NovelToon NovelToon

Bola Kok Dalam Saku

Bab 1 - Final Kejuaraan Nasional

Mata semua orang yang menyaksikan pertandingan bulu tangkis terbelalak seakan tidak percaya menyaksikan seorang anak dari wilayah yang tidak diperhitungkan mampu menyamai kedudukan. Wasit yang mengawasi kedua pemain itu dengan tangannya yang berkeriput menuliskan angka "17–20".

"Fuh!" dengan nafas yang tersenggal, Tamyiz memberikan servis datar kepada lawannya Antasena dari Akademi Olahraga terkenal di Jakarta. Mereka berdua sedang memperebutkan kursi wakil putra tunggal di kompetisi U-11 Aseana Open Competition.

Antasena membalas dengan pukulan cepat ke arah Tamyiz, bola kok yang melesat kuat itu kemudian dilambungkan. Keduanya saling bertukar strokes (pukulan dalam istilah bulu tangkis), apabila Tamyiz tertinggal 1 skor lagi dalam rally ini maka dia akan kalah karena Antasena telah menguasai gim sebelumnya dengan skor 5-21.

"Fang! tadinya kau bisa membuatnya mendapat skor afrika, jangan buat Ayahmu ini kecewa." Ayah Antasena dengan badan yang besar dan mata sipit tiba-tiba berdiri meneriaki anaknya.

Antasena yang mendengar perkataan itu justru tubuhnya seperti membeku, Tamyiz memanfaatkan kesempatan emas itu untuk mengakhiri rally dan menyeimbangkan skornya di akhir gim. Anak itu segera berbaring dengan nafas yang terengah-engah memanfaatkan waktu istirahat yang sebentar.

"Minum dulu Tamyiz," pelatihnya yang berasal dari Palembang menaruh minuman elektrolit khusus berwarna kuning di hadapannya.

"Tidak mau aku lelah, rasanya tidak kuat lagi." Tamyiz berkata sembari mengusap keringat dengan handuk kering. "Mengalahkannya satu gim itu sudah cukup Mr. Koch apal--"

"Apa yang cukup? kau harus menjadi wakil Indonesia di Asia Tenggara nanti. Apapun caranya, seperti yang aku bilang dari awal kompetisi. Kalau kau mau kalah kenapa tidak dari awal saja, sekarang cepat minumlah." Edwin Syah menyanggah ucapannya, pelatih yang sering disapa Mr. Koch itu menarik kuat tangan Tamyiz.

"Aduh sakit pak," balas Tamyiz sedikit kesal.

"Kau tidak mau bangun," ucap Mr Koch.

Tamyiz meminum cairan itu dengan berat hati, rasa sesak di dadanya semakin bertambah saat mengetahui bahwa orang tua dari lawannya datang untuk menyaksikan pertandingan anaknya, tetapi apa yang dirasakan Tamyiz saat ini berbeda dari sangkaannya.

"Kalau tidak ada banyak orang di sini sudah aku pukul kau! berapa banyak uang yang harus keluar hah, tahu seperti ini aku sekolahkan kau ke sekolah internasional. Bayarannya di sana malah lebih murah," ucap Song.

"Jangan marahi Fang, kasihan anak kita sedang lelah dimarahi," balas Linmei tidak terima.

"Semua kemauannya sudah dituruti, beli ini mau itu kurang apa lagi? sekolah pun sudah kita ikuti kemauannya. Sekarang lihat hasil didikan ala-ala Ibu. Tempat ini gagal di pelajaran pun gagal. Anak ini tidak punya bakat olahraga, bakatnya itu menulis porogapit."

"Memang ayah tahu apa soal mendidik anak, kau itu selalu saja sibuk di kantor! Sekedar meluangkan waktu dipakai semua untuk bertemu klien atau jangan-jangan mengajak jalan sekertaris," Linmei tidak mau kalah meninggikan suaranya.

"Hey jaga ucapan Ibu ya, aku ini lelah setiap hari mencari uang dan saat sedang di kantor tiba-tiba guru bahasa Inggrisnya menelpon. Kalau saja kabar yang disampaikan juara 1 nasional."

"Bapak Ibu harap tenang ya, Antasena harus memaksimalkan waktu istirahatnya." ucap Dayat yang melatih anak tersebut.

"Metode pelatihan macam apa ini? kenapa Antasena tidak diberi banyak minum, kenapa anakku terlihat murung dan agak pucat seperti ini wajahnya. Jangan main-main ya bang! aku akan tuntut pada polisi," sahut Linmei.

