Sweet Revenge

Sweet Revenge

Berusaha Menerima

Indhira memarkirkan mobil Honda Jazz keluaran tahun 2015 warna merah di depan sebuah coffe shop kecil yang cukup ramai. Ia menghela napas panjang sebelum membuka pintu mobil yang selalu menemaninya. Walau mobil itu tidak baru, kondisinya cukup terawat. Ia berjalan melewati beberapa pasangan muda mudi yang hanya sekedar nongkrong atau ngobrol.

"Ramai mbak?" sapanya

"Eh mbak Dhira. Alhamdulillah iya mbak."

"Bentar aku ganti baju dulu. Nanti aku bantu."

"Nggak usah mbak, sudah ada mas Raga."

"Nggak apa - apa. Dari pada nanti kewalahan." Indhira naik ke lantai atas dan segera mengganti bajunya dengan kaos dan celana yang lebih santai. Cukup lama ia berdiri di depan kaca sebelum memutuskan untuk turun membantu mbak Sri dan mas Raga. Usaha coffe shop nya itu baru ramai satu tahun belakangan ini.

Indhira cukup cekatan karena menurutnya pelayanan yang cepat akan membuat coffe shop nya banyak di datangi custumer. Sekitar jam empat sore ia baru bisa duduk bersantai.

"Ini mbak saya buatkan coklat panas."

"Makasih ya mbak Sri." Indhira menikmati segelas coklat panas yang sangat menggoda. Walaupun ia membuka sebuah coffe shop pada dasarnya ia lebih suka coklat.

"Banyak pikiran mbak?"

"Kok mbak Sri tahu?"

"Heheheh.. Kan saya sudah dua tahun ikut mbak Dhira."

"Eh jangan salah.. Ada lho mbak yang sudah dua tahun bekerja tapi sama sekali tidak mengenal satu sama yang lain."

"Karena mbak Indhira orangnya simple, ramah dan perhatian." Sri menarik kursi dan duduk di depan Indhira.

Indhira menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan - pelan. "Ibu memintaku untuk tinggal di rumah." ucapnya lirih.

"Lah malah bagus dong mbak. Bisa berkumpul keluarga."

"Itu menurutmu mbak. Kalau aku beda."

"Maksudnya?"

"Aku kurang suka dengan suami baru ibu. Apalagi ia papa dari Zora temanku satu kampus dulu. Dan yang aku tahu Zora itu tidak menyukai papanya menikah lagi." Indhira menghela napas. "Coba mbak bayangkan bagaimana tidak nyamannya jika aku tinggal di sana."

"Tapi mbak, tinggal di ruko terus apa baik? Dari segi fasilitas, keamanan, kenyamanan?"

"Nyatanya sudah satu tahun aku tinggal di sini baik - baik saja. Aman, sehat dan nyaman."

"Tapi apa mbak nggak kangen sama ibu? Apa mbak nggak kesepian?"

"Selama ibu masih tinggal dengan pria itu lebih baik aku di sini saja."

"Yah saya doakan saja mudah - mudahan keputusan ini yang terbaik untuk mbak Dhira."

Indhira kembali menyeruput coklat panas di depannya. Pikirannya kembali ke satu tahun yang lalu di mana ia akhirnya memutuskan untuk tinggal sendiri di sebuah ruko kecil.

..."Aku nggak suka kalau ibu menikah dengan om Damian." Indhira menghempaskan tubuhnya di sofa. "Dia itu hanya ingin mengusai tanah yang ayah tinggalkan untuk kita."...

..."Tapi ibu mencintai om Damian. Baru kali ini ibu bisa jatuh cinta lagi setelah ayahmu meninggal." Eswari mendekati Indhira. Dengan lembut ia memegang pundaknya. "Om Damian itu baik. Ia sangat mencintai ibu dan ibu yakin ia juga menyayangimu."...

..."Bohong! Bohong itu semua! Aku bisa menilai ia tidak tulus. Ibu saja yang sudah di butakan oleh cinta. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menganggap dia ayah."...

