Malam itu di rooftop sebuah firma hukum tampak Lucas sedang duduk menyendiri.
"Tuan, ini sudah malam."
"Biarkan aku di sini lebih lama."
"Tapi tuan___."
"Aku takut pulang ke rumah. Kenangan akan Calysta selalu menghantuiku." Lucas tertunduk. Airmatanya menetes perlahan. "Aku gagal membawa keadilan untuknya. Kenapa ia begitu cepat meninggalkanku, Leon."
"Tidak.. Tuan tidak gagal. Kita di permainkan oleh hukum."
"Kau tahu. Ini adalah kasus pertama yang gagal aku menangkan di pengadilan dan ironisnya ini adalah kasus orang yang paling berarti dalam hidupku." Lucas mengepalkan tangannya.
"Leon.." panggilnya.
"Ya tuan."
"Bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan ini di depan ibu Arini?" Lucas menghela napas panjang.
"Saya yakin ibu Arini akan mengerti. Beliau adalah orang yang berbesar hati."
Lucas kembali menegak minuman di hadapannya. "Aku akan membuat hidup gadis itu bagai di neraka." gumamnya.
"Aku harus tahu sedalam - dalamnya mengenai gadis itu. Kau siapkan informasi itu, Leon."
"Tuan.. Mari kita pulang. Tuan sudah mabuk." Leon membantu atasannya itu berdiri.
"Aku tidak mau pulang!" Lucas mendorong Leon hingga ia mundur beberapa langkah. "Pesankan aku hotel."
"Baik tuan."
Lucas memandang jauh ke depan. Sorot matanya masih memancarkan dendam dan sekaligus kesedihan. Ia hanya berperang di dalam batinnya. Karena sebetulnya ia tahu Indhira tidak sepenuhnya bersalah. Tapi siapa lagi yang pantas di salahkan atas rasa kehilangannya kalau bukan si penabrak. Hidupnya akan kembali sepi tanpa hadirnya Calysta.
🌺🌺🌺🌺
Hampir tiga bulan ini Indhira tidak pernah sekalipun keluar dari rumah. Kehidupannya sekarang menjadi terbatas, hanya seputar di meja makan dan kamar tidurnya. Tubuhnya juga sedikit kurus. Demi menghindari Lucas dan wartawan.
Siang itu ia merebahkan diri dan sesekali melihat CCTV di tokonya. Semuanya berjalan dengan lancar. Ia percaya dengan mbak Sri dan Mas Raga.
"Huh bosan." gumamnya. "Lebih baik aku bersih - bersih kamar." Indhira berusaha membangkitkan hidupnya yang terpuruk. Ia mulai menata kamarnya kembali agar tidak bosan. Semuanya ia kerjakan sendiri.
"Hmmm sepertinya pot bunga ini lebih bagus kalau di pojok sana." ia bergumam sendiri. Dengan mengikat rambutnya ke atas, ia mulai mendorong pot berisi bunga yang cukup besar. "Heegghh!!! Aduh beratnya."
Kluutaakkk!!! Suara benda jatuh.
"Heh suara apa itu." Indhira melihat sekelilingnya dan matanya tertuju pada sebuah benda kotak kecil berwarna hitam. Dengan hati - hati ia mengambilnya. "Kamera?"
Pantas saja di dalam kamar aku merasa di awasi. Beruntung aku kalau ganti baju selalu di kamar mandi pikir Indhira dalam hati. "Eh tunggu. Jangan - jangan di dalam kamar mandi juga ada." gumamnya. Dengan cepat ia memeriksa kamar mandi termasuk kaca di dalamnya. Dan semuanya aman. Berarti hanya di kamarnya saja. Ia bernapas lega.
"Kira - kira siapa yang melakukan ini?" Indhira segera menelepon Uni untuk datang ke rumahnya. Tak perlu menunggu waktu lama Uni sudah sampai di dalam kamar Indhira.
"Ada apa? Sepertinya ada yang penting."
Indhira menyerahkan kamera kecil itu ke Uni. "Kamera? Kamu temukan di mana?"
"Di balik pot bunga itu."
"Pantes aja kamu pernah cerita seperti di awasi."
"Akhirnya terjawab juga feelingku. Cuma siapa yang sudah menaruhnya."
Mereka terdiam sesaat sampai Uni akhirnya memiliki sebuah ide gila untuk menjebak pelaku. Dan Indhira menyetujuinya.
Malam ini Indhira mengenakan baju tidur two piece dengan celana pendek dan atasan tali spageti. Terlihat seksi ketika dia kenakan. Ia sengaja mondar mandir di depan kamera. Setelah jam sepuluh malam ia bersiap untuk tidur dengan meredupkan lampu kamar.
