Bab 12 - Zola si Anak Kampung

Ayam-ayam berlarian dekat sebuah rumah yang berada di bantaran Sungai Selangis Kecil. Seorang anak keluar dari rumahnya sambil mengusap matanya. Zola si Anak Kampung, itulah julukannya. Dia sempat dimarahi oleh Ibunya saat berpapasan di dapur karena bangun terlalu siang.

"Makan saja kabe tini!" suara perempuan yang agak serak itu terngiang dalam benak Zola.

Zola mengambil sendalnya dan keluar dari rumah untuk melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh Ibunya di dapur tadi.

"Pukul berapa ini...," gumam Zola tidak sempat melihat jam dinding. Andai uang hasil dari juara kecamatan yang diberikan kepada Ibunya digunakan untuk membelikannya ponsel, mungkin ia dapat bangun lebih awal karena fitur aplikasi alarm

Zola dalam diamnya merasa kesal dengan Ibunya. Hampir semua yang dilakukannya membuat sang Ibu marah, bahkan Zola pernah beberapa kali dilarang untuk bermain bulu tangkis karena dianggap buang-buang waktu.

Brak!

"Mana uangnya Imah! aku perlu untuk modal usaha, sekarang ... jangan pakai lama ya," samar-samar dari kejauhan Zola mendengar suara parau yang familiar di Rumah Tamyiz.

Anak itu ingin sekali meletakan bekal makan siang Ayahnya yang ia bawa dan mengintip, tetapi dia meredam niat itu dan kembali berjalan. Kalau saja uang yang pernah dia berikan pada Ibunya, dipergunakan untuk membelikannya sepeda.

"Apa kabe lihat-lihat mau aku tetak (tebas) hah!" bentak orang itu tiba-tiba keluar dari rumahnya dengan sebilah parang dalam genggamannya.

"Maaf!" Zola berlari ketakutan.

"Ubak tolong berhenti," Dilara bersimpuh di kaki Ayahnya sambil menangis.

"Masakanmu macam buntang (bangkai) Budak Taun," ucap Kepala Keluarga itu kemarahannya meluap-luap karena Imah belum kunjung memberikannya uang.

Brak!

"Kau ini bibit dari mana? bibit-bibit yang disemai dari keluargaku tidak ada yang sepertimu. Buruk rupa lemah seperti itu mengaku Anakku. Coba ka--," Kenan adalah nama orang yang menendang putrinya sendiri sampai terjatuh dari tangga.

"Taun kau!" bentak Tamyiz ingin segera menendang kepala Ayahnya sendiri.

Zola masih terus berlari sampai dia menghentikan langkahnya di tempat perahu-perahu penduduk kampung bersandar. Perbatasan kampung tempat Ayahnya menunggu bekal makan siangnya, jarak antara tempat itu dan tujuannya sekitar 15 menit kalau berjalan kaki melewati jalan kampung biasa.

"Astagfirullah hal azim. Abang Tamyiz ... ternyata benar yang dikatakan para tetangga." Zola menghela nafas cukup panjang. Dia baru menyadari keluarganya tidak seburuk apa yang anak itu sangkakan.

Sebuah kabar dapat dengan sangat cepat menyebar di kawasan perkampungan. Mungkin cerita pertengkaran di dalam bahtera rumah tangga Kenan dan Imah telah diketahui juga oleh beberapa kampung tetangga.

"Assalamualaikum! bujang kecik nak ke mano?" sahut Samanhudi menyapanya. Sejenak dia menghentikan pekerjaannya memasukan ikan dari keramba ke dalam plastik besar.

"Aku bukan anak kecil lagi Paman, sudah 10 tahun masih saja dipanggil bujang kecik," balas Zola menirukan kartun India yang pernah ditontonnya.

"Tahu sopan santun tidak? membalas salam itu wajib hukumnya." Samanhudi mengeringkan kakinya.

"Maaf Mang," Zola menundukan kepala.

"Kau ini maaf saja tapi terus mengulangi ... nak hantar makanan ke Ubak ya," tanya Samanhudi.

"Betul tadi aku dengar juga kalau menjelang sore, Ayahku akan berburu siamang (sejenis kera)." jawab Zola sebelum berpamitan.

"Ah si Sukaisih itu tidak memberitahu Istriku ...," batin Samanhudi.

"Tunggu aku nak ikut."

Zola merasa terpaksa harus menunggu Samanhudi sampai selesai memanen ikan. Setelah selesai dia mengikuti pria paruh baya berkepala separuh botak itu untuk mengambil parang dan ketapel lempar ke rumahnya.

"Ini punyamu, hati-hati satu gigitan saja harus suntik rabies." Samanhudi memberikan ketapel yang berukuran lebih kecil kepada dirinya.

"Eh Ubak dan Zola nak kemane?" ujar Aziz baru saja pulang sehabis merayakan kemenangan Jhoenza di rumahnya.

"Kau ini bukannya bantu Ayah, malah merayau."

"Mang gancang (cepat) nanti Ubak marah," ucap Zola khawatir setelah melihat jam di dinding.

Belum sempat Samanhudi memberikan nasehat kepada salah satu putranya itu, dia mengikuti Zola ke

jalan pintas untuk menuju ujung kampung yaitu dengan melewati jembatan kecil berupa pohon kelapa muda.

"Masih belum kering," gumamnya sembari melewati jalan kecil becek.

Sebelum waktu subuh, hujan turun agak lebat. Keduanya menyusuri jalan itu sampai ke muara sungai yang membagi aliran sungai menjadi dua.