Dayat menunduk terdiam sambil menggelengkan kepala sedikit sementara Antasena hanya memandang ke bawah dengan tatapan sayu. Dia tidak ingin orang tuanya bertengkar dan ingin membuat Ayahnya merasa senang. Akan tetapi apapun yang ia telah perbuat seakan belum cukup.

Pit!

Peluit dari wasit berbunyi setelah 30 menit, untuk pertandingan U-11 memang terdapat pertambahan waktu yang lebih panjang mengingat kondisi fisik para pesertanya yang tidak boleh dibebani terlalu berat.

Tamyiz tertidur lelap karena saking lelahnya.

"Zzz ..." dia sedang berbaring sambil menggaruk

Brak!

"Hoy!" teriak Mr. Koch setelah memukul kepalanya.

"Aduh maaf pak," Tamyiz dengan keadaan lemas mulai berdiri.

"Maaf katamu? hehe ... tidak akan aku maafkan sebelum kau mewakili Sumatera Selatan. Buat semua orang bangga setelah pertandingan ini Tamyiz." Mr. Koch menepuk pundaknya.

"Roger that!"

—>

Bab 2 - Anak Kampung, Sejarah Baru

Kedua pemain yang baru berumur belasan tahun itu mulai melakukan beberapa bentuk peregangan sebelum bertanding. Antasena memperhatikan Tamyiz yang hanya meloncat-loncat kecil dengan kaki kanannya sambil memukulkan raket ke udara.

"Gerakannya salah, tumpuan kaki juga salah" gumam Antasena. Hal yang paling dasar pun, lawan di hadapannya ini lupa. Akan tetapi saat Antasena memulai servisnya, perlahan ia tidak mampu mengimbangi permainan lawannya di atas lapangan.

Tek!

"Fokus nak! lawan terus mengincar sisi kanan smash kuat ke tengah," seru Dayat menyemangati Antasena yang mulai tertinggal dengan skor 1-4.

"Iya om ...," ucap Antasena melakukan seperti apa yang dikatakan oleh coachnya. Dia mampu mengungguli Tamyiz tapi hal itu tidak berlangsung lama, saat ia telah mendapat 9 skor ia kembali dihanyutkan oleh alur permainan lawannya.

Tubuh Tamyiz berkeringat hebat mencoba untuk menangkis beberapa smash tajam yang terarah ke bagian tengahnya. Jarak pandangnya seakan meluas, dan ia seperti terasa menyatu dengan raket. Tanpa sadar air liur menetes setelah ia mendapat 11 skor.

Tamyiz mengambil kembali kok yang tidak sengaja ditaruh ke dalam sakunya untuk memulai rally berikutnya.

"Waktunya istirahat adikku, rally akan dilanjutkan 10 menit lagi ya," Di nama tag wasit itu tertulis Dimas Suwidarko.

Woosh!

Tamyiz tetap memberi pukulan servis, kemudian menggaruk-garuk kepala sebelum kembali untuk meminum suplemen khusus atlet. Dia baru menyadari bahwa mulut dan lehernya terasa lengket karena air liur.

"nice game Tamyiz, tapi berhati-hati. Teknik, tumpuan kaki, stamina dan pengalaman lawanmu jauh berada di atas levelmu saat ini. Tamyiz harus manfaatkan reaksi dan vision untuk mendapat skor dari celah-celah sempit." papar Mr Koch.

"Seperti di awal round yang tadi," tanya Tanyiz.

"Betul tapi jangan seperti yang tadi. Tamyiz hanya fokus ke satu arah saja. Serang ke semua arah dengan teknik yang kau kuasai dengan seluruh kemampuan dan tenagamu. Kita anak kampung harus membuat sejarah baru."

Tamyiz mengangguk sambil meminum susu kotak rasa coklat yang membuat Mr. Koch naik darah. Sebagai pihak yang mengejar ketertinggalan, Antasena mendapatkan amukan dan cecaran dari Song.

"Apa sulitnya mengikuti arahan dari pelatih!" tegur Song.

"Pah sudah pah, anak kita sedang istirahat." Linmei mencoba menenangkan Suaminya.

"Ayah tahu kan pertarungan UFC antara Jon Jones melawan Lyoto Machida," tanya Antasena mencoba untuk memberikan analogi lewat olahraga lain.

"Apa hubungannya MMA dan bulu tangkis?" Song kebingungan dengan pertanyaan anaknya yang 'latah'.

