NovelToon NovelToon

INTROSPEKSI

Sebuah Awal yang Terasa Berbeda

Perhatian untuk Pembaca:

Cerita "Introspeksi" mengangkat tema cinta remaja yang penuh dengan emosi kompleks, termasuk perselingkuhan, introspeksi diri, dan perubahan pribadi. Kisah ini mencerminkan tantangan dalam hubungan yang mungkin dihadapi oleh banyak orang di usia muda.

Kami mengajak pembaca untuk membaca dengan bijak dan penuh pengertian. Setiap karakter dalam cerita ini menjalani perjalanan emosional yang penuh dengan dilema dan keputusan sulit. Ingatlah bahwa ini adalah fiksi, dan setiap pengalaman serta perasaan yang digambarkan mungkin berbeda dari kenyataan yang Anda hadapi.

Jika Anda pernah atau sedang mengalami situasi serupa, cerita ini diharapkan dapat menjadi cermin atau refleksi, tetapi bukan panduan. Selalu pertimbangkan untuk mencari bantuan atau nasihat profesional jika Anda merasa perlu.

Selamat membaca dan semoga Anda mendapatkan pemahaman baru melalui kisah ini.

...***...

Di sebuah kampus ternama, Aldo duduk di bangku panjang yang menghadap ke lapangan hijau di depan gedung perkuliahan. Udara sore itu sejuk, dan bayangan pepohonan menari-nari tertiup angin. Aldo menatap ke arah gedung tempat Farin sedang mengikuti kelas terakhirnya hari ini. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan hampir pukul lima.

Dia menunggu dengan sabar, meskipun sesekali dia melirik ponselnya, melihat pesan-pesan yang masuk, terutama dari grup chat yang diisi oleh teman-teman kampusnya.

Namun, tak satu pun dari pesan itu yang menarik perhatiannya seperti pesan dari seseorang yang namanya tak dia cantumkan di kontak—cukup dengan emoticon hati putih. Aldo menarik napas panjang, mengabaikan pesan tersebut dan kembali memasukkan ponsel ke dalam saku.

Tak lama kemudian, Farin keluar dari gedung dengan langkah cepat. Wajahnya terlihat cemas dan terburu-buru, jelas ada sesuatu yang mengganggunya.

"Farin, sini!" panggil Aldo sambil melambaikan tangan. Farin menghampirinya dengan senyum yang dipaksakan.

"Aldo, maaf banget. Aku nggak bisa ikut makan malam ini," kata Farin, mengatur napasnya yang sedikit tersengal.

"Tugas kuliahku banyak sekali, dan aku juga harus mengatur jadwal pertemuan dengan beberapa organisasi yang aku ikuti."

Aldo mengerutkan kening. "Farin, kamu serius? Ini kan makan malam sama Mama. Kapan lagi kamu bisa ketemu dia?"

Farin terdiam, matanya berkedip sejenak, memikirkan alasan yang baru saja ia ucapkan. Dia tahu Aldo benar, tetapi beban tugas yang menumpuk di pikirannya terus mengganggunya. Namun, dalam hati kecilnya, dia juga merasakan kekhawatiran yang lebih dalam—kekhawatiran akan hubungan mereka yang sepertinya semakin menjauh karena prioritas mereka yang berbeda.

"Aku tahu, Aldo... tapi aku benar-benar harus fokus sekarang. Aku sedang mengikuti beasiswa ini, dan integritasku dipertaruhkan."

Aldo mendesah, lalu menggenggam tangan Farin dengan lembut. "Farin, kamu selalu saja sibuk. Aku mengerti kamu punya banyak tanggung jawab, tapi kapan kita bisa punya waktu untuk satu sama lain? Lagi pula, Mama sudah sangat menantikan pertemuan ini. Tolong, sekali ini aja?"

Farin menatap mata Aldo, melihat ketulusan dan sedikit harapan di sana. Dia merasa bersalah karena telah membuat Aldo kecewa, namun ia juga terperangkap dalam ambisi pribadinya. Dia mengangguk pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa beberapa jam tak akan menghancurkan jadwalnya.

"Oke, Aldo. Aku ikut."

Aldo tersenyum lebar dan menggenggam tangannya lebih erat. "Terima kasih, sayang. Kamu nggak akan menyesal."