Sesuai saran dari Uni, pintu kamarnya tidak di kunci sehingga jika benar tebakannya orang yang memasang kamera akan masuk jebakan. Biasanya niat orang yang memasang kamera tersembunyi adalah untuk berbuat mesum. Jadi Uni menyarankan memakai baju tidur yang seksi. Indhira menanti dengan perasaan berdebar. Walaupun kamarnya terasa dingin ia masih saja berkeringat. Dan benar saja setelah menunggu hampir satu jam, Indhira mendengar pintu kamarnya ada yang membuka. Detak jantungnya semakin cepat, tangannya mengerat ke selimut. Ia berusaha sabar hingga pelaku benar - benar masuk jebakan.
Perlahan ia merasakan ada tangan yang meraba kakinya. Ya tuhan siapa itu tanya Indhira dalam hati. Tangan itu makin lama makin ke atas. Walaupun merasa sangat jijik ia harus bertahan sebentar sampai benar - benar orang itu terjebak.
Tangan yang memegangnya seperti tangan orang yang terawat itu artinya bukan salah satu pekerja yang ada di rumah ini. Jangan - jangan___.
Indhira dengan cepat menyibak selimutnya melompat turun dan segera menyalakan saklar lampu.
"Om Damian!!!" teriak Indhira.
"Tterrnyata kkkamu tidak tidur?" wajah Damian tampak terkejut.
"Jadi om yang memasang kamera itu?!" teriak Indhira.
"Aku bisa jelaskan."
"Jawab!!!"
Teriakan Indhira membangunkan seisi rumah. Eswari segera mendatangi kamar anak semata wayangnya itu.
"Ada apa ini? Damian?"
"Sekarang ibu lihat sendiri perbuatan bejatnya kan. Bagaimana aku bisa menganggap pria hidung belang ini sebagai ayah sambungku."
"Dhira, tenang dulu. Apa kau mau pelayan - pelayan ikut bangun mendengarkan pertengakaran yang tidak berarti ini."
"Tidak berarti? Maksud ibu, apa yang sudah di lakukan oleh pria brengsek ini padaku adalah hal yang wajar?"
"Bukan seperti itu sayang. Ibu harus mendengar dari kedua belah pihak."
"Tidak perlu bu. Sekarang ini ibu harusnya sudah bisa melihat. Untuk apa coba malam - malam begini dia pergi ke kamarku. Dan juga aku menemukan ini." Indhira menyerahkan kamera kecil. "Ibu bisa melihat di rekaman kamera ini bagaimana ia merabaku tadi."
"Dhira soal kamera ini memang Damian sudah meminta ijin ke ibu dan ibu menyetujuinya."
"Jadi ibu tahu soal kamera itu? Untuk apa bu? Ibu tidak percaya padaku bahwa aku akan melakukan hal yang tidak baik."
"Bukan seperti itu____."
"Dhira, tuduhanmu padaku sangat keterlaluan." sahut Damian yang dari tadi terdiam.
"Itu kenyataan, kau tadi mencoba merabaku kan? Ayo jawab!!!"
"Aku tidak merabamu, aku hanya membetulkan letak selimutmu." jawab Damian. "Sejak ada ancaman Lucas, ibumu khawatir jadi memintaku untuk mengecek keadaanmu."
"Iya itu benar." Eswari membenarkan.
"Sekarang coba jelaskan kenapa malam reuni itu kamu ada di sana? Apa tujuanmu hah?!"
"Aku menjaga dan mengawasi kalian. Wajarkan sebagai orang tua aku melindungi anak - anakku. Kau terlalu berlebihan." jawab Damian. "Atau jangan - jangan kau sengaja menggodaku?"
"Apa?! Aku?! Jangan memutar balikkan fakta!"
"Sudah.. Sudah.. Ini sudah malam. Kita selesaikan masalah ini besok pagi saja."
Indhira mendengus kesal karena ibu tidak mempercayainya. Mungkin sudah terjerat cinta Damian. Malam ini Indhira mulai mengemasi pakaiannya. Tekadnya sudah bulat untuk pergi dari rumah itu. Ia melewati malam itu dengan isak tangis yang membuatnya rindu akan kehadiran ayah.
🌺🌺🌺🌺
Pagi ini Indhira turun ke ruang makan sambil membawa kopernya.
"Mau kemana?" tanya Zora.
"Aku mau kembali ke ruko."
"Kembali ke ruko?" sahut Eswari yang berjalan menuju ke meja makan. Pandangannya beralih pada koper Indhira. "Apa maksud dari semua ini Indhira?"
"Iya bu, aku sudah mengambil keputusan. Aku akan kembali ke ruko."
"Bagaimana dengan Lucas yang mengancammu?"
Indhira terdiam. Semalam memang terjadi pergolakan di dalam hatinya. Satu sisi jika ia tinggal di rumah bersama buaya tua Damian yang sewaktu - waktu bisa saja ia menjadi korbannya dan di sisi lain jika tinggal di ruko ada Lucas yang mengancam nyawanya. Tapi akhirnya ia lebih memilih tinggal di ruko dengan segala resiko harus berhadapan dengan Lucas. Menurutnya itu lebih terhormat, karena kenyataannya memang ia sudah menabrak kekasihnya.