"Machida berlatih setiap hari agar bisa mengalahkan Jon Jones, tapi bahkan latihan pun tidak cukup ... Aku sudah mengikuti semua arahan pelatihku, betul kan Om Dayat?" sahut Antasena.

"Betul tapi aku yakin di rally yang selanjutnya sampai akhir. Teknik dan stamina Antasena tidak tertandingi," ucap Dayat.

"Memang cari tadi tidak ada yang berhasil tapi jangan khawatir Ayah. Tamyiz sudah kelelahan dan aku akan membawa piala juara 1 nasional ke rumah," Antasena berusaha meyakinkan Ayahnya.

Antasena berjalan kembali ke atas lapangan dengan menampakan kepercayaan diri sementara Tamyiz tampak seperti orang kebingungan.

"Tamyiz jangan lupa main ke rumahku ke setelah ini," ujar Antasena.

"Ah iya tenang saja ... aduh kepalaku pening," balas Tamyiz.

"Sudah jelas siapa yang akan menang, menyerah saja daripada kau pingsan di tengah-tengah pertandingan. Kalau kalah di final ini kau tetap dapat medali perak kan?" Antasena menerapkan taktik untuk menjatuhkan mental lawan seperti yang disampaikan Dayat sewaktu istirahat.

"Orang yang banyak bercakap itulah orang yang lemah sebetulnya. Aku mana puas kalau kalah hari ini," balas Tamyiz sambil menjulurkan lidahnya.

"Hahaha kakimu saja sudah gemetar. Pulanglah Tamyiz, Ibumu saja tidak datang. Mana dia hayoh?" Antasena mencoba untuk merundung Tamyiz.

"Gosok gigi dulu anak manja ... Ibumu akan kecewa sebentar lagi. Kekalahan anaknya dilihat secara live," balas Tamyiz menatapnya dengan tajam

Final mulai sekarang!

Saat Darko mengucapkan kata itu, Tamyiz cepat memukul servis dan hanya dalam waktu sebentar telah mengakhiri rally karena Antasena yang tidak siap dan sebaliknya pada salah satu rally. Tamyiz tidak mampu menangkis beberapa lob dari Antasena yang membuat lawannya itu unggul.

Tek!

Nafasnya memburu pertanda tubuhnya semakin lemas karena Tamyiz telah mendekati batas fisiknya. Antasena dapat merasakan bahwa kemenangan ada di depan mata. Dia meloncat berjingkrak-jingkrak di hadapan Ayahnya dengan skor 16-19.

"Bawa pulang," Antasena mengulang beberapa kali ucapan itu. Berusaha memberi sugesti pada dirinya untuk menghadapi lawan yang sungguh tangguh.

Tamyiz memulai servisnya dan kali ini dia seakan hanyut dalam dunianya sendiri. Mr. Koch tersenyum penuh kemenangan karena yakin bahwa Tamyiz di momen yang menentukan ini, sedang berusaha melampaui batasnya.

Tek!

Tong!

Seperti di awal permainan, para penonton kembali terdiam tetapi karena alasan yang berbeda. Dayat merasa bahwa kemampuan vision Antasena sebagai seorang pemain bulu tangkis meningkat tajam, terbukti dari beberapa serangan telak Tamyiz yang dapat dipatahkan olehnya.

Tamyiz! Palembang!

Antasena! Jabodetabek!

Tek!

Sebuah lob yang sangat tinggi mengarah ke dekat garis keluar, Antasena bernafas lega karena kok itu pasti masuk ke dalam garis. Dia hanya perlu 1 skor lagi untuk menyamakan kedudukan tapi harapan kemenangan segera sirna.

Woosh!

Tamyiz tidak merasa marah apabila dia kalah dari Antasena, justru ia senang karena mendapat pengalaman dan teman baru. Hal yang wajar dalam suatu olahraga apabila seorang pemain atau sebuah klub unggulan semua orang memenangi kompetisi itu.

Tamyiz hanya ingin mengerahkan seluruh kemampuannya ke dalam satu pukulan. Antasena berharap bahwa kok itu akan jatuh ke luar garis, tetapi smash keras menukik tajam ke bagian kanan dekat garis keluar.

Pada hari itu, seorang anak telah berjaya mengukir sejarah baru.

—>

Bab 3 - Raket yang Digantung

6 tahun kemudian

Kampung Pasemah, Pagar Alam, Sumatera Selatan

Saat fajar mulai menyingsing, seorang pemuda tinggi sekitar 183 cm berusia 16 tahun tampak berlari santai mengelilingi kampung dengan hoodie dan celana olahraga berwarna hitam.