Mereka berjalan menuju salah satu restoran yang berada tak jauh dari kampus. Restoran itu adalah tempat yang nyaman dengan dekorasi minimalis namun elegan. Di meja yang telah dipesan oleh Aldo, terlihat Mama Aldo sedang menunggu dengan senyum lebar di wajahnya.

"Farin, sayang! Senang sekali bisa bertemu denganmu lagi," kata Mama Aldo, memeluk Farin dengan hangat.

Farin membalas pelukan itu dan tersenyum, meskipun hatinya masih terasa berat oleh beban tugas yang menunggunya. "Senang bisa bertemu dengan Mama juga."

Mereka duduk bersama, dan suasana makan malam pun berlangsung dengan hangat. Mama Aldo tak henti-hentinya memuji Farin atas prestasi dan kesibukannya di kampus.

"Kamu benar-benar hebat, Farin. Aku bangga sekali Aldo bisa mendapatkan gadis sepertimu. Kamu pantas mendapatkan semua yang terbaik."

Farin tersenyum, tapi pikirannya terus melayang ke tugas-tugas yang harus diselesaikannya malam ini. Namun, ia berusaha tetap ramah dan menunjukkan rasa terima kasihnya.

"Terima kasih, Ma. Aku hanya berusaha yang terbaik, seperti yang selalu Mama ajarkan ke Aldo juga."

Setelah mereka menikmati makanannya, Mama Aldo mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. "Farin, aku ada sedikit hadiah untukmu," katanya dengan senyum lembut.

Farin terlihat terkejut. "Oh, Mama, tidak perlu repot-repot. Aku hanya senang bisa makan malam bersama."

Mama Aldo tertawa kecil. "Nonsense, sayang. Aku ingin memberi sesuatu yang bisa mengingatkanmu tentang malam ini."

Dia Membuka kotak tersebut, menampilkan sebuah gelang perak dengan ukiran halus di permukaannya. Farin tertegun melihat hadiah itu.

"Mama, ini sangat indah. Terima kasih banyak."

Mama Aldo menaruh gelang itu di pergelangan tangan Farin. "Aku berharap ini akan menjadi simbol betapa pentingnya kamu dalam hidup Aldo. Aku tahu betapa keras kamu bekerja dan betapa banyak yang kamu lakukan untuk Aldo. Ini adalah cara kecilku untuk menghargaimu."

Farin merasa terharu dan tak bisa menyembunyikan rasa syukurnya. "Aku sangat menghargai ini, Mama. Terima kasih atas semua dukungannya."

Saat mereka selesai dengan dessert dan kopi, Mama Aldo memeriksa jam tangannya. "Maaf, aku harus segera pergi. Aku punya penerbangan yang tidak bisa kutinggalkan."

Farin dan Aldo berdiri. "Aku harap penerbanganmu lancar, Mama. Terima kasih sudah mengundangku."

"Terima kasih juga sudah datang," jawab Mama Aldo, memeluk Farin sekali lagi.

"Ingat, jaga diri baik-baik dan teruslah menjadi pribadi yang hebat. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."

Farin mengangguk, dan Aldo memeluk mamanya sebelum akhirnya mereka berpisah. Sebelum pergi, Kak Yuri, kakak Aldo, menyempatkan diri untuk bergurau.

"Farin, jaga adikku baik-baik, ya. Kalau dia nakal, pukul saja. Dan Aldo, kamu juga, jangan lupakan Farin. Dia adalah harta yang berharga."

Aldo hanya tersenyum, sementara Farin merasakan sedikit keraguan dalam hatinya. Apakah dia benar-benar merupakan "harta yang berharga" bagi Aldo? Atau mungkin, hanya sekadar sosok yang mulai dia abaikan?

Setelah perpisahan yang hangat, Farin dan Aldo kembali ke meja mereka di restoran. Aldo mendadak merasa ingin ke toilet dan menitipkan barang-barangnya kepada Farin, termasuk ponselnya.

"Jaga ini sebentar, ya," kata Aldo sambil menyerahkan ponsel dan tasnya.

Farin mengangguk, menatap ponsel Aldo yang diletakkan di atas meja. Ia tidak berniat untuk memeriksa ponsel tersebut, tetapi tiba-tiba saja ponsel itu berdering, memunculkan notifikasi pesan yang tak henti-hentinya.

