malu. “Terima kasih, Kak. Aku cuma merasa kalau aku nggak kerja keras, aku nggak akan bisa membahagiakan orang tuaku. Itu yang selalu jadi motivasi aku setiap hari.”
Kak Yura mengangguk setuju. “Aku mengerti. Dan itu yang membuat kamu spesial. Banyak siswa di sekolah yang bisa belajar, tapi hanya sedikit yang punya alasan kuat sepertimu.”
Saat mereka tengah asyik berbicara, tiba-tiba seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan, membuat Farin sedikit terkejut. Wanita itu adalah ibu kepala sekolahnya, Bu Anisa. Farin segera berdiri dan menyapa dengan sopan.
“Selamat sore, Ibu,” sapa Farin sambil menundukkan kepala sedikit.
“Oh, Farin! Selamat sore juga. Senang sekali melihatmu di sini,” jawab Bu Anisa dengan senyum hangat.
“Bagaimana kabarnya? Kamu masih semangat belajar, kan?”
“Alhamdulillah, baik, Bu. Saya masih semangat, terutama setelah mendapat banyak dukungan dari sekolah dan keluarga,” jawab Farin dengan sopan.
Bu Anisa mengangguk, terlihat puas dengan jawaban Farin. “Bagus sekali. Ibu sangat bangga punya siswa seperti kamu. Tetap pertahankan beasiswa anak pintar itu, ya. Ibu berharap kamu bisa terus menjadi inspirasi bagi siswa-siswa lainnya.”
Mendengar dukungan tersebut, hati Farin berbunga-bunga. “Terima kasih banyak, Bu. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”
Kak Yura yang sejak tadi diam, tiba-tiba berbicara, “Oh ya, Farin, mungkin kamu belum tahu, tapi Bu Anisa ini sebenarnya adalah kakak dari ibu kami. Jadi, dia tante kami.”
Farin yang mendengar itu segera paham mengapa Bu Anisa bisa berada di rumah Aldo. “Oh, begitu. Pantas saja, Bu Anisa bisa ada di sini. Saya tidak menyangka ternyata ibu adalah bagian dari keluarga ini.”
Bu Anisa tertawa kecil. “Iya, Farin. Mungkin kamu baru tahu sekarang, tapi keluarga kami memang cukup dekat satu sama lain.”
Farin mengangguk-angguk sambil tersenyum, merasa terhormat bisa berada di tengah-tengah keluarga yang sangat dihormatinya. Di sela percakapan tersebut, Farin sempat melirik ke arah tangga dan melihat Aldo yang sedang berdiri di lantai atas, memperhatikan mereka dari kejauhan dengan senyum tipis di wajahnya.
Aldo tampak tenang, namun matanya berbicara banyak, seakan menyampaikan sesuatu yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri. Farin tidak bisa mengalihkan pandangan dari Aldo, bertanya-tanya apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pemuda itu.
Kak Yura yang menyadari keberadaan Aldo di atas tangga, langsung berseru dengan suara keras, “Aldo, kamu ngapain di situ aja? Ayo turun, gabung sama kita!”
Aldo hanya tersenyum dan menggeleng pelan, menolak ajakan kakaknya. “Nggak usah, Kak. Aku cuma mau lihat dari sini aja,” jawab Aldo santai.
Farin merasa ada yang aneh dengan sikap Aldo. Biasanya, Aldo tidak segan-segan untuk ikut bergabung, apalagi dalam situasi seperti ini. Namun kali ini, dia memilih untuk tetap di atas, seolah-olah ada yang menghalanginya untuk turun.
“Ya sudah, kalau kamu mau di situ aja, terserah,” kata kak Yura dengan nada menggoda, sambil melanjutkan obrolannya dengan Farin dan Bu Anisa.
Setelah beberapa saat berbincang, Farin merasa sudah waktunya untuk pulang. “Kak Yura, Ibu Anisa, terima kasih banyak atas waktunya. Saya rasa sudah saatnya saya pamit pulang.”
“Oh, sudah mau pulang? Padahal kita baru saja mulai ngobrol seru,” kata kak Yura dengan nada sedikit kecewa.
“Tapi nggak apa-apa. Lain kali kita bisa ngobrol lagi. Jangan lupa, aku masih butuh beberapa foto tambahan nanti.”
Farin tersenyum. “Tentu, Kak. Kapanpun Kak Yura butuh, saya siap. Terima kasih banyak sudah mau menulis kisah saya.”
Bu Anisa juga mengangguk. “Hati-hati di jalan, Farin. Ingat, tetap semangat belajar, ya. Kamu punya potensi besar, jangan disia-siakan.”
“Terima kasih, Bu. Saya akan ingat pesan Ibu,” jawab Farin sambil membungkuk sedikit, menunjukkan rasa hormatnya.
Saat Farin melangkah keluar dari rumah Aldo, ia kembali melihat ke arah tangga. Aldo masih berdiri di sana, menatapnya dengan senyuman yang tidak bisa diartikan. Farin membalas senyum itu dengan canggung, merasa ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka.
Setelah Farin pergi, Aldo turun dari tangga dan berjalan menuju ruang tamu di mana kak Yura dan Bu Anisa masih duduk. Kak Yura menatap adiknya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Kenapa kamu nggak mau gabung tadi, Do? Ada apa?” tanya kak Yura sambil memerhatikan ekspresi Aldo yang tampak berbeda.
Aldo duduk di sofa, menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku cuma... bingung aja, Kak. Semakin hari, semakin banyak hal yang nggak aku mengerti tentang diriku sendiri, tentang perasaanku.”
Bu Anisa yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara, “Aldo, kamu sedang dalam masa transisi menuju dewasa. Wajar kalau kamu merasa bingung atau tidak yakin. Tapi ingat, kamu selalu punya keluarga yang mendukungmu.”
Aldo mengangguk pelan, menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh ibu dan kakaknya memang benar. Tapi tetap saja, ada perasaan yang mengganjal di hatinya, terutama setelah melihat Farin tadi. Perasaan yang membuatnya bertanya-tanya apakah dia telah melakukan sesuatu yang salah, atau mungkin kehilangan sesuatu yang penting.
Kak Yura menyadari keraguan di wajah adiknya. “Aldo, kalau ada yang ingin kamu bicarakan, kami selalu ada di sini untuk mendengarkan. Apa ada hubungannya dengan Farin?”
Aldo terdiam sejenak, lalu akhirnya mengakui. “Mungkin, Kak. Aku nggak tahu pasti, tapi ada sesuatu tentang Farin yang membuat aku merasa... aneh. Mungkin karena aku merasa dia sudah berubah, atau mungkin karena aku sendiri yang berubah.”
Kak Yura tersenyum lembut. “Perubahan itu bagian dari kehidupan, Do. Dan kadang, perubahan itu bisa terasa menakutkan. Tapi jangan takut untuk menghadapi perasaanmu sendiri."
"Kadang, kita perlu waktu untuk benar-benar memahami apa yang kita rasakan. Apalagi ketika berhadapan dengan orang yang kita sayangi atau seseorang yang punya pengaruh besar dalam hidup kita." lanjut kak Yura.
Aldo menatap kakaknya dengan ekspresi penuh keraguan. "Aku nggak yakin, Kak."
Ibu Anisa, "Aldo, mendengarkan hati kecilmu memang tidak mudah, terutama ketika ada banyak hal yang berputar di kepala. Tapi penting untuk jujur pada diri sendiri. Kamu harus bisa membedakan antara rasa sayang yang tulus dan rasa bersalah yang membebani. Coba tanyakan pada dirimu sendiri, apa yang kamu inginkan untuk Farin? Apa yang membuatmu merasa terikat padanya?"
Aldo menghela napas, matanya menatap ke arah jendela yang terbuka, di mana cahaya senja yang mulai redup memberikan nuansa tenang pada ruangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Mamah Tati
Aldo punya keluarga yg mendukung
2024-08-20
2
Mamah Tati
Pasti senangnya dalam hati,, ketemu kak Yura,, si Farin motivasi nih,, inspirasi bagi semua anak sekolah,,
2024-08-20
3