Langkahnya semakin cepat, dia melompati saluran irigasi kecil lalu menapaki jalan setapak di persawahan yang berjarak sekitar 30 dari rumahnya apabila berjalan kaki.

Dia melakukan menu latihan itu hampir setiap pagi, setelah selesai berlari ia mulai melakukan berbagai variasi sikap untuk kelentukan tubuh.

Penduduk kampung yang berpapasan dengan Pemuda itu sebenarnya merasa bahwa sikapnya berlebihan dan 'cari-cari saro' (menyusahkan diri sendiri). Meskipun demikian mereka tetap menghormati Tamyiz.

Setelah menyelesaikan hand stand sebanyak 10 kali, Tamyiz melempar hoodie miliknya ke tangga rumah panggungnya.

"Tamyiz jangan dibaling macam tu, kabe lah dewasa (Tamyiz jangan kau lempar seperti itu, kau sudah besar)." ucap Imah merasa kesal karena ada barang yang ditaruh sembarangan.

Byur!

Pemuda itu tidak sempat mendengarkan nasehat Ibunya. Dia terlebih dahulu telah melompat ke dalam sungai.

"Wah aku nak kemek ini (aduh aku mau pipis ini)" seru Jhoenza yang berada di dekatnya hendak membuang air. Dia adalah teman baik Tamyiz dan memiliki tubuh yang lebih pendek dibandingkan tinggi badan rata-rata anak-anak lainnya.

"Woy taun, jijik nian! (dasar sialan menjijikan sekali)" balas Tamyiz segera naik.

Tanpa menunggu lama terpancar kelegaan dari ekspresi wajahnya. Tamyiz menendangnya pelan di bagian kaki.

"Maaf hehe ... oh iya aku yakin kabe belum dedagh (dengar) khabar empai (baru) tini kampung," Jhoenza tampak penuh semangat.

"Cringey kabe tini," Tamyiz keheranan dengan rasa percaya dirinya yang meninggi.

"Hah ... cri--, kabe harus tahu 2 hari lagi akan ada keluarga dari Jakarta yang pindah ke kampung kita. Anak-anak dari sana pasti bening sebening kaca, aku sudah lihat video-video mereka di tiktok."

"Tapi Jho, aku tidak lihat ade ghumah empai yang dibangun?"

"Tamyiz pantas kabe ini tidak punya pacar. Dia masih satu engkah (generasi ke-5) dengan kita dan ghumah kosong itu diwariskan lalu ingin ditinggali karena mutasi tugas."

"Pasti dia melakukan sesuatu yang membuat atasannya marah," gumam Tamyiz sembari menggosok gigi.

Karawang, Jawa Barat

Tek!

Tong!

Sebuah pertandingan bulu tangkis biasa antar putri di dalam bangunan GOR berlangsung dengan sangat sengit. Masing-masing dari keduanya belum bersedia untuk mengakhiri rally dan tetap melayangkan pukulan mereka.

Mawar yang masih kesal dengan keputusan Ayahnya untuk pindah ke wilayah yang dianggapnya terpencil itu, meluapkan semua kekesalannya dengan meloncat tinggi kemudian mendaratkan smash yang membuahkan skor.

Masih ada sisa satu skor lagi sebelum Mawar dapat memenangkan round, tetapi lawannya itu lebih memilih untuk beristirahat.

"Sudah ya Mawar ... apa kau harus benar-benar pindah? kenapa tidak sewa kos saja dan lanjutkan ke SMA di sini." Nadya mengambil air minumnya. Gadis dari suku Sunda dengan tinggi mencapai lebih dari 180 cm itu memberikan handuk kering kepada Mawar.

"Yah seperti itulah orang tuaku Nadya, padahal kualitas sekolahan bagus di sini. Semua tersedia di tempat ini bahkan aku pun tidak mampu berbahasa daerahku sendiri. Jahat ... kenapa," tanpa sadar setetes air matanya jatuh.

Nadya diam sembari mendengarkan keluh kesah Mawar. Gadis itu lahir di Karawang dan sudah hampir 15 tahun tinggal di sana, tiba-tiba dia harus meninggalkan kota kelahirannya. Mawar tidak ingin kehilangan teman bersama dengan kenangan indah di dalamnya.