Awalnya, Farin tak merasa penasaran. Namun, ketika notifikasi itu terus-menerus muncul, ia tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia meraih ponsel tersebut dan membuka pesan yang masuk.

Pesan-pesan itu berasal dari kontak yang hanya ditandai dengan emoticon hati putih. Farin membuka salah satu pesan dan terkejut melihat isinya—kata-kata mesra dan dukungan penuh kasih dari seseorang yang jelas bukan dirinya. Foto-foto Aldo dengan ekspresi penuh kasih sayang, disertai dengan emoticon kiss, membuat hati Farin hancur.

Seluruh dunia Farin seolah runtuh dalam sekejap. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang tiba-tiba memenuhi benaknya. Siapa perempuan ini? Sejak kapan Aldo berhubungan dengan orang lain di belakangnya? Apakah semua ini berarti dia tidak cukup bagi Aldo?

Air mata hampir saja menggenang di matanya, tetapi dia segera menahannya. Suara Aldo yang memanggil namanya dari belakang membuatnya terkejut. Farin buru-buru mengembalikan ponsel itu ke posisi semula dan berusaha menampilkan senyum yang tidak menyiratkan apa pun.

"Farin, kamu kenapa? Ada yang salah?" tanya Aldo, sedikit khawatir.

Farin menggeleng, "Nggak, nggak ada apa-apa. Cuma lagi mikirin tugas-tugas yang menumpuk."

Aldo tersenyum lega dan meraih ponselnya tanpa curiga. Mereka kemudian meninggalkan restoran, menuju jalan pulang dengan suasana yang terasa berat bagi Farin. Meski dia masih bersikap baik, pikirannya tak berhenti berputar.

Saat sampai di apartemennya, Farin segera meraih laptopnya dan mulai fokus mengerjakan tugas-tugas kuliahnya dengan cepat. Dia mencoba melupakan apa yang baru saja dilihatnya, melampiaskan segala emosinya pada pekerjaan. Namun, semakin dia berusaha melupakan, semakin kuat rasa sakit itu menyerangnya.

Dalam kesunyian malam, Farin berjuang dengan dirinya sendiri. Pikirannya terus-menerus bertanya-tanya apakah hubungannya dengan Aldo masih bisa diperbaiki, atau apakah ini pertanda bahwa dia harus melepaskan sesuatu yang sudah lama tidak lagi memberikan kebahagiaan. Di antara deadline tugas dan ambisinya untuk meraih beasiswa, Farin tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia hadapi—kebenaran tentang perasaan Aldo dan arah hubungan mereka.

Malam itu, meskipun tugas-tugas kuliahnya selesai dengan sempurna, hati Farin masih belum menemukan jawabannya.

Retak dalam Kepercayaan

...»»————> Perhatian<————««...

...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apa pun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....

...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...

Selanjutnya

Farin duduk di meja belajarnya, menatap foto lama dirinya dengan Aldo yang masih menggunakan seragam sekolah. Dia tersenyum pahit dan berkata pelan kepada dirinya sendiri, "Kita terlihat begitu bahagia, bukan? Begitu muda, begitu yakin bahwa cinta ini akan bertahan selamanya."

Dia menyentuh bingkai foto itu, suaranya mulai bergetar, "Aku benar-benar percaya padamu, Aldo. Aku memberikan seluruh hatiku, seluruh perasaanku, dan apa yang aku dapatkan sebagai balasan?"

Air mata mulai jatuh di pipinya, tetapi Farin tetap melanjutkan, "Bagaimana bisa kamu menghancurkan semua ini? Apa aku tidak cukup baik? Apa aku terlalu sibuk dengan semua tugas kuliah dan organisasi ini sehingga kamu merasa perlu mencari orang lain?"

Dia mengingat kembali pesan-pesan di ponsel Aldo yang dia baca di restoran, "Siapa perempuan itu? Siapa dia yang bisa membuatmu begitu mesra? Apakah dia yang ada di pikiranmu saat kita bersama? Saat kamu tersenyum padaku, apakah kamu memikirkan orang lain?"

Farin menghapus air matanya dengan cepat, mencoba menahan isak yang semakin kuat, "Aku ini apa bagimu, Aldo? Aku sudah berkorban begitu banyak untuk kita, untuk masa depan kita. Dan sekarang, semua terasa sia-sia."