..."Dhira.. Apa kamu tidak ingin ibu mendapat kebahagian. Sudah lama ibu sangat kesepian. Kau sibuk dengan duniamu hingga jarang menemani ibu." Eswari menghapus air mata. "Ibu akan tetap menikah, entah kamu setuju atau tidak."...

...Indhira menatap ibu Eswari dengan tatapan nanar ia seolah tidak percaya dengan ucapan ibunya....

..."Maaf bu, aku sepertinya tidak bisa tinggal dengan ibu lagi. Semoga ibu bahagia." Indhira beranjak pergi membawa mobil satu - satunya pemberian almarhum ayahnya. Dan sejak saat itu ia hanya berkomunikasi dengan ibu lewat telepon....

"Mbak.. Mbak.. Mbak Indhira kok melamun. Ada pembeli."

Suara Sri membuyarkan lamunan dan membawanya ke kenyataan yang sekarang. "Oh maaf. Ada pembeli ya, kalau begitu aku naik ke atas dulu mbak."

Indhira melepas celemek dan menyalakan ac. Ia membaringkan tubuhnya yang terlihat sangat lelah. Setahun ini hidupnya sepi penuh kekosongan hanya sahabatnya Uni yang selalu menghiburnya.

Drrrttt... Drrrttt.. Ddrrrttt..

"Heh, Uni. Panjang umur dia." gumam Indhira. "Ya Uni."

"Lama bener angkatnya. Tidur ya?"

"Kok tahu?"

"Ya dong aku kan satu - satunya sahabatmu yang paling pengertian."

"Iya.. Iya gendut. Ada apa telepon sore - sore gini?"

"Kamu sudah terima undangan dari Zora?"

"Zora." gumam Indhira, walau lirih tapi terdengar jelas di telinga Uni.

"Ups sorry."

"Nggak apa - apa." jawab Indhira. "Hmm.. Aku belum terima undangannya. Memangnya ada acara apa?"

"Memang tidak mengundang secara personel sih. Dia share di grup kampus. Dia mau mengadakan acara reuni di hotel Crown."

"Kau kan tahu bagaimana hubunganku dengannya, dan itu yang membuatku tidak masuk di grup kampus. Dulu waktu kuliah hanya kenal biasa sekarang setelah orang tua kami menikah malah tambah buruk."

"Aku pikir tidak ada salahnya datang kan. Siapa tahu kekakuan di antara kalian bisa cair."

"Aku ragu akan hal itu. Zora anak yang keras kepala."

"Baiklah kalau kamu memutuskan tidak ikut. Aku juga tidak akan ikut."

"Eh kenapa? Kau kan nggak ada masalah dengannya atau teman - teman yang lain."

"Kalau nggak ada kau di sana, aku nggak percaya diri. Hmmm bagaimana kalau kita adakan acara sendiri? Nginep di villa mungkin?"

"Ide bagus. Aku setuju."

Panggilan di akhiri. Indhira kembali menghembuskan napasnya secara perlahan. Ia menatap langit - langit kamar tidurnya yang berukuran 4 x 4 meter. Zora dulu di kenal sebagai bintang kampus karena selain cantik ia juga kaya. Selama menempuh pendidikan hubungan mereka tidak dekat, sampai suatu ketika Sean pria yang di kejar Zora justru malah memilih Indhira walaupun Indhira sama sekali tidak memperdulikannya.

Terkadang hal itu membuat mereka terlibat pertengkaran kecil. Hingga puncaknya adalah ketika orang tua mereka menikah.

Tok.. Tok.. Tok..

"Mbak Dhira ada tamu." ketuk Sri.

Dengan malas Indhira berjalan di depan pintu. "Siapa mbak?"

"Hmm.. Mbak Dhira lihat sendiri saja."

Indhira mengerutkan keningnya dan memutuskan untuk melihat sendiri siapa yang datang.

"Zora." ucap Indhira kaget. Ia tidak percaya dengan apa yang di lihatnya.

"Hai Dhira. Lama tidak ketemu." sosok cantik dengan rambut ikal itu memeluk Indhira. Tercium aroma floral bercampur dengan buah apel yang manis.