"Tidak apa - apa bu. Aku bisa jaga diri."
"O.. O.. O.. Jadi ini yang kalian debatkan semalam?" sahut Zora. "Silahkan di lanjutkan debatnya, aku mau pergi dulu." Zora berjalan melewati mereka berdua. Ia sempat melirik papanya yang keluar dari kamar.
"Kenapa pagi - pagi sudah ramai? Selera makanku jadi hilang."
"Dhira mau kembali ke ruko." jawab Eswari.
"Sudah biarkan saja. Percuma berdebat dengan anak tidak tahu diri. Kita sudah susah payah membebaskannya malah tidak tahu balas budi."
"Balas budi? Balas budi dengan apa? Dengan tubuhku? Cuiihh.. Jangan harap." umpat Indhira.
"Jaga kelakuanmu Dhira! Damian memang berjuang agar kamu bebas."
"Oh jadi memang saksi di persidangan itu kalian rekayasa?"
Eswari hanya diam.
"Ibu..?"
Eswari menghela napas. "Sebenarnya tidak ada yang tahu siapa yang sudah menaruh obat di dalam minumanmu. Jadi kami menyuruh pelayan itu menjadi saksi palsu."
"Tidak usah kau jelaskan pada anak pembangkang sepertinya."
"Tapi sayang, dia anakku satu - satunya." rengek Eswari. "Dhira tolong turuti kata ibu dan Damian."
"Maaf bu, aku tidak mau tinggal dengan pria hidung belang."
Plaakkk!!! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Indhira.
"Dhira! Jaga kata - katamu! Dia suami ibu!"
Indhira mengusap pelan pipinya. "Baiklah sekarang aku tahu. Ternyata aku sama sekali tidak ada di hati ibu."
"Terserah! Itu semua karena kamu sekarang jadi pembangkang!"
Indhira menarik koper dan segera keluar dari rumah. Airmatanya deras mengalir mengiringi kepergiaannya. Ia sekarang benar - benar kehilangan seorang ibu. Berat memang rasanya harus bertengkar dengan ibu yang ia cintai, tapi ia tidak mau tinggal bersama dengan Damian.
Ia berhenti di suatu tempat untuk mengusap airmatanya. Kesal, marah, kecewa semua menjadi satu. Indhira memandang sekelilingnya yang terdapat banyak orang berjualan bunga dan ternyata tempat ini dekat dengan TPU. Ia jadi teringat dengan Calysta. Setelah persidangan itu ia sama sekali belum pernah menjenguk makam Calysta.
Setelah memarkirkan mobil, ia mampir untuk membeli bunga. Sejenak ia bingung karena ia tidak tahu apa bunga kesukaan Calysta. Melihat ada seikat mawar putih yang cantik membuatnya ingin mempersembahkan bunga itu pada Calysta. Putih yang mengandung arti suci, bahwa niatnya benar - benar tulus.
Indhira mencari - cari makam Calysta. Keterangan dari penjaga, makam Calysta terdapat banyak bunga mawar merah.
"Hai, Calysta. Maaf setelah tiga bulan aku baru mengunjungimu. Aku benar - benar menyesal dengan apa yang terjadi. Kalau seandainya aku bisa memutar waktu, aku lebih memilih menjadi korbannya. Kau tahu beban moralku terlalu berat." Indhira mengusap airmatanya. "Aku minta maaf.. Aku benar - benar minta maaf."
Setelah berdoa Indhira kembali ke mobil menuju ke coffe shop nya. Dan seperti biasa selalu ramai pembeli.
"Mbak Dhira balik lagi ke sini?"
"Iya mbak. Ternyata di sini lebih nyaman."
"Tapi kemarin pintu depan itu habis di bobol orang."
"Oya? Kok mbak Sri tidak cerita sih."
"Mau cerita saya sungkan, karena mbak Dhira baru banyak masalah. Lagian juga tidak ada barang yang hilang."
Indhira manggut - manggut. "O..o..o.. Aneh." gumamnya. "Ya sudah aku naik ke atas dulu mbak. Mau beres - beres."
"Ya silahkan mbak."
Sementara itu...
"Leon, kenapa ada bunga mawar warna putih ada di atas makam Calysta. Siapa yang sudah datang kesini?"
"Sebentar tuan." Leon segera menemui penjaga makam untuk minta penjelasan. Tak perlu waktu lama Leon segera kembali menghadap Lucas. "Menurut keterangan penjaga makam sekitar tiga puluh menit yang lalu ada seorang wanita muda yang datang kemari."
"Indhira." gumam Lucas dengan gigi gemeretak, tangannya mengepal kuat. "Berani muncul kau rupanya."
Leon hanya tertunduk.
"Leon.. Ternyata tuhan berpihak padaku." ucapnya sambil tersenyum smirk.
🌺🌺🌺🌺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Sleepyhead
Kaga beres, dah cabut aja sejauh - jauhnya Dhira.. Time will answered..
2024-10-07
1