Dia menundukkan kepalanya, menatap meja belajarnya yang penuh dengan buku dan tugas kuliah, "Aku bahkan tidak bisa marah padamu. Aku terlalu sibuk, terlalu fokus pada kuliah, pada beasiswa, hingga aku mengabaikan mu. Tapi apakah itu alasan? Apakah itu benar-benar alasan yang bisa kamu gunakan untuk mengkhianati ku?"

Farin menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sendiri, "Mungkin ini salahku. Mungkin aku terlalu ambisius, terlalu ingin mencapai sesuatu yang besar dalam hidupku, dan aku lupa tentangmu. Tapi... bukankah kita seharusnya bisa melalui ini bersama?"

Dia memejamkan matanya sejenak, membiarkan rasa sakit itu mengalir, "Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Apakah aku bisa mempercayai lagi? Bagaimana jika semuanya hanya akan berakhir dengan rasa sakit yang sama?"

Lalu, dalam sekejap, Farin membuka matanya dan menatap bayangannya di cermin, "Tapi aku harus kuat. Aku tidak bisa membiarkan ini menghancurkan diriku. Mungkin kamu sudah berubah, Aldo, tapi aku juga bisa berubah. Aku bisa bangkit, meskipun itu berarti harus meninggalkanmu."

Farin menggenggam tangan di dadanya, mencoba mencari kekuatan dalam dirinya sendiri, "Aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan jatuh. Aku akan menemukan cara untuk bangkit, bahkan jika itu harus menyakitkan. Aku akan melanjutkan hidupku, dengan atau tanpa dirimu."

Sedangkan Aldo dia merasa cemas setelah pulang dari restoran. Kecemasan itu tidak hilang sejak Aldo mengantar kan Farin pulang ke Apartemen. Ia membayangkan betapa hancurnya Farin jika dia mengetahui hubungan Aldo dengan Kaira.

Aldo sangat khawatir Farin akan menyadari sesuatu dari sikapnya atau dari percakapan di restoran. Namun, saat berada di restoran, Farin tampak santai dan tidak menunjukkan tanda-tanda curiga. Aldo merasa lega, meskipun kecemasan itu masih menghantui pikirannya.

Di dalam mobil, Aldo mencoba untuk menenangkan dirinya. “Mungkin aku terlalu khawatir. Farin tidak menunjukkan tanda-tanda curiga, dan semuanya berjalan lancar di restoran. Farin pasti tidak tahu apa-apa,” gumamnya pada diri sendiri sambil melihat keluar jendela.

Rumah Nenek.

Setibanya di rumah, Aldo masih merasa ada beban di pundaknya. Dia duduk di meja, merenung sejenak sambil memandang foto dirinya bersama Farin. Foto itu diambil beberapa tahun lalu ketika mereka masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Senyuman Farin di foto tersebut seolah mengingatkan Aldo tentang betapa istimewanya hubungan mereka dulu.

“Aku sudah membuat kesalahan besar,” pikir Aldo sambil menghela napas. “Tapi Farin tidak pantas mendapatkan ini.”

Sambil mengusap foto itu dengan lembut, Aldo merasa hatinya terbeban. Meski begitu, dia mencoba menenangkan diri dengan berpikir bahwa dia harus tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda kekhawatiran kepada Farin.

“Aku harus membuat semuanya lebih baik,” tekadnya.

Aldo akhirnya memutuskan untuk menghubungi Kaira. Dia berharap berbicara dengan Kaira bisa mengurangi rasa cemasnya dan membuatnya merasa lebih baik.

Dengan tangan yang sedikit bergetar, Aldo mengambil ponselnya dan mulai mencari nama Kaira di daftar kontak. Dia menekan tombol panggil dan menunggu Kaira menjawab.

Saat Kaira mengangkat telepon, suara lembutnya langsung memberikan ketenangan bagi Aldo. “Halo, Kaira. Maaf, aku telpon malam-malam seperti ini. Aku hanya ingin mendengar suaramu.”

“Tidak apa-apa, Aldo. Aku senang kamu menelepon. Ada apa?” tanya Kaira dengan nada hangat.

“Tidak banyak. Aku cuma merasa khawatir dan butuh mendengar suaramu..."