"Kau tahu aku bisa berbahasa Sunda tapi tidak terlalu paham dengan bahasa halusnya hihi, jadi terkadang canggung kalau berbicara dengan orang tua. Takut dibilang kurang sopan," ujar Nadya.

"Kau malah membahas hal itu, yang penting jangan lupakan aku ya nanti." Mawar mengakhiri keluh kesahnya dengan mengemasi barang-barangnya dan pulang ke rumah bersama Nadya.

Gadis itu mengundang teman-temannya yang lain untuk menginap di rumahnya, besok pagi dia dan keluarganya harus kemas-kemas barang.

Mawar sejenak memperhatikan raketnya yang digantung. Dia merupakan gadis yang memiliki tinggi badan 170 cm, pemain bulu tangkis favoritnya adalah Carolina Marin. Jika dibandingkan dengan pemain favoritnya, dia memiliki tinggi badan yang kurang lebih sama tetapi tipe badan yang berbeda.

Gadis itu mempunyai ukuran buah dada yang jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan teman-teman sepantarannya. Tiba-tiba Mawar merasakan sedikit nyeri di bagian punggung ketika memasak lenggang (varian pempek) untuk sarapan.

"Aduh duh, punggungku sakit lagi ..." dengus Mawar.

"Kau masih kesal ya dengan keputusan Ayah ... dengar nak Ibumu sudah tidak ada. Sudah waktunya bagi Ayah untuk berbakti bagi kampung halaman dan mencari pendamping hidup baru." ujar Sharjah sembari menuangkan cuka ke piringnya.

"Kenapa tidak cari pendamping di sini saja? Ayah aku mohon izinkan aku un--"

"Tidak boleh nanti ada laki-laki jahat yang mengganggumu. Semua orang harus memegang prinsip, misal orang Tiongkok. Mereka menikah dengan sesamanya. Prinsipku serupa dan Ayah sudah meretas ponselmu tadi malam," sanggah Sharjah.

"Ayah ini egois, padahal Ibu saja orang Ogan."

"Iya memangnya kenapa Anakku, lagipula kan serumpun di mana masalahnya?"

"Benar kata Kak Mawar, Ayah tidak baik punya prinsip seperti itu." ucap Alya, anak paling kecil dari tiga bersaudara.

Sharjah tidak mempedulikan kekesalan kedua anaknya itu, suka ataupun tidak suka Hamdan, Mawar dan Alya harus mengikuti kemauan Ayahnya.

Pandangan Tamyiz tertuju pada raket yang digantung di ruangan tamu. Benda yang menemaninya dulu ketika menjadi seorang juara nasional. Dia memegang gagang raket itu dan mengusap area senarnya. Terdapat kenangan yang manis maupun pahit di dalamnya.

Di bawah raketnya terdapat piala nasional yang terpampang mengkilap, sertifikat piagam dan foto-fotonya. Dia mengangkat salah satu foto yang memperlihatkan Tamyiz sedang duduk dengan wajah pucat di ranjang rumah sakit bersama keluarga Antasena yang menjenguknya.

"Anakku kabe masih nak main raket?" Imah ingin Tamyiz yang murung kembali ceria.

"Belum Umak, tidak akan ada orang yang bahagia kalau aku menang lagi." Tampak jelas kesedihan di matanya.

"Umak akan selalu ada mendukungmu, nak anjing mengg--"

Belum sempat Imah menyelesaikan perkataannya itu, Tamyiz sudah turun dari tangga. Wajahnya merah padam karena teringat dengan mejadian 6 tahun yang lalu. Dia lebih memilih untuk mewakili ekstrakulikuler sepak bola selama SMA dibanding mengasah lagi kemampuan badmintonnya.

Saat masuk ke dalam gudang untuk mengambil parang, tiba-tiba ia merasakan sakit di bagian kanan kepala dan bersandar sejenak. Tamyiz menunggu selama 30 menit sebelum menelpon Aziz si pengendara truk meskipun sakitnya hanya reda sedikit.

"Seperti biasa Aziz, kita begawe (bekerja) di kebun." suara Tamyiz seperti menahan sesuatu.

"Waduh Tamyiz bisa jadi kesulitan buang air itu akibat kalau kita tidak suka makan sayuran," Aziz segera menghidupkan mesin mobilnya dan segera menuju ke rumah Tamyiz.

Tened!

Klakson khas badut berbunyi, Aziz dan Jhoenza menunggu Tamyiz di depan rumahnya untuk memanen pisang di kebun peninggalan kakeknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!