Dengan canggung Indhira membalas pelukannya. "Hai juga."

"Kaget ya lihat aku."

"Eh iiiya. Hmm ayo silahkan duduk." Indhira berusaha bersikap se rileks mungkin. "Mau minum apa?"

"Caramel maciato."

"Mbak Sri tolong buatkan caramel maciato dua." perintah Indhira.

"Kamu pasti bertanya - tanya kan kenapa aku tiba - tiba datang menemuimu?"

"Iiya. Aku sama sekali tidak pernah berpikir kamu akan menemuiku setelah kejadian dulu dan pernikahan orang tua kita."

"Terus terang aku kemarin masih sangat marah, emosi dan belum bisa menerima ini semua. Aku merasa tuhan tidak adil padaku. Akan tetapi karena melihat mereka hidup bahagia aku jadi berpikir kembali. Apakah aku sebagai anak harus menghancurkan kebahagiaan orang tua ku sendiri."

Indhira menatap jauh kedalam hati Zora. Seakan ia tidak percaya mendengar perkataan itu keluar dari mulut Zora.

"Hei.. Kau tidak percaya perkataanku?"

"Bbu.. Bbukan begitu maksudku. Hanya saja ini terdengar bukan seperti Zora yang aku kenal."

"Aku sudah berubah Dhira. Aku mau menjadi pribadi yang lebih baik. Aku sudah dua puluh empat tahun, sudah saatnya menjadi dewasa bukan?" Zora tersenyum dengan tulus. Itu yang membuat Indhira akhirnya mempercayai ucapan Zora.

"Iya, kamu benar sudah saatnya kita bersikap dewasa. Kamu benar - benar sudah berubah. Justru aku yang masih terpuruk dengan masalah pernikahan orang tua kita."

"Aku yakin kau pasti bisa merubah pikiranmu tentang hal itu." ucap Zora. "Oya kau akan datang kan ke acara yang aku buat?"

"Maksudmu reuni di hotel Crown?"

"Iya. Aku harap kau mau membantuku dalam acara nanti."

Lagi - lagi Indhira di buat terkejut dengan perubahan sikap Zora yang menjadi pribadi yang baik.

"Ayolah, bantu aku Dhira." bujuk Zora. "Kan sekarang kita sudah jadi satu keluarga."

"Baiklah, aku akan membantumu."

Zora menghambur kepelukan Indhira. "Makasih ya." ucapnya. "Oya besok aku tunggu kamu di rumah. Kita bicara di sana soal acara reuni. Bagaimana? Bisa kan?"

"Bbisa." jawab Indhira walau ia masih ragu.

Zora berpamitan. Dari dalam Indhira memandang kepergiannya. Awalnya ia berat memberi keputusan tapi melihat Zora yang sudah berubah baik, Indhira memberi kesempatan.

🌺🌺🌺🌺

Mobil Jazz merah yang di kendarai Indhira memasuki rumah besar dengan konsep mediterania. Siapa yang tidak tahu dengan rumah Damian Wijaya. Seorang pengusaha sukses walaupun terkadang banyak menggunakan cara kotor untuk memenuhi ambisinya. Sekarang Damian Wijaya menjadi ayah baru baginya.

"Dhira." sambut seorang wanita dengan usia yang sudah tidak muda lagi. Sorot matanya menyimpan kerinduan yang dalam.

"Sore bu."

"Kemarilah nak, peluk ibu."

Indhira tersenyum dan menyambut pelukan ibu. Jauh di lubuk hatinya ia sangat merindukan wanita yang sekarang terlihat sangat bahagia.

"Kamu sehat?"

"Iya."

"Syukurlah, ibu senang mendengarnya." ibu membelai lembut rambut Indhira. "Ayo kita masuk, Zora dan Damian sudah menunggu di dalam."

Untuk sepersekian detik Indhira ragu untuk melangkah masuk ke dalam.

"Ayo, tidak apa - apa. Kamu pasti akan bisa beradaptasi dengan mereka."

Indhira tersenyum dan mengangguk. Akhirnya ia mengikuti langkah ibu untuk masuk ke dalam. Rumah yang sangat megah yang di dominasi oleh warna - warna pastel. Dan ia tahu bahwa itu warna kesukaan ibu. Design interiornya pun juga pasti sesuai dengan selera ibu. Itu artinya memang om Damian mencintai ibu.

"Hai Dhira." sebuah suara yang terdengar serak dan berat menyapanya.

"Itu papa Damian. Ini pertama kalinya kalian bertemu kan? Waktu ibu menikah kamu tidak datang."

Indhira menatap pria di depannya. Pria dengan gaya metroseksual yang menurutnya agak genit itu menjadi ayah sambungnya. Walau Indhira belum sepenuhnya percaya dengan pria itu tapi melihat Zora bisa menerima ibunya kenapa ia juga tidak mencoba menerima Damian.

"Sore Om."

"Kenapa panggil Om?" ibu mengernyitkan alisnya.

"Aku belum terbiasa bu." jawab Indhira pelan.

"Tidak apa - apa sayang, kan Indhira juga baru pertama kali ketemu denganku. Ia pasti butuh waktu bukan. It's okey." Damian mendekati Eswari dan memberikan kecupan ringan di keningnya. Indhira yang melihatnya bisa tahu bahwa ibunya di perlakukan sangat istimewa.

"Wah.. Wah.. Bikin iri saja kalian." Zora yang baru saja datang, memuji mereka. "Hai Dhira, maaf ya aku baru mandi tadi."

Indhira hanya tersenyum.

"Kita ke halaman samping yuk, aku jamin kamu pasti suka dengan pemandangannya."

Indhira tidak banyak bicara, ia hanya mengikuti Zora. Rumah ini tidak jauh beda dengan rumahnya yang dulu. Hanya saja bangunan rumah Indhira tidak besar akan tetapi memiliki halaman yang sangat luas. Ayahnya suka bercocok tanam. Ia pernah beranggapan bahwa Damian mengincar tanah peninggalan ayahnya, karena sudah banyak orang yang datang dengan niat membeli rumah mereka.

"Gimana bagus kan pemandangannya?"

"Iya, cukup asri."

"Kamu nggak mau tinggal di sini?"

"Sepertinya aku masih perlu waktu."

"Ayolah. Kalau kamu melihat mereka setiap hari. Aku jamin, kau akan berubah pikiran. Mereka saling mencintai Dhira."

"Aku tahu itu. Tapi masih canggung rasanya untuk tinggal dengan keluarga baru."

"Hmmm gini aja dech. Gimana kalau kamu tidur di sini beberapa hari? Yah itung - itung kita ngobrol soal acara reuni."

Indhira masih terdiam. Entahlah ia masih merasa bingung. Keputusan ini tidak bisa diambil begitu saja. Ia masih perlu waktu.

"Ayolah Dhira." rengek Zora. "Satu minggu saja. Gimana?"

Indhira yang merasa tidak enak hati dengan permintaan Zora akhirnya menganggukkan kepala. "Baiklah. Satu minggu saja."

"Yes..!" teriak Zora.

"Ehh.. Kenapa teriak kegirangan?" tanya Eswari yang datang dari belakang membawakan minuman. "Bagi - bagi dong ke mama."

"Akhirnya Dhira mau tinggal dengan kita, ma."

"Oya. Syukurlah.. ibu senang kamu mau tinggal bersama ibu, Dhira." peluk Eswari.

"Satu minggu bu. Aku hanya menginap di sini satu minggu saja." tegas Indhira.

"Tidak.apa - apa. Yang penting kau mau tinggal dengan ibu." Eswari mengusap air matanya. "Terima kasih Zora."

"Iya ma."

Indhira tersenyum. Oh ternyata Zora sudah memanggil ibu dengan sebutan mama, pikirnya dalam hati. Yah mungkin walau hanya sebentar ia tinggal di sana, hatinya sudah cukup bahagia bisa melihat senyum ibunya.

🌺🌺🌺🌺

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!