Bola Kok Dalam Saku
Mata semua orang yang menyaksikan pertandingan bulu tangkis terbelalak seakan tidak percaya menyaksikan seorang anak dari wilayah yang tidak diperhitungkan mampu menyamai kedudukan. Wasit yang mengawasi kedua pemain itu dengan tangannya yang berkeriput menuliskan angka "17–20".
"Fuh!" dengan nafas yang tersenggal, Tamyiz memberikan servis datar kepada lawannya Antasena dari Akademi Olahraga terkenal di Jakarta. Mereka berdua sedang memperebutkan kursi wakil putra tunggal di kompetisi U-11 Aseana Open Competition.
Antasena membalas dengan pukulan cepat ke arah Tamyiz, bola kok yang melesat kuat itu kemudian dilambungkan. Keduanya saling bertukar strokes (pukulan dalam istilah bulu tangkis), apabila Tamyiz tertinggal 1 skor lagi dalam rally ini maka dia akan kalah karena Antasena telah menguasai gim sebelumnya dengan skor 5-21.
"Fang! tadinya kau bisa membuatnya mendapat skor afrika, jangan buat Ayahmu ini kecewa." Ayah Antasena dengan badan yang besar dan mata sipit tiba-tiba berdiri meneriaki anaknya.
Antasena yang mendengar perkataan itu justru tubuhnya seperti membeku, Tamyiz memanfaatkan kesempatan emas itu untuk mengakhiri rally dan menyeimbangkan skornya di akhir gim. Anak itu segera berbaring dengan nafas yang terengah-engah memanfaatkan waktu istirahat yang sebentar.
"Minum dulu Tamyiz," pelatihnya yang berasal dari Palembang menaruh minuman elektrolit khusus berwarna kuning di hadapannya.
"Tidak mau aku lelah, rasanya tidak kuat lagi." Tamyiz berkata sembari mengusap keringat dengan handuk kering. "Mengalahkannya satu gim itu sudah cukup Mr. Koch apal--"
"Apa yang cukup? kau harus menjadi wakil Indonesia di Asia Tenggara nanti. Apapun caranya, seperti yang aku bilang dari awal kompetisi. Kalau kau mau kalah kenapa tidak dari awal saja, sekarang cepat minumlah." Edwin Syah menyanggah ucapannya, pelatih yang sering disapa Mr. Koch itu menarik kuat tangan Tamyiz.
"Aduh sakit pak," balas Tamyiz sedikit kesal.
"Kau tidak mau bangun," ucap Mr Koch.
Tamyiz meminum cairan itu dengan berat hati, rasa sesak di dadanya semakin bertambah saat mengetahui bahwa orang tua dari lawannya datang untuk menyaksikan pertandingan anaknya, tetapi apa yang dirasakan Tamyiz saat ini berbeda dari sangkaannya.
—
"Kalau tidak ada banyak orang di sini sudah aku pukul kau! berapa banyak uang yang harus keluar hah, tahu seperti ini aku sekolahkan kau ke sekolah internasional. Bayarannya di sana malah lebih murah," ucap Song.
"Jangan marahi Fang, kasihan anak kita sedang lelah dimarahi," balas Linmei tidak terima.
"Semua kemauannya sudah dituruti, beli ini mau itu kurang apa lagi? sekolah pun sudah kita ikuti kemauannya. Sekarang lihat hasil didikan ala-ala Ibu. Tempat ini gagal di pelajaran pun gagal. Anak ini tidak punya bakat olahraga, bakatnya itu menulis porogapit."
"Memang ayah tahu apa soal mendidik anak, kau itu selalu saja sibuk di kantor! Sekedar meluangkan waktu dipakai semua untuk bertemu klien atau jangan-jangan mengajak jalan sekertaris," Linmei tidak mau kalah meninggikan suaranya.
"Hey jaga ucapan Ibu ya, aku ini lelah setiap hari mencari uang dan saat sedang di kantor tiba-tiba guru bahasa Inggrisnya menelpon. Kalau saja kabar yang disampaikan juara 1 nasional."
"Bapak Ibu harap tenang ya, Antasena harus memaksimalkan waktu istirahatnya." ucap Dayat yang melatih anak tersebut.
"Metode pelatihan macam apa ini? kenapa Antasena tidak diberi banyak minum, kenapa anakku terlihat murung dan agak pucat seperti ini wajahnya. Jangan main-main ya bang! aku akan tuntut pada polisi," sahut Linmei.
Dayat menunduk terdiam sambil menggelengkan kepala sedikit sementara Antasena hanya memandang ke bawah dengan tatapan sayu. Dia tidak ingin orang tuanya bertengkar dan ingin membuat Ayahnya merasa senang. Akan tetapi apapun yang ia telah perbuat seakan belum cukup.
Pit!
Peluit dari wasit berbunyi setelah 30 menit, untuk pertandingan U-11 memang terdapat pertambahan waktu yang lebih panjang mengingat kondisi fisik para pesertanya yang tidak boleh dibebani terlalu berat.
Tamyiz tertidur lelap karena saking lelahnya.
"Zzz ..." dia sedang berbaring sambil menggaruk
Brak!
"Hoy!" teriak Mr. Koch setelah memukul kepalanya.
"Aduh maaf pak," Tamyiz dengan keadaan lemas mulai berdiri.
"Maaf katamu? hehe ... tidak akan aku maafkan sebelum kau mewakili Sumatera Selatan. Buat semua orang bangga setelah pertandingan ini Tamyiz." Mr. Koch menepuk pundaknya.
"Roger that!"
—>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
luneshan
orang tuanya perlu di tabok biar sadar kayaknya
2024-07-23
2
👁Zigur👁
aku mampirrt
2024-07-18
1
yanti Adjaa
Novel terkeren yang pernah saya baca mengangkat tema dan kebudayaan masyarakat Melayu Palembang
2024-07-18
1