Kamar Farin

Farin masih duduk di meja belajarnya, memeriksa buku catatannya. Matanya tertuju pada sebuah buku catatan yang bukan miliknya—ternyata itu adalah buku catatan Aldo, yang tidak sengaja tertukar dengan miliknya.

Farin menghela napas panjang. Perasaannya campur aduk, dan dia merasa terganggu oleh kejadian malam tadi. Pikiran tentang Aldo dan apa yang mungkin dia lakukan di belakangnya membuatnya sulit fokus.

Farin mengambil ponselnya dan mengetik pesan kepada Aldo.

Farin: “Halo Aldo, aku baru sadar kalau buku catatku tertukar dengan mu. Aku akan membawanya ke rumahmu nanti. Tolong beri tahu jika ada yang perlu aku lakukan.”

Farin mengirim pesan dan menunggu balasan. Dia melihat bahwa ponsel Aldo terlihat sibuk, yang menunjukkan Aldo sedang melakukan panggilan. Farin merasa sedikit cemas tetapi terus menunggu balasan.

Setelah beberapa menit, Farin menerima balasan singkat dari Aldo yang hanya berupa emoticon oke. Farin merasa aneh dengan tanggapan singkat tersebut. Aldo biasanya lebih perhatian dan komunikatif.

Farin: “Ada yang bisa aku bantu? Kamu sedang menelpon siapa?”

Farin menunggu dengan penuh harap. Akhirnya, Aldo membalas pesan Farin.

Aldo: “Maaf baru balas. Aku sedang telepon dengan kak Yura.”

Farin membaca pesan tersebut dan merasa agak lega karena setidaknya ada penjelasan, meskipun sikap Aldo terasa dingin dan tidak seperti biasanya. Farin merasa ada yang tidak beres dengan Aldo, terutama setelah melihat sikap dan respons singkatnya.

Farin berbicara pada dirinya sendiri. “Kenapa Aldo jadi begini? Bukankah dia biasanya lebih komunikatif? Ada apa sebenarnya? Aku merasa seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.”

"Apa itu nyata benar selingkuh?"

Farin memandang buku catatan Aldo yang masih ada di mejanya. Dia merasa bingung dan kecewa dengan perubahan sikap Aldo. Farin berusaha mengalihkan pikirannya dan fokus pada persentasi kuliah nya besok.

Farin menutup buku catatan Aldo. Dia merasa letih, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Pikirannya masih penuh dengan pertanyaan tentang Aldo, namun dia tahu bahwa memikirkannya lebih lama hanya akan membuatnya semakin lelah.

Dengan langkah perlahan, Farin beranjak dari meja belajarnya dan menuju ke kasur. Dia menarik selimut dan berbaring, berharap tidur bisa membantunya melupakan sejenak semua kekhawatiran yang menghantui pikirannya.

Namun, meskipun matanya terpejam, pikirannya tetap bekerja. Bayangan-bayangan pesan yang dia lihat di ponsel Aldo berputar di benaknya. Emoticon hati putih, pesan mesra, dan nama kontak yang tidak dikenalnya membuat hatinya terasa semakin berat.

Farin berbisik pada dirinya sendiri. “Aldo… apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa kamu benar benar telah selingkuh?”

Air mata perlahan mengalir di pipinya, meskipun dia berusaha keras untuk menahannya. Dia merasakan luka di hatinya semakin dalam. Farin menarik napas panjang, berusaha meredakan kegelisahannya.

Akhirnya, kelelahan mengalahkan kegelisahan. Perlahan-lahan, Farin mulai tertidur, meskipun pikirannya masih berputar di antara perasaan cemas dan kecurigaan. Tidur malam itu tidaklah tenang, tetapi setidaknya untuk sementara, dia bisa melarikan diri dari kenyataan yang membuat hatinya terluka.

Kembali ke Masa Sekolah 01

...»»————> Perhatian<————««...

...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apa pun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....

...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...

...Untuk memahami apa yang terjadi antara Farin dan Aldo sekarang, kita perlu kembali ke masa lalu, saat mereka masih duduk di bangku sekolah. Saat itulah semua ini dimulai, ketika sebuah perkenalan sederhana mengubah jalan hidup mereka....

...• 2021 Awal dari Segalanya •...

