Tepat pukul sembilan malam Devin sampai di rumah. Kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya. Devin dulu selalu pulang ke apartemen saat masih menjalin hubungan dengan Jesi. Sayangnya, cerita cinta mereka sudah kandas beberapa bulan lalu.
Devin selalu berusaha mencari kabar Jesi. Namun, tidak dia temukan. Usahanya mengutus seseorang untuk mencari informasi tentang Jesi tak membuahkan hasil.
Entah dimana keberadaan wanita pujaan hatinya sekarang?
Devin masih memikirkan kehamilan Jesi, dia tak tega membayangkan Jesi sendirian menghadapi kehamilan. Devin sering merasa menjadi seorang pria yang sangat pengecut, merasa seperti lelaki yang ingin lari dari tanggung jawab.
Sungguh sedikitpun tak ada niatan Devin untuk melakukan itu semua. Kepergian Jesi tanpa sepengetahuan Devin, serta ancaman Hans yang tak akan memberikan sepeserpun hartanya untuk Devin jika memaksa menikahi Jesi.
"Gantengnya Ibu sudah pulang." sapaan Marisa membuyarkan lamunan Devin. Marisa begitu bersemangat menghampiri putra semata wayangnya yang nampak lusuh sepulang kantor.
"Iya Bu." sahut Devin dengan nada bicaranya yang lemah akibat menahan kalut memikirkan Jesi.
"Capek ya? Di kantor banyak kerjaan." tanya Marisa sambil membelai dahi putra kesayangannya.
Marisa masih saja memperlakukan Devin seperti anak kecil. Mungkin faktor anak satu-satunya yang membuat Marisa selalu bersikap seperti ini pada Devin.
"Devin kangen Jesika Bu." ucapan Devin nampak memelas di samping Marisa. Sesaat wajah Marisa terdiam tanpa ekspresi saat mendengar putranya menyebutkan nama Jesika.
Marisa tidak mau mencampuri urusan Devin terlalu dalam. Marisa sadar harus bisa menjadi penengah diantara anak dan juga suami. Satu sisi Marisa sangat menyayangi Devin. Tapi, di sisi lain Marisa juga tidak ingin perusahaan yang dibangun suaminya akan hancur begitu saja oleh ayah Jesi.
Sebenarnya Marisa juga tidak menyukai hubungan Devin dengan Jesika. Hanya saja, dia tidak ingin terlihat sarkas di hadapan Devin. Sikap yang ditunjukkan Marisa berbeda dengan Hans yang benar-benar terlihat sarkas menentang hubungan Devin dengan Jesika.
"Ikhlaskan saja Vin apa yang sudah terjadi. Ibu mengerti perasaanmu saat ini sangat sulit untuk melupakan Jesika." tutur Marisa mencoba menenangkan hati Devin.
"Ayah terlalu egois. Dendamnya pada ayah Jesi dia limpahkan sepenuhnya pada Devin." kilah Devin mencoba melakukan pembelaan diri di hadapan Marisa.
"Devin, usiamu sudah dewasa Nak. Harusnya kamu sudah mampu berpikir luas." wanita paruh baya itu masih nampak tenang mendengar protes Devin. Kemudian Marisa meraih jemari Devin, berusaha menguatkan kembali putra semata wayangnya.
"Allah itu maha segala rencana Nak, bisa jadi hati kamu sekarang hanya untuk Jesika. Tapi, besok lusa mungkin sudah berbeda. Allah itu maha membolak-balikkan hati Vin." kalimat panjang yang diucapkan Marisa memang ada benarnya. Kemudian Marisa membawa Devin kedalam pelukannya. Pelukan hangat seorang ibu yang mampu mendamaikan hati Devin.
"Iya Bu. Semoga Devin bisa melalui masa ini." ucap Devin yang masih bergelayut manja dalam pelukan Marisa. Tatapan Devin kosong, seperti tidak ada semangat untuk hidup.
•••
Devin kini sudah nampak segar dengan kaos oblong hitam dan celana jeans selutut berwarna dongker. Pria itu sudah tidak selusuh tadi saat bersama Marisa.
Devin duduk melamun di taman belakang rumah, dia asyik menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok. Angin malampun bertiup lembut menerpa wajah tampan Devin. Sementara pikiran Devin masih tetap pada Jesika, apalagi sekarang Devin sudah tidak mempunyai aktivitas apapun, membuat hati Devin semakin merindukan Jesika.
"Belum tidur?" suara Hans membuyarkan lamunan Devin. Lalu Devin hanya menggelengkan kepala, tanpa menjawab apapun. Hans ikut duduk di samping Devin, jemarinya meraih sebatang rokok milik Devin.
"Sejak kapan Ayah balik merokok?" melihat tindakan Hans barusan membuat Devin terkejut. Setahu Devin selama tiga tahun terakhir ayahnya sudah berhenti merokok.
"Sejak kamu sering melamun seperti ini." jawaban Hans terdengar sangat enteng di telinga Devin.
"Sampai kapan kamu mau menyiksa diri hanya karena Jesi?" semua ucapan Hans semakin menyudutkan Devin. Sementara Devin hanya diam, dia tak ingin berdebat lagi dengan ayahnya. Sudah terlalu sering Devin berdebat tentang hubungannya dengan Jesi. Rasanya Devin sudah sangat bosan jika harus meributkan hal yang sama.
"Ayah jamin keadaan Jesi akan baik-baik saja. Ayah tidak meminta Jesi untuk meggugurkan kandungannya." ucapan Hans sangat mengerti akan isi pikiran Devin. Jauh dalam lubuk hati Devin banyak protes keras terhadap Hans.
"Ayah please, dimana Jesi sekarang?" pertanyaan Devin sudah sangat mengerti kalau Hans sudah menyembunyikan Jesi darinya.
"Suatu hari nanti Ayah izinkan kamu menemui Jesi beserta anak haram kamu." ucapan Hans sudah tak mampu dibendung lagi. Terlalu bencikah Hans akan perbuatan Devin?
Menurut Hans tindakan Devin begitu bejad. Gaya pacaran mereka terlalu bablas.
"Apa syaratnya Yah? Katakan!" rupanya Devin sudah tak kuasa menahan banyak pertanyaan di benaknya. Devin langsung mengerti cara berpikir ayahnya. Pasti akan ada keinginan ayahnya yang harus dia penuhi jika menginginkan untuk bertemu kembali dengan Jesi.
"Ayah ingin kamu menikah dalam waktu dekat ini Vin." ucap Hans mengungkapkan keinginannya untuk masa depan Devin. Tentunya Hans menginginkan Devin menikah dengan wanita lain, bukan dengan Jesi pastinya.
"Adriana?" Devin langsung menyebutkan nama Adriana setelah Hans meminta Devin segera menikah. Devin seolah mengerti maksud dan tujuan ayahnya menemaninya di teras belakang rumah.
Hans tersenyum melihat reaksi Devin yang langsung menyebut nama Adriana. Menurut Hans, Devin semakin pandai membaca pikirannya yang ingin menjodohkannya dengan Adriana.
•••
Semoga kalian suka ceritaku. Jangan lupa klik like ya guys 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments