Pagi ini Indhira terbangun dengan terkejut karena sudah ada Uni di depannya.
"Kok kamu bisa masuk?"
"Justru aku yang harusnya bertanya. Kok pintu depan tidak di kunci?"
"Yang bener? Aku kunci kok." Indhira masih dengan muka bantal segera turun dan melihat kondisi pintu depan.
"Tuh, nggak ada gemboknya." tunjuk Uni.
"Aneh." gumam Indhira. "Kemarin sore kunci di bawa mbak Sri satu, jangan - jangan mbak Sri sudah datang."
"Aku tadi masuk ke sini sepi nggak ada orang."
Indhira memastikan sendiri ke belakang dan memang tidak di temukan siapa - siapa. "Heh.. Aneh." gumamnya lagi.
"Jangan - jangan pencuri?"
"Kayaknya sih nggak. Semua terlihat rapi dan barang - barang penting di kamarku aman semua. Mungkin memang aku yang lupa kunci pintu."
"Sudah.. Sudah masalah itu di bahas nanti saja. Sekarang kami mandi sana, lihat tuh jigongmu masih nempel. Mana rambut kayak Singa."
"Huh biarin." Indhira melewati Uni sambil menebar bau mulutnya "Hah.."
"Ih dasar jorok." Uni menutup hidungnya.
"Hahahahahh.." Indhira senang mengerjai temannya yang bertubuh tambun itu.
Tak berapa lama ia sudah keluar dari kamar mandi.
"Kita jadi ke rumah bu Yuma?" tanya Uni.
"Jadi dong, tapi berangkatnya nunggu mbak Sri datang ya." Indhira melirik jam dinding. "Kayaknya sebentar lagi."
Uni duduk menghadap jendela ia melihat pemandangan dari atas. "Aku khawatir padamu."
"Tumben ngomongnya serius."
"Kali ini aku benar - benar serius."
"Hei, ada apa sebenarnya?"
"Kau tinggal sendiri di sini, tadi pintu tidak di kunci dan sekarang kau lihat itu." tunjuk Uni ke bawah. "Dari tadi mobil hitam itu ada di sana. Kau tidak curiga sama sekali?"
Indhira sambil menyisir rambutnya melihat ke bawah. "Oh, iya ya. Mobil itu dari kemarin sore ada di sana. Aku pikir pembeli warung lamongan sebelah."
Uni melihat Indhira yang raut mukanya tidak menunjukkan rasa takut sama sekali. "Dhira, aku sebagai sahabatmu mengkhawatirkan keselamatanmu."
Indhira tersenyum dan memeluk tubuh tambun itu. "Iya aku tahu kamu khawatir. Makasih ya sudah mau menemaniku sampai saat ini."
"Bagaimana kalau kamu tinggal di rumahku saja?"
Indhira memegang pundak Uni. "Uni, aku tidak mau merepotkan siapapun dan aku nyaman di sini."
"Heh.. Baiklah kalau itu sudah keputusanmu."
"Yuk. Berangkat. Kita sarapan bubur dulu di dekat rumah bu Yuma."
"Yuk." Uni tersenyum lebar.
Mereka berdua berangkat ke rumah bu Yuma. Mobil hitam yang berada di depan rukonya masih terlihat, tapi Indhira tidak ambil pusing toh sama sekali tidak mengganggunya.
Mobil Honda Jazz kesayangan Indhira berhenti dengan manis di depan rumah kayu milik Yuma. Wanita tua itu sudah menunggu kedatangan mereka. Di sebelahnya ada anak - anak kecil yang menemaninya.
"Kenapa kalian lama? Anak - anak sudah menunggu."
"Nih bu yang molor terus." tunjuk Uni.
Indhira mencibir menjulurkan lidahnya. Ia membawa beberapa kardus berisi pakaian dan alat - alat sekolah. Itu semua dari angkatannya untuk anak - anak kurang mampu di daerah Yuma.
Mereka tahu jika Indhira membawa hadiah, mereka langsung menyerbunya.
"Eh.. Tunggu.. Tunggu.. Jangan berebut. Ayo baris dulu."
"Mau kak.. Aku mau.." teriak mereka.
"Iya.. Iya.. sabar. Ayo baris dulu yang rapi kalau tidak bajunya nggak akan aku bagi."
Anak - anak segera berbaris dengan rapi. Indhira dan Uni membagikan baju dan alat tulis satu persatu. Melihat binar bahagia di mata anak - anak membuat Indhira berkaca - kaca. Ia lebih bersyukur karena masih di beri sehat dan rejeki yang cukup.
Sejak ayahnya meninggal ia suka berbagi dengan anak - anak seperti itu.
"Nah semuanya sudah kebagian ya?"
"Iya." jawab mereka.
"Sekarang kalian boleh pulang. Ingat ya hati - hati di jalan." pesan Indhira.
Indhira dan Uni mendekati Yuma.
"Minum dulu. Kalian pasti capek."
"Kenapa ibu repot - repot, kami bisa buat sendiri di belakang."
"Nggak apa - apa. Mumpung ibu masih sehat."
"Ibu itu ngomong apa sih, bu Yuma harus sehat dan menyaksikan pernikahan kita berdua." ucap Uni dengan mulut penuh pisang goreng.
"Sudah.. Sudah.. Habiskan dulu pisang gorengnya."
"Bu Yuma tahu, siapa pemilik rumah besar yang ada di ujung jalan?" tanya Indhira tiba - tiba.
"Ibu tidak tahu. Sejak sakit - sakitan ibu tidak pernah keluar. Memang ada rumah besar di ujung jalan?"
"Ada. Tapi kalau bu Yuma tidak tahu ya tidak apa - apa."
Setelah hari mulai sore Indhira dan Uni pamit pulang. Di perjalanan Indhira memperlihatkan pada Uni rumah besar yang di maksud.
"Bagus kan rumahnya?"
"Iya bagus." jawab Uni. "Tapi lebih bagus lagi jika pemiliknya tampan dan masih jomblo lagi."
"Ihhh maunya." cibir Indhira.
"Nggak apa - apa dong. Ucapan adalah doa."
"Tapi menurutku orang yang punya rumah ini sangat mencintai keluarganya. Terlihat dari rumahnya yang hangat."
"Sudah ayo jalan. Nanti kalau yang punya rumah tahu di kira kita mau maling."
"Oke."
🌺🌺🌺🌺
Pagi setelah Indhira beberes coffe shop miliknya, ia berencana pergi ke rumah bu Arini. Kebetulan ini hari Minggu pasti anak - anak ada di rumah.
"Buku sebanyak itu buat apa mbak?"
"Buat anak - anak panti." jawab Indhira. "Mbak Sri aku pamit dulu. Misal nanti mbak Sri dan mas Raga mau pulang, kunci saja pintunya seperti biasa."
"Ya mbak siap."
Indhira mengendarai mobil kesayangannya. Dan seperti biasa lagu the Beatles selalu mengalun memberi warna dalam perjalanan Indhira. Kali ini ia berangkat sendiri, karena Uni harus pergi ke Solo dengan keluarganya.
Sudah hampir tiga minggu ia tidak bertegur sapa dengan Eswari ibunya. Pernah sekali ia mengirimkan pesan tapi sama sekali tidak di balas oleh ibunya. Mungkin saat ini masih marah.
Indhira sampai di rumah Arini di sambut dengan Karta.
"Eh mbak cantik."
"Aduh jangan panggil gitu mang, jadi malu."
"Nggak apa - apa mbak, wong kenyataannya begitu." jawab Karta. "Mari masuk mbak, ibu sama anak - anak baru mencuci di belakang."
"Mang, minta tolong buku ceritanya di bawa ke belakang yah."
"Siap mbak."
Indhira melangkahkan kakinya ke belakang tanpa ragu. Ia tidak menyadari bahwa di tempat parkir ada mobil Range Rover warna hitam yang sering mangkal di depan rukonya.
"Pagi bu Arini."
"Eh Dhira. Sama siapa ke sini?"
"Sendiri. Ini mau antar buku cerita buat anak - anak."
"Oh.. Iiya. Hmm.. Anak - anak minta tolong buku ceritanya di bagikan ya."
"Yeeaayyy." anak - anak teriak senang. "Om ganteng dapat nggak bu?"
"Om ganteng?" Indhira mengerutkan keningnya.
"Oh itu tetangga.. Iiiya dapat dong." jawab Arini yang sepertinya agak berbeda. Ia terlihat gugup. "Hmm.. Indhira ayo kita duduk di sana."
"Baik bu." Indhira mengikuti Arini duduk di bale - bale. "Oya bu, nanti aku bantu memasak ya kayak kemarin."
"Bboleh.. Bboleh." jawab Arini terbata - bata.
"Ibu kenapa? Sakit ya?"
"Nggak kok cuma capek saja." jawab Arini asal. "Tapi kalau kamu ada acara, nggak usah bantu juga nggak apa - apa. Biasanya kalau hari minggu anak muda kan sering jalan - jalan."
"Nggak kok bu, justru aku ingin berlama - lama dengan adik - adik di sini."
Arini menghela napas. "Baiklah ka____."
"Maaf bu ada tamu." sela Karta tiba - tiba.
"Siapa Tak?"
"Pak RT."
"Indhira, ibu tinggal dulu ya." Arini beranjak dari duduknya. Indhira hanya menjawabnya dengan anggukan.
Ia menghirup napas dalam - dalam. Suasana di panti ini membuatnya tenang. Ia melihat beberapa anak sedang menjemur sprei dan pakaian. Indhira berinisiatif untuk membantu.
"Hei kakak bantu ya?" ia mencoba mendekatkan diri dengan anak - anak.
"Silahkan kak."
Dengan cepat Indhira akrab dengan anak - anak di sana. Mereka bahkan menjemur pakaian dengan bercanda. Ada anak yang memegang selang dan menyemprotkannya ke Indhira dan beberapa anak perempuan. Mereka menjerit dan berlari menghindar. Hingga___.
Bruuukkk!!! Indhira menabrak sesuatu yang keras tapi lunak.
"Yeeaayy! Kakak cantik nabrak om ganteng!" teriak mereka sorak sorai.
Kedua tangan Indhira memegang sebuah dada yang keras dan padat. Beberapa bulu tumbuh subur di sana. Ia mendongakkan kepala dan itu membuat wajahnya pucat seperti mayat. Tiba - tiba saja detak jantung dan aliran darahnya terhenti seketika.
"Hai, kriminal. Pembunuh!"
Indhira mundur beberapa langkah, tapi dengan cepat tangan besar itu menyambar rahang pipinya.
"Aauuww!!!" teriaknya kesakitan. Ia merasakan rahangnya sakit seperti akan patah.
"Diam! Rasa sakit ini tidak seberapa dibandingkan dengan penderitaan Calysta!"
Indhira memejamkan mata menahan sakit. Ia sudah pasrah jika harus mati di tangan Lucas saat ini juga.
"Kau bisa tertawa seenaknya di sini, sedangkan Calysta sudah tiada!"
Tiba - tiba..
"Dhira.. Dhira.. Dhira." panggil Arini.
Dengan cepat Lucas membawanya sembunyi. Ia membenturkan tubuh Indhira ke tembok dan menutup mulutnya dengan tangan besarnya.
"Diam." bisiknya penuh penekanan.
"Aduh di mana sih Dhira." Arini kebingungan mencari. "Anak - anak ada yang tahu Dhira nggak?"
"Kakak cantik?"
"Iya."
"Tadi main - main dekat jemuran."
Arini berputar mencari di dekat Jemuran. Sementara itu Lucas semakin kuat membungkam mulut Indhira.
Indhira memejamkan mata. Air matanya mengalir perlahan dari sudut mata cantik itu.
"Hei tatap mataku." perintah Lucas. Dengan sedikit gemetar Indhira memberanikan diri menatap Lucas. Tatapan yang tajam itu seolah akan mengoyaknya habis tubuhnya yang mungil.
Sebenarnya kalau di lihat lebih dalam lagi, Lucas memiliki bola mata yang indah. Bola mata dengan warna hazel, terdapat campuran semacam warna hijau dan oranye atau emas dan mirip seperti warna mata kucing. Baru kali ini Indhira melihat warna bola mata seperti itu.
"Keluarlah. Temui ibu. Tapi ingat kau tidak bisa ke mana - mana karena urusan kita belum selesai." Lucas melepaskan tangannya. Indhira bisa bernapas dengan lega. Napasnya tersengal - sengal untuk mengambil oksigen sebanyak - banyaknya.
"Aap.. Aapa yang kau inginkan dariku?" Indhira bertanya dengan terbata - bata.
"Kehidupanmu." jawab Lucas tegas.
Tangan Indhira gemetar dengan hebat tapi ia harus berusaha tetap tenang.
"Temui aku di halaman parkir depan. Jangan cerita apapun ke ibu. Mengerti?"
Indhira mengangguk tanda mengerti. Sepeninggal Lucas tubuh Indhira bersimpuh lemas bagai tanpa tulang.
"Loh Dhira kok kamu di sini?"
"Ibu."
"Kamu sakit?"
"Iya, tadi tiba - tiba lemas, sedikit pusing."
"Apa kamu bertemu seseorang di sini?"
"Hmm.. Tidak."
"Syukurlah." gumam Arini. Cukup pelan tapi terdengar di telinga Indhira.
Akhirnya Indhira tahu, pantas saja dari tadi bu Arini tampak gugup dan tegang, ternyata ada Lucas di sini ucap Indhira dalam hati.
"Ayo kita masuk ke dalam, ibu akan membuatkanmu teh hangat." Arini memapah Indhira dan membawanya masuk ke panti.
Tampak dari kejauhan mata Hazel milik Lucas menatap dengan tajam. "It's game, Indhira. We will see."
🌺🌺🌺🌺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Regita Regita
Lucas, kebencian akan membakar jiwa mu.
2024-11-17
0
Sleepyhead
Hwatiiing Author 🔥💕
2024-10-07
0
Alif 33
selanjutnya...
2024-10-07
0