Farin terbangun dengan suara burung berkicau di luar jendela kamarnya. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah tirai, memberikan kehangatan yang lembut. Dia mengusap matanya dan melihat jam di meja samping tempat tidur. Masih pukul lima pagi, waktu yang biasa ia bangun.

Farin bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di dapur, ibunya, Ibu Mega, sudah siap dengan apron merah muda yang sering dipakainya saat membuat kue. Aroma manis dari adonan kue yang sedang dipanggang menyebar ke seluruh rumah.

“Selamat pagi, Nak,” sapa Ibu Mega sambil tersenyum ketika melihat Farin masuk ke dapur. “Bagaimana tidurmu?”

“Pagi, Bu. Tidurku nyenyak,” jawab Farin sambil mencium pipi ibunya. “Apa yang Ibu buat pagi ini?”

“Kue bolu dan roti manis. Ibu tahu kamu suka roti manis, jadi Ibu buatkan khusus untukmu,” kata Ibu Mega sambil memberikan sepotong roti kepada Farin.

“Terima kasih, Bu,” kata Farin sambil tersenyum. “Aku akan bawa beberapa kue ke koperasi sekolah seperti biasa, ya?”

“Tentu, Nak. Ibu bangga sekali melihat kamu selalu membantu Ibu,” kata Ibu Mega dengan penuh kasih sayang.

“Dari dulu, sejak kamu masih di SD, kamu selalu rajin bawa kue-kue ini ke sekolah untuk dijual di koperasi. Ibu masih ingat, waktu itu kamu yang minta sendiri, katanya mau belajar berdagang dan bertemu banyak teman. Sekarang lihatlah, kamu bukan hanya pintar belajar, tapi juga pandai berjualan. Ibu senang sekali melihatmu tumbuh seperti ini.”

Farin tersenyum dan mengambil beberapa kotak kue yang sudah dibungkus rapi dan memasukkannya ke dalam tas. Selain menyukai belajar, Farin juga menikmati berjualan di sekolah. Itu memberinya kesempatan untuk bertemu banyak orang dan melatih kemampuan komunikasinya.

Di Sekolah

Hari pertama di kelas 11 dimulai dengan rasa gugup dan antusiasme. Farin memasuki kelas barunya, melihat sekeliling, dan mengenali beberapa wajah yang dikenal. Kelas ini dipenuhi oleh siswa-siswa pintar, kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga berada. Namun, Farin tak terlalu memedulikan itu. Baginya, yang terpenting adalah bagaimana dia bisa terus belajar dan mencapai prestasi terbaik.

Di sudut kelas, Farin melihat Aldo. Dia tampak sedikit canggung dan tidak terlalu berbaur dengan yang lain. Farin mengenalnya sebagai anak yang pendiam dan jarang menonjol di kelas. Entah bagaimana, Aldo bisa masuk ke kelas ini. Mungkin karena dia anak orang kaya? Farin tidak terlalu memikirkan hal itu.

Saat pelajaran dimulai, Farin dengan cepat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Dia terkenal di sekolah karena kemampuannya yang luar biasa dalam matematika dan sains. Saat dia mengumpulkan tugasnya dengan hasil sempurna, teman-temannya memandangnya dengan kagum.

Sementara itu, Aldo masih bergulat dengan soal pertama. Dia tampak frustasi, berulang kali menghapus jawabannya dan mencoba memulai dari awal. Farin memperhatikan ini dari sudut matanya dan memutuskan untuk mendekati Aldo.

"Hei, kamu butuh bantuan?" tanya Farin dengan senyum ramah.

Aldo terkejut dan sedikit canggung. "Oh, uh, mungkin… ya, aku nggak bisa ngerjain soal ini."

Farin duduk di sebelahnya dan mulai menjelaskan cara menyelesaikan soal tersebut. Aldo mendengarkan dengan seksama, terpesona oleh kecerdasan dan kesabaran Farin. Sejak saat itu, ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam hati Aldo—rasa tertarik yang perlahan berubah menjadi cinta diam-diam.

...***...

Mengerjakan Tugas Kelompok di Rumah Aldo

Beberapa minggu kemudian, guru mereka memberikan tugas kelompok yang harus dikerjakan bersama-sama. Aldo kebetulan satu kelompok dengan Farin, bersama beberapa teman lainnya. Kesempatan ini membuat Aldo sangat senang. Dia melihatnya sebagai peluang untuk bisa lebih dekat dengan Farin, meskipun dia tahu ada banyak saingan yang juga tertarik pada gadis pintar dan baik hati itu.