Bagian kiri hulu mengalir ke Sungai yang lebih besar menuju ke Kabupaten Lahat, sementara di bagian kanan adalah rawa luas yang di dalamnya hanya terdapat beberapa rumah. Bagian rawa tertentu ditimbun dengan bebatuan, tanah dan pasir untuk dijadikan lahan pertanian atau perkebunan penduduk kampung.

Keduanya mendapati Ayah Zola yang sedang menyapu dedaunan di pepohon rambutan milik keluarganya. Asap yang dihasilkan dari pembakaran nanti akan mengusir hama-hama dari pemakan buah.

"Ubak ini makanannya," ucap Zola memberikannya bekal makan siang.

"Lama sekali datangnya, ini sudah jam 1. Ayahmu belum makan dari pagi. Paham kan," balasnya merasa kesal pada putranya. Beberapa bagian rambutnya dipenuhi oleh uban meskipun baru berumur 44 tahun.

"Belikan ponsel agar mudah dihubungi. Galoh (semua) teman pakai HP di kelas."

"Kau ini sudah sakau po--," dia tidak terima sedikit dibantah oleh anaknya.

"Assalamualaikum Herman. Kenape kami tak diajak?" tanya Samanhudi.

"Waalaikumsalam Hudi, aku sedang membakar sampah ini. Kau sedang tidak ada kesibukan kah?" jawab Herman.

"Masih tanya, cia (ayo) buru siamang."

"Baik tapi kau bantu aku bakar dedaunan ini dahulu. Lihat masih banyak."

"Logatmu sudah berubah ya," gumam Samanhudi. Herman sendiri sudah jarang terlihat di kampung, terkadang ia mengajak Sukaisih pergi bersamanya.

"Zola jangan malas cepat kau kumpulkan daun-daun di sana."

Anak itu mendecakan lidahnya. Dia tahu kalau Ayah dan Ibunya sebenarnya dapat dengan mudah membelikannya ponsel dan sepeda jika mereka mau.

Herman adalah seorang pengrajin furnitur kayu hias. Kemampuannya diwariskan dari generasi Buyutnya. Istrinya yaitu Sukaisih adalah penganyam kain songket. Kain yang digunakan mayoritas penduduk Sumatra Selatan ketika menghadiri acara pernikahan.

Menjelang sore ketiganya beranjak memasuki kawasan pepohanan yang lebih rimbun dengan mengayuh sampan.

"Ubak janji ya kalau aku menang Provinsi, belikan Zola HP," anak itu menatap Ayahnya dengan serius.

Herman tertawa kencang, "Zola ... main bulu tangkis itu tidak ada uangnya. Lihat teman Ayah dari Palembang, dia merantau dari jauh untuk menjadi atlet PON."

"Apa hubungannya dengan aku Ubak, kenape nak banding-bandingke. Kalau tidak dicoba mana mungkin akan pernah tahu?"

"Sekarang uang pun selalu meminjam dari kawannya setelah umurnya 40 tahun. Lebih baik kabe bantu Ubak angkat nanti dikasih jajan ya." lanjutnya tidak mempedulikan ucapan Zola.

"Kabe kenape tertawa tadi Herman, lucu kah?" Samanhudi membela Zola.

"Tidak apa-apa," Herman memberikannya isyarat dari sorot matanya agar tidak ikut campur.

"Hoahem nyam nyam ...," pandangannya teralih pada sesuatu yang berwarna hitam di antara pepohonan rawa.

Samanhudi mempersiapkan batu di ketapelnya. Herman yang paham dengan ancang-ancangnya mulai mempercepat kayuhan perahu.

"Mang di mane siamangnya?" Zola merasa kebingungan dia tidak melihat.

Brak!

Oak!

Kawanan siamang menjerit saat salah satu dari mereka diserang. Samanhudi segera melesatkan batu peluru yang berikutnya. Dia dapat merasakan beberapa lesatan dari ketapelnya tepat mengenai sasaran.

Byur!

"Wah aku ingin mencoba juga," Zola ikut melesatkan ketapelnya. Dia berhasil menumbangkan salah satu kera berukuran besar.

Duk!

Byur!

"Bullseye kalau kata bule," puji Samanhudi. Kera yang terapung tidak bergerak itu adalah buruan pertama Zola.

"Itu artinya apa Mang," tanya Zola sembari mengambil bekas buruannya.

"Aku saja lupa apa artinya hehe nanti tanya Aziz saja," jawab Samanhudi.

Herman tiba-tiba merasakan firasat buruk saat melihat kawanan biawak berenang. "Parangnya Zola! awas kalau ...."

Bruk!

"Aaarggghhh," tiba-tiba darah dari kepala Herman mengucur deras.

"Ubak!" Zola merasakan ketakutan.

Benar saja salah satu siamang yang paling besar melemparkan batu di tangannya kemudian meloncat dari belakang untuk menggigit Zola. Samanhudi menahan kera besar sembari menggunakan tangannya sendiri demi melindungi Zola.

"Ggghhh!" hewan itu dengan ganasnya menggigit tangan Samanhudi sampai berlumuran darah. Kera itu meronta-ronta hendak membuat tangannya putus.

"Herman parangnya! aaarrrggghhh," Samanhudi meringis kesakitan.

Brak!

Gigitannya lepas saat Samanhudi menendang keras kera itu. Dia melemparkan batu saat hewan tersebut mencoba melarikan diri dengan memanjat pohon.

Duk!

Byur!

Herman membiarkan saja kera yang berenang dengan keadaan lemas itu. Tangan yang tergigit terkoyak parah sampai salah satu tulangnya menembus kulit. Mereka harus segera menghentikan perburuan dan kembali ke kampung.

—>

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

👏👌..,,

2024-07-07

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!