“Bagaimana kalau kita kerjain tugas di rumahku?” usul Aldo saat mereka berdiskusi. “Aku punya tempat yang nyaman, dan kita bisa nonton film atau main game setelah selesai tugas.”

Beberapa teman langsung setuju dengan ide itu. Siapa yang bisa menolak kesempatan untuk menghabiskan waktu di rumah besar dengan fasilitas lengkap? Farin awalnya ragu, tapi karena mayoritas teman-teman setuju, dia pun mengikuti dengan syarat bahwa mereka harus menyelesaikan tugas terlebih dahulu sebelum bersenang-senang.

Hari itu, mereka berkumpul di rumah Aldo. Rumahnya besar, dengan halaman luas dan kolam renang di belakang. Semua orang tampak terkesan, kecuali Farin yang lebih fokus pada tugas yang harus mereka selesaikan.

Mereka duduk di ruang tamu yang luas dengan meja penuh makanan ringan. Farin langsung memulai diskusi tentang tugas yang harus mereka kerjakan, sementara yang lain lebih tertarik untuk melihat-lihat rumah.

"Ayo kita mulai, supaya nanti kita punya waktu buat santai," kata Farin tegas, tetapi tetap dengan senyum di wajahnya.

Aldo, yang duduk di sebelahnya, berusaha mengikuti instruksi Farin. Namun, dia merasa sedikit gugup. Ini pertama kalinya dia berada sedekat ini dengan Farin di luar sekolah.

"Farin, gimana kalau kita bagi tugas?" usul Aldo. "Kamu bisa ngerjain bagian yang paling sulit, dan kita semua bisa bantu di bagian yang lebih gampang."

Farin mengangguk. "Oke, tapi kita tetap harus kerja sama ya. Biar hasilnya maksimal."

Mereka mulai mengerjakan tugas dengan serius. Farin memimpin kelompok dengan baik, memastikan setiap orang berkontribusi dan mengerti apa yang harus dilakukan. Aldo terus mengamati Farin dari sudut matanya, mengagumi cara dia mengatur semuanya.

Setelah beberapa jam bekerja keras, mereka akhirnya menyelesaikan tugas mereka. Semua orang merasa lega dan siap untuk bersantai. Beberapa teman Farin langsung menuju ke kolam renang, sementara yang lain mulai menonton film di ruang keluarga.

Farin masih di ruang tamu, merapikan catatan dan memastikan semua tugas sudah benar-benar selesai. Aldo mendekatinya, membawa segelas jus.

"Kamu nggak mau ikut bersenang-senang?" tanya Aldo sambil menyerahkan jus itu kepada Farin.

Farin tersenyum dan mengambil gelas itu. "Aku akan ikut setelah ini. Aku cuma mau memastikan semuanya sudah beres."

Aldo duduk di sebelahnya, merasa ada kesempatan untuk bicara lebih banyak dengan Farin. "Kamu hebat, Farin. Aku nggak tahu gimana kita bisa ngerjain tugas itu tanpa kamu."

Farin terkekeh. "Terima kasih, tapi kita semua kerja keras kok. Lagipula, aku senang bisa bantu."

Ada jeda sejenak, di mana mereka hanya duduk dalam diam. Aldo merasa hatinya berdebar, tetapi dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Namun, dia tahu bahwa momen seperti ini jarang terjadi, dan dia ingin memanfaatkannya.

"Farin," Aldo akhirnya berbicara dengan suara pelan, "Aku... aku sebenarnya selalu kagum sama kamu. Kamu pintar, baik, dan... ya, aku suka cara kamu menghadapi semuanya."

Farin tersenyum kecil, tetapi sebelum dia bisa menjawab, salah satu teman mereka berteriak dari kolam renang, "Farin! Aldo! Ayo sini, kita main air!"

Farin tertawa dan berdiri. "Ayo, kita gabung sama yang lain."

Mereka berdua berjalan menuju kolam renang, di mana suasana berubah menjadi lebih santai dan menyenangkan. Farin segera disambut oleh teman-temannya yang langsung mengajaknya bermain air, sementara Aldo hanya berdiri di pinggir, memperhatikan dari kejauhan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!